7/29/2006

Model Berfikir Penyelesaian Teror Poso

Berlanjutnya kembali berbagai tindak kekerasan dan teror yang terjadi di Poso membuktikan bahwa metode penanganan yang selama ini diterapkan tidak efektif. Sinyalemen ini diperkuat dengan terjadinya kembali teror bom yang menghancurkan sebuah Pura di Poso pada hari Jumat yang lalu (Kompas, Sabtu 11 Maret 2006). Sebelumnya telah terjadi beberapa peristiwa yang serupa.


Berlanjutnya kembali berbagai tindak kekerasan dan teror yang terjadi di Poso membuktikan bahwa metode penanganan yang selama ini diterapkan tidak efektif. Sinyalemen ini diperkuat dengan terjadinya kembali teror bom yang menghancurkan sebuah Pura di Poso pada hari Jumat yang lalu (Kompas, Sabtu 11 Maret 2006). Sebelumnya telah terjadi beberapa peristiwa yang serupa.

Walaupun telah terbentuk Komando Operasi Keamanan dan satgasus Poso, tindakan teroris tetap saja tidak dapat dicegah. Bila dibandingkan dengan Konflik Ambon yang relatif telah selesai, peristiwa ini menarik untuk kembali ditelaah khususnya tentang paradigma penanganan konflik yang telah bertahun-tahun.

Ada perbedaan yang mencolok antara pelaku pemboman di Timur Tengah misalnya di Irak maupun di Palestina dengan pelaku pemboman yang terjadi di Poso. Pelaku pemboman di negara-negara Palestina atau di Irak senantiasa dapat diketahui dengan cepat. Hal ini karena setiap kali selesai melakukan aksinya pasti ada orang atau kelompok tertentu yang bertanggung jawab. Karena itu motifnya pun dapat segera diketahui.

Para pelaku pemboman di Irak dan Palestina mempunyai motif yang relatif seragam yakni melakukan serangan balasan atas ketidakadilan yang dilakukan oleh Amerika dan Israel di kawasan tersebut. Yang menjadi common enemy-nya adalah Amerika dan Israel.Pelakunya memahami tindakan mereka sebagai jihad yang menurut keyakinan mereka balasannya adalah surga.Jadi motifnya bisa dikatakan sebagai motif religius yang dibungkus politik.

Pelaku pemboman dan aksi teror lainnya di Poso tidaklah demikian. Jangankan mengetahui pelakunya motifnya pun sulit ditebak. Pihak keamanan pada satu kesempatan mengemukakan bahwa pelaku teror di Poso adalah berkaitan dengan jaringan Al-Qaedah, tetapi diwaktu lain menyebut pelakunya terkait dengan PKI dan seterusnya. Tidak mengherankan analisis terhadap motifnya tidak seragam. Ada yang menyebut motif ekonomi, politik, rivalitas agama bahkan motif terbaru adalah kasus korupsi. Oleh karena itu meyelesaikan aksi kekerasan poso diakui tidaklah mudah. Sebab kasus ini melibatkan banyak sekali faktor yang terkait di dalamnya.

Mengapa terjadi terorisme? Pertanyaan inilah yang diajukan oleh Giovanna Borradori(2005) kepada Jurgen Habermas dan Jaques Derrida setelah terjadinya peristiwa 11 September. Analisis Habermas diadasari keyakinannya atas konsep demokrasi yang dapat menyelesaikan seluruh problema yang tidak dapat diatasi. Hal ini karena Habermas tumbuh menjadi Dewasa di Jerman dimana demokrasi bukan hanya merupakan realitas, melainkan realitas yang direngkuh secara bergairah.

Inti demokrasi adalah penekanan pada emansipasi sebagai semacam pengalaman diri, sebab didalamya proses pemahaman- diri terkait dengan suatu peningkatan otonomi (Borradori,ibid). Namun bagi Habermas, pengenalan-diri mesti diorientasikan kepada arah yang paling spesifik untuk mengembangkan otonomi penilaian dan kebebasan tindakan.

Yang paling subtansial ialah pengenalan-diri ini asumsinya kita belajar mengenal siapa diri kita sebagai pelaku-pelaku yang otonom dari relasi-relasi yang dasar dengan orang lain. Agar komunikasi berhasil diperlukan dipihak pembicara maupun pendengar, adanya suatu keikatan untuk mengatakan suatu kebenaran dan untuk memaksudkan secara persis apa yang dikatakannya.

Jika demikian pantas jika konflik dan teror di Poso masih berlarut-larut. Halnya paradigma demokrasi dalam penyelesaian kasus tersebut tidak tercapai. Paradigma penyelesaian teror di Poso masih bersifat partisan. Dengan paradigma ini maka kesetaraan menjadi tidak ada.

Pemerintah memakai modelnya sendiri dengan pendekatan keamanan yang ektensif sementara pelaku teror sebenarnya ingin suatu pola penyelesaian yang menyeluruh. Peledakan bom dan tindakan kekerasan lainnya adalah semestinya dipahamai sebagai simbol yang membahasakan makna-makna tertentu. Dengan pola partisan maka akan mengeliminasi “dialog” yang sebenarnya diperlukan bagi sebuah penyelesaian yang bersifat demokratis

Lain halnya dengan Habermas, Derrida mengimbau adanya suatu refleksi yang ketat tentang konsep pengampunan. Kata Derrida, “Di dalam semua episode penyesalan, pengakuan, pengampunan atau apologi, yang berlipat ganda dipanggung geopolitik sejak perang terakhir, dan didalam suatu gaya yang terakselerasi dalam beberapa tahun terakhir ini, orang melihat bukan hanya individu, melainkan juga keseluruhan komunitas, korporasi professional, wakil hirarki gereja, penguasa, dan kepala Negara minta pengampunan. Mereka melakukan ini di dalam suatu bahasa ke-Abrahaman yang (dalam kasus Jepang dan Korea, misalnya) bukan bahasa agama dominant masyarakat mereka, tetapi telah menjadi idiom universal didalam hukum, politik,ekonomi,atau di dalam diplomasi: pada waktu yang sama pelaku dan gejala internasionalisasi ini”(Borradori,ibid).

Kiranya tidak perlu dielaborasi frasa dari Derrida tersebut karena telah jelas maknanya dimana intinya adalah pengampunan dari seluruh elemen. Akan tetapi yang perlu difahami adalah penyelesaian yang bersifat integratif ini jelas bagi pemerintah mempunyai kesulitan. Pelaku teror menurut pemerintah pastilah orang-orang yang sudah pasti bersalah yang dengannya akan dikenakan hukuman.

Tetapi dengan “membebaskan” mereka juga bukan merupakan tindakan yang arif pada saat ini. Bila itu dilakukan masyarakat akan menuduh sebagai pemerintah yang tidak tegas dan tidak konsekwen dalam pelaksanaan hukuman. Disisi lain dengan melakukan tindakan keras maka pelaku teror juga akan membalas dengan tindakan yang keras pula.

Menurut persepsi pelaku teror kondisi bangsa saat ini juga merupakan “ulah”pemerintah sendiri yang tidak mengindahkan nilai-nilai religius, kultural, dan sosial politik yang dipahami oleh para pelaku teror tersebut.Misalnya Bom Bali. Menurut pelaku pemboman motif melakukan hal tersebut karena ingin membalas kepada negara-negara Barat yang banyak melakukan ketidakadilan terhadap muslim di seluruh dunia. Begitu seterusnya sehingga penyelesainnya berlarut-larut.

Jalannya keluarnya adalah seperti yang disarankan oleh Habermas di atas. Para aktor yang terlibat mesti mengenali diri masing-masing. Pemerintah yang berperan sebagai aktor utama dalam resolusi konflik harus juga mengenal dirinya. Maknanya pemerintah harus berani instropeksi diri manakala adalah kesalahan-kesalahan sistem yang dibuatnya. Begitupun semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan adanya pengenalan diri maka masing-masing pihak akan timbul penilaian masing-masing. Dengan penilaian tersebut akan timbul kesadaran baru melalui proses komunikasi secara integratif.

Diatas semua itu kita juga perlu mempertimbangkan konsep pengampunan dari Derrida. Menurut Borradori, dapat dibedakan dua jenis pengampunan. Yang pertama, ialah,”pengampunan bersyarat” yang syaratnya ialah dapat dikalkulasikannya hukuman. Tipe pengampunan ini serng mengikuti suatu tindakan penyesalan dimana pihak bersalah akan berjanji tidak akan melibatkan diri di dalam apa pun yang memerlukan pengampunan.

Tipe pengampunan kedua diistilahkan “tanpa syarat” karena terdiri atas mengampuni tanpa syarat apa yang tak dapat diampuni.Masalahnya adalah apakah pengampunan jenis ini dapat betul-betul dapat diterapkan mengikat ada subtansi pokok yakni hal yang tak dapat diampuni? Bagi yang mengklaim diri benar pasti susah mengaminiya. Wallahu A'lam

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP