12/28/2007

Benazir Bhutto Tewas

Ajal memang tak bisa di sangka-sangka waktunya. Kapan pun dia bisa datang. Kita tidak bisa memastikan Tempat dan waktunya. Karenanya terkenal sekali ungkapan yang mengatakan bahwa rejeki, jodoh, dan kematian merupakan rahasia Tuhan. Seperti yang dialami oleh Mantan Presiden Pakistan, ia ditembak oleh seorang tak dikenal pada saat ia kampanye menjelang pemilu Pakistan. Bersamaan dengan itu tewas pula pendukungnya sebanyak 20 orang dan 56 orang luka-luka(Kompas,28 Desember 2007). Berikut sekilas riwayat hidup Benazir Bhuto yang kutip dari kompas.

Benazir Bhutto adalah anak tertua Ali Bhutto. Ia lahir pada tanggal 21 Juni 1953 di Provinsi Sindh. Ia kuliah di Harvard, Amerika Serikat (1969-1973), dan berhasil meraih gelar BA di bidang politik. Tahun 1973-1977, ia kuliah filsafat, politik, dan ekonomi di Oxford, Inggris. Setelah menyelesaikan kuliahnya tahun 1977, Bhutto kembali ke Pakistan.

Namun, sekembalinya dari Inggris, Bhutto segera terseret dalam pusaran pertarungan politik ketika itu. Ayahnya dikudeta oleh militer pimpinan Zia ul-Haq, kemudian digantung. Bhutto dan ibunya juga dikenai tahanan rumah hingga eksekusi terhadap Ali Bhutto dilakukan. Selanjutnya, Bhutto diizinkan kembali ke Inggris tahun 1984.

Periode inilah yang sangat menentukan perubahan dalam hidup Bhutto selanjutnya. Bhutto yang awalnya enggan terjun ke dunia politik akhirnya menceburkan diri juga ke dunia itu dengan masuk ke Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dipimpin ayahnya. Dia menjadi seorang pemimpin PPP di pengasingan.

Sejak saat itulah kehidupan Bhutto diwarnai berbagai pertarungan politik yang baru berakhir setelah nyawanya melayang, Kamis.

Menjabat PM

Setelah kematian Zia ul-Haq, Bhutto baru bisa kembali ke Pakistan. Dia segera menggantikan posisi ibunya sebagai pemimpin PPP.

Tahun 1988, PPP memenangi pemilu terbuka pertama di Pakistan. Kemenangan PPP membawa Bhutto sebagai perdana menteri perempuan pertama Pakistan. Ketika terpilih, usianya baru 35 tahun sehingga dia tercatat sebagai politisi paling muda yang memimpin Pakistan.

Hanya dua tahun menduduki kursi PM, Bhutto disingkirkan pada tahun 1990 dengan tuduhan korupsi. Namun, dia tidak pernah diadili. Setelah Bhutto tersingkir, kekuasaan PM jatuh ke tangan Nawaz Sharif, "anak didik" Zia ul-Haq.

Bhutto kembali merebut kekuasaan tahun 1993 setelah Sharif dipaksa mengundurkan diri. Seperti sebelumnya, Bhutto tidak berhasil mempertahankan kekuasaannya. Tahun 1996, Presiden Farooq Leghari membubarkan pemerintahan Bhutto menyusul beberapa skandal korupsi. Jabatan PM kemudian kembali ke tangan Sharif.

Tahun 1999, Bhutto kembali tersandung skandal korupsi. Kali ini dia dan suaminya, Asif Ali Zardari, dihukum lima tahun penjara dan didenda 8,6 juta dollar AS karena dituduh menerima imbalan dari sebuah perusahaan Swiss yang dibayar untuk memerangi penggelapan pajak. Namun, hukuman itu dibatalkan pengadilan tinggi karena dianggap bias.

Bhutto yang mengangkat suaminya sebagai menteri investasi selama masa pemerintahannya tahun 1993-1996 sedang berada di luar negeri ketika vonis dijatuhkan. Dia memilih tidak kembali ke Pakistan dan hidup di pengasingan.

Meski didera berbagai kasus, sepak terjang politik Bhutto tetap berjalan. Partainya pun tetap mendapatkan dukungan ketika mengikuti pemilu tahun 2002. PPP berhasil mendapatkan suara terbanyak, yakni 28,42 persen dan 80 kursi di majelis nasional. Partai Sharif hanya memperoleh 18 kursi.

Sebagian kandidat PPP yang terpilih kemudian membentuk faksi sendiri dan bergabung dalam pemerintahan yang dipimpin partai Jenderal Pervez Musharraf.

Untuk merintangi jalan Bhutto ke kursi kekuasaan untuk ketiga kalinya, Musharraf mengamandemen konstitusi yang melarang perdana menteri menjabat lebih dari dua kali. Dengan demikian, tertutup sudah kesempatan bagi Bhutto untuk berkuasa lagi.

Bhutto tidak menyerah. Ketika popularitas Musharraf mulai redup tahun 2006, Bhutto melancarkan serangan balik. Dia bergabung dengan Aliansi untuk Pemulihan Demokrasi bersama rival lamanya, Sharif. Melalui aliansi ini, kelompok oposisi bertekad menggulingkan Musharraf dari kursi kekuasaan.

Belakangan, Bhutto diketahui mengadakan pertemuan dengan Musharraf untuk tawar-menawar pembagian kekuasaan pada Juni 2007. Tindakan Bhutto itu membuat marah anggota aliansi lainnya. Bhutto juga berbeda pendapat dengan anggota aliansi yang ingin memboikot pemilu. Bagi Bhutto, memboikot pemilu sama saja dengan membiarkan kubu Musharraf melenggang sendirian ke kursi kekuasaan.

Karena perbedaan inilah aliansi tersebut pecah. Mereka kemudian berpisah dan sepakat untuk mengambil jalan politik sendiri-sendiri. Tanggal 19 Oktober 2007, Bhutto pulang ke Karachi setelah delapan tahun hidup di pengasingan. Kepulangannya disambut bom bunuh diri yang menewaskan 139 orang. Bhutto selamat.

Hidupnya yang penuh dengan pertarungan itu berakhir Kamis lalu akibat serangan bom. Selamat jalan, Bhutto!

Read More..

12/26/2007

Ondel_Ondel Dan Orang Jepang

Waktu menunjukkan pukul 23.15 saat saya masih asyik browsing di sebuah warnet di Jalan Diponegoro Palu, Sulawesi Tengah. Warnet pada malam itu sepi, hanya ada dua orang pengunjung beserta satu operator. Tiba-tiba operator warnet teriak, pencuri, pencuri! Teriakannya keras sekali hingga mengagetkan saya. Kami kemudian keluar secara bersama mau melihat apa yang terjadi. Rupanya ada orang yang dengan cepat meyambar helm yang diletakkan di atas sepeda motor. Orang itu tidak sempat kami kejar lagi hingga dia menghilang dalam dalam gelapnya jalan diponegoro.


Helm milik operator warnet itu bukanlah barang yang berharga. Barangnya sudah usang karena sudah lama dipakai. Bagian luarnya sudah terkelupas, sedang bagian dalamnya sudah bau he he he he. Warnanya pun sudah pudar. Namun demikian, masih tetap bisa dipakai oleh pemiliknya. Kalau mau beli yang baru harganya kira-kira seratus limapulh ribu saja.Karena itu pemiknya pun tidak mempersoalkan helm itu. Katanya, halalkan saja. Mungkin saja dia lagi butuh sekali.
Saya kemudian merenung, apa memang karena dia butuh sekali atau memang ini adalah bentuk kenakalan anak muda pada malam hari? Oh yah, saya lupa. Orang yangmengambil itu memang sempat kami identifikasi sebagai anak muda.


Kejadian ini adalah peristiwa yang biasa saja yang terjadi setiap saat. Jangankan helm, pencurian kendaran (mewah) setiap hari terjadi Indonesia. Bahkan penculikan anak-anak sering sekali terjadi. Pihak keamanan sebenarnya sudah sering menangkap pelakunya dan di masukkan dalam penjara. Hingga kemudian dilepas dan mengulangi aksinya lagi.


Tetapi yang ditangkap oleh pihak keamanan juga masih banyak. Bahkan ada yang sudah dimasukkan dalam penjara tapi kemudian kabur dari penjara. Ini khusus bagi terhukum yang punya banyak uang. Kalau kasus seperti pencuri helm tadi pasti tidak bisa lolos. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apa sedemikian rapuhnya penjagaan penjara kita?


Bagi saya bukan tembok penjara yang rapuh hingga mudah dibobol tapi bangunan prilaku sebagian penegak hukum kita yang sangat mudah ditembus dengan iming-iming materi.
Kembali pada pencurian helm tadi. Saya pernah mendengar cerita dari seorang teman yang kebetulan pernah ke Jepang. Katanya, di Jepang kalau ada barang kita yangtertinggal di tempat umum, taksi, hotel atau taman pasti dengan mudah bisa ditemukan kembali. Kenapa rakyat kita tidak bisa berprilaku tertib seperti itu?


Menurut teman saya ada sebabnya. Teman saya bilang, dia pernah mengajak orang Jepang pergi ke sawah. Konon, orang Jepang tadi heran melihat ondel-ondel yang meyerupai manusia banyak diletakkan di sawah.Lalu, orang jepang tadi bertanya, untuk apa ondel-ondel itu? Teman saya jawab, untuk mengusir burung. Kata orang Jepang itu, pantas saja orang Indonesia tidak maju-maju karena jangankan manusia burung pun mau ditipu…ha ha ha ha….

Read More..

SMS dari Teman

Pagi ini saya mendapat sms dari teman. Dia bilang begini," kasihan negeriku ini sudah mulai dipenuhi oleh pemuda yang tidak lagi mampu menghargai dirinya sendiri. Bagaimana pendapat anda tentang pemuda negeri ini?". Terus terang saya tidak mengerti kalimatnya ....tidak lagi mampu menghargai dirinya sendiri. Karenanya saya belum menjawab sms tersebut. Tetapi kalimat pertanyaannya bagaimana pendapat anda tentang pemuda negeri ini, mungkin saya bisa berikan komentar sekedarnya.


Begini, pada sekitar bulan oktober-november 2007 lalu ramai diberitakan tentang wacana kepemimpinan pemuda. Hal ini dipicu dari peringatan 79 tahun sumpah pemuda. Memang pada peringatan tersebut mengambil tema, "saatnya kaum muda memimpin". Seterusnya ada pernyataan Ikrar Kaum Muda Indonesia. Penggalan pernyataan itu demikian,


"Reformasi politik 1998 yang mengganti kediktatoran Soeharto sempat memberi janji bahwa perubahan akan segera datang. Presiden demi presiden berganti, kabinet dibongkar-pasang namun keadaan tidak beranjak membaik. Justru krisis semakin membelit: kemiskinan dan pengangguran merajalela, komunalisme bangkit, kebencian etnik dan agama dikobarkan, di pusat dan daerah orang memperebutkan lembaga negara dan menjadikannya sumber akumulasi kekayaan. Korupsi memporak-poranda tatanan politik, tidak ada lagi adab dan nilai. Indonesia terancam hilang dari pergaulan dunia.


Dalam keadaan ini kaum muda kembali terpanggil untuk bangkit. Republik ini berdiri untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Inilah arah dan jalan keluar dari krisis kita sekarang. Dan menjadi tugas sejarah kaum muda untuk mewujudkannya.


Di dunia kini bergema slogan kekuasaan lama: sejarah sudah berakhir. Kaum muda Indonesia menolak jalan buntu ini. Zaman ini bukan akhir dari sejarah, tapi awal dari sejarah baru. Saatnya kaum muda dengan visi pembaruan berhimpun dalam pergerakan menghapus penjajahan dan menegakkan negara kesejahteraan.

Saatnya kaum muda memimpin! "


Membaca bagian pernyataan itu sesungguhnya menyiratkan kegelisahan yang mendalam dari kaum muda. Betapa tidak setelah rezim berganti-ganti ternyata harapan para pemuda untuk menikmati hasil perjuangan reformasi 1998 dengan kondisi lebih baik belum tercapai. Kekuasaan yang diberikan pada pemimpin orang tua tidak memberikan perubahan yang signifikan pada bangsa ini. Kesejahteraan rakyat belum beranjak jauh dan kepastian tentang masa depan yang lebih baik pada berada pada level yang minim.


Saat ini jika dipandang dari sudut kemudaan biologis maka pemimpin generasi muda itu sesungguhnya sangat banyak tersebar pada berbagai level eksekutif dan legislatif,terkecuali Presiden yang memang sudah tidak termasuk muda lagi. Lantas,kenapa para pemimpin bangsa yang dikatakan para pemuda itu tidak berhasil menjalankan amanat yang dipercayakan rakyat padanya?


Jawabanya sangat luas. Tetapi ada jawaban alternatif yang bisa diberikan. Mungkin kita, rakyat Indonesia, kaum muda, salah alamat dalam pemberiaan mandat tersebut. Seharusnya kita sebagai orang muda juga harus memberikan kepada kaum muda juga. Muda disini harusnya tidak dipandang dari aspek biologis saja yang berkenaan dengan umur dan gejala fisik lainnya. Muda harus dipandang juga dari segi visi, komitmen, moral. Jika pemuda pada saatnya nanti memegang tampuk kepemimpinan maka yang diperlukan adalah mempemuda juga visi, komitmen dan moralnya. Harus ditinggalkan prilaku para pemimpin tua yang korup, abai terhadap rakyat, tidak bersemanagat pembaharuan dan seterusnya.


Melihat "ambisi" kaum muda untuk memimpin maka kita boleh optimis bahwa masa depan bangsa akan lebih baik. Artinya kaum muda masih peduli pada negerinya yang sedang dalam keperpurukan. Kesempatan untuk jadi pemimpin sesungguhnya sudah terbuka lebar melalui jalur kepartaian dan Independen. Bersama kita mengingat bahwa kita, kaum muda, harus berjuang, tidak menunggu kebaikan hati para pemimpin tua dan menjaga agar visi, misi agar tetap muda.Wallahu A'lam.

Read More..

Menyambut 2008

Tahun baru 2008. Adakah yang baru? Tentu semua orang mengharapkan kondisi lebih baik dari kondisi tahun 2007. Pengusaha mengharapkan usahanya semakin untung. Petani mengharapkan semakin baik hasil panennya sehingga kesejaheteraanya lebih meningkat. Pengangguran mengharap mendapat pekerjaan dan buruh mengharapkan tidak terjadi PHK dan seterusnya.


Apa yang dicapai selama tahun 2007? Hal yang dicapai tentu bisa dibuat daftarnya dan hal-hal yang kurang pun dapat kita susun tabelnya. Semua itu merupakan hasil kerja warga bangsa. Tidak boleh ada yang mengatakan bahwa hasil yang demikian ini hanya merupakan hasil kerja pemerintah yang berkuasa saat ini. Semua warga negara pasti memberikan kontribusi terhadap apa yang dicapai selama ini yang tentu berdasarkan besarnya tanggungjawab sebagai implementasi hak dan kewajibannya masing-masing.


Justru karena tanggungjawab maka kita sebagai masyarakat dan warga negara wajib protes atau kritik pada pemerintah yang merupakan representasi negara. Karena negara adalah penanggungjawab penuh dalam memberikan kenyamanan, keamanan, kesejahteraan terhadap warganya. Dengan demikian para rakyat yang merupakan asuhan negara harus terus-menerus mempertanyakan kepada pemerintah bila ada hal yang dianggap belum secara optimal dijalankan.


Berkaitan dengan itu, maka kita boleh mempertanyakan apakah kondisi rakyat saat ini lebih baik dari tahun lalu misalnya? Jawabannya bisa beragam. Tergantung dari persefektif masing. Jika kita menanyakan pada para politisi yang merupakan "lawan" pemerintah sekarang pasti jawabannya selalu negatif. Tetapi jika kita menanyakan pada pemerintah justru hari ini atau tahun ini justru lebih baik. Mengapa bisa berbeda padahal baik yang baik pro maupun yang kontra sama-sama merasakan kondisi yang dialami saat ini? Disamping karena perbedaan persefektif tadi, juga karena adanya perbedaan kepentingan. Yang berkuasa kepentingannya adalah mempertahankan kekuasaan dan yang belum berkuasa tentu ingin berkuasa. Maka wajar saja kalau yang dibangun pemerintah adalah membuat citra positif bagi pemerintahannya.Sebaliknya bagi yang belum berkuasa juga mencitrakan dirinya sedemikian rupa agar melekat citra positif sehingga masyarakat kemudian memilih dia.


Dengan demikian kondisi politik 2008 pasti akan lebih seru karena ada agenda politik besar pada tahun 2009 yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden. Bila tahun 2007 masih ada yang belum tampak maka tahun 2008 semua akan segera tampak. Perang citra, wacana, strategi untuk merebut hati rakyat semakin gencar. Dalam suasana yang serba politis ini, bagaimanakah rakyat memposisikan diri? Ikut melibatkan diri atau hanya sekedar menjadi penonton para politisi yang sedang bertarung sambil menertawakannya? Saya memilih keduanya. Arinya dalam keseriusan berpolitik kita tetap menyisakan tawa dan canda karena jika tidak kita akan terlibat konflik destruktif yang yang hanya menghasilkan zero zum game dalam political game itu.Wallahu A'lam

Read More..

12/25/2007

Pengamanan Natal di Sulteng Berlebihan

Palu (ANTARA News) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sulawesi Tengah (Sulteng), Salehuddin Awal, menilai peningkatan pengamanan Natal yang demonstratif di provinsi itu oleh aparat kepolisian setempat sangat berlebihan.


"Pengamanan terbuka dengan persenjataan lengkap yang mencolok di rumah-rumah ibadah umat Kristiani itu, justru menimbulkan kesan bahwa situasi di daerah ini dalam keadaan tidak aman," katanya kepada pers di Palu, Senin.

Menurut dia, kondisi demikian ini juga dapat menimbulkan antipati dan melahirkan disharmonisasi kerukunan hidup beragama, karena adanya "perlakuan lebih" dalam pengamanan perayaan hari besar umat Kristiani.

Selain itu, lanjut dia, pola pengamanan demonstratif yang terpublikasi media akan memberi penilaian bagi masyarakat di luar negeri bahwa kebebasan beragama di Indonesia belum terjamin.

Menurut mantan Ketua Umum HMI Cabang Palu tersebut, sudah menjadi kewajiban polisi melindungi masyarakat dari segala ancaman, termasuk terorisme. Akan tetapi, pola pengamanan yang diterapkan jangan sampai justru meningkatkan ancaman karena pilihan metode yang kurang tepat.

"Apalagi jika pola yang dipilih justru melahirkan ketakutan massal," tuturnya, dan menambahkan deteksi dini melalui informasi intelijen, pengamanan tertutup, dan pelibatan masyarakat dalam mengamankan lingkungan seharusnya yang dijadikan pilihan lembaga negara dalam mengamankan hari-hari besar keagamaan atau hari akbar lainnya.

Dalam mengamankan hari raya Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru kali ini, jajaran Polda Sulteng mengerahkan sekitar 5.000 personel, dengan memprioritaskan pengamanan di rumah-rumah ibadah dan tempat keramaian umum.

Pelibatan personel ini belum termasuk dari kesatuan TNI, Satpol PP, organisasi sosial-kemasyarakatan, serta satuan tugas internal.

Tapi, lain halnya dengan pendapat Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sulteng, Syamsuddin Pay. Menurut dia, mobilisasi aparat keamanan dalam jumlah besar untuk mengamankan Natal di daerahnya kali ini sesuatu tindakan yang wajar dan sudah merupakan tugas negara dalam melindungi setiap penduduknya melaksanakan ibadah tanpa ada rasa ketakutan.

"Dari kacamata keamanan, saya menilai bahwa pihak intelijen memiliki alasan yang cukup sehingga diberlakukan pengamanan yang ketat," tuturnya.(*)

Read More..

12/19/2007

Yang Tersisa dari Musda KNPI

Ketua KNPI Sulawesi Tengah pengganti Hardy Yambas telah terpilih. Setumpuk dokumen produk Musda juga telah dirumuskan. Setumpuk harapan pada pemimpin baru telah terpatrikan. Kini kita menanti kerja-kerja KNPI dibawah kepemimpinan Idhamsyah Tompo yang murah senyum itu. Namun sebelum terlalu jauh dan agar kita tidak berjalan pada jalur yang salah maka ada baiknya kita merenungi diri kita sendiri sebagai kaum muda. Ini penting kita maknai karena saya takut jangan-jangan hakekat diri kita sendiri itu tidak dimengerti dengan baik. Dengan mengerti dengan baik hakekat diri kita - kaum muda -maka kita boleh berharap akan terjadi perubahan dalam cara pandang ber-KNPI dan ber-OKP.


Dalam Kolomnya di harian Kompas, Indra Piliang menulis, kaum atau perkauman adalah sekumpulan komunitas yang memiliki karakter yang berbeda dengan komunitas yang lain. Ia tidak pernah sama, apalagi serupa, karena latar budayanya memang berbeda, dibentuk oleh pahatan sejarah yang berlainan dan kosmologi pikiran inkoheren. Muda ada pada batasan usia atau spirit yang menonjolkan sikap anti-status quo, kontra-kemapanan dan nihil-kemanjaan.


Selanjutnya a mengatakan, kaum muda adalah sekumpulan orang yang membentuk komunitas entah epistemis, ideologis, atau hanya sekadar calo-calo kekuasaan—yang mempunyai kosmologi pikiran yang berbeda dengan kaum tua. Sebagai pergerakan, kaum muda tidak menyukai patung-patung pahlawan yang didatangi oleh para penguasa dalam hening upacara bendera selama lima menit.


Kaum muda yang bergerak juga menantang doktrin-doktrin yang dianggap sebagai kesesatan pikiran, terutama yang diproduksi oleh negara. Dari sini, sebetulnya, kaum muda memiliki musuh yang jelas, yakni negara yang serakah, kepemimpinan absolut, dan pengabaian atas ilmu pengetahuan.


Dan, semakin jelas bahwa kaum muda itu bukanlah orang-orang yang berubah menjadi para pencinta jalan-jalan kenabian sehingga rela diludahi atau dicambuk oleh para pemilik kekuasaan. Kaum muda, karena ia bergerak, adalah orang-orang yang terpukau pada kehidupan. Dengan bentangan usia yang masih lama lagi menghirup udara, dibandingkan dengan kaum tua sesuai dengan tuntutan alamiah, kaum muda memilih jalan kehidupan dan barangkali sebagian (besar) mencintai kehidupan itu sendiri.

Atas dasar itu saya menjadi risau dengan para pemuda yang bermusda beberapa hari yang lalu itu. Saya tidak menemukan pemuda dalam bayangan Indra Piliang diatas itu. Yang ada pemuda yang hanya membeo pada sebuah alur yang direkayasa. Saya mengamati pemberitaan tentang KNPI yang baru-baru ini melaksanakan musyawarah daerah. Hingar-bingar pemberitaan tentang KNPI tersebut hampir-hampir tidak ada suara kritis dari kalangan mahasiswa dan pemuda. Kalaupun ada suara kritis namun tidak setajam seperti pada priode-priode sebelumnya. Media massa pun seakan tidak pernah meminta pendapat pada tokoh-tokoh akademisi maupun aktivitis kritis tentang KNPI saat ini.

Padahal sebelum ini suara-suara kritis tentang KNPI sangat dominan. Bahkan suara yang bernada negatif itu justru lebih banyak dalam membentuk opini di media massa. Apakah dengan kenyataan ini KNPI betul-betul telah membentuk citra baru dan sudah meninggalkan citra lama yang negatif itu? Apakah dengan demikian KNPI memang sudah dapat diandalkan bagi perkaderan kepemimpinan kaum muda saat ini? Benarkah KNPI hari ini sudah berada pada track yang benar dalam peta gerakan pemuda? Atau justru ini hanya fenomena dipermukaan saja yang belum tentu baik secara kedalam?

Dipandang dari segi pencitraan KNPI Sulawesi Tengah dibawah kepemimpinan Hardy D. Yambas memang berhasil. Keberhasilannya dalam arti bahwa KNPI pada priode kepemimpinanya telah membetuk opini positif dikalangan kepemudaan khususnya OKP. Terbukti hampir tidak ada suara-suara kritis pada saat laporan pertanggungjawaban dalam Musda. Semuanya menerima laporan pertanggungjawaban itu dengan baik. Bahkan dia begitu superior dan percaya diri dalam menyampaikan Laporan pertanggungjawaban tersebut.

Dalam pandangan lain bisa juga tidak adanya pandangan kritis itu lebih disebabkan oleh ketidakmampuan para pemuda dan mahasiswa dalam memberikan persefektif kritis sehingga tidak dapat memberikan pandangan secara dalam dan lugas. Asumsi ini bisa jadi disebabkan oleh para pengurus OKP tidak memiliki horison pandangan yang luas tentang dimensi-dimensi organisasi kepemudaan ini. Bisa juga karena semua sudah menganggap apa yang dicapai hari ini sudah sedemikian sempurna.

Hal ini karena banyak OKP yang memang tidak mempunyai visi kepemudaan lagi akibat tidak adanya regenerasi ditubuhnya sendiri. Mereka mengklaim diri sebagai OKP tapi sesunggunya semangat yang dikandungnya justru sudah ketuaan. Oleh karena itu OKP tidak mampu memberikan suara kritisnya karena bagaimana mau kritis kalau dalam dirinya sendirinya juga terkandung keburukan-keburukan yang sama. Bahkan banyak OKP yang sangat tergantung pada KNPI dari segi politis dan fasilitas.

Dalam pandangan saya, jika kita menginginkan KNPI sebagai lembaga yang kredibel untuk melahirkan pemimpin pemuda maka dialektika kualitatif antara KNPI dan OKP harus menjadi keniscayaan. Dengan status sebagai lembaga berhimpun OKP maka yang diperlukan adalah dialog kritis, sejajar, egaliter sehingga posisi OKP tidak menjadi lembaga yang “didikte” oleh KNPI. Lahirnya kader yang berkualitas hanya dimungkinkan oleh banyaknya pengalaman dalam beraktivitas, menyentuh persoalan-persoalan riil kemasyarakatan dan disamping itu memperkuat basis intelektual yang menjadi paradigma berfikir. Hal ini dimungkinkan jika antara KNPI dan OKP saling take and give pada aras keberhimpunan. OKP harus meninggalkan paradigma keberhimpunan yang pasif seperti pada zaman ordebaru (korporatisme negara) menjadi keberhimpunan yang dinamis progresif

Read More..

6/17/2007

Buku Baru


"Desentralisasi kini telah menjadi pilihan politik yang tak mungkin lagi dibatalkan. Hal ini bukan karena sentralisasi te;ah menorehkan kegagalan, namun karena desentralisasi atau konsep self governing merupakan hukum alam yang tak mungkin di tolak. Maka tak mengherankan jika kini desentralisasi menjadi isu krusial yang menyita perhatian- seperti yang dilakukan penulis buku ini.

Berbagai peristiwa penting yang terjadi pasca-desentralisasi diterapkan, dipotret nyaris tanpa ada yang terlewatkan. Buku ini berhasil memotret persoalan kepemimpinan daerah, pilkada, pelayananpublik, pelaksanaan otonmi daerah di berbagai daerah, dengan kacamata seorang pengamat dan peneliti yang meyaksikan dari jarak dekat. Dengan kata lain, buku ini ditulis bukan dari menara gading yang jauh dari hiruk-pikuk dan pahit-getir implementasi otonomi daerah. Dengan cara itu, maka analisis dan solusi yang ditawarkan buku ini akan tampak lebih mudah diwujudkan".

Demikian menurut M. Ikhsan loulemba, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Sulawesi Tengah" dalam kata pengatar buku ini. Buku ini berjudul "Dinamika Kebijakan Publik, Potret Pemerintahan di era Otonomi daerah" merupakan karangan dari saya dan seorang teman, M. Amir Arham. Diterbitkan oleh Pustaka Indonesia Press Jakarta pada Maret 2007.

Read More..

3/14/2007

Efektivitas Tobat Nasional

Bencana yang terjadi secara beruntun menimpa Indonesia menyadarkan para pemimpinnya untuk melakukan tobat bersama. Itulah yang kemudian dilakukan oleh Presiden SBY dan Wapres Yusuf Kalla bersama jajaran mentri beberapa hari yang lalu di Masjid Istiqlal Jakarta.. Bahkan tobat ini diserukan oleh Mentri Agama untuk dilakukan di seluruh Indonesia yang difasilitasi oleh jajaran Departemen Agama.
Apa sebenarnya Tobat itu?Tobat biasanya dilakukan oleh manusia tatkala menyadari prilakunya yang banyak salah dan dosa di masa lalu. Karena itu pada umunya tobat dilukukan setelah sebuah peristiwa terjadi. Namun demikian orientasi tobat haruslah masa depan yang berarti tidak lagi melakukan kesalahan yang sama pada masa yang akan datang.
Menurut Ignas Kleden (Kompas, 13 Maret 2007), apabila seseorang melakukan kesalahan, dan kesalahan itu cukup besar, maka dalam kesadaran orang bersangkutan muncul sekurangnya tiga reaksi kejiwaan terhadap perbuatannya. Pada tingkat pertama, orang itu akan merasa kocar-kacir batinnya, kehilangan keseimbangan, dan menderita disharmoni yang membuat dia merasa hidupnya sia-sia. Pada tahap berikut, disharmoni itu akan membawa orang kepada sesal, yaitu semacam harapan bahwa apa yang sudah terjadi hendaknya tidak terjadi, dan jangan terjadi. Meski demikian, tulis Ignas Kleden, sebagai perilaku, sesal masih berorientasi ke masa lampau, yaitu ke kejahatan atau kesalahan yang telah dilakukan, yang diharapkan jangan terjadi (meski sudah terjadi).
Mungkin karena banyaknya dosa dan kesalahan itulah sehingga Indonesia kian terpuruk saat ini. Sebuah fakta menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang dalam posisi yang kian menderita akibat bencana yang terjadi secara beruntun tersebut. Tak heran seorang novelis bernama Andre Vitchek yang dikutip oleh Azyumardy Azra menulis, Indonesia kini sudah menggantikan Banglades dan India sebagai negara yang paling rentan di dunia dalam hal bencana alam yang memakan begitu banyak korban manusia. Menurut dia, Indonesia kini menjadi "ladang pembantaian massal" karena sejak bencana tsunami di Aceh pada Desember 2004, Indonesia telah kehilangan lebih dari 200.000 warganya dalam berbagai bencana alam; angka ini belum termasuk mereka yang tewas di jalan raya dan konflik komunal, seperti di Poso. Dengan angka sebesar itu, korban bencana di Indonesia dalam waktu tiga tahun terakhir lebih banyak daripada mereka yang tewas selama Perang Irak, atau perang saudara di Sri Lanka, atau di Peru. (Kompas, 13 Maret 2007).
Kita mengerti bahwa bencana ada yang disebabkan oleh alam akibat dari kesalahan amanusia juga dan ada bencana yang disebabkan oleh murni kesalahan manusia. Tsunami Aceh adalah bencana disebabkan alam yang tidak mungkin dicegah, tetapi masyarakat yang menjadi korbannya misalnya belum mendapatkan rumah tempat tinggal adalah bencana yang disebabkan manusia. Begitupun pesawat yang jatuh karena faktor alam juga tidak mungkin dicegah, tetapi pesawat jatuh karena tidak mematuhi aturan-aturan penerbangan adalah bencana yang bisa dicegah , dll. Ringkasnya bencana dapat terjadi karena faktor alam dan faktor kesalahan tekhnis manusia.
Disinilah menariknya. Alih-laih tuntas menyelesaikan menemukan penyebab hingga solusi teknis, rentetan bencana tersebut hendak dicari penyelesaiannya secara ekstalogis dengan melakukan pertobatan. Pertanyaannya adalah seberapa efektifkah cara tersebut untuk mengurangi bahkan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di masa depan terutama bagi para elite pembuat kebijakan publik? Bagi Azyumardi Azra hal itu tidak terlalu efektif karena ritual semacam tobat nasional, Istighosa, Zikir massal, ruwatan hanya dapat mendatangkan ketenangan psikologis sesaat; karena agama tidaklah memberikan solusi instan terhadap berbagai masalah yang secara aktual dihadapi manusia. Menurutnya yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan asa yang tidak ilusif dengan upaya dan ikhtiar yang terencana, dan terpadu, yang dijalankan dalam semangat dan etik disiplin nasional baik oleh pemimpin, masyarakat, maupun individu. Pihak paling bertanggung jawab dalam hal ini tentu saja adalah pemerintah yang berkewajiban melindungi warga negara untuk tidak terus menjadi korban bencana yang semestinya bisa dihindari atau dikurangi, jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Karena itu, sudah saatnya elite pemerintah dan politik meninggalkan retorika politik yang penuh basa-basi, dan sebaliknya mengambil langkah dan kebijakan lebih desisif dan afirmatif.
Justru disitulah masalahnya, elite pemerintah dan politik kurang serius untuk mengambil tindakan-tindakan yang kongkret dalam usaha perbaikan kualitas kinerjanya. Lihatlah misalnya kinerja birokrasi. Bila diadakan pengamatan secara sederhana pun pasti ditemukan setumpuk bukti empiris tentang minimnya pelayanan birokraksi kita. Hal-hal yang seharusnya dapat diselesaikan satu hari menjadi berhari-hari karena kebanyakan birokrasi kita tidak disiplin dalam menjalankan tugas. Dapat dipastikan juga bahwa bagi orang yang pernah berurusan dengan birokrasi pasti pernah mengalami hal-hal yang tidak efisien. Keadaan ini merata disemua pelayanan publik. Pada perusahaan milik negara pun ditemukan hal yang sama. Sekedar menyebutkan beberapa contoh, Bulog tidak mampu menurunkan atau menstabilkan harga beras. Bahkan harga beras semakin melambung walaupun opersi pasar telah gencar dilakukan. Banyak rakyat kemudian kelaparan akibat tidak mampu membeli beras. PLN tidak mampu menyediakan listrik secara memadai karena diduga para pejabatnya banyak korupsi. Perusahaan penerbangan ditemukan berbagai kelemahan yang disebabkan oleh berbagai faktor, sehingga Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sudah memvonis bahwa tidak aman untuk bepergian dengan pesawat udara di Indonesia.
Dengan demikian maka pertobatan secara ekskatologis tersebut harus disertai dengan pertobatan secara politik. Salah satu wujudnya adalah para pejabat yang bertanggung jawab atas berbagai musibah yang disebabkan oleh kesalahan kebijakan hendaknya mengundurkan diri secara sukarela. Jika pertobatan kolektif dapat dimaknai sebagai pengungkapan secara jujur adanya kesalahan maka penguduran diri sebenarnya merupakan keniscayaan. Pengunduran diri adalah bentuk tobat yang paling kongkrit akibat terjadinya kesalahan. Dengan mengundurkan diri dari suatu jabatan maka tidak peluang lagi untuk melakukan kesalahan yang sama dikemudian hari.Dengan kata lain mengundurkan diri adalah cara untuk menghindari kesalahan serupa pada orang sama. Kebijakan pastilah beroientasi pada keselamatan manusia dan alam., yang berarti kesalahan kebijakan adalah dosa kemanusiaan sekaligus juga dosa kosmis. Mengundurkan diri secara gentel dapat dipandang sebagai sarana menghindari dari dosa dan kesalahan yang sama pada publik. Ini semata agar hukuman atau bencana kemanusiaan akibat dari kesalahan kebijakan dapat diminimalkan. Wallahu A’lam.

Read More..

2/11/2007

Konflik Sebagai Hambatan Demokrasi

Perubahan politik di Indonesia tidak berlari di jalan tol demokrasi yang mulus. Disana-sini terdapat lubang-lubang demokrasi yang setiap saat mobil bangsa Indonesia terperosok ke dalamnya. Salah satu adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah bahwa demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun dinegara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratis. Buktinya di sebagian negara barat, tingkat kepercayaan pada para politisi merosot selama beberapa tahun terakhir.Antony Giddens memberikan contoh Amerika Serikat dimana partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya lebih sedikit.


Tingkat kepercayaan pada para politisi di Indonesia sudah lama dipertanyakan masyarakat. Ekpresi rakyat dalam bentuk berbagai protes, demonstrasi maupun yang bersifat ilmiah tidak-hentinya ditujukan kepada para politisi. Terakhir masalah yang menuai protes yang keras adalah keluarnya PP 37 yang menurut sebagian besar masyarakat mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpantasan. Dan terbukti memang PP tersebut direvisi kembali oleh pemerintah.

Di Indonesia paradoks demokrasi juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi sebagian kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh rakyat. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada. Inilah yang akhirnya yang tidak jarang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat.

Dalam pengamatan David Bloomfield dan Ben Reilly, dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.

Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan agama, ras, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana mialnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.

Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik pastilah timbul ketidaktaturan politik dan sosial. Oleh karena itu mudah kita memahami bahwa demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.

Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh masyarakat kita. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat. Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik. Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi politik merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabitas dan keberlangsungan demokrasi. Pemahaman yang baik mengenai institusi politik juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.

Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat-masyarakat yang terpecah-belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (agama, suku, budaya, keyakinan, ideologi, dll), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan. Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi politik yang melindungi hak-hak individual dan kelompok, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi.

Justru karena itu, barrier Indonesia menuju bangsa demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan baik pada domain struktural maupun struktural. Masalahnya adalah bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan langkah-langkah nyata dalam menangani daerah-daerah yang dilanda konflik. Konflik Aceh praktis telah selesai. Poso, Ambon, Sambas juga praktis telah berhasil menghentikan konflik komunal. Namun model antisipasi konflik yang mungkin terjadi sebagai blue print pembangunan nasional belum ada konsep secara konprehensip dan integratif. Pada hal pencegahan secara dini mutlak diperlukan sebagai cara yang paling efektif untuk tidak berkonflik. Penanganan pasca konflik juga masih dirasakan realisasinya belum optimal. Inilah yang menyebabkan bila terjadi konflik komunal yang bersifat mengakar sulit untuk dihentikan secara cepat.

Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efekftif dalam dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi.

Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan ekonomi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan lingkungan. Bila kita melihat sebab-sebab konflik di Indonesia memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen agama, keyakinan, suku,dan ras.

Read More..

2/01/2007

Menuju Indonesia Yang Bebas Dari Negativitas

Sebuah modal sosial yang harus kita syukuri sebagai bangsa adalah Indonesia dalam tahap pertumbuhan dan perkembangannya saat ini telah sukses menjadi sebuah bangsa yang dapat dikenali secara khas Indonesia. Walaupun demikian, melalui sebuah garis kontinum sejarah, bangsa Indonesia tetap dikatakan sebagai bangsa yang terus berproses dalam penjadian diri ( a nation in making). Karena itu dalam prosesnya kemudian terdapat berbagai konsekuensi sejarah lalu yang jauh, masa kini dan masa depan selalu menyertainya. Sejarah tidak mengikuti garis linier tetapi ia bergerak dalam fluktuasi yang beraturan.


Indonesia yang dijumpai saat ini adalah hasil olahan sejarah dengan segala dinamika perkembangannya sendiri. Bila kita menginginkan Indonesia dalam performa terbaiknya maka kita harus mengenali kekuatan, hambatan, kelemahan dan peluang dalam berbagai dimensi dan aspeknya. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah harus mampu memberikan arahan (sense of direction) dalam mencandra hal-hal yang positif maupun negatif tersebut agar bangsa ini tetap dalam rel perjalanan pertumbuhannya yang positif dan lurus (Ihdinasirathal Mustaqim).
Semua itu diawali dengan pengenalan kemudian dilanjutkan dengan tahapan pencandraan melalui serangkaian kegiatan berfikir. Dalam terminologi Al-Qur’an aktivitas yang demikian itu disebut Iqra’. Output dari berfikir akan lahir sebuah ide dan gagasan. Dengan gagasan itulah kemudian kita memulai tindakan. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu berfikir cerdas tentang masa depannya. Melihat realitas bangsa Asia pada ukuran kemajuannya saat ini, Kishore Mahbubani, mantan duta besar Singapura untuk PBB misalnya, dalam sebuah buku provokatifnya, mempertanyakan kemampuan berfikir bangsa Asia (termasuk Indonesia) sehingga mereka pada umumnya tertinggal dari bangsa Eropa dan Amerika.
Disamping faktor yang disebutkan di atas tentu banyak sekali faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Bagi bangsa kita peristiwa sosial politik dalam lingkup nasional, regional maupun Internasional memiliki kaitan yang erat dengan tahapan perkembangan tersebut. Masa transisi yang kemudian disertai krisis multidemensi masih kita rasakan sampai saat ini.Jika masa-masa ini tidak bisa kita segera carikan obat mujarabnya maka penderitaan kita berupa adanya disharmony sosial masih lama. Tertib sosial yang menjadi implikasi negara demokratis masih berupa cita-cita yang belum terwujud dalam waktu dekat.
Dari pengamatan yang lebih dari sekedar common sense, setidaknya ada empat masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Pertama, banyaknya konflik yang terjadi maupun yang berpotensi terjadi diberbagai daerah. Ini adalah konsekuensi dari sebuah bangsa yang besar dan majemuk. Bila melihat sebab-sebab konflik di semua daerah semuanya berkisar pada masalah ekonomi, sumberdaya alam, agama, politik dan kesukuan. Konflik Aceh misalnya sebabnya adalah pengelolaan sumber daya alam yang dirasakan tidak adil disamping masalah politik. Sedangkan Konflik Poso dan Ambon lebih disebabkan oleh politik yang kemudian merembet ke masalah agama.
Kedua, terorisme. Terorisme di Indonesia telah berhasil memanifestasikan dirinya melalui serangkaian pembunuhan, pengeboman, dan aksi teror. Sebutlah bom Bali, Marriot, Tentena, Palu, dan daerah lain. Jaringannya pun disinyalir oleh pihak keamanan telah terbentuk dengan rapi, terkoneksi dengan jaringan terorisme internasional. Bahkan teroris telah mampu menancapkan ideologinya kepada masyarakat tertentu sehingga ada beberapa orang yang telah bersedia dipakai sebagai martir bom bunuh diri. Bila kesadaran ideologi seperti ini telah tertanam jauh dalam maindset masyarakat luas maka sangat berbahaya sekali.Bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi seperti Irak saat ini dimana hampir setiap hari terjadi bom diri.
Ketiga, korupsi. Masalah korupsi merupakan masalah yang setiap hari kita temukan di lingkungan masyarakat kita. Mental korupsi telah menjadi struktur kesadaran baru di bangsa kita. Tidak heran masalah korupsi ditemukan pada pejabat tinggi sampai pejabat paling rendah, mulai dari strata ekonomi bawah maupun atas, mahasiswa, pemuda, mentri, pengusaha dan berbagai macam profesi. Ini sungguh sebagai sebuah paradoks bagi bangsa yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan beragama.
Ke empat, narkoba. Di semua daerah di Indonesia telah ditemukan narkoba. Peredarannya telah sangat luas yang disebarkan oleh jaringan yang sangat rapi dalam sekala nasional dan internasional. Bahkan pabrik narkoba berupa pabrik pil ekstasi telah ada di Indonesia bahkan termasuk yang paling besar di dunia. Peredaran narkoba telah menjangkiti semua lapisan masyarakat terutama generasi muda. Narkoba merupakan bisnis besar, karena itu pengusaha dan pengedar narkoba tidak jera menjalankan aksinya walaupun beberapa diantaranya telah dihukum mati.
Pada tataran epistimologi kefilsafatan semua yang disebutkan diatas adalah negativitas yang merupakan lawan positivitas. Bila positivitas merupakan modal sosial, negativitas bersifat merusak, dalam hal ini merusak modal berbangsa. Negativitas bukan hanya menyangkut sikap dan prilaku tetapi ia melampaui sikap dan prilaku, yakni sebagai sesuatu yang memungkinkan sikap, prilaku dan pengalaman itu sendiri, tulis F. Budi Hardiman dalam sebuah bukunya. Jadi ia sebuah destruksi, atau sebuah ekspresi fenomenal dari negativitas. Oleh karena itu ia mendifisitkan positivitas.
Kita harus menyelamatkan Indonesia dari destruksi akibat negativitas tersebut. Negara ini harus tetap berdiri kokoh-kuat dalam durasi masa yang panjang. Bagi kita orang muda, harus ditimbulkan kesadaran pertautan hari ini dan masa depan. Saatnya orang muda tampil dalam berbagai perannya yang memberikan efek pengaruh positif dalam kehidupan kenegaraan.
Kita harapkan dari peran yang ada saat ini lahir karya dan gagasan-gagasan baru yang visioner sebagai bentuk solusi implementatif bagi permalsahan bangsa. Supaya Indonesia bisa lepas dari jeratan negativitas yang telah menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.


Read More..

1/04/2007

Pemerintah Diminta Rumuskan

AKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta merumuskan kebijakan pembangunan kepemudaan secara nasional yang lebih berorientasi pada peningkatan partisipasi pemuda di tengah masyarakat.

Pendapat tersebut disampaikan mantan Ketua HMI Cabang Palu, Muhammad Usman, di Palu, Rabu, saat dengar pendapat pimpinan organisasi kepemudaan dengan Tim Komisi X DPR RI.

"Orientasi pembangunan kepemudaan saat ini seakan kehilangan arah, akibatnya energi pemuda lebih banyak dihabiskan pada urusan politik praktis," kata Ridwan Usman.

Menurut Ridwan, pemuda yang terhimpun dalam berbagai organisasi saat ini belum terberdayakan secara maksimal terutama dalam mengembangkan potensi diri mereka. Energi yang dimiliki pemuda lebih banyak tersita dalam mengurus politik praktis yang menjadi ranah partai politik.

"Akibatnya, lebih banyak pemuda menjadi `broker` politik dibanding pemuda profesional," tuturnya.

Kondisi demikian, ulas Ridwan, terjadi karena tidak adanya perspektif secara nasional terhadap pembangunan kepemudaan yang menyebabkan organisasi-organisasi kepemudaan juga kehilangan arah.

Untuk itu, katanya, sangat dibutuhkan sebuah payung hukum dan dukungan anggaran yang dapat mendorong peran dan tanggungjawab pemuda dalam melakukan perubahan di negeri ini.

Sementara itu, Wakil Sekretaris KNPI Sulteng, Salehuddin M. Awal, berpendapat, makna pembinaan yang selama ini dilekatkan pada pemerintah terhadap pemudan sebaiknya dihilangkan, sebab ada kekhawatiran terjadi kooptasi terhadap kekuatan pemuda melalui politik anggaran. "Idiom pembinaan sebaiknya ditiadakan dalam penyusunan undang-undang mengenai kepemudaan," katanya.

Menanggapi masalah ini, Ketua Tim Komisi X DPR, Abdul Hakam Nadja, meminta organisasi kepemudaan di Sulteng atau melalui KNPI Sulteng agar merumuskan pokok-pokok pikiran terkait dengan kepemudaan untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah pusat dan DPR sebagai bahan masukan dalam penyusunan Undang -Undang Kepemudaan.

"Jika seluruh provinsi membuat hal yang sama, pemerintah dan legislatif dalam membuat undang-undang akan lebih menyentuh persoalan mendasar kepemudaan," ujarnya.

Tim Komisi X DPR yang melakukan kunjungan kerja ke Sulteng, teraidi atas Hakam Nadja (Ketua Tim/PAN), Ahmad Daroji (Partai Golkar), Anisa Mahfud (PKB), Rudninah (PDS), Mustafa Kamal (PKS), Siprianus (PDIP).

Selama lima hari kunjungan di Sulteng, Tim Komisi X DPR bertemu dengan pejabat di lingkungan pendidikan, pariwisata, pemuda dan olahraga, serta mengunjungi sejumlah sarana pendidikan, olahraga dan obyek wisata di daerah tersebut. (Ant)

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP