7/29/2006

FIGUR PRESIDEN RI DAN EVALUASI REFORMASI.

Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, tepatnya 2004, bangsa indonesia akan mendapatkan presiden baru.” Baru” disini bukan hanya sistemnya yaitu pemilihan langsung tetapi juga diharapkan akan muncul figur yang betul-betul sesuai dengan basic demand bangsa Indonesia.

Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, tepatnya 2004, bangsa indonesia akan mendapatkan presiden baru.” Baru” disini bukan hanya sistemnya yaitu pemilihan langsung tetapi juga diharapkan akan muncul figur yang betul-betul sesuai dengan basic demand bangsa Indonesia.

Figur presiden memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam proses berhasilnya reformasi. Karena ia mewakili kekuatan eksekutif yang bertanggungjawab menjalankan roda pemerintahan yang sesuai kehendak rakyat. Figur presiden bagi Indonesia semakin penting karena secara kultural rakyat Indonesia sangat percaya pada para pemimpinnya.

Keadaan ini menurut Faruq HT, dosen fakultas sastra UGM, akibat dari warna masyarakat indonesia masih bercorak lisan. Efeknya banyak hal yang secara konsepsi benar tapi tidak terlaksana karena segala sesuatunya tidak tergantung pada kata-kata yang diucapkannya.Yang berarti bahwa masyarakat Indonesia masih sangat tergantung pada figur atau siapa yang menjadi teladan (Ing Madya Mangun karso, Ing Ngarso sang Tulodo, Tutwuri handayani).

Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat tradisi dan sistim pemilihan dalam masyarakat pedesaan. Masyarakat terlebih dahulu ingin mengetahui siapa yang menjadi pemimpinnya, bukan program yang ditawarkan. Kecenderungan ini pula yang terlihat ketika perhelatan semacam kongres, Munas, Muktamar atau apapun namanya. Dalam event tersebut yang menjadi sorotan dan pusat perhatian adalah figur ketua umum bukan program organisasi. Akibatnya pembahasan program sering sekali menjadi kosong melompong karena ditinggalkan oleh peserta untuk lobi politik.

Tradisi menjadikan figur pemimpin menjadi personal leader mempunyai akar historis dalam sejarah perpolitikan nasional. Taufik Abdullah, sejarawan LIPI, menyebutkan bahwa dari rekontruksi sejarah empiris tentang sistem politk, ekstraksi produksi dan kebiasaan sosial, tampak jelas bahwa kerajaan pra-kolonial sangat memperhatikan segala sesatu yang berhubungan dengan “anugrah” dan “amarah” raja. Ini bisa diartikan, segala keputusan raja harus ditaati dan dipatuhi tanpa ada kemungkinan untuk melakukan kritik dan protes.

Dalam konteks ini, perilaku pemimpin menjadi sangat urgen, karena ia berpotensi ditiru oleh masyarakat. Persis seperti yang diperlihatkan oleh anak remaja yang meniru-niru perilaku bintang film idolanya. Dalam soal perilaku kita bisa belajar dari para pemimpin terdahulu. Karena pelajaran yang sangat berharga adalah pengalaman dahulu. Jangan sampai kita melupakan jasa-jasa pemimpin seperti ungkapan “The Corner Stones Of The Building neglegted By The Builders”. Seperti yang didiskripsikan oleh Deliar Noer (dalam kata pengatar bukunya “Partai Islam Di Pentas Nasional’; setidaknya ada lima pelajaran yang bisa dipetik dari perilaku pemimpin terdahulu.

Pertama, pemimpin dahulu tampak sekali mempunyai cita-cita yang tinggi dan dalam mengenai masyarakat, bangsa, dan tanah air kita ini. Mereka bisa dikatakan senantiasa berjuang tanpa memperhatikan nasib sendiri. Dana yang tidak perlu dipertanggung jawabkan pun, seperti dana taktis yang dipercayakan kepada presiden, wakil presiden, atau perdana menteri, mereka pergunakan untuk kepentingan bersama.

Kedua, kehidupan para pemimpin dahulu pun sederhana. Dasi dan jas (yang kini disebut pakaian sipil lengkap) sudah merupakan pakaian sehari-hari dalam resepsi, pertemuan, dialog, seminar, sarasehan, juga anggota parlemen kita mempergunakannya sehari-hari. Apalagi dalam resepsi-resepsi,sampai sekitar 1980-an, kemeja batik dianggap memadai untuk mengganti jas dan dasi; kini rupanya tidak lagi. Rumah para pemimpin dahulu itu sederhana. Uang mereka bagai tidak berlebihan, sungguhpun mereka bukan miskin.

Ketiga, kesungguhan kerja birokrasi dahulu termasuk para guru, banyak sedikitnya bisa diandalkan. Perhatian guru memungkinkan terjaganya ketertiban; murid masih menghormati guru.

Keempat, partai pada umunnya juga bisa diandalkan untuk bekerja lurus. Meskipun pada tahun 1950-an itu ada juga partai yang agak main, seperti lisensi yang merka peroleh untuk usaha, kemudahanan kredit dan sebagainya, tetapi hal ini bisa dikatakan merupakan kekecualian.

Kelima, pada umumnya antara partai dan antara tokoh partai yang berlainan terjalin hubungan yang rukun. Perbedaan pendapat tidak merusak hubungan tersebut.

Mempercayakan sepenuhnya pada figur pemimpin tidak sepenuhnya salah tetapi itu tidak cukup. Perlu ada mekanisme pengawasan sehingga tercipta checks and balance. Pemimpin tidak boleh hanya mengandalkan sepenuhnya pada itikad baiknya saja. Seperti kata Nurcholish Madjid, ia harus bersedia meletakkan subtansi itikadnya itu dan perwujudannya keluar dibawah pengujian umum melalui mekanisme kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran.

Kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran itu, tidak saja diharapkan akan menghasilkan pengukuhan komitmen bersama pada suatu kebenaran atau mengembangkan dan menemukan kebenaran-kebenaran baru secara progresif tapi juga untuk secara bersama mendapatkan jalan bagi komitmen pada kebenaran itu dalam realitas lingkungan sosial dan fisik yang ada.

Kita boleh sedikit lega karena mekanisme pemilihan presiden tahun 2004 akan dipilih secara langsung oleh rakyat melalui suatu pemungutan suara. Calon Presiden yang mendapatkan suara terbanyak berhak menduduki kursi kepresidenan. Pelaksanaan pemilihan Presiden secara langsung dianggap sebagai mekanisme pemilihan yang tepat. Namun demikian, proses pemilihan semacam itu membutuhkan banyak persiapan. Saat ini sedang berlangsung persiapan tehnis pemilihan Presiden yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Syarat secara mendasar bagi suksesnya pemilihan presiden secara langsung diperlukan kesiapan pendidikan masyarakat dan dana yang sangat besar.

Pelajaran yang dipetik pada pemilihan presiden sebelumnya, rakyat tidak pernah tahu secara mendalam siapa presidennya, ibarat membeli kucing dalam karung. Kini masyarakat tidak ingin lagi pengalaman seperti sebelumnya. Sehingga diperlukan bemacam kualitas yang harus dimiliki oleh seorang kandidat presiden. Kualitas tersebut harus mengacu pada basic demand bangsa saat ini. Oleh karena itu kandidat harus bersedia “ dibongkar” dan “ditelanjangi” agar lebih objektif berkaitan dengan siapa dirinya.

Dalam masa reformasi ini, kreteria calon presiden tersebut sekali lagi harus mengacu pda kebutuhan bangsa. Kualitas negarawan harus menjadi prioritas bukan lagi kualitas politisi yang punya kepentingan kelompok. Dalam arti ia mampu melaksanakan amanat reformasi. Menurut kalangan mahasiswa ada enam agenda reformasi. Pertama, Amandemen UUD 45, kedua, penegakan supremasi hukum. Ketiga, menuntut partai-partai politik mewujudkan demokrasi yang egaliter dengan menjunjung tunggi hak-hak rakyat sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan. Keempat, memberi jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Kelima, mencabut dwifungsi TNI, dan Keenam, menghapus gagasan, cara atau pola pikir yang timbul dimasa orde baru dengan menolak segala penafsiran kekuasaan semena-mena dan cara-cara, korporatis negara harus dihapuskan.

Berdasrkan evaluasi terakhir, pelaksanaan agenda reformasi tidak maksimal pada penegakan hukum. Ini disebabkan masih kuatnya kekuatan lama yang punya kepentingan terhadap kepentingan hukum itu senduri. Dan juga pelaksana hukum belum sepenuhnya kredibel.Terbukti tidak banyak koruptor yang telah diajukan pada pengadilan. Agenda keenam punya problem tersendiri karena ini menyangkut perubahan mindset masyarakat. Karena itu dimasa depan reformasi bukan hanya berarti how to change the stucture tapi juga how to change the mind.

Arah reformasi adalah terbangunnya sistem yang handal. Taufik Abdullah, berpendapat bahwa yang harus diletakkan dalam upaya mewujudkan landasan baru bagi kehidupan bernegara secara sistemik adalah, pertama, usaha penggabaran masyarakat yang diinginkan- sebuah ideologically constructed normatif situation; sebuah freedom, keinginan yang bebas. Kedua, mendapatkan kearifan dari pengalaman sejarah yang telah dan kini sedang alami; pemahaman terhadap structural necceseties. Ketiga, perumusan visi dan agenda, dan program reformasi total dengan melihat kendala (constrain) sekaligus peluang (opportunities) yang diberikan oleh konteks struktural.

Mengikuti alur pikir Dr. Taufik Abdullah tersebut maka kita katakan bahwa pemerintah saat ini belum berhasil. Argumen yang bisa dikembangkan atas ini, pertama, usaha-usaha yang dikembangkan pemerintah bukan berdasar pada ideologically constructed normatif situation yang berjangka panjang tetapi untuk kepentingan politik pragmatis jangka pendek (short term political interst). Misalnya perumusan tentang masyarakat Indonesia dimasa depan tidak pernah di lakukan. Kedua, kebutuhan struktural difahami sebagai penguatan kekuasaan semata dan bukan mengacu pada kebutuhan bangsa. Terlihat pada banyak departemen yang dijadikan sapi perahan untuk mencari modal material dan struktural untuk pemenangan kekuasaan poltik. Dari segi visi dan misi juga tidak banyak yang bisa dijelaskan.

Merumuskan kreteria presiden sebagai pemimpin bangsa dimasa depan memang tidak mudah, karena mencakup seluruh dimensi kehidupan bangsa. Sungguhpun demikian,kreteria tersebut bukan tidak mungkin untuk dirumuskan. Anas Urbanigrum, mantan ketua umum PB. HMI dan kini sebagai anggota KPU, merumuskan lima kriteria presiden RI masa depan.

Pertama, sosok presiden dimasa depan, sudah seharusnya bukan sosok yang harus disakralkan alias dikeramatkan. Ia harus sosok yang meminjam istilah Eep Saifullah Fatah, historis, bukan mitologis. Artinya, presiden masa depan harus mampu memahami perasaan rakyat, tidak bersifat otoriter, tidak anti kritik dan senantiasa menjunjung demokrasi.

Kedua, harus memiliki integritas moral dan komitmen kebangsaan yang tinggi dan tentu saja legitimated serta kredibel dimata rakyat. Ini berkaitan dengan aspek religiusitas bangsa ini. Integritas moral bakal memiliki makna mendalam, sebab atas dasar ini seorang presiden meletakkan dasar kewibawaanya dimata Tuhan dan rakyat.

Ketiga,harus memiliki visi yang jelas, dalam konteks mampu menjawab tantangan zaman. Ia harus mampu mengatasi (menjembatani) bebagai macam perbedaan yang muncul sebagai realitas pluralisme bangsa. Visi yang dikembangkan tentu saja harus disesuaikan dengan kehendak rakyat.

Keempat, harus mampu meninggalkan gaya kepemimpinan lama yang semi otoriter, menuju gaya kepemimpinan demokratis-egaliterian. Gaya kepemimpinan lama terbukti banyak kelemahannya; misalnya, otoriter, militeristik, menjalankan demokrasi lipstik dan sebagainya.

Kelima, presiden masa depan harus memiliki kapabilitas dimata dunia internasional selain dituntut mampu menjadi lokomotif dalam penyelesaian berbagai krisis yang tengah melanda bangsa ini, ia juga dituntut mampu membangun citra positif dimata dunia internasional.

Bagi penulis apapun kriterianya , paling tidak presiden masa depan harus memiliki tiga modal dasar. Pertama, modal iman. Ia merupakan orang yang beriman pada Tuhan Yng Maha Esa. Iman ini sebagai refleksi dari aspek religiusitas masyarakat kita. Dengan iman ada kesadaran trasenden secara kontinuitas pada pemimpin sehingga melekat sikap accountability pada Tuhan. Kedua, Presiden harus memiliki modal ilmu. Ilmu disini harus mencakup pengalaman dan pengetahuan formal yang diperoleh dari pendidikan formal dengan berbagai aspeknya. Bukankah Nabi sudah menegaskan bahwa mengurus dunia dan akhirat harus dengan ilmu. Ketiga, Presiden masa depan harus bersedia beramal. Amal harus difahami sebagai wujud kongkrit pengabdian pada sesama manusia. Dengan kata lain kesalehan sosial perlu diwujudkonkritkan melalui kebijakan yang memihak rakyat kecil dan tertindas. Karena kata nabi, tidak beriman seorang manusia apabila tetangganya masih ada kelaparan. Bukankah begitu? Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP