7/29/2006

KRISIS KEMANUSIAAN ; TRANSENDENSI MENUJU SPRITUALISME MASYARAKAT MODEREN

Era reformasi di harapkan menghasilkan perubahan mendasar bagi bangsa indonesia. Cita- cita perubahan di mulai ketika era yang lazim disebut ordebaru atau sebelumnya mewariskan banyak problem mendasar yang tidak kunjung selesai. Pada masa orde lama kita mewarisi problem politik dan ekonomi yang cukup parah. Misalnya kestabilan politik tidak terjadi karena beberapa kali pergantian kepemimpinan atau tatkala presiden Soekarno menegaskan dirinya sebagai presiden seumur hidup.Ini adalah tipikal pemimpin diktator. Begitupun problem ekonomi. Dalam masa tersebut ekonomi tidak beranjak tumbuh bahkan pernah tingkat inflasi di atas enam ratus persen...


Era reformasi di harapkan menghasilkan perubahan mendasar bagi bangsa indonesia. Cita- cita perubahan di mulai ketika era yang lazim disebut ordebaru atau sebelumnya mewariskan banyak problem mendasar yang tidak kunjung selesai. Pada masa orde lama kita mewarisi problem politik dan ekonomi yang cukup parah. Misalnya kestabilan politik tidak terjadi karena beberapa kali pergantian kepemimpinan atau tatkala presiden Soekarno menegaskan dirinya sebagai presiden seumur hidup.Ini adalah tipikal pemimpin diktator. Begitupun problem ekonomi. Dalam masa tersebut ekonomi tidak beranjak tumbuh bahkan pernah tingkat inflasi di atas enam ratus persen.

Dalam rezim orde baru hal tersebut tidak lebih baik bahkan istilahnya Two Side of a Coin. Meskipun ada usaha-usaha pembangunan secara fisik tetapi itu tidak cukup menjawab persoalan mendasar bangsa. Bahkan dilihat eskalasinya justru semakin parah. Dimasa orde baru inilah kita menyaksikan menjamurnya konflik vertikal dan horizontal sekaligus secara masif. Lingkungan kita di penuhi dengan adegan kerusuhan, kekerasan dan aneka teror lainnya. Dalam masa ini pula kita merasakan suasana krisis multi dimensi. Awalnya di mulai dari krisis ekonomi tahun 1998 ketika nilai rupiah jatuh terhadap nilai dolar AS. Kemudian berlanjut pada krisis politik yang “ berjasa” dalam menumbangkan presiden Soeharto oleh suatu gerakan kaum intelektual yang masif. Dari sinilah sejarah refomasi di mulai.

Memulai perjalanan refomasi dengan mengadopsi paradigma orde lama dan orde baru jelas merupakan tindakan keliru. Walaupun penyakit reformasi yang menjangkit saat ini dalam taraf dianogsa “ asal-asalan” sama dengan penyakit yang di derita orde sebelumnya. Keliru apabila “dokter” memberikan obat yang sama yang sudah terbukti tidak menyembuhkan. Oleh karena itu kita harus mengamati secara lebih teliti dengan menggunakan pisau analisis yang dalam dan canggih.

Krisis yang dialami oleh bangsa indonesia sejatinya adalah krisis kemanusiaan. Krisis ini sangat mendalam sehingga mencapai titik eksistensi kemanusiaan kita. Ini adalah efek dari zaman Post Modernisme dimana pegolakan sosial terasa sangat cepat akibat progresivitas tehnologi yang sangat canggih. Karena ini berlangsung “di luar kesadaran” maka sensitivitas respon perubahan itu belangsung lambat dan lunak. Kita menyaksikan adanya krisis diri, alienasi atau keterasingan, depresi, stres, keretakan institusi keluarag dan beragam penyakit psikologis lainnya.

Krisis ini sudah mengglobal sehingga mencakup keseluhuran dimensi kehidupan kita. Bahkan Fritjof Capra menulis dalam salah satu bukunya “ State of profound, and world wide crisis. Sehingga ia berkesimpulan ini adalah krisis intlektual, moral, dan spritual sekaligus.

Bila fisiskawan sejenius Fritjof Capra sudah berkesimpulan demikian, apakah hal yang sama juga dialami bangsa Indonesia saat ini? Mengapa hal tersebut bisa terjadi mengingat Indonesia di kalim sebagai negara religius ?.

Dalam realitasnya banyak fakta yang bisa memperkuat tesis Fritjof Capra tersebut. Sebutlah yanh paling gampang adalah KKN. Hampir tidak bisa di pungkiri lagi bahwa bangsa Indonesia salah satu negara yang paling korup di dunia. Banyak hasil survey yang telah membuktikan.Hal ini jelas mengherankan sekaligus menyebalkan karena bangsa kita penganut setia agama. Semua agama mengajarkan moralitas tetapi faktanya masyarakat kita melakukan hal yang bertentangan nilai-nilai moral agama. seperti korupsi tadi. Inilah salah satu bukti adanya kesenjangan nilai dan praktek. Bukan hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam bidang politik, agama dan lain sebagainya.

Bila pertanyaanya diteruskan, dari manakah krisis ini dimulai ? Atau dengan kata lain apa yang menyebabkan sehingga terjadi krisis moral tersebut ?. Pertanyaan tersebut di jawab oleh E.F.Schumacher. Penulis buku Small is Beautiful ini menegaskan krisis berangkat dari adanya krisis spritual dan krisis pengenalan diri terhadap yang absolut, Tuhan.

Menurut Sukidi, penulis buku New Age Wisata Spritual Lintas Agama (2001), krisis demikian bisa di pandang dari dua paradigma. Pertama, paradigma sains modern, dimana bencana krisis merupakan akibat dari kesalahan paradigmatik sains Cartesian dan Newtonian (matematika), filsafat Rene Descartes ( cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada ), dan metodologi ilmiah Francis Bacon. Menurut Fritjof Capra , metodologi Bacon menimbulkan perubahan yang luar biasa pada hakekat tujuan penelitian ilmiah. Sejak zaman kuno, tujuan ilmu adalah untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupan harmonis.

Ilmu yang dicari demi keagungan Tuhan atau seperti ungkapan Cina untuk mengikuti tatanan alam dan mengalir dalam alairan tao. Dalam filasafat Taoisme, semua ini merupakan tujuan-tujuan Yin, atau bersifat integratif; sikap dasar ilmuan adalah ekologis, seperti ungkapan populer kita dewasa ini. Pada abad ke-17, sikap ini berubah menjadi lawan kutubnya; dari Yin ke Yang, dari integrasi ke penonjolan diri. Sejak Bacon, tujuan ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam dan sekarang, baik ilmu maupun tehnologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali anti Ekologis. Kedua, bencana krisis dari sudut pandang metafisiska maupun epistemologi keagamaan dapat dikatakan sebagai akibat dari pemberontak atau pengakangan terhadap Tuhannya. Bahkan, fenomena semacam inilah yang dahulu kala telah mendorong banyak filsuf tradisional dari berbagai agama- seperti Huston Smith (Kristen), Fritjhjof Schoun (Islam), Ananda Comaraswamy (Hindu)- berusaha membuat suatu sketsa yang menunjukkan bahwa krisis semacam ini muncul karena manusia moderen begitu jauh dari “Realitas surgawi” atau karena manusia modern hidup dipinggir lingkaran eksistensi.

Kembali pada pembahasan awal tadi bahwa masyarakat kita terjadi kesenjangan antara nilai yang dianut dengan praktek perbuatan. Kesenjangan tersebut karena perbedaan dalam merespon agama. Komaruddin Hidayat misalnya mencatat ada tiga kecenderungan dalam merespon agama. Walaupun menurutnya ini tidak mewakili keseluruhan doktrin agama tetapi hal ini perlu diperhatikan.Pertama, kecenderungan mistikal (solitary). Respon keberagamaan mistikal antara lain, di tandai dengan penekananya pada penghayatan individual terhadap kehadiran Tuhan.

Disini, apa yang disebut Mystical Union dinilai sebagai prestasi keberagamaan yang amat memmbahagiakan dan oleh karenanya sangat di dambakan. Kedua, profetis- ideologikal. Kecenderungan beagama model ini, antara lain,di tandai dengan penekanannya pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Oleh karenaya, kegitan penyebaran agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis. Dimata mereka, puncak kebajikan beragama adalah berlakunya hukum – hukum agama dalam prilaku dan tatanan sosial. Ketiga, ialah kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan. Pada tipe ini, apa yang di sebut kebajikan hidup beragama adalah bila seorang telah beriman pada Tuhan, dan lalu berbuat baik terhadap sesamanya.

Mencermati kecenderungan respon beragama di atas memperlihatkan adanya perbedaan- perbedaan. Sejatinya perbedaan tersebut tidak meciptakan suatu handycap untuk mengamalkan agamanya masing-masing. Karena yang dibutuhkan adalah sikap inklusifime yang menyertai setiap aksi beragama. Yang kita butuhkan saat ini adalah beagama secara totalitas (Kaffah ) seperti pesan Al-Quran. Dalam arti totalitas kehidupan kita yang berdimensi banyak itu. Bukankah kita telah bersumpah setiap kali kita sholat bahwa “sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidupku dan matiku hanya pada Allah. Itulah spritualisme sejati, moderen dan enerjik. Wajar apabila kita mengambil kesempatan dalam masa refomasi ini untuk mendesain setting sosial baru masyarakat dan bangsa kita. Umat Islam sebagai umat mayoritas seharusnya berfungsi sebagai guide yang mempelopori usaha-usaha tersebut. Semoga Allah senantisa meridhoi segala aktivitas kita.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP