7/29/2006

Membangun spritualitas birokrasi

Pada esensinya kekuasaan bersifat suci. Ia merupakan salah satu sifat yang melekat pada Tuhan. Tanpa kuasa mustahil ada keteraturan pada alam raya ini. Karena itu alam bersifat kosmos artinya teratur sebagai bagian dari kekuasaan ilahi.Pada esensinya kekuasaan bersifat suci. Ia merupakan salah satu sifat yang melekat pada Tuhan. Tanpa kuasa mustahil ada keteraturan pada alam raya ini. Karena itu alam bersifat kosmos artinya teratur sebagai bagian dari kekuasaan ilahi.

Tetapi jika kekuasaan itu sudah dilekatkan pada diri manusia, kekuasaan itu mengikut pada sifat manusia yang mengendalikannya. Jika ia dipelihara oleh manusia yang baik maka ia pun besifat baik. Sebaliknya jika ia melekat pada manusia yang jahat maka ia pun bersifat jahat. Dengan kata lain pengendalian kekuasaan terletak pada manusia yang ada dibelakangnya, the man behind the gun.

Karena hakikat kekuasaan adalah suci, maka sebenarnya selalu saja ada potensi untuk menjadi baik. Nabi Muhammad SAW, pernah memegang kekuasaan.Pada saat itu beliau menjalankan kekuasaannya tanpa pernah menyeleweng. Beliau memerintah dengan keadilan. Pada saat itu terjadi ketertiban sipil, penegakan hukum yang konsisten. Karenanya tidak ada demostrasi massa yang berakibat pembunuhan seperti di Freeport, juga tidak ada KKN pada birokrasi. Dengan kekuasaan beliau, semua masalah bisa dialogkan dengan penyelesaian yang tuntas.

Ada contoh lain yang berlawanan yakni ketika Fir’aun berkuasa. Ketika itu dengan segala kecanggihan politiknya Fir’aun mampu menjalankan kekuasaannya dengan sifat yang sangat otoriter. Fir’aun tidak mengenal dialog, bahkan segala keputusan dan kebenaran mutlak ada padanya. Dengan sifat pengingkarannya, ia dihukum Tuhan dengan cara menenggelamkannya di laut pada saat ia dan pasukannya mengejar nabi Musa.

Lantas kita pilih yang mana? Tentu mengikuti petunjuk agama, bahwa telah jelas yang benar itu sebagai benar dan yang bathil sebagai bathil. Kebenaran pasti mengalahkan kesesatan.

Semua masyarakat Sulawesi Tengah dengan dilantiknya Gubernur Baru nanti pasti mempunyai ekspektasi yang sama. Mereka akan ingin segera melihat negeri ini mengalami perubahan-perubahan yang signifikan. Kita ingin ada perubahan dalam semua level baik di pemerintahan maupun di masyarakat pada umumnya. Perubahan yang dimaksud, misalnya masyarakat lebih sejahtera, penegakan hukum lebih adil, menuntaskan pelaku-pelaku korupsi, dan sederet keinginan dan harapan yang intinya menuju pada kondisi yang lebih baik dan lebih maju.

Tentu semua ini tidak boleh dibebankan pada pemerintah saja. Semua warga masyarakat, kelompok maupun individu harus berpatisipasi dengan kapasitasnya masing-masing. Pemerintah harus komitmen pada tugasnya sebagai pelayan publik sementara masyarakat madani harus juga menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pembaharuan.

Penanggung jawab semua atas maujudnya harapan masyarakat pastilah para pemimpin baik formal (pemerintahan) maupun informal. Tetapi tanggung jawab pemimpin informal hanyalah tanggungjawab kutural dan moral, sementara tanggungjawab pemimpin formal di pemerintahan adalah tanggung jawab politik. Kira-kira kewajibannya dalam bahasa agama masing-masing disebut fardu kifayah dan fardu ain. Atau bisa juga disetarakan dengan tugas dalam suatu kepanitiaan yakni tugas sebagai panitia pengarah(streering committee) dan tugas panitia pelaksana (orgainizing committee).

Ini rasional sekali. Pertama, pemimpin pemerintah mempunyai mesin birokrasi yang tugasnya mengurusi semua kepentingan masyarakat. Atas dasar ini mereka mendapat imbalan berupa gaji. Kedua, para pemimpin pemerintahan dapat mengelola dana yang tersimpan di kas-kas pemerintah sesuai dengan peruntukannya.

Tetapi ada penyakit bawaan kekuasaan yang sudah banyak menjangkiti oleh orang yang berkuasa. Sebutlah korupsi, kolusi dan nepotisme. Lainnya sombong, otoriter dan tidak mau mendengarkan aspirasi.

Jika penyakit-penyakit ini terjangkit pada para pemimpin maka tujuan kekuasaan mustahil akan tercapai secara optimal. Birokrasi yang menjadi perantara tujuan kekuasaan tidak bisa berfungsi dengan baik. Malahan birokrasi akan mudah mengabdi pada kepentingan pada orang yang berkuasa.

Birokrasi memang amat mudah dikendalikannya oleh pemegang kekuasaan. Apalagi jika kekuasaan masih berada pada system sentralisme seperti pada zaman orde baru. Semua hal ditentukan dari atas (top down) tanpa ada mekanisme partisipasi yang alami. Walaupun sistem negara kita bisa dikatakan telah demokratis, kecenderungan untuk terjadinya sentralisme tetaplah ada walupun tidak sebesar pada era yang lalu. Kecenderungan ini bisa meningkat apabila orang yang memegang kekuasaan mempunyai agenda pribadi (hidden agenda) misalnya ingin memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.

Sasaran pertamanya adalah bagaimana menguasai birokrasi agar semua kepentingannya bisa diakomodir. Untuk mengusai birokrasi sepenuhnya, dicarilah orang yang yang mau diajak “kerjasama” (tanda kutip untuk menunjukkan pengertian yang negative) untuk kemudian didudukkan dalam suatu jabatan. Inilah awal mula kolusi, dan korupsi.

Pada kondisi demikian, birokrasi menjadi tidak profesional. Kerjanya tidak optimal karena proses rekrutmen tidak berdasarkan kreteria profesional atau merit sistem. Hanya berdasarkan pertimbangan politik balas jasa. Pada akhirnya kinerja yang diharapkan tidak tercapai. Pelayanan publik pun menjadi terbengkalai.

Agar semua ini tidak terjadi, maka sejatinya birokrasi harus diarahkan pada kokohnya kesadaran spritualitas(sense of spirituality). Landasan spritualitas itulah yang menaungi tindakan-tindakan birokratis yang bersendikan kebebasan serta kepatuhan pada prinsip yuridis yang sah dan rasional. Nilai spiritualitas harus kokoh kuat sehingga tidak ada kepatuhan yang tidak berdasar pada job description masing-masing.

Fungsi pemegang kekuasaan adalah sebagai sumber kesadaran arah dan tujuan (sense of direction and purpose). Maka pemegang kekuasaan harus memberikan perintah yang mempunyai tujuan yang jelas. Bila ada terjadi kekeliruan atau penyelewengan wewenang harus diberikan sangsi yang proporsional sesuai dengan tingkat kesalahan. Sebaliknya jika berprestasi harus diberikan penghargaan yang pantas.

Disamping terbuka kepada bawahan, maka pemegang kekuasaan pun harus terbiasa terbuka kepada lingkungan sosial. Adanya masyarakat yang menyampaikan kritik dan aspirasi -dengan berbagai metodenya -harus dipahami sebagai pelaksanaan tugas yang belum optimal. Dengan begitu akan timbul usaha yang sungguh-sungguh (jihad) dalam melaksanakan tugas yang menjadi sasaran kritik.

Jika masyarakat mengkritik, maka penguasa harus mawas diri dan introspeksi agar kita tidak menjadi sasaran kritik yang terus-menerus.. Maka kita selalu diperintahkan oleh Tuhan agar selalu berbuat di jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai lagi tersesat.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP