7/29/2006

Piala Dunia dan Pembinaan Olahraga Kita

Tidak ada isu yang paling banyak dibicarakan saat ini menyamai kejuaraan sepakbola piala dunia. Isu itu diperbincangkan oleh seluruh stratifikasi sosial, agama, kebudayaan dimanapun letak geografis manusia di dunia ini. Pada upacara pembukaan yang menampilkan team Jerman melawan Kostarika penonton mencapai 1,5 milyar melalui layar televisi, internet maupun telpon genggam. Sepakbola sudah menjadi mainstream globalisasi, bahkan peradaban saat ini mungkin bisa disebut sebagai peradaban bola.


Tidak ada isu yang paling banyak dibicarakan saat ini menyamai kejuaraan sepakbola piala dunia. Isu itu diperbincangkan oleh seluruh stratifikasi sosial, agama, kebudayaan dimanapun letak geografis manusia di dunia ini. Pada upacara pembukaan yang menampilkan team Jerman melawan Kostarika penonton mencapai 1,5 milyar melalui layar televisi, internet maupun telpon genggam. Sepakbola sudah menjadi mainstream globalisasi, bahkan peradaban saat ini mungkin bisa disebut sebagai peradaban bola.

Para penonton sepakbola rela mengesampingkan pekerjaannya demi menonton team favoritnya. Penonton sepakbola di Indonesia bedagang setiap malam sampai subuh untuk menyaksikan pertandingan demi pertandingan. Pada saat kita ke kantor atau di warung kopi, obrolan kita tidak jauh-jauh dari pertandingan yang kita saksikan semalam. Orang yang sebenarnya tidak hobi akhirnya terikut juga karena semua dijangkiti penyakit demam sepakbola, football fever.

Sebuah pertandingan olahraga pasti nilai positif buat kemajuan suatu bangsa karena olahraga itu sendiri adalah positif. Satu hal yang dapat kita ambil dalam setiap pertandingan olahraga adalah semangat kompetisi. Pada Piala Dunia ini tingkat kompetisi sangat tinggi, sehingga kesalahan sekecil apapun pada sebuah team akan bisa mengakibatkan kekalahan bagi team tersebut. Tapi kekalahan itu sendiri tidak perlu ditangisi. Jika sebuah pertandingan tidak ada yang ada kalah justru pertandingan tersebut kurang menarik. Sehinnga dalam sepakbola atau olahraga apapun tidak dibenarkan memberikan kemenangan lawan karena faktor cinta dan kasih sayang.

Dalam penuturan Bertrand Russel demikian,"jika dua team sepakbola pada masa sekarang ini bertanding, lalu memutuskan bekerjasama karena pengaruh cinta kasih, dengan cara memasukkan gol pertama ke salah satu gawang, kemudian satu gol ke gawang satunya, maka tidak ada seorang pun yang bahagia. Tidak ada alasan menagapa semangat kompetisi yang ada dalam diri para atlit harus dibatasi. Usaha untuk saling menang di antar team, posisi dan aturan main, terbukti merupakan faktor motivasi yang sangat berguna namun jika kompetisi tidak berubah dengan keras dan kasar, kegagalan pinalti tidak harus menjadi bencana seperti dalam perang, atau seperti kelaparan dalam ekonomi yang carut-marut. Kegagalan itu hanya mengkibatkan hilangnya kemenangan. Sepakbola tidak akan menjadi olahraga yang diinginkan jika team yang kalah dibiarkan mati atau ditinggalkan agar kelaparan"(Robert E.Egner, 2003).
Pembinaan dan Fenomena "Idle Talk".

Berikut ini saya paparkan beberapa refleksi dari orang yang awam sepakbola tentang sepakbola kita. Mengapa team sepakbola Indonesia tidak pernah berhasil mencapai piala dunia? Atau mungkin Kejuaraan Piala Dunia sangat tinggi, tapi mengapa di Piala Asia pun belum pernah juara? Bahkan pada saat ini mengalahkan team sesama Asia Tenggara saja sangat sulit? Di lihat dari jumlah penduduk sebanyak 200 juta, sebenarnya tidak sulit menemukan bibit pemain yang berkualitas. Kultur sepakbola di Indonesia pun tidak kalah dengan Brazil maupun Italia. Bisa dibuktikan dengan menanyakan apakah mereka semua pernah menendang atau bermain bola pada masa kecil, jawabannya pasti positif. Dilihat dari kefanatikan, masyarakat (penonton) sepakbola di Indonesia sangat tinggi, saking fanatiknya sehingga sering terlibat perang antar supporter. Ini tidak hanya terjadi pada pertandingan besar, pertandingan antar kampung pun demikian. Tapi sekali lagi mengapa pada akhirnya team sepakbola Indonesia belum pernah berprestasi di tingkat dunia pada hal semua faktor dasar maupun pendudukung relatif tersedia?

Para pakar sepakbola Indonesia akan mudah menemukan jawabannya. Orang yang punya wawasan sepakbola pun akan bisa menyediakan argumen yang memadai. Walaupun jawabannya semua terkesan apologetik. Atas refleksi pertanyaan di atas, disini tidak dipaparkan argumen teknis ala sepakbola, tapi saya mencoba menguraikan pengamatan saya secara sederhana yang mencakup pembinaan olahraga pada umumnya.

Pada dasarnya pembinaan olahraga atau sepakbola kita pada umumnya sudah meninggalkan apa yang disebut sebagai “practicing sport”. Sepakbola sebagai “practicing sport” mengharuskan pembinaan difokuskan pada praktek secara komprehensif. Pembinaan olahraga kita lebih banyak pada “talking sport”. Artinya pembina olahraga maupun pelatihnya lebih banyak melakukan obrolan daripada membina atau melatih. Secara simbolis hal ini bisa dilihat pada momen Piala Dunia saat ini dimana para pakar sepakbola maupun masyarakat umum sangat pandai memberikan alasan-alasan teknis mengapa sebuah team bisa menang ataupun kalah.

Melakukan pembinaan tidak hanya paruh waktu seperti yang terjadi selama ini. Seharusnya membina olahraga harus menjadi sebuah pekerjaan yang profesional. Pembina olahraga bukan merupakan orang yang menganggur. Artinya semua pengurus olahraga harus benar-benar menekuni pekerjaan itu dalam membina olahraga. Tidak seperti selama ini dimana para pengurus olahraga dijabat oleh para pejabat yang pasti tidak mempunyai waktu yang banyak, karena itu tidak professional. Apalagi kalau pejabat tersebut tidak punya kompetensi apa-apa pada bidang olahraga tersebut.

Tentang olahraga sebagai “talking sport” ini, analisis dari Heidegger di dalam buku “Being and Time” dibawah judul bab Idle Talk sangat menarik. Kata Heidegger, “ Idle Talk merupakan kemungkinan untuk memahami segala sesuatu tanpa harus terlebih dahulu membuat seseorang memiliki hal tersebut………..Apabila hal ini dilakukan, idle talk akan terbentuk; bersiaga untuk menjaga sesuatu dari bahaya. Idle talk merupakan sesuatu dimana setiap orang dapat melakukannya; ia tidak hanya melepaskan seseorang dari tugas-tugas pemahaman sejati, tapi mengembangkan semacam intenlijibilitas yang tak terdiferensiasi, dimana tidak satupun yang tak lagi tersingkapkan”. Idle Talk tidak memiliki semacam wujud yang secara sadar menukar sesuatu (consciously passing off) dengan lainnya……….Dengan demikian, watak dasarnya , idle talk merupakan sebuah penutup (closing-off) , karena melongok kembali apa yang dibicarakan , semakna dengan memahami perkara yang tak akan ada selesainya”.(Umberto Eco, 1987).

Berdasarkan analisis Hidegger itu boleh jadi pembinaan olahraga kita hanya seperti “idle talk”, pembicaraan menganggur. Olahraga kita hanya banyak dibicarakan dan didiskusikan. Bila olahraga sudah menjadi “idle talk”, maka olahraga sebagai praktek, aktivitas, tidak lagi hadir, namun eksis demi alasan ekonomi; dan yang hadir disana hanyalah obrolan olahraga. Ketika sampai pada “idle talk”, semangat olahraga yang bersifat kompetisi akan bergeser pada tingkatan yang benar-benar politis. Seperti yang dikemukakan Umberto Eco,” obrolan mengenai olahraga memiliki seluruh karakteristik perdebatan politik. Karena yang menjadi tema adalah apa yang harus dilakukan pemimpin, apa yang telah meraka lakukan, apa yang dapat kita lakukan agar seiring dengan mereka, apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi”. Hanya saja objeknya bukan kepemimpinan istana ataupun parlemen tapi olahraga .

Deskripsi inilah yang terjadi juga di Indonesia, dimana perebutan posisi jabatan pada induk organisasi olahraga seringkali bersifat politis sebanding dengan perebutan struktur jabatan di pemerintahan. Tidak mengherankan banyak induk olahraga yang tidak melakukan pembinaan secara optimal karena sudah merasa membina. Jangan-jangan ini adalah fakta dari “idle talk”. Tapi saya berharap mudah-mudahan saya keliru. Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP