11/28/2006

ERANYA PENGUSAHA (POLITISI) MENJADI GUBERNUR?

Menarik untuk disimak perkembangan Pilkada di Indonesia, terutama Pilkada ditingkat provinsi. Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2004 sangat confidence menghadapi Pilkada pada tahun 2005-2006 dengan menarget kemenangan sekitar 60 %, tapi target tersebut meleset jauh. Bahkan sembilan provinsi yang melaksanakan Pilgub pada penghujung tahun 2005 dan awal tahun 2006, hanya satu yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung oleh Partai Golkar, yakni di Kepulauan Riau (Ismeth Abdullah dan Sani), Ismeth yang berlatar belakang pengusaha dan mantan Ketua Otorita Batam. Selebihnya dimenangkan oleh pasangan yang diusung oleh partai-partai gabungan. Dari itu dapat disimpulkan bahwa kemenangan pasangan dalam Pilkada, partai pemenang bukan sebuah jaminan, paling menentukan performance figur yang diusung.

Setelah “babak belur” dan kalah di delapan provinsi pada Pilgub “gelombang pertama”, Pilgub “gelombang kedua” Partai Golkar mulai menuai hasil. Hasil Pilgub di Sulawesi Barat menunjukkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar (Anwar Adnan Saleh-Sanusi) menang, meskipun di beberapa wilayah berdasarkan keputusan MA perhitungan suara diulang. Dari hasil perhitungan suara ulang, Anwar-Sanusi tetap dianggap pemenang. Hal yang sama di Banten dan Gorontalo yang melaksanakan Pilgub hampir bersamaan, di Banten tanggal 26 November dan Gorontalo 27 November 2006. Dari hasil perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) memprediksikan pasangan Rt. Atut Chosyiah-M. Baidlowi yang diusung oleh Koalisi Partai Golkar-PDIP-PKB memenangkan Pilgub Banten, dengan perolehan suara sekitar 39 %. Sementara hasil Pilgub Gorontalo, keperkasaan Fadel Muhammad yang juga Ketua DPD Golkar sangat menonjol yang berpasangan dengan Gusnar Ismail.

Mencermati Figur:
Dari tiga provinsi yang melaksanakan Pilgub tersebut, calon gubernurnya memiliki profesi yang sama-sama pengusaha. Anwar Adnan Saleh calon Gubernur Sulawesi Barat yang terpilih sudah lama malang melintang menggeluti usaha transportasi laut. Ia juga memiliki pengalaman sebagai politisi, pernah menjadi anggota DPR RI pada periode 1999-2004 utusan dari Sulawesi Tenggara (Kolaka). Setelah Sulawesi Barat berdiri, ia kembali kekampung halamannya dengan menjadi Ketua DPD I Golkar Provinsi Sulawesi Barat. Dengan bermodalkan sebagai Ketua Partai Golkar, tentu saja memudahkan dirinya untuk mencalonkan diri berpasangan dengan Ketua KPU Sulbar. Meskipun ia menghadapi rivalitas yang sangat kuat pada saat Pilgub dari Salim Mengga, seorang jenderal aktif yang diusung oleh PKS dan beberapa gabungan partai kecil.
Munculnya Mengga sebagai cagub merupakan tantangan besar pasangan Partai Golkar, sebab Mengga merupakan anak tokoh masyarakat mandar di Polewali Mandar. Orang tuanya, Said Mengga pernah menjadi Bupati Polewali Mamasa. Tentu saja kharisma orang tua dan keluarga besarnya amat berpengaruh. Namun, faktor kemenangan Anwar Adnan Saleh tidak dapat dilepaskan dari kasus yang dihadapi oleh Mengga. Mengga yang pada awalnya telah ditetapkan menjadi Panglima Kodam Pattimura, kemudian dibatalkan oleh Kasad TNI karena “tersandung” dengan kasus penyelewengan dana prajurit TNI, meskipun belakangan bukti keterlibatannya tidak ditemukan. Kasus ini tampaknya mempengaruhi konstelasi politik di Sulbar yang kurang menguntungkan pihak Salim Mengga, sebab isu itu mencuat seiring dengan pelaksanaan Pilgub.
Lalu bagaimana dengan Rt. Atut Chosyiah? Nampaknya politisi dari Serang Banten ini seorang “perempuan perkasa”, jauh sebelum menggeluti dunia politik hingga terpilih jadi Wakil Gubernur Banten, bergelut di dunia usaha. Kami membayangkan ia seperti Benazir Bhutto mantan Perdana Menteri Pakistan. Bedanya, Benazir Bhutto merupakan turunan klan Bhutto, ia mewarisi bakat politik dari orang tuanya yang juga pernah jadi Perdana Menteri Pakistan. Sementara Atut, bukan turunan politisi, yang ia miliki kekuatan kultural, karena orang tuanya Tb. Hasan Shohib merupakan Ketua Paguyuban Pendekar Banten. Organisasi ini sangat berpengaruh terhadap kultur masyarakat Banten, sekaligus ia seorang pengusaha,
Dalam perjalanannya, Gubernur Banten Djoko Munandar dinon-aktifkan, karena terlibat kasus korupsi. Atut kemudian diangkat menjadi penjabat Gubernur Banten, dan juga sebagai tokoh sentral Golkar di Banten. Dan ia satu-satunya wakil gubernur di Indonesia perempuan. Bermodalkan itu, Atut mencoba peruntungan kembali untuk bertarung di Pilgub Banten pada hari minggu lalu. Untuk sementara ia memenangkan Pilgub Banten yang mendapatkan rivalitas dari pasangan Zulkieflimanysah-Marissa Haque yang diusung oleh PKS. Provinsi Banten pada saat pemilu legislatif lalu dimenangkan oleh Partai Golkar, namun dilihat dari soliditas PKS yang memiliki basis-basis massa di perkotaan jelas merupakan ancaman bagi Partai Golkar, sebab Banten merupakan penyanggah ibukota negara. Apalagi jauh-jauh hari, Marissa Haque yang dipecat dari PDIP karena mencalonkan diri menjadi cawagub bukan melalui partainya, sudah mulai melakukan kampanye yang bermuatan mendiskreditkan Atut. Tapi nampaknya kharisma keartisan seorang Marissa belum mampu menjadi daya maknit yang kuat, kharisma Atut yang memadukan kekuatan kultural dan struktural tentu jauh lebih kuat “sedotannya”, apalagi ia didukung oleh partai-partai besar. Kedepan ia perempau satu-satunya gubernur di Indonesia. Bagi pemilih rasional, popularitas artis bukan jaminan untuk memperbaiki kondisi wilayah yang akan dipimpinnya. Ada persepsi yang sama terbangun dimasyarakat banyak, bahwa kemunculan artis di dunia politik, hanya sebagai “pemanis partai”.
Sementara Fadel Muhammad tentu jauh lebih populer. Popularitas Fadel tidak saja dimata rakyatnya, tetapi mungkin ia merupakan gubernur yang paling populer di Indonesia. Ia populer bukan karena memiliki “fisik selebritis”, ganteng, muda. Jauh sebelum jadi Gubernur Gorontalo, berhasil membesarkan PT. Bukaka perusahaan keluarga Kalla yang membidangi pengadaan alat-alat berat seperti garbarata (terowongan menuju pintu pesawat) yang dipasang di Bandara Cengkareng Jakarta dan Juanda Surabaya. Berbekal pengalaman sebagai pengusaha, kemudian setelah terpilih jadi Gubernur Gorontalo ia memperaktekkan manajemen kewirausahaan kedalam lingkungan pemerintahannya. Jika daerah lain masih mempelajari bukunya David Osborne dan Ted Gebler tentang Reinventing Government yang bermuara pada penerapan entrepreneurship government, Fadel sejak awal sudah menarapkannya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Fadel dalam semangat membangun entrepreneurship government, melakukan efisiensi. Dana-dana yang merupakan “hak” gubernur dikembalikan, dihimpun kemudian dialokasikan sebagai tunjangan kinerja daerah (TKD) bagi pegawai provinsi, besarannya berdasarkan eselon. Selain itu, sebagai seorang pengusaha yang berpengalaman. Dalam pandangannya, mengelola pemerintahan layaknya mengelola sebuah korporasi (perusahaan). Sebuah korporasi harus dikelola dengan memiliki core bisnis, sama halnya mengelola pemerintahan daerah. Untuk memajukan daerah maka ia harus memiliki keunggulan-keunggulan komparatif, maka itu sejak awal Fadel mengidentifikasi basis ekonomi masyarakat Gorontalo, dimana sektor pertanian (jagung) dan sektor perikanan dan kelautan dijadikan sebagai sektor basis. Dulunya jagung di Gorontalo boleh dikata tidak ada harganya, setelah Fadel memoles dan menjadikan sebagai sektor unggulan, produksi jagung Gorontalo meningkat dari 70.000 ton tahun 2001 menjadi 430.000 ton 2005.
Meningkatnya harga jagung di Gorontalo karena didukung oleh kebijakan, termasuk pemerintah provinsi men-drive komoditi jagung ke pasaran internasional. Artinya, komiditi jagung dikembangkan di Gorontalo dengan jaminan harga dari pemerintahnya. Kini Fadel tidak lagi mengklaim sebatas Gorontalo sebagai provinsi jagung, akan tetapi sudah merambah keseluruh provinsi di Sulawesi. Kampanye tentang Sulawesi pulau jagung kerap disuarakan setiap momen, demikian halnya sektor perikanan dan kelautan, dengan berbagai macam program yang ditelorkan. Program etalase perikanan di Indonesia yang berpusat di Teluk Tomini tidak dapat dipungkiri merupakan gagasan dari Fadel, meskipun belakangan “ribut-ribut” di Sulawesi Tengah karena secara geografi Teluk Tomini “milik” Sulteng. Fadel mempunyai impian Teluk Tomini menjadi badan otorita, untuk sementara impian itu masih tertunda. Sembari mengembangkan sektor perikanan dan kelautan melalui program taksi mina bahari (TMB), dengan memberikan kapal-kapal kepada kelompok nelayan. Dan satu lagi program disektor kelautan yang sementara dikembangkan, yakni gerakan menanam rumput laut (gemarlaut).
Dari dua komoditi yang dikembangkan tersebut, petani jagung dan nelayan dari segi pendapatan mengalami peningkatan. Oleh sebab itu Fadel yang berpasangan dengan Gusnar Ismail dalam Pilgub, amat populer. Jikapun Fadel-Gusnar mengalami resistensi di Gorontalo hanya terjadi ditingkat elit, hal itu ditunjukkan pada saat kampanye beberapa PNS dan tokoh-tokoh adat dari Kabupaten Gorontalo mendemo Fadel, karena disinggung bupatinya “munafik”. Hal yang sama di Kabupaten Boalemo, bupati terpilih tidak segaris politik dengannya, dan paling anyar berkembang di Bone Bolango, Bupati Ismet Mile ditengarai terang-terangan mendukung pasangan Thamrin-Khaly dengan melakukan “intimidasi” terhadap aparat pemerintahan sampai tingkat desa/dusun untuk mendukung pasangan tersebut. Sekaligus melakukan money politic (Radar Sulteng 28/11/2006). Demikian pun beberapa kelompok-kelompok masyarakat ditingkat elite mencoba melakukan “perlawanan” dengan dibungkus “kritisisme”. Tapi pada intinya, kelompok ini hanya karena kecewa terhadap “sikap” Fadel dan Gusnar yang enggan memberikan harapan-harapan jangka pendek.
Hasil Pilgub tanggal 27 November 2006 kemarin menunjukkan Fadel Muhammad, Ketua DPD Golkar Provinsi Gorontalo yang berpasangan dengan Gusnar Ismail berlatar belakang birokrat, tokoh KAHMI Gorontalo mampu menunjukkan dirinya, bahwa ia memang disukai oleh rakyat Gorontalo. Boleh saja Fadel-Gusnar tidak diterima ditingkat elit, tapi masyarakat menunjukan sikap yang berbeda, mereka tetap memilih Fadel-Gusnar dengan kemenangan yang telak, perolehan suara mencapai sekitar 82 %, Pilkada dengan perolehan suara tertinggi di Indonesia. Mungkin ini yang disebut suara rakyat suara Tuhan (vox populie vox dei). Atau eranya para pengusaha untuk menjadi gubernur?. Wallahu’alam!!.Tulisan ini ditulis bersama M.Amir Arham.

Read More..

10/19/2006

Perlukah Pawai Takbiran?

Sudah menjadi tradisi, pada malam Idulfitri selalu dilaksanakan pawai takbiran. Bagi masyarakat kita tradisi ini diniatkan untuk menyemarakkan datangnya hari raya. Tradisi ini memang telah berlangsung lama hanya formatnya saja yang mengikuti perkembangan zaman.


Di zaman dahulu, pawai takbiran dilakukan hanya dengan berjalan kaki keliling kampung. Paling banter naik kendaraan yang ditarik hewan,seperti dokar, pedati atau gerobak. Sebenarnya masih ada yang melalakukan dengan pola demikian, namun itu hanya terjadi di pelosok-pelosok yang sangat terpencil.

Di zaman sekarang pawai serupa selalu melibatkan kendaraan seperti mobil dan motor terutama di kota besar. Mereka berkonvoi memenuhi jalan raya. Di kota-kota besar pawai akbar ini selalu mengakibatkan kemacetan karena memang melibatkan peserta yang sangat banyak bahkan mencapai ribuan. Itulah bukti bahwa masyarakat kita sangat menggemari pawai takbiran ini.

Kalangan yang mengikuti pawai ini bermacam-macam, baik tua maupun muda.Mereka tergabung dalam organisasi massa, parpol, pemerintah dan juga kalangan individu.Tetapi peserta yang paling banyak biasanya berasal dari kalangan muda. Mereka bahkan sangat atraktif dalam berpawai. Atraksi motor tidak jarang ditampilkan misalnya mengangkat ban depan atau berdiri sambil motor melaju. Di kampung saya, kendaraan yang dipakai biasanya diservis terlebih dahulu agar larinya bisa kencang. Bahkan mereka mempreteli sebagian peralatan motornya terutama knalpot agar suara motornya lebih nyaring. Jadi pawai takbiran ini tidak ubahnya balapan liar yang sangat mengganggu kekhusu’an dalam bertakbir.

Bagi yang mengendarai mobil, aneka instrumen disertakan. Disamping peralatan standar misalnya alat pengeras suara untuk mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil, biasanya disertakan juga alat-alat musik. Alat musik yang paling dominan adalah perkusi seperti rebana. Beduk masjid yang besar tidak jarang juga diikutkan.
Rute yang dilewati telah disusun dengan cermat. Penyusunan rute ini terutama mempertimbangkan keramaian penduduk. Itulah sebabnya rute takbiran selalu melewati jalan-jalan protokol. Mereka sedapat mungkin berkeliling hingga hampir semua kawasan dapat terlewati. Pokoknya malam takbiran biasanya sangat meriah karena masyarakat yang dilewati konvoi juga menyambut dengan antusiasme yang tinggi.

Itulah gambaran singkat pawai takbiran yang biasanya dilaksanakan saban malam Idulfiri. Masyarakat melakukan semua itu sebenarnya dengan niatan yang tulus, ingin meyemarakkan perayaan hari raya Idulfitri sebagai hari kemenangan. Masyarakat ingin merayakan dirinya telah kembali pada kesucian yang fitri.

Namun apakah niat itu kesampaian atau mencapai tujuannya? Inilah yang perlu kita diskusikan.

Agama memang mengajarkan, segala sesuatu harus dimulai dengan niat. Bahkan berniat saja atau belum sampai pada tahapan implementasi, sebuah perbuatan baik sudah mendapat ganjaran pahala. Apalagi kalau niat itu telah direalisasikan. Namun terkadang walaupun niat baik, terkadang dalam implementasinya tidak sesuai dengan niat itu. Sifat riya’ misalnya. Jika kita memberikan sumbangan Insya Allah sumbangan kita itu pasti berguna bagi orang yang membutuhkan. Tetapi karena kita meyumbang dengan sifat riya’, pamrih, ingin memperoleh balasan, pujian, maka di hadapan Allah pastilah tidak dihitung sebagai pahala.

Karena itu kita harus pandai-pandai memilah mana yang bersifat hanya tradisi dalam agama dan mana yang bernilai subtantif. Dalam malam idulfitri sebelum terbitnya satu syawal, umat Islam memang diserukan untuk mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil ke seluruh penjuru. Dengan mengumandangkan kalimat takbir, kita hanya mengakui kebesaran Allah. Hanya Dialah zat yang memiliki keagungan, ke-Maha Perkasaan dan sederet sifat seperti yang disebutkan dalam Asmaul Husna. Dengan mengucapkan kalimat Tahmid, kita mengucapkan kalimat syukur bahwa kita masih diberikan Rahmat, Taufik dan Hidayah setidaknya sampai saat idulfitri ini. Dan dengan kalimat Tahlil kita tidak menyembah selain Dia. Tidak ada Tuhan Selain Allah. Hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan.

Pangkal dari semua kalimat itu adalah terwujudnya manusia-manusia bertakwa sbagaimana tujuan akhir dari puasa kita. Itulah sebabnya dalam malam Idulfitri itu, atau pada akhir puasa, kita harus menegaskan ketakwaan kita dengan simbolisasi pengucapan kalimat-kalimat tadi. Dengan harapan pada hari raya Idulfitri kita betul-betul telah memperoleh predikat takwa, yang fitri, hanif, sebagaimana kesucian primordial kita. Inilah subtansi ajaran agama ketika kita diserukan untuk mengumandangkan kalimat-kalimat tadi.

Lantas, apakah dengan berpawai takbir yang tidak ubahnya dengan balapan liar itu sesuai dengan tujuan subtantif ajaran agama itu? Dalam hal ini hanya Allah yang Maha mengatahui. Tapi dari beberapa hal kita berargumen yang juga dilandasi ajaran agama, bahwa kegiatan semacam itu pada dasarnya tidak memberikan ketakwaan yang subtantif dalam jiwa kita. Lihatlah, berapa banyak orang kecelakaan sampai meninggal dunia pada malam takbiran. Ekses lainnya kemacetan., gangguan kamtibmas dan seterusnya. Pawai takbiran yang sering kita lakukan itu malahan hanya unsur hura-huranya yang dikedepankan. Kita tidak lagi mendengar suara takbir, tahmid dan tahlil diucapkan, melainkan hanya bunyi kendaraan yang memekakkan telinga. Kalau demikian, bagaimana mungkin efek psikologis dari kalimat-kalimat itu merasuki rongga dada keimanan kita?

Lain halnya jika kita mengumandangkan kalimat-kalimat tersebut dengan penuh kekhusu’an di setiap masjid yang ada di sekitar kita. Pada malam itu kita memenuhi masjid untuk membaca kalimat takbir, tahmid dan tahlil. Dan memang adabnya harus demikian.Kita harus membaca dengan penuh keharuan, kesopanan yang disertai pemaknaan yang dalam di setiap hati kita. Bukankah kalimat-kalimat yang kita baca itu adalah firman-firman Allah yang sangat suci karena itu harus kita perlakukan dengan suci pula?

Jadi melaksanakan sebuah tradisi apalagi sebuah tradisi agama jangan sampai menghilangkan makna subtantifnya. Wallahu A’lam.

Read More..

10/16/2006

Perlu Revisi Pola pengamanan Di Sulawesi Tengah

Sebuah penembakan yang menewaskan pendeta Irianto Kongkoli hari ini telah menegaskan bahwa palu, poso dan sekitarnya belumlah aman. Walaupun pemerintah telah menempatkan aparat keamanan dalam jumlah yang tidak sedikit, namun gangguan keamanan ataupun teror masih saja terjadi. Apakah dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa metode pendekatan keamanan yang dijalankan telah gagal?

Sudah menjadi prosedur standar bagi negara, apabila terjadi gangguan keamanan yang berwujud kerusuhan, penembakan, peledakan bom dan seterusnya maka tindakan yang segera dilakukan adalah menambah jumlah aparat keamanan. Tidak mengherankan di setiap daerah yang rawan jumlah aparat yang disiagakann sangat mencolok.

Di daerah seperti Palu dan Poso aparat terlihat memenuhi setiap sudut kota. Mereka menjaga semua tempat yang dianggap strategis seperti rumah ibadah,perkantoran, sentra bisnis maupun kediaman para perjabat. Asumsinya jika aparat kemananan ada yang menjaga maka tindakan untuk mengacaukan situasi kemananan dapat dicegah. Namun ini telah terbantah dengan sendirinya. Faktanya ada atau tidak aparat keamanan tetap saja gangguan kemananan terjadi.

Seperti telah diketahui, menjelang maupun setelah eksekusi Tibo DKK peningkatan jumlah aparat keamanan yang menjaga Sulawesi Tengah terutama di Palu, Poso dan Tentena meningkat jumlahnya. Ini untuk menjaga agar ekses yang mungkin terjadi setelah eksekusi dapat diantisipasi. Bahkan seperti diberitakan, sejumlah petinggi intelijen telah datang ke palu untuk melakukan serangkaian pertemuan. Logika tersebut memang tidak salah. Bila terjadi kerusuhan misalnya,aparat dalam jumlah besar asumsinya dapat mengatasi lebih cepat.

Namun apa yang kita saksikan di Palu maupun Poso, bertambahnya jumlah aparat tidak diiringi dengan menurunnya gangguan keamanan secara signifikan. Sejumlah peristiwa yang sangat mengganggu keamanan daerah ini masih terus berlangsung.

Setelah eksekusi Tibo DKK,dua orang pedagang ikan telah menjadi korban penculikan ketika mereka melintasi daerah sekitar kabupaten Poso yang notabene dijaga ketat aparat kemananan. Mereka akhirnya ditemukan dalam keadaan yang tidak bernyawa telah dikuburkan oleh orang yang mungkin membunuhnya sendiri. Di kabupaten Morowali juga terjadi kerusuhan, bahkan Kapolda sendiri hampir ikut menjadi korban. Terakhir seperti yang disebutkan di atas, bahwa seorang Pendeta tewas ditembak oleh seseorang yang mengendarai motor di Palu yang setiap sudutnya juga dipenuhi Polisi. Fakta lain,hampir tiap malam diberitakan ada bom yang meledak di Poso.

Poin yang ingin disampaikan adalah bahwa sejatinya peningkatan jumlah aparat keamanan harus pula diikuti oleh peningkatan efektivitas pelayanan terhadap publik. Pelayanan publik maksudnya tentu memberikan rasa aman yang memadai bagi setiap warga. Golongan apapun harus merasa terlindungi secara aman.Efektif maksudnya aparat kemananan dapat segera mengantisipasi atau menangkal setiap kejahatan yang dilakukan oleh siapapun.

Memang kita harus juga mengakui bahwa kemampuan aparat juga terbatas. Ada hal-hal tertentu yang mungkin diluar batas kemampuan aparat sendiri. Namun ini tidak boleh menjadi alasan pembenar,apologi, bagi setiap kegagalan menjaga kemananan. Karena bagaimanapun aparat keamanan telah dibekali oleh pendidikan dan pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan mereka telah diberi peralatan secukupnya untuk menangkal maupun menghentikan gangguan keamanan. Bagi masyarakat kegagalan menjaga keamanan harus dipahami sebagai kegagalan menjalankan tugas, karenanya itu layak mendapat hukuman. Sebaliknya bila mereka berhasil masyarakat harus juga memberikan penghargaan yang sesuai. Bila ingin berhasil maka kuncinya adalah aparat semakin dituntut keseriusan dalam bertugas sehingga hasil kerjanya bisa untuk optimal. Wallahu A'lam.

Read More..

8/27/2006

Cerita Makan Malam Menu Sate Ayam

Malam itu saya betul-betul lapar. Dalam perjalanan pulang ke rumah dari mengunjungi seorang teman, saya memberhentikan kendaraan di depan sebuah warung sederhana, penjual sate ayam. Saya memesan satu porsi karena memang saya sendirian. Tidak lama kemudian, hidangan sate ayam pesanan saya telah tersaji dengan rapi. Tercium aroma sate yang lezat dan sayur sop yang wangi. Ingin rasanya segera mencicipi hidangan itu.


Namun alangkah terkejutnya, ketika saya mengingat berita-berita yang saya baca di koran tadi pagi. Virus flu burung telah terjangkit di kota Palu. Banyak ayam yang mati mendadak. Pemerintah kota Palu segera bergerak cepat menangani virus mematikan tersebut. Berita itu kemudian dilansir oleh banyak media elektronik nasional sehingga beritanya cepat menyebar dan mempengaruhi selera makan saya.

Saya bergumam dalam hati, bahwa saya sebenarnya telah memilih masuk pada warung salah. Kenapa sate ayam ini yang menjadi menu malamku? Bukankah sepanjang yang jalan yang kulewati tadi berderet rumah makan yang menyediakan menu lain? Ah, saya mungkin lagi sial malam ini. Saya kemudian berdoa, semoga sate ayam ini steril dari virus flu burung,Amin.

Akibat terlalu lapar dan sudah terlanjur pesan, akhirnya saya menyerah sama "takdir". Saya harus ikhlas makan sate ayam ini. Tetapi sebelum mencicipi, akibat ketakutan dan kekuatiran yang berlebihan, saya "introgasi" dulu pemilik warung ini. Layaknya Wianda pusponegoro, penyiar berita Metro TV yang memang saya kagumi itu, saya melakukan wawancara dengan profesional. Dimana ayam ini dibeli? Bagaimana kondisi ayam ini saat dibeli, sehat atau sakit? Siapa yang memotongnya?...

Kalimat pertanyaanku meluncur deras. Belum selesai narasumberku menjawab, datang lagi pertanyaan berikutnya.Karena keingintahuanku yang sangat besar, maka segala jawaban yang diberikan rasanya tidak memuaskan. Akibatnya saya memutuskan untuk tidak menghabiskan menu sate ayamku yang sebebenarnya enak.

Saya sebenarnya mengetahui bahwa ayam yang telah dimasak pada suhu sekitar 80 derajat celcius telah bebas virus ini. Saya juga mengetahui cara-cara penularannya. Saya memang rajin mencari informasi mengenai virus flu burung ini. Bila ingin mngetahui secara detail,bukalah website Departemen Kesehatan RI(www.depkes.go.id). Tapi mengapa saya begitu ketakutan dan mengalami kekuatiran?

Rasa kuatir dan ketakutan itu sebenarnya bersumber dari tingkat kepercayaan saya yang lemah terhadap pemerintah. Kinerja pemerintah dalam menuntaskan berbagai masalah ditengah masyarakat sangat minim. Saya menilai tindakan pemerintah serba ragu-ragu dalam memutuskan suatu tindakan. Pemerintah tidak peka terhadap persoalan dimasyarakat. Pemerintah tidak punya komitmen sehingga data kemiskinan pun berupaya dikelabui.

Biar jelas, saya berikan dua contoh ssja. Kebetulan dua kasus ini masih terkatung-katung penyelesaiannya.Pertama, kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Sejak bulan Mei sampai Agustus ini belum ada titik terang kapan lumpur panas itu bisa dihentikan. Bahwa usaha-usaha penghentian ini terus dilakukan, itu betul. Dan bahwa kasus itu sepenuhnya tanggung jawab PT. Lapindo, itu juga benar. Bahwa segala kerugian baik materil maupun immateril harus sepenuhnya dibebankan pada PT.Lapindo, itu juga tidak salah. Tetapi saya tidak melihat peran pemerintah minimal sebagai fasilitator,kalau bisa menekan, untuk mengakomodasi tuntutan segala kerugian dari masyarakat korban. Pamerintah juga serba ragu dalam menyeret PT.Lapindo ke meja hukum. Padahal sudah jelas, kasus tersebut jelas dikategorikan sebagai corporate crime.

Kedua, kasus Tibo dan kawan-kawannya. Sejumlah pengamat yang saya cermati pernyataannya,semua menginginkan agar pelaksanaan hukuman mati harus segera dilaksanakan.Tidak boleh ada penundaan lagi. Argumentasi hukumnya sangat kuat. Keputusannya hukum sudah jelas, sudah final yakni eksekusi mati. Tapi saat ini pemerintah belum melaksanakan juga eksekusi itu. Padahal, dampaknya sudah terasa ditengah masyarakat. Masyarakat kemudian tebelah lagi menjadi dua kelompok, ada pro dan kontra. Ironisya segregasi masyarakat itu sangat tidak sehat, karena kesannya dipengaruhi agama dan ideologi keyakinan masing-masing. Padahal pelaksanaan hukuman mati tersebut,sebenarnya merupakan penegakan hukum saja.Tidak ada urusannya dengan keyakinan agama dan ideologi apapun. Masalah Tibo merupakan contoh pembelajaran hukum yang paling buruk di Indonesia.

Nah, alasan ketakutan dan kekuatiran mudah-mudahan menjadi jelas. Mengurus hal-hal yang tampak nyata saja pemerintah tidak mampu dan tidak serius. Apalagi mengurus makhluk mikroskopis yang namanya virus flu burung ini. Ah, kita sudah saja. Saya jadi tambah ngeri, lagipula saya masih lapar...maaf! >

Read More..

8/26/2006

Nasionalisme Dan Negara Bangsa Menurut Nurcholish Madjid

Tanggal 29 Agustus 2006 Nurcholish Madjid genap setahun berpulang ke Rahmatullah. Bangsa Indonesia merasa sangat kehilangan oleh seorang yang punya pikiran mendalam. Dalam sejarah hidupnya Cak Nur telah mengabdikan diri sebagai salah seorang pemikir yang sangat konsen terhadap masalah bangsa dan negara. Pemikirannya pun banyak dianut sehingga berhasil memberikan corak pemahaman keagamaan tertentu pada sebagian masyarakat Indonesia.


Sedikit Sketsa Pemikiran Cak Nur
Bila dipetakan secara makro, pemikiran Cak Nur dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pemikiran Keislaman dan kedua, pemikiran Keindonesiaan. Pemikiran Keislaman Cak Nur bersumber dari latarbelakang pendidikannya yang sejak awal memang menggeluti disiplin ilmu keislaman. Sedangkan pemikiran Keindonesiaan Caknur lebih banyak diperoleh dari perguatannya dengan literatur maupun hasil perenungannya setelah terlibat dalam aktivitas sosial kemasyarakatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun benang merah kedua jenis pemikirannya terletak pada subtansi nilai yang ingin disampaikan yaitu nafas keislaman. Bisa dikatakan nafas atau subtansi keislaman itulah yang menjadi core pemikirannya. Misalnya bila berbicara demokrasi, disamping merujuk pada sejumlah literatur barat, ia terutama mengambil pesan-pesan dari Al-Qur’an maupun contoh-contoh pelaksanaannya pada prilaku masyarakat Islam klasik yang memang sangat dikaguminya. Dari kedua jenis pemikirannya ini masyarakat kemudian memberi identitas sekaligus sanjungan berupa gelar teolog dan guru bangsa.

Pemikiran Cak Nur sangat mendalam karena disertai oleh bangunan penalaran yang sistematis sehingga uraian argumentasinya terkesan sangat kuat. Namun demikian ada beberapa pemikiran Cak Nur yang menjadi kontoversial dikalangan masyarakat umum maupun dikalangan cendekiawaan. Spektrum kontroversi ini tidak terbatas pada pemikiran Keislamannya, tapi juga pemikirannya Keindonesiaannya. Contoh pemikirannya Keislaman yang kontroversial adalah masalah sekularisasi yang oleh kalangan cendekiawaan lain disebut telah menyimpang dari nilai Islam. Sedangkan contoh pemikiran keindonesiaanya yang banyak diperdebatkan adalah ketika dia mengintrodusir jargon “Islam Yes, Partai Islam No” dan idenya tentang perlunya oposisi bagi pemerintahan.

Terlepas dari dari adanya sisi kontroversial, tersembul hikmah yang ada dibaliknya. Misalnya, ada debat atau dialog diantara kalangan cendekiwaan Islam sendiri. Ada transaksi intelektual sehingga masyarakat menjadi kritis yang pada akhirnya menimbulkan kemajuan, tidak statis. Banyak yang setuju pemikiran Cak Nur tetapi banyak pula yang tidak. Hingga kemudian masyarakat bisa menyimpulkan bahwa begitu banyak warna dan corak pemikiran keislaman, sehingga absolutisme terhadap suatu jenis pemikiran menjadi nisbi belaka. Setiap pemikiran memang perlu dikritisi, dievaluasi dan diperiksa kembali sehingga tidak menjadi dogmatis.

Nasionalisme dan Negara Bangsa
Isu nasionalisme menjadi debat rutin setiap bulan Agustus. Sebuah hipotesis mengatakan, timbulnya berbagai masalah pada bangsa Indonesia, disamping karena komitmen moral yang lemah terhadap ajaran asasi agama, juga disebabkan oleh pemahaman hakekat atau subtansi keindonesiaan yang kurang. Mungkin itulah sebabnya Cak Nur dalam buku terakhirnya berjudul “Indonesia Kita”(2003), menguraikan noktah-noktah subtansi yang dipahaminya terhadap Indonesia. Buku tersebut ditulis dalam rangka memberi penjelasan secukupnya terhadap sepuluh flatform yang ditawarkan untuk membangun kembali Indonesia.

Pertama diuraikan bahasan Nasionalisme klasik di Nusantara. Ditegaskan, nasonalisme klasik di Nusantara mula-mula timbul akibat adanya berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia Tengara ini, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil dalam lingkungan yang terpisah-pisah. Kenyataan ini mendorong timbulnya sifat-sifat maupun ciri-ciri khas kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan. Adanya kenyataan ini dapat dipandang sebagai kekayaan maupun kerawanan. Sebagai kekayaan, tulis Cak Nur, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui silang budaya (cross cultural fertilization). Sebagai kerawanan, lanjutnya, keanekaragaman budaya dapat melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu Asia Tenggara selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Jadi Indonesia memang besifat plural pada awalnya sehingga menginkari sifat tersebut sama dengan mengingkari salah satu subtansi Indonesia. Bangunan pluralisme harus diperkuat melalui silang budaya sehingga jalinan dan ikatan kebangsaan menjadi kokoh dan kuat.
Terdapat kenyataan lain bahwa adanya bibit-bibit nasionalime klasik itu dipermudah oleh sebuah budaya yang berdimesi hemispheric islam yaitu suatu pola budaya umum yang meliputi hampir seluruh belahan bumi timur sejak dari wilayah-wilayah Afrika dan Eropa pada tepi lautan Atantik sampai kepada wilayah Zaitun (sekarang Guangzhou) di dataran Cina pada tepi laut Tengah. Hal inilah menurut CakNur mempermudah agama Islam masuk kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Perkembangan budaya hemispheric ini berlanjut pada Indonesia moderen dimana banyak sekali nomen klatur perpolitikan nasional yang bersumber atau setidaknya dapat dijelaskan berdasarkan ajaran Islam. Misalnya tentang “Negara bangsa” atau “Nation-State”.

Nation- State atau Negara Bangsa sebagaimana penjelasan Cak Nur dalam buku Itersebut, adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Dengan kata lain negara bangsa adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Tujuan Negara bangsa ialah mewujudkan maslahat umum, suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali.

Dalam realitas Indonesia kekinian pelaksanaan konsep atau tepatnya subtansi negara bangsa belum dijalankan dengan komitmen yang sungguh-sungguh. Ada golongan yang sangat kaya tetapi lebih banyak yang miskin. Kesejahteraan belum merata. Keadilan belum ditegakkan secara sungguh-sungguh. Pemerintah, pengusaha maupun politisi belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah menggadaikan asset bangsa kepada Negara asing dan seterusnya.
Diakhir hayatnya ternyata Cak Nur masih memikirkan kepentingan Negara bangsa secara keseluruhan. Dia menutup kalimat terakhir buku itu dengan menulis, “kita harus menemukan cara untuk mengatasi persoalan bangsa dan negara kita, sekali ini dan untuk selama-lamanya (once and for all). Hanya dengan tekad serupa itu kita akan terhindar mengalami krisis lagi yang tanpa berkesudahan. Now or Never!”




Read More..

8/24/2006

Belajar Dari Fenomena Fadel Muhammad

Pada Pilkada Gubernur yang telah berlangsung di Sulawesi Tengah beberapa bulan yang lalu tercatat ada empat pasangan yang maju bertarung. Sekedar mengingatkan mereka adalah pasangan Aminuddin Ponulele- Sahabuddin Mustapa, Rully Lamadjido-Sudarto, Bandjela Paliudju- Ahmad Yahya dan Muis Taher- Yusuf Paddong. Kempatnya sangat optimis memenangkan pertarungan. Di Sulawesi Utara lebih banyak lagi yaitu lima pasang. Mereka adalah SH. Sarundayang-F. Sualang, Ferry Tinggogoy- Hamdy Paputungan, AJ. Sondakh- Aryanti Baramuli, Wenny Warrow-Marhany Pua dan Hengky Baramuli-Dirk P.Togas. Kelimanya pun sama-sama mempridiksi akan memenangkan pertarungan.Begitupun di banyak daerah lain, pilkada senantiasa penuh dengan rivalitas politik. Segala macam strategi dan taktik digunakan oleh setiap pasangan demi sebuah kemenangan.

Di Provinsi Gorontalo tidak demikian. Rivalitas Pilkada diramalkan tidak akan berlangsung sengit. Karena sampai dengan batas waktu pendaftaran kandidat tanggal 18 Agustus, baru satu pasangan yang mendaftar yakni Fadel Muhammad- Gusnar Ismail. Karena undang-undang tidak membenarkan hanya ada satu pasangan calon , maka waktu pendaftaran kemudian diperpanjang hingga akhir Agustus untuk memberikan kesempatan lagi bagi para kandidat lain.
Kombinasi pasangan Fadel-Gusnar mempunyai posisi politik yang sangat kuat dpandang dari sudut institusi maupun massa. Setidaknya ada tiga factor penyebabnya. Pertama, incumbent factor. Secara alamiah, posisi seorang incumbent sebenarnya lebih menguntungkan ketimbang lawan lainnya dalam persaingan pilkada. Walupun secara resmi penggunaan struktur kekuasaan dilarang namun posisi incumbent jelas sangat strategis. Hubungan yang sudah terjalin dengan berbagai perangkat pemda di berbagai tingkatan termasuk staf kantor kelurahan/desa juga memudahkan para incumbent mendapat dukungan jaringan sosial. Bagi figur incumbent yang berada di wilayah perkotaan, tempat media massa sudah berkembang dengan baik, juga berpotensi menguntungkan melalui liputan pers selama mereka menduduki jabatan publik. Hal ini yang akan mempermudah menjalankan politik sosialisasi. Dengan demikan modal pertama dan yang paling utama bagi para incumbent telah dipegang yakni popularitasnya yang sudah terbangun sejak mereka menduduki jabatan publik tersebut.
Kedua, Golkar factor. Partai Golkar jelas punya massa tradisional yang riil sampai saat ini. Partai golkar juga punya jaringan struktur sampai ditingkat kelurahan dan desa. Apalagi Partai Golkar merupakan partai pemenang di Gorontalo. Semua faktor tersebut dapat memberikan kekuatan massa bagi pasangan ini. Walaupun demikian posisinya sebagai ketua partai juga dapat menjadi salah satu kelemahan. Mereka dapat dicitrakan sebagai milik partai ini saja, sebuah identitas lama pemegang status quo politik.
Ketiga, Fadel factor. Siapapun tahu dibalik bergairahnya pembangunan di Gorontalo, fadel merupakan key factor. Dia mempunyai visi tajam dalam membangun daerahnya. Visinya yang berbasis pada entrepreneur government berjalan menuju kesuksesan. Dengan latarbelakang sebagai seorang pengusaha yang didukung oleh networking nasional, memudahkan dia melakukan branding maupun kemitraan bagi Gorontalo. Hal ini sudah banyak terbukti, misalnya ia berhasil mencitrakan Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi jagung. Dengan menetapkan jagung sebagi komoditi unggulan maka kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. Dia juga berhasil menjual potensi teluk Tomini yang sebenarnya paling luas milik sulawesi Tengah dan mendatangkan banyak investor ke Gorontalo. Ini semua membuat masyarakat Gorontalo bersimpati. Meskipun ia bukan orang Gorontalo asli (putra daerah) tapi ia sukses memimpin gorontalo. Sementara Gusnar anak muda energik yang berlatar belakang birokrat. Perpaduan ini merupakan comparative advantage bagi pasangan ini
Keberhasilan Fadel memimpin gorontalo atau bahkan sulawesi dengan konsep agropolitan dan ingin menjadikan sulawesi pulau jagung menjadikan dirinya calon gubenur yang tangguh dan populer di mata rakyatnya. Kekuatan yang dimiliki ini mengakibatkan dirinya sangat perkasa dan sangat percaya diri untuk maju kembali jadi Gubenur periode 2006-2011.
Dengan modal popularitas dan sukses membangun Gorontalo, dia menjadi populer di mata rakyatnya dan bahkan seluruh Indonesia. Dengan popularitas dan full power yang dimiliki oleh fadel menjadikan para broker politik dan team sukses kurang berdaya untuk "memainkan" perannya di masyarakat, termasuk memasukkan berbagai macam program dan proposal atas nama komunitas menjadi tidak laku. Boleh dikata tanpa tim sukses dapat diperkirakan Fadel tetap memenangkan Pilgub Gorontalo, apalagi sampai sekarang baru satu pasangan yang mendaftar. Inilah yang kemudian membuat calon lain minder, tidak terkecuali Rahmat Gobel pengusaha nasional yang pada awalnya digadang-gadang oleh beberapa partai, pada akhirnya ragu dan tidak berani berhadapan dengan dengan Fadel, meskipun yang bersangkutan putra daerah.
Skenario yang disiapkan sekarang oleh Fadel untuk sekedar memenuhi tuntutan undang-undang agar proses Pilgub Gorontalo berjalan tanpa calon tunggal, ia menyiapkan orangnya untuk maju, boleh disebut sebagai boneka. Bagi kita ini sesuatu yang tidak elok, karena hanya akan memboroskan anggaran. Bila ada cela hukum ada baiknya disahkan saja. Dan kedepannya undang-undang tentang pilkada harus diamandemen untuk mengakomodasi peristiwa semacam ini. Alternatif solusi pada kondisi demikian baiknya, jika terjadi calon tunggal tidak perlu dilakukan pemilihan langsung disahkan oleh KPU saja. Bila langkah itu dilakukan dapat menghemat biaya puluhan triliun, biaya dialihkan saja untuk kegiatan pembangunan bagi masyarakat banyak. Ini juga menjadikan proses politik lancar dan tidak membuang-buang anggaran yang banyak. Wallahu A’lam.Tulisan ini di tulis bersama Amir Arham seorang Staf pengajar UNG

Read More..

8/20/2006

Menghapus Trauma Konflik Poso

Bisa saja bangunan-bangunan rumah, tempat ibadah, pasar, terminal yang terbakar pada konflik Poso yang lalu, tidak lagi ditemukan bekas-bekasnya sekarang ini karena sudah direhabilitasi. Namun trauma akibat konflik tersebut pasti masih terbayang ataupun membekas dalam ingatan orang, terutama pelaku ataupun korban yang mengalaminya baik secara langsung maupun tidak langsung. Menghapus trauma memang tidak semudah membangun bangunan yang baru untuk mengganti yang telah rusak. Hal tersebut disebabkan konflik itu melibatkan massa, trauma yang ditimbulkannya adalah trauma kolektif. Efeknya bukan kesadaran historis yang berbasis peristiwa melainkan kesadaran yang berbekas dalam jiwa. Bekas peristiwa itu kemudian yang membentuk pola-pola kesadaran ataupun struktur mental yang negatif yang akan mempengaruhi prilaku aktual.

Tampaknya hal tersebut telah menjadi kesadaran dari berbagai pihak. Misalnya beberapa program yang telah dilakukan oleh pihak Polda Sulteng untuk menghibur para korban. Hal tersebut memang penting tapi tidak cukup. Sifat menghibur adalah menyenangkan tapi hanya sesaat, tidak abadi. Bila sudah bosan akan tidak efektif lagi. Karena itu diperlukan terapi yang menyeluruh terhadap semua yang terlibat, tidak terkecuali pihak kalah ataupun menang, Islam atau Kristen, penduduk Poso atau bukan dan seterusnya.

Lalu, apakah yang disebut trauma? Trauma adalah bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam, tulis Budi F. Hardiman (2005) dalam sebuah bukunya. Sedangkan peristiwa negatif menurutnya adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, dan manusia terseret ke dalam hal yang menakutkan itu tanpa mampu mengendalikan dirinya. Konflik Poso adalah peristiwa negatif karena didalamnya terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan, penindasan dan seterusnya pada manusia. Seterusnya, mengingat peristiwa konflik Poso sama dengan mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa negatif tersebut. Bagi korban yang mengalami atau melihat pembantaian keluarganya misalnya, berarti me-rewind peristiwa tersebut seakan baru saja terjadi di depan matanya. Inilah yang kemudian menimbulkan trauma.
Dampak dari peristiwa ini semakin membesar apabila dalam peristiwa negatif tersebut melekat suatu identitas tertentu misalnya agama. Penderitaan seorang individu menjadi penderitaan kolektif karena orang tersebut menganut agama yang sama dengan dirinya. Maka penderitaan yang dialami harus dibalaskan oleh semua orang yang seagama. Konflik Poso bermula dari sebuah kriminal murni yaitu perkelahian dua orang anak muda yang kebetulan berbeda agama. Terlepas dari adanya penyebab lain, perkelahian itu kemudian mejadi kerusuhan sosial yang berbau Sara yang massif.

Dikarenakan konfliknya bersifat massif maka trauma individu menjadi trauma kolektif atau dialami oleh banyak orang. Trauma itu sendiri, tulis Budi Hardiman, adalah berbasis peristiwa tapi trauma itu sendiri tidaklah berciri peristiwa. Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu, tulis Budi Hardiman, juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya.

Jika orang mengalami trauma maka akan susah menghapusnya.Apa yang dialami pada suatu peristiwa seakan-akan terulang terus-menerus seperti mesin yang digerakkan secara mekanis. Jika korban mengingat peristiwanya maka ia seakan-akan mau membalas peristiwa tersebut seketika. Sebaliknya korban mengingat ulang peristiwanya demi menghindari peristiwa itu kemudian terjadi lagi di masa depan. Karena itu menurut Budi Hardiman, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian dari mekanisme psikis yang tidak pernah dilepaskan. Korban ingin melupakannya, tetapi justru mengingatnya. Ingatannya akan negativitas peristiwa itu menajam justru saat dia ingin melupakannya. Budi Hardiman menyimpulkan, mengingat dan melupakan seolah-olah bergerak dalam sistem-sistem paksaan psikis dalam diri korban.

Dengan demikian prosesi pemaafan menjadi sulit. Si korban bukannya tak mau memaafkan pelaku, melainkan tak mampu keluar dari jerat-jerat prasangka yang menimpanya setiap saat. Bila ia memaafkan pelaku berarti dia merasa diinjak-injak harga dirinya. Gejolak batinnya ditindas oleh pelaku. Dia tak punya harga diri lagi. Terjadilah konflik batin yang menyesakkan dada. Ketika ego lebih besar yang dominan maka tindakan balas dendam menjadi sesuatu yang alamiah dan wajar.

Oleh karena itu diperlukan detraumatisasi.Detraumatisasi menurut Budi Hardiman, harus dimulai dengan semacam askese duniawi yang ditandai oleh tiga latihan, yaitu diam, ketenangan hati, dan merelakan. Penjelasannya sebagai berikut. Diam, bukanlah hilangnya bunyi, juga bukan membisu melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Manusia sebagai elemen massa mendengar prasangka kolektifnya dan bertindak menurutnya. Ada pemaksaan dari prasangka kolektifnya sehingga ia secara terpaksa juga bertindak walaupun tidak sesuai hati nurani. Hati nurani dipenjarakan oleh sebuah prasangka kolektif. Karena itu untuk menepis prasangka orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah diam, sebagai pertanda memuncaknya bahasa, kulminasi komunikasi.

Ketenangan hati lahir dari sikap mendengarkan. Ketenanganan hati dapat dicapai melalui pengumpulan diri. Ketenangan hati diperoleh dari sebuah sikap keterbukaan. Di dalam ketenangan hati korban berkata “ya” sekaligus “tidak” terhadap traumanya. Dia berkata “ya” karena bekas traumatis itu membentuk jati diri individu dan sosialnya. Tetapi dia berkata “tidak”, karena jati diri itu mengarah ke masa depan. Diri yang tercerai berai oleh trauma dapat melupakan trauma dengan lari dari ketenangan hati dan membenamkan diri dalam kegaduhan. Tetapi ketercerai-beraian ini itu hanya dapat dikumpulkan kembali lewat membiarkan yang telah lewat, lewat langkah-langkah panjang dari kesabaran.

Askese untuk diam dan pengumpulan diri berkaitan dengan hal yang dasariah ini: merelakan. Merelakan berarti membiarkan ada. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu upaya memutus rantai kekerasan. Detraumatisasi dimulai dengan merelakan. Artinya, tidak menghantam kata-kata dengan kata-kata-karena selama itupula orang masih berkubang dalam prasangka kolektif- melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Dan, dalam sikap mendengarkan orang menjadi dekat dengan dirinya, mengumpulkan diri dan memasuki ketenangan hati.

Jalan untuk menghapus trauma di Poso mungkin masih jauh. Demonstrasi baik pro maupun kontra terhadap hukuman mati Tibo dan kawan-kawan adalah cerminan sikap yang tidak bisa diam. Juga menggambarkan sebagai orang yang tidak memiliki ketenangan hati. Di atas segalanya demontrasi itu juga sebagai sikap yang tidak merelakan. Seperti kata Budi Hardiman, detraumatisasi adalah tindakan merelakan. Merelakan berarti melampaui mengingat dan melupakan.

Menghapus trauma konflik Poso bukan perkara memberikan kepuasaan material ekonomi atau memenuhi hasrat politik. Apalagi menghapus trauma bukan hanya sekedar menghadirkan artis dangdut untuk menghibur janda-janda korban kerusuhan Poso. Menghapus trauma harus dapat menyentuh kedirian yang terdalam bagi siapa saja yang mengalami. Jalannya berupa pendidikan dan pengasuhan yang harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri.Ini membutuhkan kearifan, hati nurani dan fikiran yang jernih. Bagaimana Pak Kapolda, setuju? Wallahu A’lam

Read More..

8/15/2006

Menjadi Bangsa No 1 di Asia

Pada Tahun 1970, seorang duta besar Amerika Serikat yang pernah bertugas di Indonesia, Howard Palfrey Jones pernah mengungkapkan bahwa ada potensi bangsa Indonesia menjadi No. 1 di Asia dalam perkembangan ekonomi 30 tahun akan datang. Dalam bukunya, Turn around in Indonesia” yang diringkaskan oleh majalah Rider’s Digest Edisi Asia ia mengatakan, “adapun untuk masa depan, berbagai pertanda adalah cemerlang. Indonesia punya potensi untuk menjadi bangsa No. 1 Asia dalam perkembangan ekonomi dalam 30 tahun mendatang, terkecuali Jepang dan barangkali Cina yang menjadi tanda tanya besar itu. Ia memiliki sumberdaya alam, dan mempunyai rakyat bermutu yang berakar dalam tradisi budaya yang vital”.

Seandainya ramalan tersebut terbukti, maka dapat dibayangkan bahwa bangsa kita setara kemajuannya dengan bangsa Jepang saat ini. Sayang sekali setelah 36 tahun kemudian prediksi tersebut ternyata tidak terbukti. Justru Jepang dan Cina yang dikatakannya masih tanda tanya besar yang menjadi No. 1 Asia. Mengapa?Jika pertanyaan ini diajukan pada Kishore Mahbubani, Duta besar Singapura di PBB, maka dengan mantap ia akan menguraikan jawabannya dengan mengaitkannya dengan kemampuan berfikir sebuah bangsa.


Dalam bukunya yang provokatif berjudul “ Bisakah Orang Asia Berfikir?” ia menjawab pertanyaan tersebut dengan tiga kemungkinan jawaban. Pertama, orang Asia tidak bisa berfikir. Menurutnya, indikasi orang Asia tidak bisa berfikir karena kenyataan pada saat seribu tahun yang lalu peradaban Asia yang diwakili oleh peradaban Islam dan Konfusian masih memimpin dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dunia pengobatan dan astronomi.Sebaliknya Bangsa Eropa pada saat itu masih berada dalam masa “kegelapan” yang dimulai ketika Kekaisaran Romawi runtuh pada abad kelima. Gambaran “zaman gelap” Eropa itu dilukiskan oleh Will Durrant dalam The Age Of Faith seperti ini, “Eropa Barat pada abad ke enam mengalami kekacauan penaklukan, perpecahan dan barbarisasi kembali. Banyak kebudayaan klasik bertahan, hampir semuanya dalam kesunyian dan tersembunyi dalam sedikit kuil dan tradisi beberapa keluarga. Tapi fondasi fisik dan psikologis tatanan sosial telah sangat parah sehingga diperlukan beberapa abad untuk merestorasi kembali. Kecintaan pada kebudayaan, perkawinan silang pemikiran yang saling bergesek, runtuh pada zaman perang, resiko yang berbahaya dalam bepergian, kemiskinan ekonomi, kebangkitan bahasa-bahasa lokal, sirnanya bahasa Latin dari Timur dan Sirnanya bahasa Yunani dari Barat”.


Dengan latar belakang ini, tulis Mahbubani, bodoh jika kita memperidiksi pada saat itu bahwa di melineum kedua, peradaban Cina, India dan Islam akan terpuruk ke dalam keterpencilan sejarah, sementara Bangsa Eropa akan muncul menjadi peradaban pertama yang pernah mendominasi dunia. Yang sangat mengejutkan, justru Bangsa Eropalah yang maju ke depan. Jika orang Asia bisa berfikir, kata Mahbubani, mengapa saat ini hanya satu bangsa Asia (Jepang) yang mampu meyetarakan dirinya dengan bangsa Barat?
Kedua, orang Asia bisa berfikir. Hal ini ditandai oleh kemajuan ekonomi Asia Timur saat ini. Ekonom Bank Dunia yang juga peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz melukiskan gambaran kemajuan ekonomi Asia tersebut dalam Asian Wall Street Journal seperti ini, “ Keajaiban Asia Timur adalah fakta nyata. Transformasi ekonomi Asia Timur telah menjadi salah satu prestasi luar biasa dalam sejarah. Gelombang yang dramatis dalam standar hidup yang lebih tinggi unutk ratusan juta orang Asia, mencakup harapan hidup lebih lama, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan jutaan lainnya telah mengentaskan dirinya dari kemiskinan, dan saat ini mengarah pada kehidupan yang penuh harapan. Pencapaian-pencapaian ini betul-betul nyata, dan akan jauh lebih permanen daripada kekacauan yang sering terjadi saat ini”.
Mahbubani juga melihat adanya perubahan penting dalam pola pikir orang Asia saat ini. Misalnya selama berabad-abad orang Asia percaya bahwa satu-satunya cara meningkatkan diri adalah usaha menandingi bangsa Barat. Saat ini orang Asia masih melihat puncak kesenangan yang dihuni sebagian besar masyarakat Barat. Tapi mereka juga melihat , di luar puncak itu, pilihan-pilihan alternatif yang bisa dijadikan model bagi masyarakatnya sendiri.


Ketiga, mungkin orang Asia bisa berfikir. Salah satu pertanyaan terpenting orang Asia kepada diri mereka sendiri, tulis Mahbubani, adalah pertanyaan sederhana, berapa banyak masyarakat Asia, kecuali Jepang (Negara yang diterima oleh kelompok Barat), yang benar-benar percaya kalau masyarakatnya bisa berhasil dan mencapai kemajuan, dalam pengertian yang paling komprehensip, seperti negara maju di Amerika Utara dan Eropa Barat? Jika jawabanya tidak ada, atau mungkin hanya sedikit maka alasan untuk jawaban mungkin menjadi lebih kuat.
Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan kontemporer Bangsa Indonesia seperti masalah kemiskinan maka kita harus mampu menjawab “bisa” - tegasnya bangsa Indonesia bisa berfikir - dengan mantap. Menurut Dawam Rahardjo dalam kata Pengantar buku tersebut setidaknya ada tiga cara untuk menunjukkan kemampuan berfikir kita demi meraih kemajuan di masa depan.


Pertama, adalah melalui integrasi dengan perekonomian dunia yang kapitalis dan mengikuti atau memanfaatkan globalisasi. Cara seperti ini telah ditempuh oleh Jepang dan Negara-negara Empat Macan Asia dan hampir diikuti dengan berhasil oleh negara-negara Asia Tenggara.


Kedua, dengan mengambil aspek yang baik dari kapitalisme atau sosialisme dan membuang aspek buruknya. Hal ini dilakukan dengan melakukan kritik dan mengembangkan Oksidentalisme, sebagaimana Barat di masa lalu mengembangkan Orientalismenya. Disini Dunia ketiga bisa mengikuti globalisasi tetapi globalisasi moral dan etika, seperti demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kesetaraan Gender dan keterbukaan masyarakat.


Ketiga, adalah melakukan strategi “delinking” yang pernah diusulkan oleh Ivan Illich atau Tetonio De Santos dan penganjur- penganjur teori Dependensia lainnya. Asumsinya, makin jauh dari kapitalisme dan Imprealisme, suatu bangsa akan lebih mampu melakukan pembangunan secara sehat sebab jauh dari faktor distorsi. Contohnya adalah Iran dan Kuba.


Disamping ketiga cara di atas saya menambahkan aspek kultural maupun mentalitet. Kemajuan Jepang maupun negara lain juga tidak terlepas oleh sebuah kultur dan mentalitet yang mendukung kemajuan negaranya.


Dalam usia 61 tahun kemerdekaan ini, kita perlu merefleksi terhadap gugatan Kishore Mahbubani di atas. Selanjutnya kita memperkuat kemampuan berfikir agar harapan yang pernah dilontarkan oleh Duta Besar Amerika itu dapat menjadi kenyataan dalam waktu tidak lebih dari 50 tahun dari sekarang. Jika itu berhasil maka minimal dalam perayaan usia kemerdekaan yang ke 100 kita bisa merayakan tanda-tanda Indonesia sebagai bangsa nomor satu di Asia. .Wallahu A’lam.

Read More..

7/30/2006

Paliudju Dan Prilaku Pemilih

Tahapan yang paling penting dari pilkada gubernur telah selesai dilaksanakan. Bila mengamati hasil pemilihan tersebut kita dikejutkan oleh kemenangan (sementara) oleh Pasangan H. Bandjela Paliudju-H. Ahmad Yahya. Pasangan yang bernomor dua ini mengalahkan pasangan yang difavoritkan yakni Aminuddin Ponulele-Sahabuddin Mustapa(AS) dan Ruly Lamadjido- Sudarto(RS)

Mengejutkan, karena pasangan tersebut- dibanding dengan pasangan AS maupun RS- dalam kampanyenya tidak memperlihatkan kemeriahan atribut mapun massa. Mereka hanya berkampanye dengan pawai kendaraan yang jumlahnya juga tidak sebanyak dua pasangan tersebut atau hanya melakukan kampanye simpatik dengan mendatangi kantung-kantung pemilih. Ini pun mereka tidak sempat mendatangai seluruh wilayah.
Namun hasilnya sungguh di luar dugaan banyak orang. Pasangan AS ini mampu menguasai basis-basis kedua pasangan tersebut. Tercatat ada enam kabupaten yang menjadi basis pemilihnya yang terbesar, yakni Palu, Donggala, Parimo, Poso, dan Buol. Apa yang menjadi faktor dari kemenangan tersebut?

Tinjau Ulang Metode Kampanye
Salah satu faktor yang harus menjadi perhatian para figure yang akan bertarung pada pilkada ke depan adalah metode kampanye. Pelajaran yang didapat dari Pilkada Gubernur Sulteng membuktikan metode kampanye konvensional sudah harus dievaluasi. Lihatlah misalnya, Pasangan AS maupun Ruly dalam setiap kampanye monologis mengumpulkan massa yang jumlahnya puluhan ribu (minimal sepuluh ribu). Belum lagi dukungan atribut lain, spanduk, posko. Striker, Baliho,famflet yang jumlahnya ribuan serta iklan di media massa cetak dan elektronik.
Bila yang menjadi ukuran kemenangan adalah jumlah massa yang hadir dilapangan dan atribut kampanye maka seharusnya yang meraih suara terbanyak adalah pasangan AS atau RS. Namun tidak demikaian halnya.
Justru yang meraih suara terbanyak( sementara) adalah pasangan yang tidak berkampanye dilapangan dengan puluhan ribu massa yang didukung oleh ribuan stiker dan spanduk. Maka boleh kita mengambil kesimpulan bahwa kampanye konvensional dengan menghadirkan ribuan massa ternyata tidak efektif baik untuk membujuk pemilih maupun sebagai sugesti (show of force).
Sudah umum diketahui bahwa sebagian besar massa yang hadir pada saat kampanye memang bukan untuk mendengarkan orasi politik dari para jurkam. Tetapi mereka hadir hanya untuk sekedar ramai-ramai menyenangkan diri. Apalagi pada setiap kampanye memang disediakan hiburan yang menghadirkan artis-artis.

Mengapa Pasangan BP_AY Unggul?

Tentu kita bertanya metode kampanye bagaimana yang digunakan pasangan BP-AY sehingga dapat meraih suara terbanyak? Saya juga tidak yakin sepenuhnya yang memilih pasangan tersebut karena factor kampanye secara langsung. Namun sudah pasti ada factor-faktor lain yang secara tidak langsung mengungtungkan kandidat tersebut.
Pertama, kondisi keamanan Sulteng khususnya kota Palu dan Poso. Sejak pecahnya konflik Poso tahun 1998 daerah ini tidak pernah aman seperti sebelumnya. Walaupun sudah ada perjanjian Malino tapi tetap saja ada gangguan keamanan yang terjadi.Misalnya terjadi letusan bom di Tentena maupun Poso, Penembakan jaksa dan pendeta di Palu.
Bahkan beberapa minggu menjelang pilkada ekskalasi gangguan keamanan di Sulawesi Tengah meningkat. Pembunuhan dan penembakan siswa di Poso, penembakan dosen Untad di Palu dan yang paling mutakhir adalah peledakan bom di pasar daging babi di Palu. Semua ini dipersepsikan oleh masyarakat sebagai kegagalan pemimpin daerah ini untuk menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.
Tentu konstatasi seperti ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Karena yang yang berwewenang menciptakan rasa aman adalah para polisi dan tentara dan dibantu pemerintah daerah. Juga sering sekali masyarakat melakukan perbandingan antara priode kepemimpinan daerah. Dari hasil perbincangan dengan salah seorang masyarakat, dia mengatakan bahwa priode kepemimpinan yang lalu berlangsung aman-aman saja. Padahal dia tidak ingat bila konflik Poso tersebut jusrtu dimulai pada tahun 1998 dimasa pemerintahan HB.Paliudju.
Dengan persepsi demikian masyarakat kemudian mencari tokoh atau pemimpin yang bisa mengatasi persoalan keamanan tersebut. Masyarakat berkesimpulan figure yang diharapkan mampu untuk itu adalah dari Tentara atau Polisi. Inilah yang terjadi pada pemilihan bupati Poso dimana terpilih pensiunan Polisi dan Pilgub Sulteng dari kalangan tentara.
Kedua, terjadi rivalitas yang sangat keras antara pasangan AS dengan RS. Dengan adanya persaingan tersebut keduanya lengah membentung isu (counter issue) dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasangan BP-AY. Akibatnya gerakan-gerakan tim sukses BP-AY kemudian tidak terbaca oleh lawan. Hal inilah kemudian mendapat simpati masyarakat pemilih apalagi banyak gerakan dari kedua tim sukses tersebut overacting yang justru counter productive bagi dukungan ke kandidat. Masyarakat lalu berpikir alternative. Kemudian masyarakat memilih figure alternative yang tidak ada lain adalah HB.Paliudju. Memang ada pasangan lain yakni Yusuf Paddong-Muis Taher tapi mereka tidak terlalu dikenal oleh masyarakat pemilih.
Ketiga, Komunikasi politik semua kandidat terkesan sangat dipaksakan. Masyarakat menilai hanya karena “ada maunya” mereka baru rajin berkunjung ke daerah-daerah bahkan sampai di pelosok-pelosok. Semua figur berusaha untuk- meminjam istilah Amir Arham- sociable. Ini juga menimbulkan antipati masyarakat. Karena kebetulan pemerintah daerah saat ini dibawah komando Aminuddin Ponulele dan Rully Lamadjido maka merekalah yang kena “hukuman” dari masyarakat. Sumbangan mereka tetap diterima tapi kemudian masyarakat tidak memilih mereka.
Analisis tersebut sangat sederhana dan hanya bersifat dugaan-dugaan saja karena tidak didasari oleh suatu riset yang memadai. Karena itu menjadi tugas ilmuan politik atau peneliti memperbanyak riset mengenai prilaku pemilih agar bisa menjadi rekomendasi pada kandidat pemimpin politik sebagai bahan starategi kamapanye di kemudian hari. Wallahu A’lam.

Read More..

7/29/2006

Korupsi Dan Revolusi Kesadaran

Praktek korupsi bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari struktur pemerintahan terendah yakni RT sampai pemerintah pusat; semua pernah terjangkiti penyakit korupsi. Bahkan instansi yang kita percayakan sebagai penjaga moral bangsa yakni departemen agama juga terlibat persoalan korupsi. Legislatif pun sama saja, tidak ada yang terbebas dari persoalan korupsi.



raktek korupsi bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari struktur pemerintahan terendah yakni RT sampai pemerintah pusat; semua pernah terjangkiti penyakit korupsi. Bahkan instansi yang kita percayakan sebagai penjaga moral bangsa yakni departemen agama juga terlibat persoalan korupsi. Legislatif pun sama saja, tidak ada yang terbebas dari persoalan korupsi.

Pemberantasan korupsi telah menjadi agenda prioritas pemerintahan SBY-JK. Bahkan telah dibentuk lembaga khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus korupsi pun diberikan pengadilan khusus yakni pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).

Pelaku korupsi telah banyak yang dihukum namun masih banyak lagi yang belum tersentuh hukum. Menurut Mendagri M. Ma’ruf selama tahun 2004-2006 tercatat sebanyak 1.100 orang yang telah dihukum. Angka ini baru meliputi level gubernur, bupati/walikota dan anggota DPRD saja, belum termasuk pejabat di instansi pemerintah lainnya (detik.com, 23/3/2006).

Bahkan beberapa waktu yang lalu ada sejumlah yang diduga korupsi BLBI di bawah ke Istana. Ini menandakan pelaku korupsi sangat lihai jika berurusan dengan hukum. Ibarat belut, pelaku korupsi sangat susah untuk ditangkap mengingat badannya sangat licin. Setiap kali dijerat hukuman ada saja cara untuk melepaskan diri. Bahkan ada beberapa kasus pelaku korupsi telah dimasukkan dalam penjara tetapi kemudian dapat melarikan diri.

Kemudahan pelaku korupsi lolos dari jeratan hukuman karena disinyalir ada kerjasama antara penegak hukum dengan pelaku. Kasus Abdullah Puteh misalnya, dimana seorang pengacara terlibat dalam praktek penyuapan hakim dan jaksa yang menyidangkan kasus gubernur provinsi Aceh tersebut.

Jika korupsi telah menjadi praktek sosial yang lazim maka sebenarnya masyarakat telah dihegemoni oleh sebuah struktur atau pola yang teratur sejak lama dan selalu terulang. Pada saat kita berurusan dengan birokrasi misalnya, kita telah terbiasa memberikan sebuah tip, suap, amplop dan sejenisnya untuk memperlancar urusan kita. Birokrasi pun telah terbiasa menerima hal-hal demikian. Jadi ada pola yang resiprokal.

Ahli sosiologi kontemporer Anthony Giddens pun mengakui hal ini. Dalam kerangka teori strukturasi yang dia kembangkan, terjadinya praktek sosial adalah merupakan hasil dari suatu “struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip-prinsip praktik-praktik di berbagai tempat dan waktu merupakan hasil perulangan berbagai tindakan kita (B.Hery-Priyono, 2002).

Pada saat kita mengurus STNK, biaya yang semestinya kita bayarkan telah tertera secara jelas di STNK. Pada kenyataannya biaya yang kita bayarkan melebihi apa yang seharusnya. Begitupun apabila mengurus SIM pasti ada biaya lain entah sebagai tip pada polisi atau hal lain untuk mempermudah. Begitupun kalau masuk PNS. Ada kebiasaan untuk berkolusi pada pejabat demi kemudahan kita masuk. Masih banyak contoh lain.

Karena pengalaman memberikan biaya tambahan tersebut memperlancar urusan, kita kemudian menceritakan pengalaman itu pada orang lain untuk kasus yang sama. Jadilah orang itu melakukan hal yang sama. Semakin hari semakin bertambah dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sudah terpola. Pertanyaannya adakah kita tahu dan sadar bahwa hal tersebut termasuk kategori korupsi?

Antony Giddens menjawab bahwa kita tahu; tahu tidak harus diartikan sebagai sadar (Consicious), apalagi sebagai kapasitas untuk menjelaskan semua proses itu secara terinci, sistematis dan gamblang (B. Hery-Priyono, ibid).

Kesadaran menurut Giddens dapat dibedakan menjadi tiga dimensi. Pertama, motivasi tak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical conscious) dan kesadaran diskursif (discursive conscious).

Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan tindakan itu sendiri. Misalnya menceritakan pengalaman memberikan uang tip pada orang tidaklah dimasudkan untuk menyuruh orang untuk korupsi. Mungkin motivasinya hanya ingin menolong agar diberi kemudahan.

Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita. Misalnya jika orang menyuap itu berarti korupsi yang sangat merugikan negara. Pelakunya dapat dihukum. Dengan penjelasan tersebut maka kita bisa menghindarkan prilaku korupsi.

Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu dapat diurai. Misalnya diam saat kita memasuki rumah ibadah. Menurut B. Herry-Priyono kesadaran inilah kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat laun menjadi struktur dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial kita. Contohnya praktik menyuap yang berulang-ulang sudah menjadi kebiasaan kita. Tetapi anehnya proses reproduksi tindakan itulah yang jarang kita kritisi sekarang.

Pemberantasan korupsi hanya bisa dihentikan secara komprehensif bila kita melakukan revolusi kesadaran, dari kesadaran praktis menjadi kesadaran diskursif.Imperatif kesadaran diskursif yang bersifat internal itu harus mendapat supporting dari eksternal yakni penegakan hukum. Pertanyaannya adalah apakah kita mampu mengingat hal itu sudah menjadi kebiasaan bahkan telah menjadi budaya? Jawaban Giddens adalah kita mampu karena kita punya kemampuan untuk introspeksi dan mawas diri (reflexive monitoring of conduct). Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif sangatlah tipis dan lentur.

Yang kita perlukan adalah bagaimana mengubah perilaku yang rutin itu menjadi sebuah hal yang terlarang. Ringkasnya de-rutinisasi tindakan korupsi. Bangunan kesadaran global yang anti korupsi harus terus-menerus diperjuangkan sehingga mindset kita menemukan pola atau struktur yang baru sesuai dengan konteks zaman yang lebih bermartabat. Korupsi No Way! Wallahu A'lam.

Read More..

"Image Building "Baru Sulawesi Tengah

nda bisa melakukan survey, tanyalah pada orang di daerah lain menyangkut apa yang paling diketahui di Sulawesi Tengah saat ini. Saya yakin jawabannya adalah berkisar pada konflik, teror bom dan kekerasan bersenjata lainnya di daerah ini. Ini pernah saya buktikan melalui jajak pendapat kecil-kecilan melalui sms yang saya kirimkan pada teman di Provinsi lain. Apa artinya itu? Sulawesi tengah tercitrakan sebagai daerah yang tidak aman dan tidak nyaman. Melalu sebuah publikasi yang luas kondisi ini tercitrakan dibenak orang-orang yang tidak mengenal medan Sulawesi Tengah secara langsung.

nda bisa melakukan survey, tanyalah pada orang di daerah lain menyangkut apa yang paling diketahui di Sulawesi Tengah saat ini. Saya yakin jawabannya adalah berkisar pada konflik, teror bom dan kekerasan bersenjata lainnya di daerah ini. Ini pernah saya buktikan melalui jajak pendapat kecil-kecilan melalui sms yang saya kirimkan pada teman di Provinsi lain. Apa artinya itu? Sulawesi tengah tercitrakan sebagai daerah yang tidak aman dan tidak nyaman. Melalu sebuah publikasi yang luas kondisi ini tercitrakan dibenak orang-orang yang tidak mengenal medan Sulawesi Tengah secara langsung.

Citra sebagai daerah konflik tidak bisa dibantah karena faktanya memang demikian. Kerusuhan Poso yang mulai terjadi pada tahun 1998 mendapat liputan pers dalam dan luar negeri secara masif. Belum lagi beberpa gangguan keamanan, kekerasan bersenjata, dan sejumlah teror yang terjadi di Poso dan Palu. Sekedar menyebutkan contoh-contoh, pemenggalan kepala siswi SMU di Poso, terbunuhnya tiga orang polisi oleh kelompok Madi, penembakan dosen Untad, pemeriksaan pejabat dinas sosial dan seterusnya.

Tidak ada yang memungkiri bahwa kondisi demikian menyebabkan daerah menjadi terpuruk secara ekonomi. Masyarakat meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai, petani, pengusaha untuk pergi mengungsi. Infrastruktur perekonomian daerah di Poso banyak hancur akibat kerusuhan. Investorpun enggan datang malah banyak yang hengkang akibat kondisi daerah yang tidak aman. Secara sosial politik juga demikian, masyarakat menjadi sangat fragmented. Akibatnya di masyarakat tercipta social disorder yang sangat tidak mendukung tertib politik. Ini semua membawa citra daerah yang buruk

Lantas, apa diharapkan pada masyarakat yang demikian itu? Tidak ada yang bisa diharapkan kecuali pesimisme. Masyarakat semakin tidak berdaya dan menjadi powerless. Mental mind juga diliputi oleh keterpecahan jiwa, split of personality.

Pemerintah daerah dan pusat harus menancapkan optimisme baru ke dalam masyarkat Sulawesi Tengah. Melalui gubernur hasil pilihan rakyat ini, pemerintah dengan segala kekuatannya harus melahirkan bayi masyarakat Sulawesi Tengah yang sehat, tidak membawa cacat bawaan. Itu hanya mungkin apabila ia lahir dari rahim pemerintah yang sehat pula. Kondisi Sulawesi Tengah yang kurang mengesankan akhir-akhir ini harus segera di akhiri. Let’s gone be by gone.

Citra Damai

Realitas permasalahan daerah ini memang begitu besar. Yang paling gawat adalah masalah Poso. Sayangnya pemerintah pusat tidak memberikan perhatian yang optimal terhadap penyebab utama terhadap teror di daerah ini. Kesan kita terhadap penyelesaian Poso sangat lamban. Untunglah pada saat terakhir pemerintah mengeluarkan sebuah Inpres No 14 tahun 2005. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan membentuk Koopskam.

Citra damai harus merupakan sebuah kebutuhan. Di semua level masyarakat harus terkondisikan dengan suasana yang aman dan damai. Pengkondisian ini hanya bisa dilakukan dengan sebuah kesepahaman bersama. Kesepahaman ini terbentuk melalui sebuah cita-cita bersama membangun Sulawesi Tengah dengan lebih adil dan sejahtera. Pola pikir dan mind set seperti ini harus terus menerus dicitrakan dan diseminasikan oleh semua pihak. Peran pemerintah harus memberikan dukungan secara optimal.

Pencitraan dapat berjalan secara efektif apabila dilakukan secara objektif. Maksudnya fakta-fakta yang dimunculkan menurut apa adanya. Bila ada fakta yang tersembunyi sangat mungkin menjadi rumor baru bagi masyarakat yang kemudian melahirkan konflik baru. Bila pemerintah berani mengungkapkan dalang berbagai kejahatan terorisme maka pemerintah harus berani pula mengungkap casus belli konflik itu sendiri.

Bagi daerah seperti Sulawesi Tengah pencitraan juga akan berjalan efektif apabila kita mau secara bersama menjadi jurubicara perdamaian. Artinya semua warga Sulawesi Tengah perlu membangun suatu komitmen perdamaian abadi. Untuk mencapai itu pemerintah daerah dan pusat harus betul-betul punya komitmen sehingga bisa dipercaya. Hanya dengan kepercayaan itulah masyarakat menjadi patuh pada apa yang dikerjakan oleh pemerintah.

Timbulnya ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah antara lain disebabkan oleh amanat yang diberikan rakyat dilanggar oleh pemerintah sendiri. Sekedar menyebutkan contoh, dana pengungsi Poso diduga dikorupsi oleh orang-orang tertentu dipemerintahan maupun kroninya.

Image Baru

Jadi untuk pencitraan Sulawesi Tengah harus dikerjakan pada dua basis, yakni pada pemerintah termasuk aparat keamanan dan juga masyarakat. Pemerintah harus mencitrakan dirinya sendiri sebagai pemerintah amanah, tidak korupsi, dan punya komitmen yang tergambar pada program pembangunan yang berpihak pada rakyat. Sementara masyarakat harus mencitrakan dirinya sendiri sebagai masyarakat yang beradab (masyarakat madani). Pencitraan ini tidak cukup dilakukan dengan jargon, pidato retorik tapi juga dengan aksi yang nyata.

Melakukan pencitraan juga tidak lengkap jika hanya seperti pemasaran sebuah produk atau iklan. Iklan itu intinya hanya bujuk rayu kalau bukan penuh tipu. Kadangkala barangnya tidak sehebat dengan iklannya. Melakukan Pencitraan harus benar-benar objektif dan autentik. Daerah ini harus dicitrakan dengan program yang mempunyai manfaat besar bagi peningkatan kesejahteraan., bukan dengan program asal-asalan.

Semua warga yang dimotori pemimpinnya perlu image bulding Sulawesi Tengah sebagai daerah yang sudah aman. Ibaratnya Sulawesi Tengah sudah melakukan reinkarnasi. Sulawesi Tengah yang sekarang bukan lagi terkesan chaotic, banyak korupsi, terbelakang, tapi Sulawesi Tengah visioner dan prospektif. Sulawesi Tengah yang dicita-citakan itu saat ini sedang disemaikan bibit-bibitnya mulai hari ini.

Saya berharap content pencitraan seperti itulah yang akan digambarkan oleh Gubernur ketika ia berbicara di depan para pemuda dalam rakernas KNPI dalam waktu dekat ini. Bukan hanya masalah keamanan tapi juga prospek kemajuan dengan visi yang tergambar secara jelas dan terukur. Masyarakat Sulawesi Tengah menanti ide-ide cerdas gubernur dalam pembangunan ke depan. Sebuah Visi yang mampu menghentak kesadaran bagi Provinsi lain di Indonesia. Sebuah uraian yang mendiskripsikan Sulawesi Tengah sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan di kawasan Timur Indonesia. Pencitraan yang dilakukan oleh Gubernur Gorontalo untuk daerahnya selayaknya menjadi contoh yang baik.Wallahu A'lam

Read More..

Objektivikasi Pancasila

Memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 juni, pertanyaaan mendasar yang dikemukan oleh sekompok kecil masyarakat kritis berkenaan dengan, apakah Pancasila sebagai ideologi hari ini masih relevan? Jawaban terhadap pertanyaan ini terbagi ke dalam dua aliran besar. Aliran pertama menyatakan bahwa pancasila tentu saja masih relevan karena ia adalah sebuah ideologi kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nilai yang digali dari kenyataan luhur bangsa. Mengingkari Pancasila sama dengan tidak mengakui keindonesiaan secara subtantif. Hanya saja perlu direaktualisasi kembali karena implementasi pancasila pada masa orde baru yang menyimpang.

Memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 juni, pertanyaaan mendasar yang dikemukan oleh sekompok kecil masyarakat kritis berkenaan dengan, apakah Pancasila sebagai ideologi hari ini masih relevan? Jawaban terhadap pertanyaan ini terbagi ke dalam dua aliran besar. Aliran pertama menyatakan bahwa pancasila tentu saja masih relevan karena ia adalah sebuah ideologi kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nilai yang digali dari kenyataan luhur bangsa. Mengingkari Pancasila sama dengan tidak mengakui keindonesiaan secara subtantif. Hanya saja perlu direaktualisasi kembali karena implementasi pancasila pada masa orde baru yang menyimpang.

Adanya penyimpangan dimulai ketika Pancasila ditafsirkan secara sepihak oleh pihak penguasa pemerintahan. Tidak ada kebenaran selain dari rezim yang berkuasa. Eksesnya berupa adanya Pancasila yang terlanjur terstigma sebagai produk yang tidak sejalan dengan semangat reformasi. Karena itu membicarakan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah keharusan. Namun perlu direvitalisasi dan reaktualisasi sejalan dengan perubahan dalam skala nasional dan global.

Aliran kedua mengatakan tidak relevan karena Pancasila sebagai ideologi telah gagal dalam menjaga keutuhan bangsa. Bangsa semakin terpecah-pecah. Tidah hanya itu Pancasila sebagai doktrin juga mempunyai sisi-sisi yang kontradiktif seperti tercermin dalam debat antara Soekarno dan Sutan Sahrir. Sebagai ideologi Pancasila juga semakin tidak lengkap dalam mengakomodasi semua aspirasi keindonesiaan yang selalu berubah. Tidak pernah ada bukti kongkrit pengamalan pancasila secara benar sebagai hasil indoktrinasi yang menyeluruh. Saat ini pemenangnya adalah ideologi kapitalisme, setidaknya menurut Francis Fukuyama dan Daniel Bell.

Ditingkat berbangsa doktrin Pancasila yang menempatkan Tuhan atau ruh agama sebagai nafas utama dalam kehidupan nyata sebagai bangsa dan individu tidak menjadi kenyataan, malahan menjadi utopis. Ini adalah akhir dari sebuah ideologi, the end of ideology. Karena itu menurut aliran ini bangsa Indonesia perlu mencari konsensus baru yang lebih relevan sebagai common denominator baru bangsa Indonesia.

Dengan membuat garis argumentasi yang sederhana terhadap dua aliran itu saya menyimpulkan bahwa secara subtantif bangsa Indonesia masih memerlukan sebuah Ideologi yang berfungsi sebagai konsensus nilai bangsa. Bangsa memerlukan wahana bagi akomodosi kenyataan pluralisme atau kebhinekaan dimana ujungnya melahirkan nasionalisme. Suatu nasionalisme yang relevan dengan kondisi saat ini serta mampu mengantisipasi masa depan. Dengan kata lain ideologi difungsikan sebagai alat bagi sebuah konsensus.

Tetapi menjadikan tujuan ideologi (Pancasila atau apapun namanya) sebagai alat untuk kesepakatan bersama sesungguhnya merupakan asumsi yang menyesatkan. Pandangan inilah yang menjadi sasaran kritik seperti yang dikemukakan oleh John B. Thompson (2003). Menurutnya sesat berideologi terletak pada asumsi bahwa ideologi bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang mengingat anggota masyarakat secara bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dan kepercayaan tertentu disepakati oleh seluruh (bahkan mayoritas) anggota masyarakat industri moderen.

Sebaliknya, sebagaimana yang lebih mirip dengan masyarakat kita, masyarakat yang memiliki tatatan sosial yang stabil, mereka dikondisikan (stabilized) oleh adanya perbedaan nilai dan kepercayaan serta pembagian kerja yang bersifat individu dan kelompok. Menurut John B. Thompson selanjutnya stabilitas masyarakat bergantung tidak hanya kepada konsensus yang berisi nilai-nilai dan norma-norma tertentu, tapi juga kepada ketidaksempurnaan konsensus dimana sikap-sikap saling bertentangan akan diterjemahkan ke dalam tindakan politik.

Supaya tidak terulang kesalahan kedua kali dalam berpancasila, bukan hanya kita perlu revitalisasi dan reaktualisasi atau mencari konsensus baru. Yang lebih mendasar dari itu adalah kita perlu melakukan objektivikasi Pancasila dengan menempatkan pada suatu setting sosial baru yang bersifat kritis. Biarkan Pancasila "berdialog" dengan tatanan sosial yang ada di sekelilingnya. Kita tidak perlu mendiktekan kemauan kita yang bersifat subjektif dan penuh muatan kepentingan.Wallahu A'lam.


Read More..

Agenda Ke Depan: Memperkuat Daerah

Rasanya memang tepat apabila saat ini kita sebagai warga Sulawesi Tengah urun rembuk memikirkan kemajuan daerah. Apalagi perhelatan politik Pilkada gubernur sudah terlaksana dengan baik. Terlepas siapapun yang nantinya ditetapkan sebagai gubernur semua warga Sulawesi Tengah berhak memberikan dukungan sekaligus kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar jalannya pemerintahan dapat lebih serius menjalankan amanat yang dibebankan oleh rakyat.


Rasanya memang tepat apabila saat ini kita sebagai warga Sulawesi Tengah urun rembuk memikirkan kemajuan daerah. Apalagi perhelatan politik Pilkada gubernur sudah terlaksana dengan baik. Terlepas siapapun yang nantinya ditetapkan sebagai gubernur semua warga Sulawesi Tengah berhak memberikan dukungan sekaligus kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar jalannya pemerintahan dapat lebih serius menjalankan amanat yang dibebankan oleh rakyat.

Hal yang harus menjadi kesadaran bersama (consience collective) baik pemerintah maupun masyarakat adalah bahwa pemerintahan baru nanti merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Dengan kata lain program-program dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan merupakan kelanjutan wajar dari pemerintahan sebelumnya. Karena itu program-program yang terbukti baik pada masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebaliknya yang jelek pada masa lalu kini harus ditinggalkan dalam laci yang terkunci rapat. Memang pernyataan ini terkesan klise tapi tetap relevan untuk dikemukakan, mengingat sifat dan watak pemerintahan kita sering kali terjebak pada subjektivisme pemerintahannya sendiri.

Karena itu kreativitas pemerintahan baru dalam membuat program harus difahami sebagai proses kontinuitas dari pemerintahan sebelumnya. Ini untuk menghindari terjadinya dendamisme antar generasi pemerintahan. Apalagi kalau pemerintahan baru menerapkan prinsip” the winner take all”. Bila demikian, pemerintahan lama pasti dipandang sebagai institusi yang seolah-olah tidak pernah berjasa karena itu perlu disingkirkan.

Kondisi demikian tidak boleh terjadi karena jelas tidak menguntungkan bagi kemajuan masyarakat dan daerah. Bayangkanlah misalnya kalau dalam pemerintahan sebelumnya terdapat orang punya sumberdaya yang sangat tinggi tapi kemudian tidak terpakai hanya karena pilihan politik yang bersangkutan berbeda. Asumsi lain bila ada sekelompok masyarakat kemudian tidak mendapat perhatian yang semestinya hanya karena desanya adalah pendukung fanatik figur tertentu. Adalah wajar apabila pilihan-pilihan politik setiap orang atau kelompok berbeda satu sama lain disebabkan oleh perbedaan tingkatan kepentingan dalam jangka pendek.

Meskipun demikian pemerintahan baru tetap berhak menetapkan program-programnya sendiri sebagai wujud kreativitasnya. Ini juga tidak bisa diabaikan disebabkan oleh pilihan strategi dan metode yang akan dijalankan. Untuk memperkaya subtansi strategi dan program diperlukan partisipasi dari seluruh masyarakat.

Saat ini banyak sekali masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan daerah tidak terkecuali kita di Sulawesi Tengah. Ada masalah ekonomi dan kesejahteraan, politik, hokum, budaya, keamanan dan sebagainya. Pemerintahan baru nanti pasti tidak terlepas dengan masalah-masalah tersebut. Karena itu pemerintahan baru nanti harus siap dengan pilihan startegi yang tepat agar masalah-masalah tersebut dapat dicarikan solusinya secara efektif.

Berkaitan dengan pilihan strategi tersebut hendaknya disadari bahwa apapun pilihan teorinya pasti tidak bisa menuntaskan semua permasalahan yang ada. Sebagus apapun konsepnya pasti tidak menyelesaikan semuanya. Mengapa? Karena hakekat sebuah teori adalah ia hanya penyederhanaan atau simplifikasi dari kenyataan. Sedangkan kenyataan atau realitas adalah dimensi ada yang mempunyai banyak sekali variabel.Teori atau konsep hanya menjawab variabel-variabel tertentu, tidak bisa menjelaskan seluruh realitas. Jadi wajar kalau sebuah teori selalu dapat ditemukan anti tesanya. Keberhasilan penerapan sebuah teori tergantung pada sejauh mana variabel-variabel indogen dan eksogen dapat dipahami dengan baik sebagai pendukung maupun penghambat.

. Bila ini dikaitkan pada kepemimpinan pemerintahan maka hal utama yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali mata rantai permasalahan-permasalahan dan mencari solusi untuk memutus matai rantai tersebut. Satu hal yang menjadi truisme dalam kefilsafatan bahwa ketidakberdayaan atau kegagalan menemukan solusi hidup disebabkan oleh belum optimalnya manusia menggunakan potensi akal yang dimilikinya. Buktinya yang membedakan manusia jaman primitif dengan modern saat ini hanyalah kemampuan menggunakan fikiran. Semakin kuat penggunaan akal fikiran maka manusia semakin dapat menemukan solusi atas hidupnya.

Dengan demikian tidak ada jalan lain apabila kita ingin memutus mata rantai permasalahan pada masyarakat harus dengan membuat masyarakat itu sendiri menjadi cerdas. Artinya yang harus menjadi solusi jangka panjang atas semua masalah yang terjadi adalah pendidikan. Penggunaan potensi akal fikiran yang optimal hanya diperoleh dari suatu pendidikan secara menyeluruh dalam lingkungan masyarakat. Hal tersebut hanya dimungkinkan apabila tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) sehingga kelak menjadi masyarakat berpengetahuan(knowledge base society).

Dukungan kearah sana harus dimulai pada usaha-usaha memperkuat negara (baca daerah). Suatu negara yang kuat menurut Rizal Mallarangeng, ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika terjadi pelanggaran pada otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan alat-alat pemaksa yang dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta –jika bersifat intervensionis-mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Bagi Francis Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil (penulis: kerusuhan Poso) bukanlah hal ikhwal yang berdiri sendiri. Peristiwa –peristiwa itu merupakan gejala politik di mana negara ( daerah) sebagai intitusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya. Menurutnya, gejala kegagalan semacam itulah yang menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia (Rizal Mallarangeng, 2005).

Hal tersebut disimpulkan oleh Francis Fukuyama setelah melihat fenomena negara yang dianut oleh kaum pro pasar dalam kurun waktu tahun 1980. Pada saat itu kaum liberal menyodorkan strategi deregulasi, debirokratisasi, privatisasi dan semacamnya menjadi alternatif untuk menggerakkan ekonomi. Memang ada hasilnya yakni pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan integrasi pasar.

Namun dalam beberapa hal lain kata Rizal, ia justru membawa problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi juga terkait dengan merosotnya kapasitasnya untuk melakukan fungsinya yang memang perlu.
Bila hal ini ditarik pada pemerintah daerah maka kita perlu memberikan dukungan atas berlangsungnya fungsi-fungsi pemerintahan daerah secara optimal. Di era otonmi daerah seperti saat ini uasha tersebut semakin menemukan momentumnya. Wallahu A’lam.

Read More..

Piala Dunia dan Pembinaan Olahraga Kita

Tidak ada isu yang paling banyak dibicarakan saat ini menyamai kejuaraan sepakbola piala dunia. Isu itu diperbincangkan oleh seluruh stratifikasi sosial, agama, kebudayaan dimanapun letak geografis manusia di dunia ini. Pada upacara pembukaan yang menampilkan team Jerman melawan Kostarika penonton mencapai 1,5 milyar melalui layar televisi, internet maupun telpon genggam. Sepakbola sudah menjadi mainstream globalisasi, bahkan peradaban saat ini mungkin bisa disebut sebagai peradaban bola.


Tidak ada isu yang paling banyak dibicarakan saat ini menyamai kejuaraan sepakbola piala dunia. Isu itu diperbincangkan oleh seluruh stratifikasi sosial, agama, kebudayaan dimanapun letak geografis manusia di dunia ini. Pada upacara pembukaan yang menampilkan team Jerman melawan Kostarika penonton mencapai 1,5 milyar melalui layar televisi, internet maupun telpon genggam. Sepakbola sudah menjadi mainstream globalisasi, bahkan peradaban saat ini mungkin bisa disebut sebagai peradaban bola.

Para penonton sepakbola rela mengesampingkan pekerjaannya demi menonton team favoritnya. Penonton sepakbola di Indonesia bedagang setiap malam sampai subuh untuk menyaksikan pertandingan demi pertandingan. Pada saat kita ke kantor atau di warung kopi, obrolan kita tidak jauh-jauh dari pertandingan yang kita saksikan semalam. Orang yang sebenarnya tidak hobi akhirnya terikut juga karena semua dijangkiti penyakit demam sepakbola, football fever.

Sebuah pertandingan olahraga pasti nilai positif buat kemajuan suatu bangsa karena olahraga itu sendiri adalah positif. Satu hal yang dapat kita ambil dalam setiap pertandingan olahraga adalah semangat kompetisi. Pada Piala Dunia ini tingkat kompetisi sangat tinggi, sehingga kesalahan sekecil apapun pada sebuah team akan bisa mengakibatkan kekalahan bagi team tersebut. Tapi kekalahan itu sendiri tidak perlu ditangisi. Jika sebuah pertandingan tidak ada yang ada kalah justru pertandingan tersebut kurang menarik. Sehinnga dalam sepakbola atau olahraga apapun tidak dibenarkan memberikan kemenangan lawan karena faktor cinta dan kasih sayang.

Dalam penuturan Bertrand Russel demikian,"jika dua team sepakbola pada masa sekarang ini bertanding, lalu memutuskan bekerjasama karena pengaruh cinta kasih, dengan cara memasukkan gol pertama ke salah satu gawang, kemudian satu gol ke gawang satunya, maka tidak ada seorang pun yang bahagia. Tidak ada alasan menagapa semangat kompetisi yang ada dalam diri para atlit harus dibatasi. Usaha untuk saling menang di antar team, posisi dan aturan main, terbukti merupakan faktor motivasi yang sangat berguna namun jika kompetisi tidak berubah dengan keras dan kasar, kegagalan pinalti tidak harus menjadi bencana seperti dalam perang, atau seperti kelaparan dalam ekonomi yang carut-marut. Kegagalan itu hanya mengkibatkan hilangnya kemenangan. Sepakbola tidak akan menjadi olahraga yang diinginkan jika team yang kalah dibiarkan mati atau ditinggalkan agar kelaparan"(Robert E.Egner, 2003).
Pembinaan dan Fenomena "Idle Talk".

Berikut ini saya paparkan beberapa refleksi dari orang yang awam sepakbola tentang sepakbola kita. Mengapa team sepakbola Indonesia tidak pernah berhasil mencapai piala dunia? Atau mungkin Kejuaraan Piala Dunia sangat tinggi, tapi mengapa di Piala Asia pun belum pernah juara? Bahkan pada saat ini mengalahkan team sesama Asia Tenggara saja sangat sulit? Di lihat dari jumlah penduduk sebanyak 200 juta, sebenarnya tidak sulit menemukan bibit pemain yang berkualitas. Kultur sepakbola di Indonesia pun tidak kalah dengan Brazil maupun Italia. Bisa dibuktikan dengan menanyakan apakah mereka semua pernah menendang atau bermain bola pada masa kecil, jawabannya pasti positif. Dilihat dari kefanatikan, masyarakat (penonton) sepakbola di Indonesia sangat tinggi, saking fanatiknya sehingga sering terlibat perang antar supporter. Ini tidak hanya terjadi pada pertandingan besar, pertandingan antar kampung pun demikian. Tapi sekali lagi mengapa pada akhirnya team sepakbola Indonesia belum pernah berprestasi di tingkat dunia pada hal semua faktor dasar maupun pendudukung relatif tersedia?

Para pakar sepakbola Indonesia akan mudah menemukan jawabannya. Orang yang punya wawasan sepakbola pun akan bisa menyediakan argumen yang memadai. Walaupun jawabannya semua terkesan apologetik. Atas refleksi pertanyaan di atas, disini tidak dipaparkan argumen teknis ala sepakbola, tapi saya mencoba menguraikan pengamatan saya secara sederhana yang mencakup pembinaan olahraga pada umumnya.

Pada dasarnya pembinaan olahraga atau sepakbola kita pada umumnya sudah meninggalkan apa yang disebut sebagai “practicing sport”. Sepakbola sebagai “practicing sport” mengharuskan pembinaan difokuskan pada praktek secara komprehensif. Pembinaan olahraga kita lebih banyak pada “talking sport”. Artinya pembina olahraga maupun pelatihnya lebih banyak melakukan obrolan daripada membina atau melatih. Secara simbolis hal ini bisa dilihat pada momen Piala Dunia saat ini dimana para pakar sepakbola maupun masyarakat umum sangat pandai memberikan alasan-alasan teknis mengapa sebuah team bisa menang ataupun kalah.

Melakukan pembinaan tidak hanya paruh waktu seperti yang terjadi selama ini. Seharusnya membina olahraga harus menjadi sebuah pekerjaan yang profesional. Pembina olahraga bukan merupakan orang yang menganggur. Artinya semua pengurus olahraga harus benar-benar menekuni pekerjaan itu dalam membina olahraga. Tidak seperti selama ini dimana para pengurus olahraga dijabat oleh para pejabat yang pasti tidak mempunyai waktu yang banyak, karena itu tidak professional. Apalagi kalau pejabat tersebut tidak punya kompetensi apa-apa pada bidang olahraga tersebut.

Tentang olahraga sebagai “talking sport” ini, analisis dari Heidegger di dalam buku “Being and Time” dibawah judul bab Idle Talk sangat menarik. Kata Heidegger, “ Idle Talk merupakan kemungkinan untuk memahami segala sesuatu tanpa harus terlebih dahulu membuat seseorang memiliki hal tersebut………..Apabila hal ini dilakukan, idle talk akan terbentuk; bersiaga untuk menjaga sesuatu dari bahaya. Idle talk merupakan sesuatu dimana setiap orang dapat melakukannya; ia tidak hanya melepaskan seseorang dari tugas-tugas pemahaman sejati, tapi mengembangkan semacam intenlijibilitas yang tak terdiferensiasi, dimana tidak satupun yang tak lagi tersingkapkan”. Idle Talk tidak memiliki semacam wujud yang secara sadar menukar sesuatu (consciously passing off) dengan lainnya……….Dengan demikian, watak dasarnya , idle talk merupakan sebuah penutup (closing-off) , karena melongok kembali apa yang dibicarakan , semakna dengan memahami perkara yang tak akan ada selesainya”.(Umberto Eco, 1987).

Berdasarkan analisis Hidegger itu boleh jadi pembinaan olahraga kita hanya seperti “idle talk”, pembicaraan menganggur. Olahraga kita hanya banyak dibicarakan dan didiskusikan. Bila olahraga sudah menjadi “idle talk”, maka olahraga sebagai praktek, aktivitas, tidak lagi hadir, namun eksis demi alasan ekonomi; dan yang hadir disana hanyalah obrolan olahraga. Ketika sampai pada “idle talk”, semangat olahraga yang bersifat kompetisi akan bergeser pada tingkatan yang benar-benar politis. Seperti yang dikemukakan Umberto Eco,” obrolan mengenai olahraga memiliki seluruh karakteristik perdebatan politik. Karena yang menjadi tema adalah apa yang harus dilakukan pemimpin, apa yang telah meraka lakukan, apa yang dapat kita lakukan agar seiring dengan mereka, apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi”. Hanya saja objeknya bukan kepemimpinan istana ataupun parlemen tapi olahraga .

Deskripsi inilah yang terjadi juga di Indonesia, dimana perebutan posisi jabatan pada induk organisasi olahraga seringkali bersifat politis sebanding dengan perebutan struktur jabatan di pemerintahan. Tidak mengherankan banyak induk olahraga yang tidak melakukan pembinaan secara optimal karena sudah merasa membina. Jangan-jangan ini adalah fakta dari “idle talk”. Tapi saya berharap mudah-mudahan saya keliru. Wallahu A’lam.

Read More..

Ramai-Ramai Ke Kongres KNPI

Ke kongres KNPI? Siapa yang tidak mau. Apalagi kalau semua fasilitas ditanggung. Seperti diketahui tanggal 19-21 Desember mendatang memang akan dilaksanakan kongres KNPI di Jakarta.


Ke kongres KNPI? Siapa yang tidak mau. Apalagi kalau semua fasilitas ditanggung. Seperti diketahui tanggal 19-21 Desember mendatang memang akan dilaksanakan kongres KNPI di Jakarta.

Seperti priode-priode sebelumnya minat dari para aktivis KNPI untuk mengikutinya sangat tinggi. Tidak heran KNPI setiap daerah akan mengirim delegasinya dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran KNPI Sulteng telah memutuskan akan mengirim peserta lebih dari 70 orang. Ini tidak termasuk yang dikirim oleh pengurus di kabupaten dan kota. Bila ditambah dengan peserta dari kabupaten/kota tersebut pasti jumlahnya ratusan.

Konsekuensinya biaya yang digunakan pasti sangat besar. Cobalah dihitung biayanya. Ongkos transportasi pesawat Palu-Jakarta sekitar 1,2 juta. Dengan asumsi yang berangkat sekitar 70 orang berarti ongkos transportasi sekitar 84 juta, PP sekitar 168 juta. Itu baru ongkos transportasi. Dari mana uang tersebut? Tentu yang paling besar dari sumbangan pemerintah walaupun mungkin ada sejumlah individu yang menyumbang.

Terlepas dari itu, bagi ukuran sejumlah OKP dana sejumlah itu tentu sangat besar. Bila ada OKP yang protes pada pemerintah tentunya sangat beralasan. Betapa tidak, pemerintah dengan mudahnya memberikan sumbangan dana yang begitu besar pada KNPI. Sementara disisi lain OKP dengan segala kegiatannya sangat susah mendapatkan dana sebesar itu. Pada hal antara OKP dan KNPI adalah mitra yang sejajar.

Seharusnya yang lebih diprioritaskan untuk memperoleh dana pembinaan dari pemerintah adalah OKP karena OKPlah yang sebenarnya melakukan perkaderan generasi muda. Klaim KNPI sebagai laboratorium kader adalah tidak berdasar. Memang ada semacam perkaderan seperti studi regional atau lainnya, tapi itu tidak seketat yang dilakukan organisasi kemahasiswaan. Yang dirasakan KNPI lebih banyak melakukan intrik politik.

Sekarang coba kita bandingkan dengan biaya pelaksanaan Latihan Kader 1 (Basic Traning) HMI. Untuk HMI cabang Palu, setiap LK I dibutuhkan dana rata-rata sebesar 1,5 juta untuk 30 orang peserta. Andaikan dana sebanyak 168 juta dikonversi pada LK 1 maka berarti HMI mampu melasanakan perkaderan sebanyak 112 kali yang berarti juga sebanyak 3360 orang kader baru direkrut.

Selanjutnya bandingkan dengan efektivitas kegiatannya. Berdasarkan pengalaman mengikuti perhelatan organisasi semacam kongres, para perserta kebanyakan tidak serius dalam mengikuti setiap sesi acara. Mereka lebih banyak jalan-jalan atau sekedar ngobrol dengan sesama aktivis di luar. Maka tidak heran bila ruangan persidangan menjadi kosong karena sibuk dengan lobi-lobi di restoran-restoran dan hotel-hotel mewah.

Yang menjadi pusat perhatian selama kongres adalah pemilihan ketua umum. Kandidat ketua umum masing-masing berusaha menyediakan fasilitas yang terbaik bagi para peserta. Ini dimaksudkan untuk menarik simpati agar delegasi bersedia memilihnya. Bukan hanya itu sudah lazim apabila setiap kandidat menyediakan sejumlah dana transportasi bagi para peserta. Sekalipun pada esensinya jelas sebagai money politik namun untuk memperhalus penyebutan dana ini tidak disebut sebagai money politik tapi cost politik Bahkan tidak jarang kandidat ketua umum menyediakan preman untuk menekan peserta.

Dari sini dapat dinilai bahwa forum kongres tidak bisa diharapkan menjadi ajang pendidikan politik pemuda yang beradab. Karena tidak jarang para peserta menggunakan cara-cara politik primitif dengan menghalalkan segala macam cara seperti intimidasi, money politik dan sebagainya. Pilihan politik bukan atas dasar visi yang cerdas tapi atas faktor-faktor yang sifatnya primordial dan materi. Dengan sendirinya peserta yang ikut tidak memperoleh nilai tambah. Justru para peserta hanya melampiaskan syahwat politiknya dan syahwat lain yang jauh dari idealisme pemuda.

Hal tersebut berlawanan secara diametral dengan Latihan Kader HMI. Para peserta degembleng selama khusus selama 5 hari. Kepadanya diberikan materi-materi yang bertumpu pada 3 aspek yakni, afektif, kognitif dan psikomotorik. Intinya adalah menanamkam proses ideologisasi terhadap kader.

Sejauh ini HMI sukses melakukan itu. Bahkan bisa dikatakan organisasi sipil yang paling sukses melakukan ideologisasi adalah HMI. Buktinya bisa dilihat dari alumninya. Walaupun spektrum ideologi alumni HMI sangat luas dan beragam, ada radikal, fundamentalis, moderat bahkan pada sisi-sisi tertentu sangat liberal dan sekuler namun semua masih tetap mengaku sebagai alumni HMI.

Sebenarnya ada contoh penggunaan dana yang sangat efektif dari seorang aktivis pada zamannya. Almarhum Nurcholish Madjid pada waktu menjabat ketua umum PB HMI pernah diundang berkunjung ke Amerika Serikat. Dia diundang karena Duta besar Amerika Serikat menjuluki HMI pada saat itu sebagai the most powerfull student organisation in Indonesia. Disamping itu pemerintah Amerika ingin memperlihatkan kepada Nurcholish Madjid apa yang menjadi sasaran kebenciannya selama ini.

Pada kunjungan tersebut segala biaya ditanggung oleh pemerintah Amerika Serikat. Setelah kunjungannya Amerika selesai dia melanjutkan ke negara-negara Timur Tengah. Biaya kunjungannya ini diperoleh dari sisa dari biaya kunjungan ke Amerika Serikat. Di Timur Tengah dia berhasil berdialog dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam.

Fakta-fakta yang dijumpainya di Timur Tengah itulah yang berhasil mempengaruhi pemikiran keislamannya kemudian. Sepulangnya di Indonesia, dia kemudian menuliskannya dalam sebuah paper. Pada saat Kongres Malang, paper ini-setelah disempurnakan-berhasil ditetapkan menjadi dokumen organisasi yang paling penting di HMI. Itulah yang dikenal sebagai Nilai Dasar Perjuangan atau Nilai Identitas Kader (NDP/NIK). NDP kemudian menjadi semacam doktrin ideologi HMI sampai saat ini.

Bila para aktivis KNPI dalam setiap keikutsertannya dalam forum semacam kongres bila berhasil membawa pulang pikiran-pikiran baru, tentu sangat baik. Baik bagi dirinya maupun baik bagi masyarakat secara keseluruhan. Sayang sekali belum ada yang dedikasi demikian. Bahkan sebaliknya kebanyakan peserta hanya meninggalkan cerita kemewahan hotel yang menjadi tempat menginapnya atau cerita restauran tempat makan yang mewah bersama para kandidat.

Tentu membandingkan kongres dengan Basic Traning HMI adalah suatu hal yang tidak memadai. Karena bagaimanapun forum kongres merupakan pusat interaksi politik tertinggi secara nasional ditingkat kepemudaan. Dalam hal ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ada yang program OKP yang harus menjadi prioritas untuk mendapatkan dana bantuan dari pemerintah. Jelasnya saya ingin mengatakan untuk apa mengirim delegasi peserta sebanyak itu kalau hanya dijadikan sebagai ajang kunjungan wisata ke Jakarta.

Tentu masih banyak program yang sama dari organisasi lain yang serupa sehingga perlu mendapat prioritas bantuan. HMI saya jadikan contoh karena kebetulan saya mengenal betul organisasi ini.
Jangan sampai KNPI dituduh seperti para pejabat pemerintah dan legislatif yang gemar melakukan studi banding yang hanya dipergunakan sebagai ajang kunjungan wisata. Bila demikian halnya, pemuda hasil didikan KNPI tidak bisa diharapkan sebagai creative minority.Wallahu A'lam

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP