7/29/2006

Pilkada itu untuk Merebut Kekuasaan

SEMESTA langit Indonesia saat ini dipenuhi atmosfer politik pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada ratusan kabupaten/kota dan puluhan provinsi yang akan menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Mekanisme pemilihan secara langsung tidak bisa dikatakan baru lagi karena kita telah sukses sebelumnya menggelar pemilihan presiden secara langsung.

SEMESTA langit Indonesia saat ini dipenuhi atmosfer politik pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada ratusan kabupaten/kota dan puluhan provinsi yang akan menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung. Mekanisme pemilihan secara langsung tidak bisa dikatakan baru lagi karena kita telah sukses sebelumnya menggelar pemilihan presiden secara langsung.

Dengan pengalaman sebelumnya itulah, kita bisa optimis bahwa semua pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi yang telah disepakati.

Sungguhpun ada harapan dan optimisme yang sangat besar, kita juga harus tetap menyisakan ruang kekhawatiran sebagai panduan untuk berjaga-jaga. Para komentator politik sudah sering menguraikan bahwa suksesnya pilkada disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain aktor politik yang bermain, penyelenggara dan masyarakat pada umumnya.

Rasanya tidak perlu mengulang pembahasan satu per satu karena sudah banyak diulas. Mungkin yang bisa kita uraikan adalah hal pokok yang direbutkan, yaitu kekuasaan. Sadar tidak sadar pilkada seperti juga pemilihan presiden adalah perebutan kekuasaan.

Ada dua sisi kekuasaan yang saling berhadapan secara diametral, yakni kekuasaan sebagai hal suci dan kekuasaan sebagai sebuah institusi kotor. Bila kekuasaan sebagai barang suci, ia hanya bisa dijalankan oleh orang yang suci pula.

Orang suci di sini adalah orang yang betul-betul mampu mengemban amanat bahwa perkataan dan perbuatan satu. Maka tugas pemimpin adalah menjaga kekuasaan yang dimilikinya agar tidak kotor. Sampai di sini kita boleh mengajukan pertanyaan judicial, sampai hari ini adakah pemimpin yang seperti itu?

Aksioma lain adalah kekuasaan sebagai hal kotor. Dalam hal ini adagium Lord Acton power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely membenarkan konstatasi demikian. Inilah watak asli dari kekuasaan. Bila kekuasaan pada substansinya memang kotor, siapa pun yang berperan di dalamnya termasuk orang suci sekalipun pastilah ia akan tetap kotor.

Lantas, mengapa masih ada orang mau merebut kekuasaan? Jawab atas pertanyaan ini bermacam-macam tergantung dari profesi bersangkutan. Bila diajukan kepada politikus, pasti jawabannya politis. Mungkin dia akan mengatakan 'saya mau merebut kekuasaan karena hal tersebut merupakan amanat partai'.

Tapi bila diajukan kepada cendekiawan, mungkin dia akan jawab dengan berbagai argumen teoritis yang rasional. Bila diajukan kepada ulama atau pendeta, ia pasti menjustifikasi dengan firman-firman suci yang relevan. Demikian juga praktik perebutan kekuasaan pasti menggunakan metode yang berbeda-beda, tetapi satu hal yang pasti semuanya ingin berkuasa.

Kekuasaan dikendalikan oleh seorang yang berkuasa. Istilah umumnya pemimpin, sedangkan istilah yang lebih teknis adalah presiden, wali kota, direktur, rektor, ketua, dan seterusnya yang kadang kala juga disamakan dengan pemimpin, tetapi sebenarnya antara pemimpin dan istilah-istilah teknis tersebut memiliki banyak perbedaan.

Antara lain bisa disebutkan pemimpin adalah seorang yang memiliki pengaruh kuat yang tidak dibatasi pada hal-hal bersifat administrasi, sedangkan istilah-istilah seperti presiden, rektor, direktur, dan seterusnya adalah sangat tergantung pada administrasi dan jangka waktu tertentu.

Menurut Indra J Piliang (Kompas, 2004), sering kali asal-muasal kepemimpinan di Indonesia tidak begitu jelas. Mitos satu-satunya cara untuk menjelaskan, terutama dikaitkan kekuatan supranatural yang mengendalikan kehidupan alam semesta, termasuk manusia Indonesia. Agama kadang menjadi sandaran meski tak lantas menjadikannya sebagai rujukan absolut.

Tidak simetris

Pernyataan Indra tersebut menjadi tidak simetris dengan realitas perebutan kekuasaan saat ini. Dalam pilkada kita lihat begitu banyak calon yang ingin menjadi pemimpin. Kalau dikatakan asal-muasal kepemimpinan tidak begitu jelas dan hanya dikaitkan sebagai kekuatan supranatural, wajarlah bila kita pesimistis bahwa siapa pun yang terpilih belum bisa diharapkan membawa perubahan ke arah lebih modern?

Maka dari itu, penulis berpikir saatnya kita perlu menyiapkan kepemimpinan bangsa kita ke arah kepemimpinan lebih modern, yakni kepemimpinan dengan kultur dan nilai-nilai sesuai semangat modern.

Penulis mengajukan hipotesis bahwa kegagalan kita dalam menata krisis multidimensi saat ini antara lain karena kita lalai menciptakan kepemimpinan yang modern, yang demokratis dan beradab. Pemimpin diciptakan dengan penuh rekayasa.

Lihatlah kerja tim kampanye tiap-tiap kandidat. Sebagaimana disebutkan oleh Alfan Alfian (Jurnal Resonansi, 2004), setiap kandidat diupayakan mempunyai kualitas-kualitas seperti, komunikasi politiknya baik, tingkat resistansinya rendah, mampu meraih empati publik dengan sifat-sifat memanusiakan, disiplin dalam bekerja dan selalu melakukan check and recheck.

Lainnya, teliti dan cermat dalam memantau pergerakan opini, mampu menata diri menampilkan citra magnetis sang calon, mampu mengelola opini dan mereduksi tingkat distorsi yang merugikan citra sang tokoh, mampu menjaga ritme popularitas ketokohan, mampu mengelola konflik internal, dan pandai memanfaatkan sebanyak mungkin spektrum politik yang ada tanpa terjebak oleh paradigma politik 'kita versus mereka'. Jadi singkatnya, kemenangan perebutan kekuasaan politik adalah permainan citra diri yang direkayasa.

Maka kepemimpinan demikian tidak akan bisa diharapkan membawa perbaikan karena semua palsu dan tidak autentik. Bila kita merefleksikan hal tersebut pada masa Orde Lama dan Orde Baru, kita dapati hal yang sama. Cuma perbedaannya produk Orde Lama dan Orde Baru adalah otoriterianisme, sedangkan zaman reformasi dibungkus jargon demokrasi. Otoriterianisme adalah salah satu tipe kepemimpinan paling kuno dalam sejarah peradaban.

Sungguhpun ada nada kekhawatiran seperti di atas, kita harus tetap menghargai upaya keras dari segenap elemen bangsa dalam menata sistem politik. Produk yang paling mutakhir dari proses penataan adalah dimungkinkannya presiden dan kepala daerah dipilih secara langsung.

Pemilihan presiden telah berhasil, kini saatnya kita melaksanakan pilkada secara langsung. Maka bisa dikatakan proses demokrasi kita telah berjalan dari transisi memasuki konsolidasi demokrasi.

Menurut Samuel Huntington, ada dua faktor yang paling menentukan yang memengaruhi konsolidasi dan perluasan demokrasi, yakni pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik. Maka harapan terbesar rakyat pada pemerintahnya adalah secepatnya memperbaiki perekonomian sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.

Menyangkut kepemimpinan politik, penuturan Indra Piliang, boleh kita simak. Katanya, saya memimpikan pemimpin yang manusiawi. Jenis kepemimpinan ini hanya bisa lahir dari manusia-manusia yang dalam dirinya penuh cinta, bukan kebencian, dendam, atau semangat apologia atas kehidupan pribadi yang dianggap bisa menjatuhkan citra diri.

Ciri-ciri kepemimpinan manusiawi sederhana, yakni menjadikan masalah orang miskin, terbodoh, dan termarjinalkan sebagi masalah dirinya. Adakah Anda termasuk tipe pemimpin seperti itu? Maka bersiaplah untuk mengemban amanat rakyat.


0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP