7/30/2006

Paliudju Dan Prilaku Pemilih

Tahapan yang paling penting dari pilkada gubernur telah selesai dilaksanakan. Bila mengamati hasil pemilihan tersebut kita dikejutkan oleh kemenangan (sementara) oleh Pasangan H. Bandjela Paliudju-H. Ahmad Yahya. Pasangan yang bernomor dua ini mengalahkan pasangan yang difavoritkan yakni Aminuddin Ponulele-Sahabuddin Mustapa(AS) dan Ruly Lamadjido- Sudarto(RS)

Mengejutkan, karena pasangan tersebut- dibanding dengan pasangan AS maupun RS- dalam kampanyenya tidak memperlihatkan kemeriahan atribut mapun massa. Mereka hanya berkampanye dengan pawai kendaraan yang jumlahnya juga tidak sebanyak dua pasangan tersebut atau hanya melakukan kampanye simpatik dengan mendatangi kantung-kantung pemilih. Ini pun mereka tidak sempat mendatangai seluruh wilayah.
Namun hasilnya sungguh di luar dugaan banyak orang. Pasangan AS ini mampu menguasai basis-basis kedua pasangan tersebut. Tercatat ada enam kabupaten yang menjadi basis pemilihnya yang terbesar, yakni Palu, Donggala, Parimo, Poso, dan Buol. Apa yang menjadi faktor dari kemenangan tersebut?

Tinjau Ulang Metode Kampanye
Salah satu faktor yang harus menjadi perhatian para figure yang akan bertarung pada pilkada ke depan adalah metode kampanye. Pelajaran yang didapat dari Pilkada Gubernur Sulteng membuktikan metode kampanye konvensional sudah harus dievaluasi. Lihatlah misalnya, Pasangan AS maupun Ruly dalam setiap kampanye monologis mengumpulkan massa yang jumlahnya puluhan ribu (minimal sepuluh ribu). Belum lagi dukungan atribut lain, spanduk, posko. Striker, Baliho,famflet yang jumlahnya ribuan serta iklan di media massa cetak dan elektronik.
Bila yang menjadi ukuran kemenangan adalah jumlah massa yang hadir dilapangan dan atribut kampanye maka seharusnya yang meraih suara terbanyak adalah pasangan AS atau RS. Namun tidak demikaian halnya.
Justru yang meraih suara terbanyak( sementara) adalah pasangan yang tidak berkampanye dilapangan dengan puluhan ribu massa yang didukung oleh ribuan stiker dan spanduk. Maka boleh kita mengambil kesimpulan bahwa kampanye konvensional dengan menghadirkan ribuan massa ternyata tidak efektif baik untuk membujuk pemilih maupun sebagai sugesti (show of force).
Sudah umum diketahui bahwa sebagian besar massa yang hadir pada saat kampanye memang bukan untuk mendengarkan orasi politik dari para jurkam. Tetapi mereka hadir hanya untuk sekedar ramai-ramai menyenangkan diri. Apalagi pada setiap kampanye memang disediakan hiburan yang menghadirkan artis-artis.

Mengapa Pasangan BP_AY Unggul?

Tentu kita bertanya metode kampanye bagaimana yang digunakan pasangan BP-AY sehingga dapat meraih suara terbanyak? Saya juga tidak yakin sepenuhnya yang memilih pasangan tersebut karena factor kampanye secara langsung. Namun sudah pasti ada factor-faktor lain yang secara tidak langsung mengungtungkan kandidat tersebut.
Pertama, kondisi keamanan Sulteng khususnya kota Palu dan Poso. Sejak pecahnya konflik Poso tahun 1998 daerah ini tidak pernah aman seperti sebelumnya. Walaupun sudah ada perjanjian Malino tapi tetap saja ada gangguan keamanan yang terjadi.Misalnya terjadi letusan bom di Tentena maupun Poso, Penembakan jaksa dan pendeta di Palu.
Bahkan beberapa minggu menjelang pilkada ekskalasi gangguan keamanan di Sulawesi Tengah meningkat. Pembunuhan dan penembakan siswa di Poso, penembakan dosen Untad di Palu dan yang paling mutakhir adalah peledakan bom di pasar daging babi di Palu. Semua ini dipersepsikan oleh masyarakat sebagai kegagalan pemimpin daerah ini untuk menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.
Tentu konstatasi seperti ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Karena yang yang berwewenang menciptakan rasa aman adalah para polisi dan tentara dan dibantu pemerintah daerah. Juga sering sekali masyarakat melakukan perbandingan antara priode kepemimpinan daerah. Dari hasil perbincangan dengan salah seorang masyarakat, dia mengatakan bahwa priode kepemimpinan yang lalu berlangsung aman-aman saja. Padahal dia tidak ingat bila konflik Poso tersebut jusrtu dimulai pada tahun 1998 dimasa pemerintahan HB.Paliudju.
Dengan persepsi demikian masyarakat kemudian mencari tokoh atau pemimpin yang bisa mengatasi persoalan keamanan tersebut. Masyarakat berkesimpulan figure yang diharapkan mampu untuk itu adalah dari Tentara atau Polisi. Inilah yang terjadi pada pemilihan bupati Poso dimana terpilih pensiunan Polisi dan Pilgub Sulteng dari kalangan tentara.
Kedua, terjadi rivalitas yang sangat keras antara pasangan AS dengan RS. Dengan adanya persaingan tersebut keduanya lengah membentung isu (counter issue) dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasangan BP-AY. Akibatnya gerakan-gerakan tim sukses BP-AY kemudian tidak terbaca oleh lawan. Hal inilah kemudian mendapat simpati masyarakat pemilih apalagi banyak gerakan dari kedua tim sukses tersebut overacting yang justru counter productive bagi dukungan ke kandidat. Masyarakat lalu berpikir alternative. Kemudian masyarakat memilih figure alternative yang tidak ada lain adalah HB.Paliudju. Memang ada pasangan lain yakni Yusuf Paddong-Muis Taher tapi mereka tidak terlalu dikenal oleh masyarakat pemilih.
Ketiga, Komunikasi politik semua kandidat terkesan sangat dipaksakan. Masyarakat menilai hanya karena “ada maunya” mereka baru rajin berkunjung ke daerah-daerah bahkan sampai di pelosok-pelosok. Semua figur berusaha untuk- meminjam istilah Amir Arham- sociable. Ini juga menimbulkan antipati masyarakat. Karena kebetulan pemerintah daerah saat ini dibawah komando Aminuddin Ponulele dan Rully Lamadjido maka merekalah yang kena “hukuman” dari masyarakat. Sumbangan mereka tetap diterima tapi kemudian masyarakat tidak memilih mereka.
Analisis tersebut sangat sederhana dan hanya bersifat dugaan-dugaan saja karena tidak didasari oleh suatu riset yang memadai. Karena itu menjadi tugas ilmuan politik atau peneliti memperbanyak riset mengenai prilaku pemilih agar bisa menjadi rekomendasi pada kandidat pemimpin politik sebagai bahan starategi kamapanye di kemudian hari. Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP