7/29/2006

Sumpah Pemuda, Kemerdekaan Dan Fitrah Manusia

Bagi para pemuda tanggal 28 Oktober merupakan bulan yang istimewa. Karena setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Dalam Sejarah dikisahkan bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 para pemuda yang terdiri berbagai perkumpulan kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon dan seterusnya menyatukan tekad bersama untuk menyatukan Indonesia. Dari sinilah kemudian lahirnya teks Sumpah Pemuda yang setiap anak sekolah menghapalnya.


Bagi para pemuda tanggal 28 Oktober merupakan bulan yang istimewa. Karena setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Dalam Sejarah dikisahkan bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 para pemuda yang terdiri berbagai perkumpulan kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon dan seterusnya menyatukan tekad bersama untuk menyatukan Indonesia. Dari sinilah kemudian lahirnya teks Sumpah Pemuda yang setiap anak sekolah menghapalnya.

Cita-cita pemuda pada saat itu sebenarnya sederhana yakni ingin mewujudkan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Tetapi kenyataannya kemerdekaan tersebut baru kita capai setelah 17 tahun kemudian.

Suatu koinsendensi yang tepat perayaan kemerdekaan juga dilaksanakan pada setiap tanggal 17 Agustus. Kebetulan baru dua bulan lalu kita memperingatinya. Jadi ada korelasi histories dan batiniah antara sumpah pemuda dengan hari kemerdekaan. Sebagai pemuda yang hidup di zaman kemerdekaan dengan segala kemajuan yang telah dicapai wajib untuk tetap memberikan ikhtiar penuh tenaga bagi upaya-upaya mengisi kemerdekaan itu. Berkaitan dengan hal itu ada dua pertanyaan yang ingin dijawab pada kesempatan ini yaitu, pertama, apa makna mendasar kemerdekaan itu, kedua, apa kita telah sungguh-sungguh dalam mengisi kemerdekaan dengan jargon reformasi saat ini? Mudah-mudahan ini berguna bagi upaya memberikan pemaknaan perennial bagi perayaan sumpah pemuda.

Kemerdekaan merupakan hak asasi yang pertama. Inti dari kemerdekaan adalah terbebasnya manusia dari belenggu yang memperbudak manusia. Perbudakan mewujud dalam berbagai bentuk dan dimensi realitas. Pada masa sekarang belenggu itu dapat berupa ketergantungan ekonomi pada negara-negara yang lebih maju dalam bentuk utang. Dengan mudah bisa kita jelaskan akibat dari jebakan utang yang menjerat bangsa kita saat ini. Salah satu akibatnya anggaran yang seharusnya untuk membiayai pembangunan dalam negeri hampir separuhnya dipakai untuk membayar utang. Belum lagi tekanan politik dari negara-negara kreditor.

Pada era kepemimpinan Soekarno, dia mengobarkan semangat kemandirian bangsa. Jargon yang terkenal dari beliau adalah “Berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri. Sokarno tidak mau bangsa Indonesia terjerat dengan imprealisme ekonomi negara lain.

Apa yang terjadi kini, cita-cita founding father itu tidak tidak menjadi kenyataan. Seperti di singgung di depan bangsa ini telah masuk dalam perangkap utang (debt trap). Untuk mengakhiri semua ini memang dibutuhkan strategi ekonomi dan politik. Tetapi tidak hanya sampai disitu, kita perlu merenungkan makna kemerdekaan tersebut dari sapek yang terdalam.

Kemerdekaan manusia difahami sebagai kebebasan universal. Karenanya kemerdekaan mempunyai dimensi kosmis yang serba meliputi. Sejatinya orang yang merdeka itu harus dimaknai sebagai metafora return to human being, kembali menjadi manusia lagi. Sebab manusia yang masih mengalami perbudakan alias tidak merdeka berarti ia bukan manusia yang utuh. Ia kehilangan salah satu dimensi kemanusiaannya yang terdalam.

Dalm konteks manusia Indonesia, kemerdekaan bermakna kembalinya bangsa menjadi manusia yang utuh Tegasnya kita menjadi manusia Indonesia yang utuh lagi. Sayang sekali kita lalai menjadi manusia Indonesia . Pembagunan harus merupakan sintesa seimbang antara pembangunan fisik dan jiwa. Jadi pembangunan bangsa harus meliputi dua hal tersebut. Kenyataannya dalam usia yang telah enam puluh tahun ini kita masih gagal. Mari kita mencermati pertanyaan retorik dibawah ini:

Adakah kita memperhatikan secara sungguh-sungguh peningkatan kesejahteraan berjuta-juta anak bangsa ini? Adakah kita sungguh-sungguh mau melenyapkan segala hal yang berbau korupsi? Mengapa masih terjadi kelaparan dan gizi buruk? Mengapa masih terjadi pengeboman, kerusuhan, kriminal dan berbagai patologi sosial lainnya?

Jika pertanyaan judicial tersebut kita teruskan maka semakin membuka borok kita sebagai manusia Indonesia. Kenyataan ini mengherankan sekaligus ironi. Mengherankan karena kita telah melewati kurun waktu enam puluh tahun pembangunan. Bila kita bandingkan dengan negara-negara tetangga yang memulai pembangunannya dengan waktu yang relatif sama, kini kita telah tertinggal jauh.

Ironi karena manusia Indonesia adalah sangat religius, manusia beragama. Pembangunan jiwa yang paling absah harus berbasis pada agama. Manusia seperti difirmankan oleh Tuhan merupakan makhluk yang sempurna. Dalam kesempurnaan manusia itulah dilengkapi dengan sifat fitrah, kesucian primordial. Ia merupakan hasil perjanjian primordial Tuhan dengan manusia.

Sifat fitrah merupakan guidence ke arah kebenaran. Tetapi karena tertanam sangat jauh di bawah alam sadar, kita seringkali lupa dan lalai menjalankan segala amanat Tuhan. Ironisnya kelupaan dan kelalaian kita bukan sebuah kesalahan, bisa jadi menjadi hiburan yang penuh humor. Persis seperti novel yang ditulis oleh Milan Kundera berjudul “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”. Sebuah penggambaran yang sarkastis.

Hal ini kemudian dijustifikasi oleh sebuah truisme yang diterima secara umum manusia merupakan makhluk yang tidak luput dari kesalahan”,karena itu maafkanlah. Argumen itu bisa diterima pada ranah personal, tidak secara sosial.Agama mengajarkan bahwa tidak ada masyarakat yang berdosa, hanya individu-individu manusia yang berdosa. Tetapi manusia bisa berdosa secara sosial seperti hukum fardhu kifayah.

Jika demikian halnya, ketidakbecusan kita mengurus bangsa sehingga meyebabkan penderitaan berkepanjangan merupakah dosa pribadi sekaligus dosa sosial. Apalagi segala hal yang menjadi urusan publik telah diatur dengan jelas dalam berbagai kontrak sosial berupa aturan dan perundang-undangan. Mengapa masih terlalu banyak pelanggaran?

Disinilah pentingnya penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan jalan untuk menemukan kebenaran sebagai dalil yang berdimensi kosmis. Itulah proses kepada kembali kepada sifat fitrah, hanif, cenderung kepada kebenaran. Namun ironisnya hukum juga terpenjara oleh pelakunya. Hukum menjadi bisnis yang menggiurkan. Hukum menjadi sebuah kepentingan politis yang ampuh.

Bagaimanakah mengakhirinya? Saya tidak punya kompetensi untuk menjawabnya Namun satu hal yang ingin ditegaskan, kini saatnya kita menyadari sifat kefitraan kita sebagi manusia Indonesia. Yaitu manusia Indonesia sejati, utuh, yang fitrah, suci dan patuh pada kebenaran. Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP