8/15/2006

Menjadi Bangsa No 1 di Asia

Pada Tahun 1970, seorang duta besar Amerika Serikat yang pernah bertugas di Indonesia, Howard Palfrey Jones pernah mengungkapkan bahwa ada potensi bangsa Indonesia menjadi No. 1 di Asia dalam perkembangan ekonomi 30 tahun akan datang. Dalam bukunya, Turn around in Indonesia” yang diringkaskan oleh majalah Rider’s Digest Edisi Asia ia mengatakan, “adapun untuk masa depan, berbagai pertanda adalah cemerlang. Indonesia punya potensi untuk menjadi bangsa No. 1 Asia dalam perkembangan ekonomi dalam 30 tahun mendatang, terkecuali Jepang dan barangkali Cina yang menjadi tanda tanya besar itu. Ia memiliki sumberdaya alam, dan mempunyai rakyat bermutu yang berakar dalam tradisi budaya yang vital”.

Seandainya ramalan tersebut terbukti, maka dapat dibayangkan bahwa bangsa kita setara kemajuannya dengan bangsa Jepang saat ini. Sayang sekali setelah 36 tahun kemudian prediksi tersebut ternyata tidak terbukti. Justru Jepang dan Cina yang dikatakannya masih tanda tanya besar yang menjadi No. 1 Asia. Mengapa?Jika pertanyaan ini diajukan pada Kishore Mahbubani, Duta besar Singapura di PBB, maka dengan mantap ia akan menguraikan jawabannya dengan mengaitkannya dengan kemampuan berfikir sebuah bangsa.


Dalam bukunya yang provokatif berjudul “ Bisakah Orang Asia Berfikir?” ia menjawab pertanyaan tersebut dengan tiga kemungkinan jawaban. Pertama, orang Asia tidak bisa berfikir. Menurutnya, indikasi orang Asia tidak bisa berfikir karena kenyataan pada saat seribu tahun yang lalu peradaban Asia yang diwakili oleh peradaban Islam dan Konfusian masih memimpin dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dunia pengobatan dan astronomi.Sebaliknya Bangsa Eropa pada saat itu masih berada dalam masa “kegelapan” yang dimulai ketika Kekaisaran Romawi runtuh pada abad kelima. Gambaran “zaman gelap” Eropa itu dilukiskan oleh Will Durrant dalam The Age Of Faith seperti ini, “Eropa Barat pada abad ke enam mengalami kekacauan penaklukan, perpecahan dan barbarisasi kembali. Banyak kebudayaan klasik bertahan, hampir semuanya dalam kesunyian dan tersembunyi dalam sedikit kuil dan tradisi beberapa keluarga. Tapi fondasi fisik dan psikologis tatanan sosial telah sangat parah sehingga diperlukan beberapa abad untuk merestorasi kembali. Kecintaan pada kebudayaan, perkawinan silang pemikiran yang saling bergesek, runtuh pada zaman perang, resiko yang berbahaya dalam bepergian, kemiskinan ekonomi, kebangkitan bahasa-bahasa lokal, sirnanya bahasa Latin dari Timur dan Sirnanya bahasa Yunani dari Barat”.


Dengan latar belakang ini, tulis Mahbubani, bodoh jika kita memperidiksi pada saat itu bahwa di melineum kedua, peradaban Cina, India dan Islam akan terpuruk ke dalam keterpencilan sejarah, sementara Bangsa Eropa akan muncul menjadi peradaban pertama yang pernah mendominasi dunia. Yang sangat mengejutkan, justru Bangsa Eropalah yang maju ke depan. Jika orang Asia bisa berfikir, kata Mahbubani, mengapa saat ini hanya satu bangsa Asia (Jepang) yang mampu meyetarakan dirinya dengan bangsa Barat?
Kedua, orang Asia bisa berfikir. Hal ini ditandai oleh kemajuan ekonomi Asia Timur saat ini. Ekonom Bank Dunia yang juga peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz melukiskan gambaran kemajuan ekonomi Asia tersebut dalam Asian Wall Street Journal seperti ini, “ Keajaiban Asia Timur adalah fakta nyata. Transformasi ekonomi Asia Timur telah menjadi salah satu prestasi luar biasa dalam sejarah. Gelombang yang dramatis dalam standar hidup yang lebih tinggi unutk ratusan juta orang Asia, mencakup harapan hidup lebih lama, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan jutaan lainnya telah mengentaskan dirinya dari kemiskinan, dan saat ini mengarah pada kehidupan yang penuh harapan. Pencapaian-pencapaian ini betul-betul nyata, dan akan jauh lebih permanen daripada kekacauan yang sering terjadi saat ini”.
Mahbubani juga melihat adanya perubahan penting dalam pola pikir orang Asia saat ini. Misalnya selama berabad-abad orang Asia percaya bahwa satu-satunya cara meningkatkan diri adalah usaha menandingi bangsa Barat. Saat ini orang Asia masih melihat puncak kesenangan yang dihuni sebagian besar masyarakat Barat. Tapi mereka juga melihat , di luar puncak itu, pilihan-pilihan alternatif yang bisa dijadikan model bagi masyarakatnya sendiri.


Ketiga, mungkin orang Asia bisa berfikir. Salah satu pertanyaan terpenting orang Asia kepada diri mereka sendiri, tulis Mahbubani, adalah pertanyaan sederhana, berapa banyak masyarakat Asia, kecuali Jepang (Negara yang diterima oleh kelompok Barat), yang benar-benar percaya kalau masyarakatnya bisa berhasil dan mencapai kemajuan, dalam pengertian yang paling komprehensip, seperti negara maju di Amerika Utara dan Eropa Barat? Jika jawabanya tidak ada, atau mungkin hanya sedikit maka alasan untuk jawaban mungkin menjadi lebih kuat.
Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan kontemporer Bangsa Indonesia seperti masalah kemiskinan maka kita harus mampu menjawab “bisa” - tegasnya bangsa Indonesia bisa berfikir - dengan mantap. Menurut Dawam Rahardjo dalam kata Pengantar buku tersebut setidaknya ada tiga cara untuk menunjukkan kemampuan berfikir kita demi meraih kemajuan di masa depan.


Pertama, adalah melalui integrasi dengan perekonomian dunia yang kapitalis dan mengikuti atau memanfaatkan globalisasi. Cara seperti ini telah ditempuh oleh Jepang dan Negara-negara Empat Macan Asia dan hampir diikuti dengan berhasil oleh negara-negara Asia Tenggara.


Kedua, dengan mengambil aspek yang baik dari kapitalisme atau sosialisme dan membuang aspek buruknya. Hal ini dilakukan dengan melakukan kritik dan mengembangkan Oksidentalisme, sebagaimana Barat di masa lalu mengembangkan Orientalismenya. Disini Dunia ketiga bisa mengikuti globalisasi tetapi globalisasi moral dan etika, seperti demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kesetaraan Gender dan keterbukaan masyarakat.


Ketiga, adalah melakukan strategi “delinking” yang pernah diusulkan oleh Ivan Illich atau Tetonio De Santos dan penganjur- penganjur teori Dependensia lainnya. Asumsinya, makin jauh dari kapitalisme dan Imprealisme, suatu bangsa akan lebih mampu melakukan pembangunan secara sehat sebab jauh dari faktor distorsi. Contohnya adalah Iran dan Kuba.


Disamping ketiga cara di atas saya menambahkan aspek kultural maupun mentalitet. Kemajuan Jepang maupun negara lain juga tidak terlepas oleh sebuah kultur dan mentalitet yang mendukung kemajuan negaranya.


Dalam usia 61 tahun kemerdekaan ini, kita perlu merefleksi terhadap gugatan Kishore Mahbubani di atas. Selanjutnya kita memperkuat kemampuan berfikir agar harapan yang pernah dilontarkan oleh Duta Besar Amerika itu dapat menjadi kenyataan dalam waktu tidak lebih dari 50 tahun dari sekarang. Jika itu berhasil maka minimal dalam perayaan usia kemerdekaan yang ke 100 kita bisa merayakan tanda-tanda Indonesia sebagai bangsa nomor satu di Asia. .Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP