7/29/2006

Menanti Lahirnya Walikota Yang Kaya Gagasan

Beberapa hari yang lalu atau tepatnya Sabtu, 9 Juli 2005, saya menghadiri sebuah dialog yang dikemas dengan nama Uji Publik dan Debat Calon Walikota Palu dilaksanakan oleh KNPI Sulawesi Tengah. Sebagai wadah berhimpun elemen kepemudaan, KNPI sudah melaksanakan salah satu fungsinya sebagai mediator bagi segenap kepentingan khususnya bagi unsur kepemudaan yang berhimpun didalamnya. Karena itu kita patut menghargai upaya KNPI dalam membangun tradisi dialog di antara berbagai elemen kemasyarakatan di Sulawesi Tengah.

Beberapa hari yang lalu atau tepatnya Sabtu, 9 Juli 2005, saya menghadiri sebuah dialog yang dikemas dengan nama Uji Publik dan Debat Calon Walikota Palu dilaksanakan oleh KNPI Sulawesi Tengah. Sebagai wadah berhimpun elemen kepemudaan, KNPI sudah melaksanakan salah satu fungsinya sebagai mediator bagi segenap kepentingan khususnya bagi unsur kepemudaan yang berhimpun didalamnya. Karena itu kita patut menghargai upaya KNPI dalam membangun tradisi dialog di antara berbagai elemen kemasyarakatan di Sulawesi Tengah.

Sayang sekali upaya yang sama tidak mendapat dukungan dan respon yang baik dari para calon walikota dan wakilnya. Seperti disaksikan, dialog tersebut hanya satu calon yang hadir. Sehingga kesempatan masyarakat membangun komunikasi politik dengan para calon pemimpin kota terhambat. Ironisnya bukan hanya sekali ini saja para calon walikota itu berbuat demikian.

Entah berapa sudah berapa banyak forum yang seharusnya mereka gunakan sebagi ajang diseminasi ide dan gagasan tidak dimanfaatkan secara optimal. Seperti acara serupa yang pernah dilaksanakan oleh HMI dan LSM beberapa waktu yang lalu, juga tidak dihadiri oleh calon walikota secara lengkap. Bagi calon yang tidak hadir pada acara-acara tersebut sedikit banyak tentu mengurangi kredibilitas kepemimpinannya khususnya dikalangan masyarakat.

Dalam era otonomi daerah yang menuntut pembangunan secara bottom up adalah bagaimana mentradisikan dialog disegenap elemen kemasyarakatan. Lebih dari itu bagi yang mengklaim diri sebagai pemimpin (baca calon walikota/wakil walikota, tradisi membaca dan menulis juga harus diperhatikan.

Sebagaimana dimaklumi dialog merupakan metode untuk mendengar dan menyampaikan gagasan-gagasan secara timbal balik. Dalam dialog itulah gagasan-gagasan cerdas dapat disampaikan sehingga kualitas intraksi sosial, intelektual maupun kultural bisa terbangun secara mantap.

Keunggulan Soekarno adalah kemampuannya berpidato dan berdialog dengan masyarakat. Tidak mengherankan dia selalu ditunggu kemunculannya di hadapan publik. Sementara Moh.Hatta sangat pandai menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan. Tulisannya tersebar disejumlah majalah dan jurnal. Soekarno memang tipe solidarity maker sedangkan Moh.Hatta adalah Problem Solver.

Karena itu pemimpin saat ini harus mentradisikan berdialog, membaca dan menulis. Hanya dengan kebiasaan itulah pemimpin akan melahirkan gagasan sehingga dapat memperkaya kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan.

Studi yang dilakukan oleh Rizal Mallarangeng (2002) misalnya menguraikan peran gagasan dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi politik ordebaru. Menurut Adler (Rizal Mallarangeng, 2002), gagasan berperan penting sebab ia menunjukkan kepada para pelaku (di arena publik) tujuan mereka yang semestinya, mengapa tujuan ini lebih penting ketimbang tujuan lainnya, bagaimana ia dicapai, serta siapa yang menjadi kawan dan lawan dalam proses pencapaiannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dialog merupakan arena transmisi gagasan yang sangat penting dalam membawa sebuah perubahan. Dalam konteks itulah dapat difahami mengapa setiap kepala daerah harus mampu meyakinkan kepada masyarakat berkenaan dengan gagasannya. Karenanya kepemimpinan yang dibangun disamping harus mempunyai karakter yang kuat juga mutlak memiliki gagasan yang cerdas.

Pentingnya gagasan sangat terkait erat dengan kultur pemerintahan yang dibangun saat ini. Seperti diuraikan Hetifah Sj Sumarto(2003), Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumberdaya memecahkan masalah-masalah publik.

Pemecahan masalah-masalah publik tidak hanya bisa dicapai dalam sistem demokrasi yang kerap kali memberi kemenangan pada mayoritas, tetapi bisa juga disepakati oleh pemberian solusi yang menitikberatkan pada gagasan, walaupun kadangkala tidak populer. Contoh ketika Presiden SBY membuat keputusan menaikkan harga minyak masyarakat banyak yang protes.

Terlepas oleh adanya kontroversi dibalik kenaikan tersebut pemerintah telah berani mengeluarkan kebijakan yang tidak populer. Saya ingin mengatakan bahwa dalam menjalankan pemerintahan logika massa tidak selalu harus diikuti. Pemimpin harus juga mempunyai keyakinan sendiri.

Selanjutnya, dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan.Jadi, sejatinya governance sejatinya difahami sebagi suatu proses, bukan struktur atau intitusi. Sifat governance adalah inklusif. Sebagai proses berarti ia tidak statis.

Sifat tersebut sejalan dengan sifat asli gagasan yang inklusif, egaliter sehingga dapat merasuki kepala setiap orang. Sejalan dengan Rizal, inilah salah satu penjelasan mengapa sistem politik ordebaru yang sangat otoriter dan tertutup bisa dicekoki oleh sistem ekonomi liberal lewat kaum epistemis liberal.

Berbagai aktivitas masyarakat apalagi yang berbentuk dialog dengan pemerintah harus dimaknai sebagai upaya warga untuk berpartisipasi dalam proses learning society. Kelak learning society terus menerus berproses menjadi knowledge society. Ketika masayarakat telah sampai pada tahapan tersebut maka rasionalitas politik semakin terbangun dengan kokoh.

Dengan demikian yang paling urgen disaat bangsa kita memasuki tahap konsolidasi demokrasi saat ini adalah, pertama, adanya pemerintahan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, yaitu pemerintahan yang menekankan pentingnya membangun proses pengambilan keputusan publik yang sensitif terhadap suara-suara komunitas. Kedua, mentradisikan dialog dengan aksentuasi pada gagasan-gagasan yang visioner.

Mengutip Robert Wuthnow (Rizal Mallarangeng, 2002), berbagai peristiwa dalam sejarah tidak akan terjadi, atau setidak-tidaknya tidak akan terjadi sebagaimana tercatat dalam teks-teks sejarah, tanpa gagasan dan visi kaum pemikir, penulis dan ideolog yang meyakinkan masyarakat mereka bahwa tujuan perjuangan mereka adalah tepat, benar, dan memang perlu demi kebaikan bersama. Wallahu AĆ¢€™lam.


Selengkapnya!

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP