7/29/2006

Setelah Pemilu, Lalu Apa?

SHAKESPEARE dalam salah satu syairnya mendeskripsikan masa depan seperti ini, "If you can look into the seeds of time, and say which grain will grow and which will not, speak then to me." Maknanya kira-kira demikian, "Jika kau dapat menyelam ke dalam benih-benih masa, dan katakan bibit mana yang akan tumbuh dan mana pula yang tidak akan, maka katakan padaku."

SHAKESPEARE dalam salah satu syairnya mendeskripsikan masa depan seperti ini, "If you can look into the seeds of time, and say which grain will grow and which will not, speak then to me." Maknanya kira-kira demikian, "Jika kau dapat menyelam ke dalam benih-benih masa, dan katakan bibit mana yang akan tumbuh dan mana pula yang tidak akan, maka katakan padaku."

Mungkin ini pula yang mengilhami kebiasaan para ahli futuristik dan filosof dengan membuat suatu pertanyaan, "What next?, setelah ini apa? Seorang ahli futuristik sekaliber J Naisbith dan Patricia, penulis buku Mega Trend 2000, misalnya, sudah dapat memprediksi situasi dan kondisi dunia pada 2000. Begitu pun akan hancurnya komunisme sudah dapat diramalkan oleh para filosof jauh hari sebelumnya.

Lantas apa hubungannya pemilu presiden dengan ahli futuristik dan filosof itu? Memang tidak ada hubungan langsung. Yang ingin dikatakan bahwa masa depan politik kita masih diliputi kekaburan dan ketidakjelasan arah. Lihatlah debat pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan beberapa hari yang lalu. Debat tersebut diperuntukkan sebagai wadah untuk menyampaikan visi dan misi dari pasangan capres/cawapres.

Sayang sekali, seperti dikatakan oleh para pakar, debat tersebut menjadi communication without substance. Mengapa? Yudi Latif memberikan jawaban sambil mengutip Prof Jeffrey Auer (1992) bahwa ada empat komponen esensial debat yang baik: adanya konfrontasi antarkandidat, proposisi yang dinyatakan secara jelas, keterlibatan pemirsa, dan kesederajatan antarkandidat. Berdasarkan kerangka ini, kita pergoki acara-acara debat kandidat yang digelar televisi dan institusi-institusi lain tidak memenuhi persyaratan (Kompas, 28/6).

Memang tidak memadai apabila kita hanya memberikan penilaian kepada pasangan capres dan cawapres hanya berdasarkan acara debat tersebut. Tapi, dari acara itu kita diperlihatkan secara telanjang betapa buruknya kemampuan meyakinkan dari para kandidat mengenai visi misi mereka sehingga jadilah show without substance. Ini juga memperlihatkan masa depan politik kita belum akan sampai pada ujung terowongan yang gelap.

Lalu setelah kita melaksanakan pencoblosan, kita tentu ingin mendapatkan hasil dari sebuah pesta demokrasi tersebut. Hasilnya kira-kira menyangkut harapan-harapan di masa depan yang lebih baik dari hari ini. Misalnya, Indonesia Media Law and Policy Center (IMLPC), berhasil menghimpun 14.675 harapan masyarakat kepada pasangan capres dan cawapres di berbagai bidang (Kompas, 3/6). Sebagaimana yang telah diutarakan oleh kandidat presiden/wakil presiden dalam visi dan misi mereka semasa kampanye berlangsung, semuanya memang menjanjikan kondisi yang lebih baik, yang lebih adil, lebih sejahtera, dan sebagainya bila kelak dia yang terpilih.

Maka, kita sebagai masyarakat berhak mempertanyakan, setelah pemilu lalu apa? Apakah kita menjadi lebih baik, lebih sejahtera, lebih taat hukum, dan lebih-lebih positif yang lain? Apakah ada jaminan presiden terpilih kelak akan melaksanakan janji-janjinya seideal yang disampaikan pada masa kampanye, ataukah sekali lagi kita hanya disuguhi 'surga telinga' seperti yang telah menjadi pengalaman kita selama ini?

Memang kita semua harus menunggu, karena kita sadar semuanya itu memerlukan proses dan waktu. Tetapi, sebuah pengharapan yang ditegaskan dalam janji memerlukan komitmen dan niat baik untuk melaksanakannya. Dalam kerangka itulah, kita perlu membuat semacam collective bargaining position yang kuat agar terjadi kontrak sosial yang benar-benar diwujudkan.

***

Sistem pemilu secara langsung menghasilkan legitimasi yang kuat dari rakyat. Betapa pun preferensi pilihan masyarakat terhadap kandidat berbeda-beda, namun hasil akhirnya akan melahirkan presiden sesuai dengan kehendak pemilih mayoritas. Seperti banyak yang disampaikan oleh para ahli, masyarakat rasional akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan hitungan-hitungan kuantifikasi dan kualifikasi rasional. Sebaliknya, pemilih irasional akan memilih berdasarkan hasrat pribadi yang biasanya tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi dan analisis ilmiah.

Terlepas dari apakah pemilih rasional atau tidak, pemilu langsung memberikan efek mandat politik yang kuat. Karena itu, presiden terpilih nanti akan 'lebih berkuasa' dalam melaksanakan programnya. Sebaliknya, karena rakyat telah memercayakan 'nasibnya' kepada presiden dan wakil presiden terpilih, maka rakyat berhak menjadi pengawas, pengadil, dan pengontrol yang optimal.

Lazimnya sebuah perjanjian kontrak, maka antara presiden dan rakyat wajib mematuhi pasal-pasal yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, keputusan berupa lahirnya kebijakan harus tunduk dan patuh pada kepentingan kedua belah pihak. Jika salah satu di antara mereka melanggar, maka pihak yang melanggar tersebut pasti akan dikenakan sanksi. Sebaliknya yang benar berhak memperoleh reward. Budaya reward and punishment memang belum ada di masyarakat kita, karena itu perlu ditradisikan.

Kelihatannya memang cukup mudah tapi sebenarnya cukup sulit apabila presiden yang terpilih tidak memiliki kompetensi terhadap berbagai bidang masalah, terlebih lagi kalau ia justru mempunyai banyak masalah di masa lalu. Adalah tidak logis jika seorang presiden akan berhasil menyelesaikan masalah bangsa, bila masalahnya sendiri tidak dapat diselesaikan. Karena itu, presiden akan datang harus memiliki tingkat kompetensi yang tinggi dan secara moral harus fit (moral fitness).

Di samping itu, ia harus didukung oleh sistem yang beradab yang mengakomodasi kepentingan (interest) semua pranata-pranata kemasyarakatan. Tanpa itu semua, tidaklah mungkin pemerintahannya berjalan secara optimal. Misalnya, formasi kabinetnya harus terdiri dari orang-orang profesional di bidangnya masing-masing dan bukan formasi kabinet yang dibentuk atas kepentingan kelompok-kelompok politik tertentu.

***

Pemilu presiden putaran pertama telah berlalu, dalam waktu beberapa hari ke depan akan kita ketahui hasilnya. Siapa pun yang terpilih untuk berkompetisi pada putaran kedua (bila ada putaran kedua) harus kita anggap sebagai yang terbaik walaupun hati nurani kita tidak menghendakinya. Itulah prinsip demokrasi yang harus kita junjung tinggi. Sebaliknya, bila ia terpilih dengan melanggar kaidah-kaidah demokrasi yang jujur dan adil, harus kita jadikan sebagai common enemy sebagai bentuk sanksi sosial yang memang pantas diberikan kepadanya.

Sampai di sini apakah persoalan sudah terjawab semua? Ternyata tidak karena masih timbul pertanyaan, what next? Seperti kata Shakespeare, Kalau Anda tahu jawabannya, sampaikanlah padaku. Wallahu alam bisshawab.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP