7/29/2006

Hijrah Menuju Masyarakat Demokratis

Salah satu tujuan Hijrah nabi yang relevan untuk kita bahas saat ini adalah terbentuknya suatu masyarakat politik. Seperti disebutkan oleh Nurcholish Madjid, bila di Makkah selama 13 tahun, beliau berhasil menanamkan iman kepada Allah dan mendidik para sahabat yang jumlahnya tidak terlalu besar, maka setelah Hijrah di Madinah, langkah perjuangan beliau meningkat, yaitu membentuk masyarakat politik. Karena itu nama kota tempat beliau berhijrah, Yastrib, beliau ubah menjadi Madinah, yang makananya ialah kota dalam penegertian tempat peradaban, hidup beradab, berkesopanan, dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh semua warga ( Nurcholish Madjid, 2002).

Salah satu tujuan Hijrah nabi yang relevan untuk kita bahas saat ini adalah terbentuknya suatu masyarakat politik. Seperti disebutkan oleh Nurcholish Madjid, bila di Makkah selama 13 tahun, beliau berhasil menanamkan iman kepada Allah dan mendidik para sahabat yang jumlahnya tidak terlalu besar, maka setelah Hijrah di Madinah, langkah perjuangan beliau meningkat, yaitu membentuk masyarakat politik. Karena itu nama kota tempat beliau berhijrah, Yastrib, beliau ubah menjadi Madinah, yang makananya ialah kota dalam penegertian tempat peradaban, hidup beradab, berkesopanan, dan teratur dengan hukum-hukum yang ditaati oleh semua warga ( Nurcholish Madjid, 2002).

Jika kita relevansikan usaha nabi yang ingin membentuk masyarakat politik di Madinah, maka sesunggunhnya pembangunan demokrasi melalui pemilu oleh bangsa kita merupakan kelanjutan dari usaha-usaha pembentukan masyarakat politik yang demokratis dan beradab yang telah dirintis nabi. Usaha tersebut bisa dikatakan berhasil karena dalam pemilu 1999 dan 2004 mulai dari pemilihan legislatif, presiden dan wakil presiden kemudian dilanjutkan dengan pilkada telah dilaksanakan secara demokratis, ,jujur dan adil.

Hal inilah yang meneguhkan bangsa Indonesia sebagai bangsa demokrasi ketiga terbesar di dunia sekaligus negara berpenduduk Islam terbesar yang paling berhasil melaksanakan demokrasi. Kenyataan ini juga meyakinkan secara tegas bahwa Islam sangat kompetibel dengan demokrasi.

Namun demikan masih terdapat suatu fakta yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan dan konsolidssi demokrasi di negara-negara muslim. Azyumardi Azra misalnya, mencatat setidaknya ada lima faktor.
Pertama, adalah kelemahan dalam infra struktur dan prasyarat dalam pertumbuhan demokrasi. Sebagian besar negara muslim terbelakang dalam ekonomi dan pendidikan. Sebagian diantaranya memang benar-benar miskin tetapi juga terdapat negara-negara yang memilki sumberdaya alam yang melimpah. Tetapi kelompok negara yang terakhir ini masuk ke dalam kategori Weberian “soft state” dimana patrimonialisme (patron-client), korupsi, kronisme dan nepotisme sangat merajalela sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan mendistorsi perkembangan sosial budaya.
Kedua, masih kuatnya pandangan normatif-teologis tentang kesatuan agama dan negara. Pandangan yang masih cukup banyak dianut muslim ini berasal dari teori politik klasik Islam (fikh siyasah) yang dimasa kini teraktualisasi dalam eksperimen “ Negara Islam” pada satu pihak dan gagasan Khilafah (Kekhalifaan Universal) pada segi lain.
Ketiga, adalah masih dominannya kultur politik tradisional yang berpusat pada kepemimpinan keagamaan kharismatis, yakni ulama, kiyai dan sebagainya yang ditaklidi secara buta oleh sebgian umat Islam.
Keempat, adalah kegagalan negara-negara muslim yang telah mengadopsi demokrasi untuk mempraktekkan demokrasi secara genuine dan otentik. Banyak rezim di negara muslim demokrasi sering menggunakan berbagai pendekatan dan cara yang tidak demokratis dalam meyelesaikan masalah-masalah dan tantangan yang mereka hadapi.
Kelima, adalah lemahnya civil society. Kebanyakan masyarakat madani tidak dapat memainkan peranan instrumentalnya dalam pertumbuhan demokrasi, apakah karena mereka dikooptasi negara atau mengalami disfungsi dan disorientasi karena keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis.

Walaupun faktor-faktor tersebut sebagian kalau tidak seluruhnya ada di Indonesia, tetapi kita harus optimis sebagai negara mengalami proses demokratisasi yang sudah samapi pada tahapan point of no return. Hal ini dibuktikan oleh susksesnya pelaksanaan dua kali pemilu. Untuk mempercepat proses tersebut maka masalah –masalah yang menimpa Indonesia akhir-akhir harus cepat dan segera ditangani. Misalnya kemiskinan, korupsi, kerusuhan sosial, konflik social, kelaparan wabah penyakit, terorisme, bencana alam dan berbagai patologi sosial lainya. Mengingat tingkat kesejahteraan mempunyai kaitan positif terhadap demokrasi maka tingkat pertumbuhan ekonmi negara harus dipacu secara cepat pula.

Kenyataan ini mengherankan sekaligus ironi. Mengherankan karena kita telah melewati kurun waktu enam puluh tahun pembangunan. Bila kita bandingkan negara-negara tetangga yang memulai pembangunannya dengan waktu yang relatif sama, kita kini telah jauh tertinggal. Ironi karena bangsa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Kekayaan yang tersimpan diperut bumi Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil dari bangsa ini. Kekayaan hanya dinikamati oleh orang yang punya power politik dan ekonomi dari kalangan tertentu. Jadi pada sistem pengelolaan ekonomi kita ada masalah struktural yang tidak adil. Sudah tentu hal tersebut bertentangan dengan nilai agama.

Penting juga untuk menggeser kesadaran agama secara kolektif dari vertikal ke horizontal. Ini untuk memperkuat etos agama yang ditranformasikan menjadi etos ekonomi. Bila kita memandang secara horizontal maka akan terlihat berbagai masalah sosial yang menimpa sebagai bangsa maupun sebagai individu manusia. Semua ini merupakan kelalaian dan harus segera diakhiri. Karena itu bangsa Indonesia harus hijrah menuju masyarakat demokratis bermakna-mengukuti Cak Nur- sebagai peningkatan kualitatif perjuangan bersama menciptakan masyarakat sebaik-baiknya. Selamat tahun Baru Hijriah 1427.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP