7/29/2006

Korupsi Dan Revolusi Kesadaran

Praktek korupsi bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari struktur pemerintahan terendah yakni RT sampai pemerintah pusat; semua pernah terjangkiti penyakit korupsi. Bahkan instansi yang kita percayakan sebagai penjaga moral bangsa yakni departemen agama juga terlibat persoalan korupsi. Legislatif pun sama saja, tidak ada yang terbebas dari persoalan korupsi.



raktek korupsi bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari struktur pemerintahan terendah yakni RT sampai pemerintah pusat; semua pernah terjangkiti penyakit korupsi. Bahkan instansi yang kita percayakan sebagai penjaga moral bangsa yakni departemen agama juga terlibat persoalan korupsi. Legislatif pun sama saja, tidak ada yang terbebas dari persoalan korupsi.

Pemberantasan korupsi telah menjadi agenda prioritas pemerintahan SBY-JK. Bahkan telah dibentuk lembaga khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus korupsi pun diberikan pengadilan khusus yakni pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).

Pelaku korupsi telah banyak yang dihukum namun masih banyak lagi yang belum tersentuh hukum. Menurut Mendagri M. Ma’ruf selama tahun 2004-2006 tercatat sebanyak 1.100 orang yang telah dihukum. Angka ini baru meliputi level gubernur, bupati/walikota dan anggota DPRD saja, belum termasuk pejabat di instansi pemerintah lainnya (detik.com, 23/3/2006).

Bahkan beberapa waktu yang lalu ada sejumlah yang diduga korupsi BLBI di bawah ke Istana. Ini menandakan pelaku korupsi sangat lihai jika berurusan dengan hukum. Ibarat belut, pelaku korupsi sangat susah untuk ditangkap mengingat badannya sangat licin. Setiap kali dijerat hukuman ada saja cara untuk melepaskan diri. Bahkan ada beberapa kasus pelaku korupsi telah dimasukkan dalam penjara tetapi kemudian dapat melarikan diri.

Kemudahan pelaku korupsi lolos dari jeratan hukuman karena disinyalir ada kerjasama antara penegak hukum dengan pelaku. Kasus Abdullah Puteh misalnya, dimana seorang pengacara terlibat dalam praktek penyuapan hakim dan jaksa yang menyidangkan kasus gubernur provinsi Aceh tersebut.

Jika korupsi telah menjadi praktek sosial yang lazim maka sebenarnya masyarakat telah dihegemoni oleh sebuah struktur atau pola yang teratur sejak lama dan selalu terulang. Pada saat kita berurusan dengan birokrasi misalnya, kita telah terbiasa memberikan sebuah tip, suap, amplop dan sejenisnya untuk memperlancar urusan kita. Birokrasi pun telah terbiasa menerima hal-hal demikian. Jadi ada pola yang resiprokal.

Ahli sosiologi kontemporer Anthony Giddens pun mengakui hal ini. Dalam kerangka teori strukturasi yang dia kembangkan, terjadinya praktek sosial adalah merupakan hasil dari suatu “struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip-prinsip praktik-praktik di berbagai tempat dan waktu merupakan hasil perulangan berbagai tindakan kita (B.Hery-Priyono, 2002).

Pada saat kita mengurus STNK, biaya yang semestinya kita bayarkan telah tertera secara jelas di STNK. Pada kenyataannya biaya yang kita bayarkan melebihi apa yang seharusnya. Begitupun apabila mengurus SIM pasti ada biaya lain entah sebagai tip pada polisi atau hal lain untuk mempermudah. Begitupun kalau masuk PNS. Ada kebiasaan untuk berkolusi pada pejabat demi kemudahan kita masuk. Masih banyak contoh lain.

Karena pengalaman memberikan biaya tambahan tersebut memperlancar urusan, kita kemudian menceritakan pengalaman itu pada orang lain untuk kasus yang sama. Jadilah orang itu melakukan hal yang sama. Semakin hari semakin bertambah dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sudah terpola. Pertanyaannya adakah kita tahu dan sadar bahwa hal tersebut termasuk kategori korupsi?

Antony Giddens menjawab bahwa kita tahu; tahu tidak harus diartikan sebagai sadar (Consicious), apalagi sebagai kapasitas untuk menjelaskan semua proses itu secara terinci, sistematis dan gamblang (B. Hery-Priyono, ibid).

Kesadaran menurut Giddens dapat dibedakan menjadi tiga dimensi. Pertama, motivasi tak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical conscious) dan kesadaran diskursif (discursive conscious).

Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan tindakan itu sendiri. Misalnya menceritakan pengalaman memberikan uang tip pada orang tidaklah dimasudkan untuk menyuruh orang untuk korupsi. Mungkin motivasinya hanya ingin menolong agar diberi kemudahan.

Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita. Misalnya jika orang menyuap itu berarti korupsi yang sangat merugikan negara. Pelakunya dapat dihukum. Dengan penjelasan tersebut maka kita bisa menghindarkan prilaku korupsi.

Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu dapat diurai. Misalnya diam saat kita memasuki rumah ibadah. Menurut B. Herry-Priyono kesadaran inilah kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat laun menjadi struktur dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial kita. Contohnya praktik menyuap yang berulang-ulang sudah menjadi kebiasaan kita. Tetapi anehnya proses reproduksi tindakan itulah yang jarang kita kritisi sekarang.

Pemberantasan korupsi hanya bisa dihentikan secara komprehensif bila kita melakukan revolusi kesadaran, dari kesadaran praktis menjadi kesadaran diskursif.Imperatif kesadaran diskursif yang bersifat internal itu harus mendapat supporting dari eksternal yakni penegakan hukum. Pertanyaannya adalah apakah kita mampu mengingat hal itu sudah menjadi kebiasaan bahkan telah menjadi budaya? Jawaban Giddens adalah kita mampu karena kita punya kemampuan untuk introspeksi dan mawas diri (reflexive monitoring of conduct). Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif sangatlah tipis dan lentur.

Yang kita perlukan adalah bagaimana mengubah perilaku yang rutin itu menjadi sebuah hal yang terlarang. Ringkasnya de-rutinisasi tindakan korupsi. Bangunan kesadaran global yang anti korupsi harus terus-menerus diperjuangkan sehingga mindset kita menemukan pola atau struktur yang baru sesuai dengan konteks zaman yang lebih bermartabat. Korupsi No Way! Wallahu A'lam.

1 komentar:

Anonymous

Bicara soal revolusi budaya, saya baru saja menulis sebuah e-book terbaru yang akan merevolusi paradigma tentang dinamika sosial pria-wanita Indonesia dalam dunia romansa, berjudul The Secret Law of Attraction (bukan sampah new age seperti yang beredar selama ini), sekaligus kunci otomatis untuk menarik popularitas dan trafik blog Anda.

Download rahasia besar tersebut dalam e-book yang terdapat di http://www.hitmansystem.com/blog/the-secret-law-of-attraction-113.htm

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP