12/29/2008

Kalau aku mati, kamu gimana?

Pagi ini, seorang teman yang sedang terbaring sakit tiba-tiba mengirim sms pada saya seperti judul di atas, "kalau aku mati, kamu gimana?" Tentu saja saya kaget karena untuk pertama kalinya dia mengirim sms seperti itu pada saya. Saya jawab, secara personal tentu saja saya sedih karena pasti kehilangan seorang teman. Lantas, apakah hanya saya hanya bersedih? Makanya saya terus tanya lagi, kenapa tiba-tiba mengirim sms seperti itu? Dia jawab, "kan kita harus siap-siap".

Sudah menjadi ketetapan Allah bahwa kematian harus di jalani oleh semua manusia. Bila Tuhan sudah berketetapan untuk mengambil nyawa yang dipinjamkan-Nya itu maka tidak seorang pun yang bisa mencegahnya. Bila ada nyawa yang bisa dibeli maka orang-orang kaya di seluruh dunia itu tidak seorang pun yang akan mati karena pasti dia mampu beli berapapun harganya sepanjang masih bisa dinominalkan. Oleh sebab itu hidup itu sangat berharga sehingga tidak bisa terbeli. Sehingga agama juga mengajarkan bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia maka ekuivalen dengan membunuh semua manusia. Begitupun bila seorang manusia menyelamatkan seorang manusia sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Begitulah betapa berharganya hidup itu.

Proses pasti menuju kepada kematian itulah meniscayakan kita harus mempersiapkan diri. Ibarat mau pindah rumah di luar daerah, maka rumah baru yang akan kita tempati itu harus di isi dulu dengan segala perlengkapannya agar kita nyaman di dalamnya.

Saya tidak percaya Socrates yang konon pernah berkata bahwa akhir kehidupan adalah kematian. Saya tentu saja sangat percaya bahwa kehidupan itu justru awal dari kehidupan selanjutnya. Bahkan kehidupan selanjutnya kelak itu itu lebih nikmat lagi. Itu adalah kehidupan abadi. Ini terbaca dalam kitab suci, misalnya,
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika
dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang
di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin
tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan
kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi
dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat
hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38)

Sesungguhnya kematian bukanlah akhir bagi kehidupan. Kematian adalah pintu menuju kehidupan berikutnya. Karena itu usaha yang sungguh-sungguh harus kita jalankan. Mengutip Goethe:

"Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir
dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti
yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah
mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya,
maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk
menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan
saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul
beban jiwa."

Tetapi dalam rangka memperbanyak modal amal itu tidak sama dengan doktrin kapitalisme untuk menambah modal. Kapitalisme mempratekkan menambah modal dengan segala cara. Tidak peduli merugikan orang lain atau tidak. Tujuannya adalah keuntungan semata. Menambah modal akherat harus sejalan dengan segala nilai suci Tuhan sendiri. Dengan kata lain menambah modal untuk akherat harus sesuai dengan nilai universal agama seperti yang diajarkan oleh kitab suci. Wallahu A'lam.

Read More..

12/28/2008

Tahun Baru, apanya yang baru?

Sungguh lezat hidangan sate domba yang dihidangkan oleh teman-teman facebook
semalam. Beberapa teman yang datang dalam kumpul-kumpul tersebut terlihat sangat menikmatinya. Saya pun demikian. Apalagi setelah makan-makan anak-anak facebook itu berhasil membangun suasana keakraban dengan mengeluarkan humor-humor segar yang membuat seluruh teman tertawa ala Rusia. Sampai-sampai hembusan angin dini hari tidak terasa dingin akibat otot tubuh yang bergerak karena tertawa.Pesta sederhana itu pun berakhir lewat tengah malam memasuki dini hari.

Keceriaan, kegembiraan, kehangatan dan keakraban. Setidaknya itulah yang memang menjadi subtansi sebuah pesta. Pesta yang hanya menimbukan suasana kekacauan, hingar bingar sesungguhnya bukanlah pesta. Karena pesta pada intinya adalah simbolisasi perayaan kemenangan yang membuat kita gembira, akrab dan penuh kehangatan. Perasaan-perasaan seperti itu membuat kita lebih optimis dalam mengarungi sejarah kehidupan berikutnya.

Mungkin itulah sebabnya pada malam pergantian tahun hampir setiap orang berpesta. Dibelahan dunia manapun pesta pergantian tahun selalu digelar yang melibatkan hampir semua orang dalam semua strata sosial. Mereka mengambil tempat dari sudut kota yang kumuh sampai pada hotel-hotel mewah. Dan dari penjara sampai istana.

Mengapa hampir semua orang merayakan pesta tahun baru? Apa yang yang dipestakan pada malam itu? Apakah hanya sekedar ikut menyaksikan detik-detik perjalanan waktu sampai akhirnya kita sebut sebagai tahun baru? Tahun baru, apanya yang baru?

Bagi saya, pesta tahun baru adalah pemaknaan yang pantas dan tidak pantas. Maksudnya, kita pantas merayakan pesta apabila memang ada hal-hal yang pantas untuk dirayakan. Ada prestasi yang membanggakan. Ada yang pantas untuk dikenang yang berguna untuk kepentingan publik. Pada malam itulah kita rayakan. Katakanlah sebagai sumber motivasi yang meningkatkan semangat untuk lebih berkarya lagi pada tahun depan.

Tetapi sebaliknya, apabila deretan amal dan karya kita sebagai manusia atau bangsa dan negara tidak ada yang pantas untuk dirayakan sebagai sebuah kemenangan prestasi dan prestise maka juga kita tidak memiliki kepantasan untuk berpesta. Yang pantas adalah renungan, refleksi, evaluasi ataupun penyesalan. Pada tingkatan individu kita laksanakan secara sendiri-sendiri. Dan pada tingkatan negara, dilaksanakan pada setiap intitusinya. Dalam level individu kita memperbaharui komitmen dan tekad agar bisa lebih maju lagi. Sedangkan pada level negara, masing-masing institusi membuat program lebih baik dan menatanya sampai tujuan yang inginkan tercapai.

Kita melakukan itu semua agar dalam perjalanan sepanjang satu kedepan kita bisa ikut berpesta bila kita mampu untuk memperbaiki diri. Selanjutnya negara dan bangsa bisa memperlihatkan kemajuan yang dicapainya pada tingkatan yang pantas dibanggakan. Bila semua itu bisa dicapai Insya Allah kita bisa menjawab pertanyaan, "tahun baru, apanya yang baru?". Wallahu A'lam.

Read More..

4/11/2008

Praktek Suap Bukan Rahasia Lagi


Palu ( Berita ) : Praktek suap yang dilakukan oleh pejabat dan kelompok elit politik di daerah maupun pejabat pemerintahan pusat untuk memuluskan suatu kebijakan terkait dengan kepentingan daerah, bukan merupakan rahasia lagi.

Ketua Program Studi Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Tadulako Palu, Slamet Riyadi, di Palu, Kamis [10/04] , mengatakan, praktek suap guna memuluskan produk kebijakan tertentu sudah berlangsung lama, baik yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif. “Kasus dugaan suap yang melibatkan anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR, Al Amin Nur Nasution, hanya secuil dari lingkaran setan praktek suap utuk memuluskan produk kebijakan,” katanya.

Ia menjelaskan, praktek suap tumbuh subur karena pimpinan daerah yang tengah berlomba memajukan daerahnya membutuhkan suntikan dana maupun dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan DPR. “Celah inilah yang dimanfaatkan untuk mengurus keuangan negara karena pejabat daerah yang menyogok ke pusat pasti memanfaatkan uang hasil produk kebijakan. Kondisi ini diperparah oleh kebiasaan pejabat daerah menyerahkan upeti,” ujarnya.

Slamet Riyadi menambahkan, keberhasil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggagalkan sejumlah praktek suap patut diapresiasi dan masyarakat mendorong agar hal sama juga dilakukan oleh Kejaksaan maupun kepolisian. “Bagi tersangka pelaku suap dan korupsi yang terbukti mesti diberi hukuman berat agar tidak hanya membuat jera pelakunya, tapi juga bagi lain namun belum tertangkap,” katanya.

Hal senada disampaikan Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Sulteng, Salehuddin Awal. Ia mengatakan pejabat daerah mestinya menghilangkan kebiasaan memberi “upeti” sebagai wujud terima kasih atas lahirnya kebijakan yang menguntung daerahnya. “Kebiasaan semacam itu jelas merupakan bentuk korupsi terhaadp uang rakyat,” ujarnya. ( ant )

Read More..

3/04/2008

Mengatasi Kemiskinan


Masalah yang terbesar yang belum teratasi saat ini adalah kemiskinan. Sekalipun ada usaha-usaha untuk mengurangi jumlahnya namun tetap saja belum banyak yang berhasil. Angka kemiskinan yang menurut pemerintah menurun dari tahun ke tahun diragukan validitasnya oleh ahli-ahli ekonomi seperti pada kontroversi angka kemiskinan yang dkeluarkan pemerintah pada saat Presiden SBY mengantar APBN tahun 2007.

Bahkan saat ini ada yang sudah meninggal akibat kelaparan seperti yang menimpa seorang ibu yang hamil dan anaknya di makassar bebetapa hari yang lalu. Penyebabnya karena mereka tidak bisa membeli makanan.

Mengapa penanggulangan kemiskinan belum berhasil padahal banyak sekali program kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah? Bagaimana mengatsinya?

Ditilik dari penyebabnya maka setidaknya ada dua model pendekatan. Pertama, pendekatan struktural dan kedua, kultural. Negara yang dominan. Masalahnya manajemen negara saat ini tidak beres alias salah kelola. Makanya kebijakan apapun tidak akan berjalan dengan baik. Negara juga saat ini tidak memiliki blue print bagi pengentasan kemiskinan. Semua program pengentasan kemiskinan adalah proyek yang cari untung. Makanya hampir semua gagal. Jargon pemberdayaan rakyat miskin terlalu politis.

Yang tidak kalah pentingnya adalah memakai pola kultural. Tetapi pola kultural sangat lambat kita lihat hasilnya karena yang disentuh adalah aspek sosial budaya, tradisi, agama dari masyarakat.Namun demikian hal tersebut sangat berpengaruh. Beberapa penelitian ahli menyimpulkan demikian.

Ambillah beberapa contoh. Misalnya, kesimpulan weber yang mengatakan bahwa sumber etos kapitalisme berasal dari protestan adalah bukti menarik bahwa betapa keyakinan atau agama dapat menjadi faktor penting dari usaha ekonomi. Atau juga Jepang yang punya tokugawa religion yang menurut ahli berperan sangat penting bagi kemajuan Jepang saat ini. Juga francis Fukuyama yang menulis buku Trust,berisi tentang pentignya kepercayaan sebagai modal sosial bagi kemajuan ekonomi di negara-negara eropa, amerika dan asia.

Jadi kesimpulan saya, jika negara saat ini tidak bisa diandalkan bagi pengentasan kemiskinan maka seharusnya civil society (masyarakat madani) yang harus banyak berperan. Setidaknya dalam kerangka pendekatan kutural yang lebih subtantif.

Read More..

3/03/2008

Revolusi dan Pilpres 2009

Tidak terlalu penting apakah presiden Indonesia tahun 2009 adalah militer atau bukan. Yang lebih penting adalah kemampuan dia memberikan perubahan-perubahan yang significant pada bangsa. Dia harus mampu membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Itu idealnya.

Masalahnya adalah apakah suprastruktur dan infrastruktur politik kita mendukung bagi terpilihnya orang yang ideal itu? Sepertinya untuk kondisi saat ini belum siap atau dengan sengaja tidak disiapkan.

Masih terlalu banyak hambatan dan tantangan bagi terbentuknya sebuah tatanan yang ideal. Pertama, keputusan-keputusan politik yang dihasilkan oleh DPR masih kentara dengan permainan kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Hal itu tercermin pada undang-undang pemilu yang baru selesai itu. Kedua, secara umum tingkat rasionalitas politik kita masih jauh dari ideal. Rakyat kebanyakan memilih tidak melihat rekam jejak (track record) seseorang.

Rakyat umumnya terjebak pada permainan citra dan politik uang. Ketiga, orang-orang yang terbaik yang pantas untuk menduduki jabatan tertentu biasanya tidak diberi kesempatan atau memang jarang ada yang mau. Misalnya, Nurcholish Madjid ketika besedia ikut dalam konvensi Partai Gokar belum apa-apa sudah dimintai bukan hanya visi tapi yang lebih penting adalah "gizi". Makanya dia mengundurkan diri.
Karena itu memperbaiki bangsa Indonesia ini memang harus butuh kesabaran dan waktu yang relatif panjang. Hal ini karena mentalitas yang sudah terbangun bagi sebagian kalangan politisi kita adalah mentalitas korup. Kalau begitu bagaimana mengakhiri semua ini mengingat ekspektasi rakyat yang sangat besar terhadap perubahan? Apakah perlu sebuah revolusi?

Revolusi memang perlu. Tetapi revolusi bukan dalam artian melakukan tindakan perebutan kekuasaan yang berdarah-darah. Revolusi harus lebih mengarah pada revolusi sistem dan revolusi budaya. Dan kita sudah memilih sistem demokrasi sebagai sebuah pilihan karena diyakini demokrasi sampai saat ini merupakan sistem yang terbaik dari segala sistem yang ada. Namun demokrasi pun pada prakteknya kembali mengecewakan sebagian orang. Maka memperbaiki praktek demokrasi ini harus pula menjadi agenda besar. Programnya adalah bagaimana mendemokrasikan demokrasi (Antony Gidden).

Namun terhadap sistem budaya sepertinya masih dalam pencarian secara terus menerus. Dulu ada polemik kebudayaan antara sutan takdir Alisyahbana dengan Kihajar Dewantoro. Menurut STA Indonesia harus menerima konsep-konsep budaya dari Barat. Sementara Ki hajar Dewantara berprinsip kebudayaan Indonesia harus lahir dari bangsa Indonesia sendiri.

Terhadap hal ini pokok masalahnya berkaitan dengan masalah perkembangan dan kemajuan. Ke-Indonesiaan kita masih terus berproses. Tetapi satu hal yang tidak bisa di tolak adalah modernisme. Tampaknya titik temu semua kepentingan manusia dalam abad ini adalah penerimaan nilai-nilai modernisme tadi. Modernisme adalah cara berfikir baru, dinamis, progseif dan selalu aktual.

Jadi tampaknya menyelesaikan masalah Indonesia tidak cukup dengan mengganti presiden walaupun yang terpilih justru sangat bagus. Problem Indonesia adalah sangat mendasar yang melibatkan banyak sekali faktor.

Namun demikian, bila nanti terpilih presiden yang benevolent strong man (istilah dari Nurcholish Madjid) harus menjadi kesyukuran kita. Artinya dengan hal itu mudah-mudahan dia bisa memimpin Indonesia untuk mencapai cita-cita seluruh masyarakat yang ingin adil makmur yang diridhoi Tuhan Maha Esa.

Read More..

2/27/2008

Menyikapi Peran Laki-laki dan Perempuan.


Sering kali kita mendiskusikan tentang bagaimana sebaiknya pembagian peran antar laki-laki dan perempuan. Tidak jarang hal tersebut menjadi perdebatan yang hangat. Kaum laki-laki mengatakan dirinya mempunyai kelebihan dibanding perempuan dan begitu juga sebaliknya.

Ini sebenarnya menujukkan terlalu banyak hal yang kita tidak memahaminya secara proporsional termasuk dalam hal pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Dugaan ini penyebabnya karena mindset berfikir kita cenderung bias ke gender tertentu.

Bentukan mindset ini dipengaruhi oleh ideologi kapitalis yang berkuasa. Kredo utama kapitalis itu bagaimana mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya sehingga yang berlaku adu kuat dalam segala hal.

Karena sejarah manusia dipenuhi oleh cerita konflik peperangan dimana yang yang paling banyak ambil bagian adalah laki-laki dalam beroleh kemenangan maka Laki-laki selalu disebut simbol kekuatan dan keperkasaan (lebih banyak dalam makna fisik), sementara perempuan selalu disimbolkan oleh kelembutan dan kehalusan dll.

Hal itu kemudian berpengaruh pada cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya hal ini berpengaruh pada orang yang mengoperasikan kapitalisme itu.

Karena pengaruh kapitalis itu maka semua orang harus menjadi kuat, perkasa dan seterusnya karena yang diyakini jika kita ingin berhasil harus memenuhi kreteria itu. Politik dan bisnis menjadi "berdarah-darah" akibat adanya rivalitas yang menghalalkan segala cara.

Lebih parah lagi karena perempuan pun terbawa dalam mindset seperti itu. Ketika perempuan melihat dirinya lebih baik dari laki-laki itulah justru itulah tanda pelombaan "kelebihan" antara laki-laki (adu "kuat"). Nah, biar tidak terjebak dalam mindset demikian maka jenis kelamin jangan/tidak boleh dipertentangkan kelebihan maupun kekurangannya.

Sesungguhnya yang demikian itu menyalahi kodrat masing-masing yang artinya menyalahi kodrat/hukum alam. Yang harus dilakukan Laki-laki maupun perempuan adalah bagaimana memperlihatkan eksistensinya dengan berkarya(dalam makna luas) dengan kualitas yang terbaik.

Read More..

2/24/2008

Tentang Acara Televisi

Banyak pemirsa yang mengkrititik sinetron-sinetron yang ditayangkan di semua stasiun TV Indonesia. Mereka pada umumnya menilai hampir semua sinetron televisi tersebut tidak memenuhi kualitas yang diharapkan pemirsa. Saya pun setuju dengan hal tersebut. Dari sisi dramatikalnya, pemainnya dan ceritanya hampir semua biasa saja.

Tetapi bukan hanya sinetron yang kualitasnya jelek. Hampir semua produk audio visual yang ditayangkan di televisi kualitasnya jelek. Tanyangan berita, musik, atau iklan rata-rata juga begitu. Misalnya Pemberitaan tentang Pak Harto yang semua kompak seakan-akan satu nada.

Begitu juga tentang berita-berita kriminal yang efeknya bisa menimbulkan kriminal baru karena tayangannya yang sangat vulgar dan detail, dll. Iklan yang bikinan rumah produksi Indonesia juga rata-rata tidak bermutu.Tampilannya hanya seputar produk, wanita cantik dan seterusnya.

Jangan tanya iklan layanan masyarakat dari pemerintah. Tayangan gambar pejabatnya justru yang lebih menonjol dari pesan yang yang ingin disampaikan.

Saya pikir lepas dari sumber daya manusia yang membuatnya, kekurangan-kekurangan tersebut juga tidak terlepas komitmen dari para pemangku kepentingan sendiri yang rendah. Dari dulu keritik seperti ini sudah sering muncul tapi mengapa masih juga di produksi tayangan-tayangan yang tidak bermutu?

Terlepas dari selera pasar, para pemangku kepentingan tersebut dituntut untuk memproduksi tayangan yang bagus dan mendidik. Karena bagaimanapun tayangan audio visual sangat mempengaruhi keadaban sebuah bangsa.

Read More..

2/21/2008

Tanggapan Putusan MA Terhadap Pengurangan Anggaran Pendidikan

KEDIRI] Putusan MK yang mengabulkan permohonan /judicial review/ UU
Sisdiknas berpotensi terjadi pengurangan anggaran pendidikan. "Meskipun
yang mengajukan judicial review itu guru, tapi justru yang diuntungkan
pemerintah bukan guru," kata anggota Komisi C DPRD Kota Kediri, Jawa
Timur, Ahmad Tsalis, Kamis seperti dilansir /Antara/.

"Berarti ini tidak berarti apa-apa bagi guru, bahkan anggaran untuk
program pendidikan malah bisa berkurang, karena lebih banyak tersedot
untuk gaji guru," kata Tsalis.

Sementara itu, Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI),
Soedjiharto di Jakarta, Kamis, mengatakan, memindahkan alokasi gaji guru
ke dalam anggaran pendidikan berdampak pendidikan akan semakin mahal.

"Dengan kata lain, pemerintah berusaha lepas tangan terhadap pembiayaan
pendidikan yang seharusnya menjadi kewajiban negara," ujarnya.

Soedijarto mengutip hasil peneli- tian Badan Perencanaan dan Pem-
bangunan Nasional (Bappenas), United Nations Development Programme
(UNDP), dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004.

Dalam penelitian tersebut, guna memenuhi kebutuhan pendidikan, biaya
siswa SD, SMP, SMA, prasekolah dan pendidikan lua sekolah totalnya
mencapai Rp 140,5 triliun.

Jika putusan MK tersebut menjadi rujukan Pemerintah dengan asumsi bisa
memenuhi anggaran pendidikan angka 20 persen sesuai amanat konstitusi,
belum bisa memecahkan kebutuhan pendidikan.

Untuk tahun 2008 misalnya dengan anggaran pendidikan yang tadinya hanya
Rp 48 triliun menjadi Rp 49,97 triliun setelah ditambah komponen gaji
guru (18 persen), tetap saja masih jauh dari kebutuhan rill pendidikan.

*Makna 20 Persen*

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sulawesi Tengah, Salehuddin Awal,
di Palu, Kamis mengatakan angka sekurang-kurangnya 20 persen anggaran
pendidikan mestinya lebih dimaknai sebagai komitmen meningkatkan
kualitas pendidikan nasional melalui pembangunan sarana dan peningkatan
sumber daya pendidikan.

''Komitmen itu harus didasarkan pada kondisi rill pendidikan di mana
masih banyak sekolah yang rusak, anak putus sekolah, kualitas tenaga
pendidik yang perlu ditingkatkan, serta berbagai problematika pendidikan
lainnya,'' ujar Salehuddin. [W-12]
Dikutip dari suara pembaruan.

Read More..

2/18/2008

Pengrajin Rotan Kesulitan Bahan Baku


beritapalu.com - Pengrajin mebel rotan di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), mengalami kesulitan memperoleh bahan baku mengakibatkan penurunan produksi dan omset. "Kondisi seperti sudah berlangsung setahun terakhir. Jika ini berlanjut kemungkinan besar banyak pengrajin gulung tikar," kata Ramli Amran (35), pengrajin rotan Kelurahan Ujuna, Palu, Senin.

Ramli mengatakan kebutuhan bahan baku selama ini dipasok oleh sejumlah industri pengolahan rotan mentah yang juga beroperasi di Palu, seperti PT Sunteg dan PT Loli Mas.

Sebelum krisis bahan baku, Ramli biasanya membeli sebanyak tiga sampai empat kali dalam sebulan. Sekali pembelian satu sampai dua ton. "Saat ini paling banyak dua kali pembelian bahan baku. Itupun tidak lebih dari satu ton," ujarnya.

Kurangnya pasokan rotan dari daerah penghasil seperti daerah Pantai Barat dan Kulawi di Kabupaten Donggala serta daerah Pantai Timur di Kabupaten Parigi Mouotong menjadi penyebab utama tersedia kebutuhan bahan baku untuk pengrajin di Kota Palu.

"Ini informasi yang kami peroleh dari pihak pabrik (industri pengolahan rotan)," katanya.

Hal senada diungkapkan Ny Herawati, pemilik mebel rotan UD Subur di Jalan Sungai Bongka, kelurahan Ujuna. Kesulitan memperoleh rotan membuat Herawati mengubah sistim pengupahan karyawan dari upah tetap bulanan menjadi upah kontrak sesuai produksi.

Selain itu, Herawati juga harus rajin mengunjungi pabrik-pabrik pengolahan rotan guna memperoleh bahan baku. Akibatnya terjadi penambahan biaya operasional.

"Jika tidak seperti ini, kami pasti gulung tikar," katanya.

Herawati menambahkan terbatasnya bahan baku secara otomatis menurunkan produksi hanya sekitar 20 set per bulan, sebelumnya bisa mencapai 30 set mebel rotan. "Dengan sendirinya, omset juga menurun," katanya menambahkan.

Ramli mengaku pendapatan yang diperoleh menunrun 30 - 50 persen. Saat pasokan bahan baku normal, Ramli biasanya membawa pulang sekitar Rp2 juta sebulan. "Sekarang paling tinggi satu setengah juta rupiah. Bahkan beberpa kali hanya sejuta," ujarnya.

Walikota Palu Rusdi Mastura dalam beberapa kali kesempatan menyatakan akan menjadikan daerahnya sebagai pusat perdagangan kakao dan kerajinan rotan.

Obsesi menjadikan Ibukota Sulteng ini sebagai sentra industri rotan karena produksi rotan Sulteng mencapai 200–300 ton per tahun atau sekitar 40 persen dari volume produksi rotan nasional 750 ton per tahun.

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sulteng, Salehuddin Awal, menilai kesulitan bahan baku yang dialami pengrajin rotan di Palu sebuah ironi bagi daerah penghasil dan pemasok utama kebutuhan rotan nasional.

"Pemerintah daerah mesti mengevaluasi tata niaga rotan di Sulteng dengan memberi perlindungan dan jaminan bagi kesinambungan industri kecil," demikian Salehuddin.

Read More..

2/16/2008

Tentang Tuhan Yang Kita Sembah

Posting ini adalah tanggapan saya pada sebuah topik diskusi di situs facebook. Topiknya sendiri bertema konsep tentang Tuhan. Inilah tanggapan saya dengan sedikit pengembangan dan perbaikan.

Jika kita ingin menggambarkan Tuhan secara rasional , jelas dan gamblang melalui rasio ataupun perasaan kita pasti kita akan mengalami kegagalan. Kita akan terjebak pada Tuhan yang bersifat antroposentrisme. Namun sejalan dengan keingintahuan manusia pertanyaan tentang seperti apa Tuhan itu telah menyibukkan manusia sepanjang sejarahnya.

Dalam buku Sejarah Tuhan karangan Karen Amstrong terlihat bahwa konsep Tentang Tuhan itu selalu berevolusi mengikuti situasi dan kondisi pada waktu kapan manusia hidup.

Karenanya Karen Amstrong juga mempertanyakan apakah konsep kita tentang Tuhan saat ini masih relevan? Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa pembicaraan tentang Tuhan saat ini sering sekali terjebak pada antroprosentris. Tuhan yang digambarkan adalah Tuhan yang personal yakni penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia yang memiliki kepribadian.

Budi munawar Rahman mendifinisikan Tuhan personal adalah penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi Tuhan bukan prinsip. Menurut perspektif ini, Tuhan bukan suatu yang berada di balik alam dan meliputi semuanya. Biasanya, lawan Tuhan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal.

Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para mistikus. Dan Armstrong mengatakan, bahwa masa depan Tuhan adalan persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal ini. Dia menggambarkan panjang lebar pada bab terakhir bukunya, mengenai prediksi masa depan Tuhan. Menurut dia, sejauh Tuhan masih digambarkan terlalu rasional —sebagaimana dalam teologi selama ini— selama itu pula kepercayaan kita mengenai Tuhan akan mengalami krisis dan selalu dipertanyakan kembali (Budi Munawar Rahman wawancara dengan Ulil Abshar Abdala,islamlib.com).

Padahal sejatinya Tuhan itu adalah impersonal sebagaimana banyak difahami oleh para sufi. Oleh karena itu gambaran Tuhan yang rasional pasti akan mengalami kebuntuan dan mungkin saja berujung pada atheism.

Nah, yang paling mungkin adalah menggunakan metafor ataupun analogi. Tetapi itu pun tak cukup karena dalam analogi ataupun metafor tersebut, Tuhan yang kita bicarakan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tapi Tuhan dalam konsep kita. Sedangkan konsep tentang Tuhan sangat banyak dan punya klaim kebenaran masing-masing.

Walaupun demikian, saya setuju kalau untuk memahami Tuhan dengan rasio. Karena dari awal saya sudah menganjurkan untuk memakai analogi ataupun metafor agar kita mudah mengerti .

Agama sendiri mengajarkan agar kita mempergunakan akal-akal kita. Alquran dalam banyak ayat memberikan pertanyaan retorik seperti, apakah kalian tidak berfikir, apakah kalian tidak berakal dan seterusnya.

Tetapi menggambarkan Tuhan dengan rasio yang sangat personal sungguh tidak memuaskan bagi saya. Bagaimanapun Tuhan adalah kebenaran mutlak dan selain Tuhan adalah kebenaran nisbi belaka. Rasio adalah sebuah makhluk juga karenanya bersifat nisbi yang tidak mungkin mencapai derajat kebenaran mutlak itu.

Maka pada tataran kebenaran nisbi itulah berlakunya ilmu. Sebuah ilmu yang terdiri atas berbagai teori itu sesungguhnya adalah hanya bentuk sederhana dari realitas.

Oleh sebab itu sebuah teori selalu bisa dibantah seperti gambarkan Hegel dengan tesis, anti tesis dan sintetis. Begitu pun oleh Thomas Kuhn dalam konsep lahirnya sebuah paradigma.

Dengan mengerti demikian maka memahami Tuhan harus dengan skema memahami makhluknya terlebih dahulu barulah kita bisa faham yang dinamakan Tuhan. Mustahil kita bisa memahami atau merasakan kehadiran Tuhan tanpa kita memahami makhluk ciptaannya. Kebenaran nisbi harus terus menerus didekatkan pada kebenaran mutlak.

Read More..

Ekspresi Nasionalisme


Ada perbedaan ekspresi rasa nasionalisme pada masa orde baru dan saat ini. Pada masa orba nasionalisme itu dipaksakan oleh negara. Tentu nasionalisme yang lebih banyak untuk kepentingan negara atau lebih tepatnya pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Dengan berbagai cara dan alat negara memaksakan konsep nasionalisme ke rakyat.

Pada saat ini ekspresi nasionalime itu lebih alami. Ketika rakyat kelaparan, mereka pasti protes. Ketika mereka digusur pasti mereka teriak. Bila tiba-tiba minyak tanah hilang dari peredaran pasar pasti mereka unjuk rasa. Kita semua pasti menyatakan perang terhadap korupsi. Ini semua adalah ekspresi nasionalisme.

Aceh(Sebelum perjanjian Helsinky) dan juga Papua berjuang untuk memerdedakan diri pada subtansinya adalah bentuk bentuk lain dari perjuangan nasionalisme juga.

Sederhana saja alasannya. Berbagai macam protes, keritik ataupun mau merdeka tadi itu adalah perjuangan menuntut kesejahteraan dan keadilan yang lebih baik.

Jika rakyat berjuang untuk mencapai kesejahteraannya dan keadilan maka sebenarnya itu adalah rasa cinta tanah air, nasionalisme. Misinya adalah melenyapkan prilaku-prilaku buruk dari bangsa ini. Mereka tidak ingin bangsa ini dihegemoni oleh kekuasaan yang curang.

Cita-cita nasionalisme seperti itulah yang harus diwujudkan pada bangsa ini. Nasionalisme akan kuat jika bangsa ini setia pada komitmen untuk membangun rakyatnya. Tetapi sebaliknya akan roboh bila bangsa ini mengabaikan cita-citanya sendiri yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.

Read More..

2/12/2008

Benarkah Indonesia adalah negara demokrasi?

Sebuah negara dikatakan demokratis apabila negara tersebut terus berproses menuju ke masyarakat demokratis. Salah satu indikasi kuat kreteria negara demokratis adalah adanya pemilihan umum yang jujur dan adil.

Seperti diakui oleh pengamat Internasional bahwa sejak tahun 1999 Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara relatif adil dan jujur. Bahkan pada pemilu tahun 1955 pun diakui sebagai pemilu yang adil.

Masalahnya sekarang kenapa dari pelaksanaan pemilu ataupun pilkada di banyak daerah selalu diwarnai oleh keributan yang tidak jarang menjadi kerusuhan? Padahal jika kita menilik nilai-nilai demokrasi sejatinya hal tesebut justru bertentangan dengan demokrasi.

Dalam pengamatan selanjutnya ternyata Indonesia masih dalam tataran melakasanakan demokrasi pada tingkatan prosedural yaitu sesuai dengan prosedur demokratis seperti adanya pemilu, adanya lembaga-lembaga perwakilan dan seterusnya.

Indonesia belum mencapai pada pelaksanaan demokrasi yang subtansial yaitu sikap-sikap dan prilaku demokratis. Hal ini tampak bukan hanya pada masyarakat sendiri tapi juga terutama pada pemerintah.

Karena itu tidak mengherankan jika keributan pada pilkada masih mewarnai proses demokrasi Indonesia. Disamping karena tingkat rasionalitas politik masyarakat pada umumya dinilai masih rendah juga karena demokrasi subtansial belum dilaksanakan.

Kiranya hal ini mengindikasikan jalan panjang demokrasi Indonesia masih penuh dengan hambatan dan tantangan justru dari efek dari demokrasi itu sendiri.

Read More..

2/10/2008

Agama : Pilihan atau Doktrin

Agama adalah pilihan tetapi juga mengandung doktrin. Jika memilih sebuah agama yang menjadi keyakinan kita maka sebenarnya kita meyakini doktrin-doktrin dari agama tersebut. Nah sejalan dengan kemajuan cara berfikir manusia, maka saat ini segala hal menjadi sasaran pertanyaan manusia.

Pertanyaan itu ada yang bersifat meragukan dan ada pula yang pertanyaan yang justru memperkuat fondasi keyakinan sebelumnya. Dalam hal ini termasuk dengan agama dan keberagamaan.

Bila kita memakai pendekatan rasioanalisme semata maka agama menjadi meragukan karena sendi pokoknya adalah keyakinan yang bersifat gaib tanpa pernah dapat dibuktikan dengan data-data empiris.

Karena itu memahami agama harus dengan keyakinan. Seterusnya keyakinan bersifat sangat personal yang tidak mungkin dinilai atau dirasakan oleh orang selain diri kita sendiri.

Saya berpendapat adalah tidak penting untuk selalu memperdebatkan sejauh mana kebenaran agama atau keyakinan kita atau sejauh mana kesalahan agama atau keyakinan orang lain. Karena dimensi kebenaran agama itu terlalu luas karena menyakut sebuah nilai yang diyakini masing-masing.

Yang lebih penting adalah sejauh mana fungsi agama atau keyakinan masing-masing dalam relasinya dalam kehidupan manusia. Inilah pesan universal dari seluruh agama.

Read More..

2/04/2008

Wajah Demokrasi Indonesia

Ketika Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun1999 dengan jujur dan adil maka negara-negara didunia penganut sistem demokrasi merasa sangat gembira. Kegembiraan warga dunia dilatarbelakangi oleh kepastian beberapa perubahan fundamental dalam sistem pemerintahan Indonesia.


Pada saat itulah negeri ini disebut sebagai negara yang demokratis. Sebenarnya pemilu tahun 1955 juga disebut sebagai pemilu yang jujur dan adil namun tonggak pemilu tahun 1999 tersebut sangat dikenang sehingga terkesan dramatis karena sebelumnya dibawah penjara pemerintahan orde baru selama 32 tahun berlangsung rezim otoriterianisme yang tidak memungkinkan hal tersebut terjadi.

Perubahan-perubahan yang sangat mendasar pada sistem politik Indonesia memang menjadi kenyataan yang pada era sebelumnya kecil sekali kemungkinannya. Misalnya amandemen UUD 45. Pada saat Orde Baru, UUD 45 sangat sakti sehingga mnyerupai kitab suci yang tidak bias dirubah. Namun pada saat ini UUD tersebut telah diamanden sebanyak 5 kali.Pemilihan Presiden yang sebelumnya dipilih oleh MPR yang kebanyakan diangkat sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat. Begitupun Pilkada Gubernur, walikota, bupati telah dipilih secara langsung dimana sebelumnya tidak dimungkinkan konstitusi.

Kebebasan dalam menyuarakan aspirasi juga telah dijamin undang-undang. Demonstrasi terjadi tiap hari dari semua elemen masyarakat. Pers sangat bebas karena tidak dihantui lagi oleh pemberedelan. Semua itu dapat menjustifikasi bahwa negara ini sudah demokratis.

Pertanyaannya adalah setelah sepuluh tahun masa demokratis tersebut, adakah manfaat langsung yang dirasakan untuk peningkatan kemakmuran, kesejahteraan rakyat ataupun ketertiban politik saat ini?

Sepuluh tahun hidup dalam buaian demokrasi, ternyata masih banyak menyisakan setumpuk masalah. Keritikan bahwa saat ini kehidupan rakyat tak kunjung membaik adalah sebuah hal nyata. Pertarungan kekuasaan pada semua jenjangnya selalu diliputi kekerasaan yang berdarah-darah. Menguatnya sentimen kelompok yang disebabkan oleh munculnya identitas primordialisme sempit juga semakin menggejala. Penggusuran rakyat kecil oleh jaringan bisnis besar masih terjadi. Penegakan hukum masih diskriminatif dan seterusnya.

Karena itu banyak juga orang yang pesimis melihat eksperimen demokrasi yang sedang berlangsung saat ini. Bahkan tidak jarang menuduh bahwa demokrasi telah dibajak oleh elite yang dipakai sebagai kendaraan untuk kepentingannya sendiri. Akibatnya demokrasi dalam pandangan kaum pesimis mempunyai cacat bawaan. Demokrasi hanya melahirkan kesengsaraan dan penderitaan.

Mungkin hal ini pula yang ada dalam benak wakil presiden Yusuf Kalla tatkala menyebut bahwa demokrasi hanyalah alat bukan tujuan unutk mencapai kesejahteraan.Asumsi Yusuf Kalla bahwa bisa saja demokrasi dinomorduakan karena ia hanya berfungsi sebagai intrumen untuk mencapai tujuan negara.

Namun pada saat yang bersamaan tetapi dalam pandangan yang lebih positif ditemukan sejumlah kemajuan meskipun masih diwarnai dengan beberapa catatan. Misalnya pembangunan politik. Pada tingkat kelembagaan mengalami kemajuan namun tidak dalam budaya politik sehingga masih belum sepenuhnya terlihat kemajuan secara subtansial.
Begitupun dengan ekonomi. Pada level makro terjadi pertumbuhan sekitar enam persen pada 2007. Namun disisi lain pada kondisi riil sebagian besar rakyat tidak menikmati pertumbuhan tersebut. Masih ditemukan kelaparan, kekurangan gizi bahkan berbagai penyakit dimana sebagaian besar penderitanya adalah rakyat kecil.

Karena itu betapun Indonesia sudah menganut sitem pemerintahan demokratis namun efek dari dari demokrasi tersebut seharusnya juga dirasakan secara langsung oleh rakyat. Jika demokrasi telah dipilih seharusnya memberikan efek berlipat ganda pada tingkat kesejahteraan rakyat karena demokrasi diasumsikan sebagai sistem politik yang paling baik saat ini dimana rakyat dalam setiap aktivitas pembangunan telah terlibat secara partisipatif. Peluang tersebut seharusnya tidak disia-siakan. Wallahu A’lam.

Read More..

GOVT URGED NOT TO BE TOO HASTY IN DECLARING SOEHARTO NATIONAL HERO

Palu, C Sulawesi, Jan 31 (ANTARA) - Director of the Public Policy Study Center (PSKP) of Central Sulawesi Salehuddin Awal urged the government not to be too hasty in awarding the Hero title on late President Soeharto.
According to Salehuddin, the government needed to conduct a thorough study on all aspects and accommodate all the people's aspirations before awarding the title to Soeharto.


"Not only group aspirations, most important is reference to relevant regulations," he said in Palu Thursday.

Salehuddin that the government has been constantly inconsistent toward Soeharto who had ruled the country for 32 years, before as well as after his death.

When Soeharto was a most critical condition, there was a discourse on efforts to settle civil cases out-of-court such as relating to the "supersemar" funds, by payments of fine to the state.

This indicated the government believed that Soeharto has committed something in the past which had eventually inflicted great losses to the state. "This is merely a civil case," he said.

After the death of Soeharto, he added, the government appeared to be inclined to award him a Hero title as proposed by Golkar party.

However, Salehuddin admitted Soeharto had made meritorious contributions to the nation when he was in power such as building the country into a nation self sufficient in food, in the development of education and the economy. But democracy, law enforcement and human rights were often ignored. Hence, a comprehensive study is badly needed before awarding Soeharto a Hero title, Salahuddin said.

Earlier, State Secretary Hatta Radjasa said candidates for the Hero title had to be proposed by each province through their governors or provincial administrations.

Names had to be submitted to a Hero Assessment Body overseen by the Social Welfare Ministry. "This agency includes historians and scholars," he said.

This agency will discuss the proposed figures whether or not they really deserve a Hero title before the selected names are submitted to the House of Representatives.

The House then further discussed the selected figures before submitting them to the President. "The president usually announces the heroes on national heroes day", said Hatta who refused to comment on Soeharto's case.

Read More..

1/27/2008

Ex-Indonesian dictator Suharto dies

By ANTHONY DEUTSCH, Associated Press
JAKARTA, Indonesia - Former Indonesian President Suharto, the U.S. Cold War ally who led one of the 20th century's most brutal dictatorships over 32 years that saw up to a million political opponents killed, died Sunday. He was 86.



Suharto had been ailing in a hospital in the capital, Jakarta, since Jan. 4 when he was admitted with failing kidneys, heart and lungs.
Finally toppled by mass street protests in 1998, Suharto's departure opened the way for democracy in this predominantly Muslim nation of 235 million people and he withdrew from public life, rarely venturing from his comfortable villa on a leafy lane in the capital.
But Suharto also oversaw decades of economic expansion that made Indonesia the envy of the developing world. Today, nearly a quarter of Indonesians live in poverty, and many long for the Suharto era's stability, when fuel and rice were affordable.
In a televised address, President Susilo Bambang Yudhoyono called on "the people of Indonesia to pay their last respects to one of Indonesia's best sons ... who has done very great service to his beloved nation."
Yudhoyono's office declared a week of national mourning and he was to oversee a state funeral Monday once Suharto's body had been flown by a fleet of 11 Air Force planes to be placed in the family mausoleum.
As is customary in Islamic tradition, Suharto's body was to be washed and joint prayers were held at the family home in the presence of his six children, Yudhoyono and dozens of the country's ruling elite.
"My father passed away peacefully," sobbed Suharto's eldest daughter, Tutut. "May God bless him and forgive all of his mistakes."
Suharto ruled with a totalitarian dominance that saw soldiers stationed in every village, instilling a deep fear of authority across this Southeast Asian nation of some 6,000 inhabited islands that stretch across more than 3,000 miles.
Jeffrey Winters, associate professor of political economy at Northwestern University, predicted a time when Indonesians would "realize that Suharto is responsible for some of the worst crimes against humanity in the 20th century."
Those who profited from Suharto's rule made sure he was never portrayed in a harsh light at home, Winters said, so even though he was an "iron-fisted, brutal, cold-blooded dictator," he was able to stay in his native country.
Since being forced from power, he had been in and out of hospitals after strokes caused brain damage and impaired his speech. Blood transfusions and a pacemaker prolonged his life, but he suffered from lung, kidney, liver and heart problems and slipped into a coma on Sunday.
Suharto was vilified by historians, rights groups and his critics as one of the world's most brutal rulers and was accused of overseeing a graft-ridden reign. But poor health — and continuing corruption, critics charge — kept him from court after he was chased from office by widespread unrest at the peak of the Asian financial crisis.
He was protected by influential loyalists in the military and government who feared they could be implicated if Suharto ever took the witness stand.
The bulk of political killings blamed on Suharto occurred in the 1960s, soon after he seized power. In later years, some 300,000 people were slain, disappeared or starved in the independence-minded regions of East Timor, Aceh and Papua, human rights groups and the United Nations say.
Suharto's successors as head of state — B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri and Yudhoyono — vowed to end graft that took root under Suharto, yet it remains endemic at all levels of Indonesian society.
With the court system paralyzed by corruption, the country has not confronted its bloody past. Rather than put on trial those accused of mass murder and multibillion-dollar theft, some members of the political elite consistently called for charges against Suharto to be dropped on humanitarian grounds.
On Sunday, hundreds of mourners — some weeping — flocked to the family home in downtown Jakarta.
"I felt crushed when I heard he had died. We have lost a great man," said Mamiarti, a 43-year-old housekeeper. "It used to be easy to find jobs. Now it is hard."
But critics say Suharto squandered Indonesia's vast natural resources of oil, timber and gold, siphoning the nation's wealth to benefit his cronies, foreign corporations, and family like a mafia don.
Winters said the graft effectively robbed "Indonesia of some of the most golden decades, and its best opportunity to move from a poor to a middle class country."
Like many Indonesians, Suharto used only one name. He was born on June 8, 1921, to a family of rice farmers in the village of Godean, in the dominant Indonesian province of Central Java.
When Indonesia gained independence from the Dutch in 1949, Suharto quickly rose through the ranks of the military to become a staff officer.
His career nearly foundered in the late 1950s, when the army's then-commander, Gen. Abdul Haris Nasution, accused him of corruption in awarding army contracts.
Absolute power came in September 1965 when the army's six top generals were murdered under mysterious circumstances, and their bodies dumped in an abandoned well in an apparent coup attempt against Sukarno, Indonesia's founding father who helped win independence from the Dutch.
Suharto, next in line for command, quickly asserted authority over the armed forces and promoted himself to four-star general.
Suharto then oversaw a nationwide purge of suspected communists and trade unionists, a campaign that stood as the region's bloodiest event since World War II until the Khmer Rouge established its gruesome regime in Cambodia a decade later. Experts put the number of deaths during the purge at between 500,000 and 1 million.
Over the next year, Suharto eased out Sukarno, who died under house arrest in 1970. The legislature rubber-stamped Suharto's presidency and he was re-elected unopposed six times.
During the Cold War, Suharto was considered a reliable friend of Washington, which didn't oppose his violent occupation of Papua in 1969 and the bloody 1974 invasion of East Timor. The latter, a former Portuguese colony, became Asia's youngest country with a U.N.-sponsored plebiscite in 1999.
Even Suharto's critics agree his hard-line policies kept a lid on Indonesia's extremists and held together the ethnically diverse and geographically vast nation. He locked up hundreds of suspected Islamic militants without trial, some of whom later carried out deadly suicide bombings with the al-Qaida-linked terror network Jemaah Islamiyah after the Sept. 11 attacks on the U.S.
Meanwhile, the ruling clique that formed around Suharto — nicknamed the "Berkeley mafia" after their American university, the University of California, Berkeley — transformed Indonesia's economy and attracted billions of dollars in foreign investment.
By the late 1980s, Suharto was describing himself as Indonesia's "father of development," taking credit for slowly reducing the number of abjectly poor and modernizing parts of the nation.
But the government also became notorious for unfettered nepotism, and Indonesia was regularly ranked as one of the world's most corrupt nations as Suharto's inner circle amassed fabulous wealth. The World Bank estimates 20 percent to 30 percent of Indonesia's development budget was embezzled during his rule.
Even today, Suharto's children and aging associates have considerable sway over the country's business, politics and courts. Efforts to recover the money have been fruitless.
Suharto's youngest son, Hutomo "Tommy" Mandala Putra, was released from prison in 2006 after serving a third of a 15-year sentence for ordering the assassination of a Supreme Court judge. Another son, Bambang Trihatmodjo, joined the Forbes list of wealthiest Indonesians in 2007, with $200 million from his stake in the conglomerate Mediacom.
Suharto's economic policies, based on unsecured borrowing by his cronies, dramatically unraveled shortly before he was toppled in May 1998. Indonesia is still recovering from what economists called the worst economic meltdown anywhere in 50 years.
State prosecutors accused Suharto of embezzling about $600 million via a complex web of foundations under his control, but he never saw the inside of a courtroom. In September 2000, judges ruled he was too ill to stand trial, though many people believed the decision really stemmed from the lingering influence of the former dictator and his family.
In 2007, Suharto won a $106 million defamation lawsuit against Time magazine for accusing the family of acquiring $15 billion in stolen state funds.
The former dictator told the news magazine Gatra in a rare interview in November 2007 that he would donate the bulk of any legal windfall to the needy, while he dismissed corruption accusations as "empty talk."
Suharto's wife of 49 years, Indonesian royal Siti Hartinah, died in 1996. The couple had three sons and three daughters.

Sumber : Yahoo.com

Read More..

1/03/2008

KEJATI SULTENG DIDESAK USUT MASALAH DANA SOSIAL FIKTIF

Palu, 3/1 (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Sulteng) didesak mengusut kasus dugaan pencairan dana bantuan sosial yang berada pada pos sekretariat daerah provinsi setempat dengan memanfaatkan yayasan fiktif.

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Sulteng, Salehuddin Awal, di Palu, Kamis, mengatakan mencuatnya penggunaan yayasan fiktif untuk memuluskan pencairan dana ABPD 2007 sebagaimana temuan Badan Pemeriksa Keuangan/BPK baru-baru ini, dapat menjadi pintu masuk bagi lembaga kejaksaan dalam melakukan penyelidikan.

"Yang ditemukan mungkin baru satu sampel yayasan dengan nilai Rp50 juta, tapi bisa jadi jika diselidiki jumlahnya akan lebih besar," kata Salehuddin.

Penggunaan yayasan fiktif mencairkan dana bantuan sosial tersebut mulai terkuak setelah BPK mengklarifikasi ke sejumlah pengurus yayasan atau lembaga penerima.
Salah satu lembaga penerima adalah Yayasan Bina Potensi Sulteng yang didaftar mencairkan dana Rp50 juta, ternyata melalui direkturnya H.A. Baso Syarifuddin, SH, MS membantah telah menerima atau mencairkan dana tersebut pada 30 Oktober 2007.

Baso Syarifuddin berjanji membawa kasus pencatutan yayasan tersebut ke proses hukum.

Ketua DPRD Sulteng Murad Nasir mendukung kasus penggunaan yayasan fiktif dalam membobol anggaran daerah tersebut dibawah ke proses hukum, agar terungkap siapa aktor dibalik kasus ini.

"Kami mendukung kasus diteruskan ke proses hukum," ujarnya.
Murad berdalih lembaga legislatif yang dipimpinnya hanya sebatas mengesahkan anggaran sesuai dengan fungsi anggaran yang dimiliki oleh dewan, karena pengelolaan anggaran merupakan wewenang eksekutif.

Salehuddin menilai sikap yang disampaikan Murad Nasir terkesan lepas tangan dari kasus pembobolan kas daerah ini, padahal dewan selain menjalankan fungsi "budgeting" juga memiliki fungsi pengawasan.

"Selain penyidik, dewan juga dapat memanggil eksekutif yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan pos bantuan sosial tersebut," katanya.

Read More..

1/01/2008

Setelah Pesta Tahun Baru Usai

Bagaimana pesta tahun baru anda semalam? Meriah bukan? Dimanapun pesta tahun baru selalu ramai, ceria bahkan mewah. Namun apakah anda sadar dibalik pesta semalam itu ratusan orang di seluruh negeri khususnya yang terkena bencana hidup dalam penderitaan dalam barak-barak pengungsi? Mungkin sebagian besar kita lupa dengan hal itu. Watak pesta memang memberikan kesenangan yang memabukkan sehingga kita menjadi lalai dan alfa pada hal-hal yang menyangkut penderitaan.


Bagai sebagian orang, pesta yang meriah pada malam tahun baru memang adalah sesuatu yang logis. Alasan logisnya adalah setelah satu tahun bekerja dan beraktivitas harus dirayakan dengan kemenangan. Tidak usah mempedulikan bagaimana hasil capaian kita selama satu tahun itu yang penting the party must go on. Bagi yang merasa berhasil maka alasan logisnya menjadi bertambah kuat tetapi bagi tidak berhasil maka pesta itu merupakan ajang untuk melupakan sejenak kekurangan ataupun penderitaan yang selama ini dirasakan.


Tanpa mengabaikan orang-orang yang berhasil dan berprestasi, sebagian kita yang terhimpun dalam negara kesatuan Republik Indonesia ini merayakan pesta dengan tujuan yang kedua tadi. Memang faktanya, sebagian besar bangsa Indonesia masih berkategori hidup dalam kemiskinan dan kekurangan bahkan penderitaan. Karena itu orang-orang berpesta semalam itu sebagian besarnya terdiri orang-orang seperti disebutkan tadi.


Mereka memang perlu berpesta. Dengan pesta itulah mereka memperoleh kesenangan. Satu-satunya kemewahan yang mereka rayakan adalah pesta tahun baru itu disamping hari raya keagamaan. Sejenak melupakan kekurangan dan penderitaan sehari-hari. Harapannya apabila selesai berpesta, mereka mendapat semangat baru untuk mulai bekerja keras lagi.


Tetapi bagi kalangan lain yang lebih mampu, pesta tahun baru adalah cara mudah untuk melampiaskan sifat hedonisme. Kalangan ini memang identik dengan pesta. Bahkan barangkali tidak bisa hidup tanpa pesta. Maka berkumpullah mereka dalam pesta yang supermewah di hotel berbintang. Jangan tanya biaya pesta itu, tiket tanda masuknya saja sudah bisa membayar uang SPP mahasiswa di kota saya selama 4 tahun kuliah. Makanan tersedia secara berlimpah walaupun mereka kebanyakan menyantapnya sedikit saja.


Gambaran hidup kalangan terbatas itu justru yang menjadi panutan umum bagi bangsa kita. Kebiasaan hidup hedonisme itu sekarang menjangkit pada sebagian besar remaja dan kaum muda. Tanpa melihat diri dan kemampuan mereka terjebak pada pola hidup yang sangat konsumtif. Deretan fakta bisa ditemukan sehari-hari. Karena pola hidup yang demikian itu, mereka kemudian banyak yang memakai narkoba dan seks bebas. Maka menurut laporan sebuah koran yang terbit di kota saya, penjualan kondom pada malam tahun baru meningkat tajam. Pembeli pada umumnya adalah remaja.


Ironisnya bukan hanya pada malam tahun baru tetapi bangsa ini hampir setiap saat pada subtansinya. Ya, kita berpesta dalam kemeriahan korupsi, kita berpesta dalam perlombaan membabat hutan, kita berpesta dalam penggusuran orang-orang miskin, kita berpesta dalam kemenangan politik dan seterusnya.


Pesta semacam itulah yang menimbulkan bencana dimana-mana. Kehendak alam memang tidak bisa dilawan. Tetapi proses menuju terjadinya bencana tersebut boleh jadi karena kita tidak memahami kehendak alam. Alam dengan hukum-hukumnya yang telah ditetapkan oleh Tuhan dilanggar oleh manusia. Barangkali sebabnya adalah kita terlalu banyak berpesta foya dibawah penderitaan orang lain. Mungkin bencana adalah cara komunikasi Tuhan dalam bentuk moderen agar kita semua memperoleh peringatan setelah kitab suci tidak didengar lagi. Wallahu A'lam.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP