2/16/2008

Tentang Tuhan Yang Kita Sembah

Posting ini adalah tanggapan saya pada sebuah topik diskusi di situs facebook. Topiknya sendiri bertema konsep tentang Tuhan. Inilah tanggapan saya dengan sedikit pengembangan dan perbaikan.

Jika kita ingin menggambarkan Tuhan secara rasional , jelas dan gamblang melalui rasio ataupun perasaan kita pasti kita akan mengalami kegagalan. Kita akan terjebak pada Tuhan yang bersifat antroposentrisme. Namun sejalan dengan keingintahuan manusia pertanyaan tentang seperti apa Tuhan itu telah menyibukkan manusia sepanjang sejarahnya.

Dalam buku Sejarah Tuhan karangan Karen Amstrong terlihat bahwa konsep Tentang Tuhan itu selalu berevolusi mengikuti situasi dan kondisi pada waktu kapan manusia hidup.

Karenanya Karen Amstrong juga mempertanyakan apakah konsep kita tentang Tuhan saat ini masih relevan? Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa pembicaraan tentang Tuhan saat ini sering sekali terjebak pada antroprosentris. Tuhan yang digambarkan adalah Tuhan yang personal yakni penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia yang memiliki kepribadian.

Budi munawar Rahman mendifinisikan Tuhan personal adalah penggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi Tuhan bukan prinsip. Menurut perspektif ini, Tuhan bukan suatu yang berada di balik alam dan meliputi semuanya. Biasanya, lawan Tuhan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal.

Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para mistikus. Dan Armstrong mengatakan, bahwa masa depan Tuhan adalan persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal ini. Dia menggambarkan panjang lebar pada bab terakhir bukunya, mengenai prediksi masa depan Tuhan. Menurut dia, sejauh Tuhan masih digambarkan terlalu rasional —sebagaimana dalam teologi selama ini— selama itu pula kepercayaan kita mengenai Tuhan akan mengalami krisis dan selalu dipertanyakan kembali (Budi Munawar Rahman wawancara dengan Ulil Abshar Abdala,islamlib.com).

Padahal sejatinya Tuhan itu adalah impersonal sebagaimana banyak difahami oleh para sufi. Oleh karena itu gambaran Tuhan yang rasional pasti akan mengalami kebuntuan dan mungkin saja berujung pada atheism.

Nah, yang paling mungkin adalah menggunakan metafor ataupun analogi. Tetapi itu pun tak cukup karena dalam analogi ataupun metafor tersebut, Tuhan yang kita bicarakan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tapi Tuhan dalam konsep kita. Sedangkan konsep tentang Tuhan sangat banyak dan punya klaim kebenaran masing-masing.

Walaupun demikian, saya setuju kalau untuk memahami Tuhan dengan rasio. Karena dari awal saya sudah menganjurkan untuk memakai analogi ataupun metafor agar kita mudah mengerti .

Agama sendiri mengajarkan agar kita mempergunakan akal-akal kita. Alquran dalam banyak ayat memberikan pertanyaan retorik seperti, apakah kalian tidak berfikir, apakah kalian tidak berakal dan seterusnya.

Tetapi menggambarkan Tuhan dengan rasio yang sangat personal sungguh tidak memuaskan bagi saya. Bagaimanapun Tuhan adalah kebenaran mutlak dan selain Tuhan adalah kebenaran nisbi belaka. Rasio adalah sebuah makhluk juga karenanya bersifat nisbi yang tidak mungkin mencapai derajat kebenaran mutlak itu.

Maka pada tataran kebenaran nisbi itulah berlakunya ilmu. Sebuah ilmu yang terdiri atas berbagai teori itu sesungguhnya adalah hanya bentuk sederhana dari realitas.

Oleh sebab itu sebuah teori selalu bisa dibantah seperti gambarkan Hegel dengan tesis, anti tesis dan sintetis. Begitu pun oleh Thomas Kuhn dalam konsep lahirnya sebuah paradigma.

Dengan mengerti demikian maka memahami Tuhan harus dengan skema memahami makhluknya terlebih dahulu barulah kita bisa faham yang dinamakan Tuhan. Mustahil kita bisa memahami atau merasakan kehadiran Tuhan tanpa kita memahami makhluk ciptaannya. Kebenaran nisbi harus terus menerus didekatkan pada kebenaran mutlak.

1 komentar:

Anonymous

terlalu singkat...

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP