7/29/2006

Objektivikasi Pancasila

Memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 juni, pertanyaaan mendasar yang dikemukan oleh sekompok kecil masyarakat kritis berkenaan dengan, apakah Pancasila sebagai ideologi hari ini masih relevan? Jawaban terhadap pertanyaan ini terbagi ke dalam dua aliran besar. Aliran pertama menyatakan bahwa pancasila tentu saja masih relevan karena ia adalah sebuah ideologi kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nilai yang digali dari kenyataan luhur bangsa. Mengingkari Pancasila sama dengan tidak mengakui keindonesiaan secara subtantif. Hanya saja perlu direaktualisasi kembali karena implementasi pancasila pada masa orde baru yang menyimpang.

Memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 juni, pertanyaaan mendasar yang dikemukan oleh sekompok kecil masyarakat kritis berkenaan dengan, apakah Pancasila sebagai ideologi hari ini masih relevan? Jawaban terhadap pertanyaan ini terbagi ke dalam dua aliran besar. Aliran pertama menyatakan bahwa pancasila tentu saja masih relevan karena ia adalah sebuah ideologi kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nilai yang digali dari kenyataan luhur bangsa. Mengingkari Pancasila sama dengan tidak mengakui keindonesiaan secara subtantif. Hanya saja perlu direaktualisasi kembali karena implementasi pancasila pada masa orde baru yang menyimpang.

Adanya penyimpangan dimulai ketika Pancasila ditafsirkan secara sepihak oleh pihak penguasa pemerintahan. Tidak ada kebenaran selain dari rezim yang berkuasa. Eksesnya berupa adanya Pancasila yang terlanjur terstigma sebagai produk yang tidak sejalan dengan semangat reformasi. Karena itu membicarakan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah keharusan. Namun perlu direvitalisasi dan reaktualisasi sejalan dengan perubahan dalam skala nasional dan global.

Aliran kedua mengatakan tidak relevan karena Pancasila sebagai ideologi telah gagal dalam menjaga keutuhan bangsa. Bangsa semakin terpecah-pecah. Tidah hanya itu Pancasila sebagai doktrin juga mempunyai sisi-sisi yang kontradiktif seperti tercermin dalam debat antara Soekarno dan Sutan Sahrir. Sebagai ideologi Pancasila juga semakin tidak lengkap dalam mengakomodasi semua aspirasi keindonesiaan yang selalu berubah. Tidak pernah ada bukti kongkrit pengamalan pancasila secara benar sebagai hasil indoktrinasi yang menyeluruh. Saat ini pemenangnya adalah ideologi kapitalisme, setidaknya menurut Francis Fukuyama dan Daniel Bell.

Ditingkat berbangsa doktrin Pancasila yang menempatkan Tuhan atau ruh agama sebagai nafas utama dalam kehidupan nyata sebagai bangsa dan individu tidak menjadi kenyataan, malahan menjadi utopis. Ini adalah akhir dari sebuah ideologi, the end of ideology. Karena itu menurut aliran ini bangsa Indonesia perlu mencari konsensus baru yang lebih relevan sebagai common denominator baru bangsa Indonesia.

Dengan membuat garis argumentasi yang sederhana terhadap dua aliran itu saya menyimpulkan bahwa secara subtantif bangsa Indonesia masih memerlukan sebuah Ideologi yang berfungsi sebagai konsensus nilai bangsa. Bangsa memerlukan wahana bagi akomodosi kenyataan pluralisme atau kebhinekaan dimana ujungnya melahirkan nasionalisme. Suatu nasionalisme yang relevan dengan kondisi saat ini serta mampu mengantisipasi masa depan. Dengan kata lain ideologi difungsikan sebagai alat bagi sebuah konsensus.

Tetapi menjadikan tujuan ideologi (Pancasila atau apapun namanya) sebagai alat untuk kesepakatan bersama sesungguhnya merupakan asumsi yang menyesatkan. Pandangan inilah yang menjadi sasaran kritik seperti yang dikemukakan oleh John B. Thompson (2003). Menurutnya sesat berideologi terletak pada asumsi bahwa ideologi bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang mengingat anggota masyarakat secara bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dan kepercayaan tertentu disepakati oleh seluruh (bahkan mayoritas) anggota masyarakat industri moderen.

Sebaliknya, sebagaimana yang lebih mirip dengan masyarakat kita, masyarakat yang memiliki tatatan sosial yang stabil, mereka dikondisikan (stabilized) oleh adanya perbedaan nilai dan kepercayaan serta pembagian kerja yang bersifat individu dan kelompok. Menurut John B. Thompson selanjutnya stabilitas masyarakat bergantung tidak hanya kepada konsensus yang berisi nilai-nilai dan norma-norma tertentu, tapi juga kepada ketidaksempurnaan konsensus dimana sikap-sikap saling bertentangan akan diterjemahkan ke dalam tindakan politik.

Supaya tidak terulang kesalahan kedua kali dalam berpancasila, bukan hanya kita perlu revitalisasi dan reaktualisasi atau mencari konsensus baru. Yang lebih mendasar dari itu adalah kita perlu melakukan objektivikasi Pancasila dengan menempatkan pada suatu setting sosial baru yang bersifat kritis. Biarkan Pancasila "berdialog" dengan tatanan sosial yang ada di sekelilingnya. Kita tidak perlu mendiktekan kemauan kita yang bersifat subjektif dan penuh muatan kepentingan.Wallahu A'lam.


1 komentar:

oktagerard

Benar bahwa Ideologi Pancasila dapat ditafsirkan dalam dua aliran.

Hanya saja pada pandangan kedua tentang ideologi Pancasila yang dinyatakan gagal membawa keutuhan Indonesia, saya rasa perlu diperdalam lagi.

Pancasila sebagai ideologi tidak akan berarti banyak bila ia hanya ditempatkan dalam kategori moralitas belaka.
Pancasila butuh diwujudkan dalam hidup harian pribadi per pribadi.
Permasalahannya sekarang operasional ideologi Pancasila tersebut tersendat lantaran sebuah proses internalisasi Pancasila tidak berjalan dengan semestinya.
Contoh...masih ingat dengan P4 yang terlalu berbau indoktrinasi?
mengapa kita tidak menghangatkan topik Pancasila dalam bidang pendidikan intelektual kita.
Baik itu forum akademis-ilmiah dan forum sosialisasi di masyarakat.

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP