8/27/2006

Cerita Makan Malam Menu Sate Ayam

Malam itu saya betul-betul lapar. Dalam perjalanan pulang ke rumah dari mengunjungi seorang teman, saya memberhentikan kendaraan di depan sebuah warung sederhana, penjual sate ayam. Saya memesan satu porsi karena memang saya sendirian. Tidak lama kemudian, hidangan sate ayam pesanan saya telah tersaji dengan rapi. Tercium aroma sate yang lezat dan sayur sop yang wangi. Ingin rasanya segera mencicipi hidangan itu.


Namun alangkah terkejutnya, ketika saya mengingat berita-berita yang saya baca di koran tadi pagi. Virus flu burung telah terjangkit di kota Palu. Banyak ayam yang mati mendadak. Pemerintah kota Palu segera bergerak cepat menangani virus mematikan tersebut. Berita itu kemudian dilansir oleh banyak media elektronik nasional sehingga beritanya cepat menyebar dan mempengaruhi selera makan saya.

Saya bergumam dalam hati, bahwa saya sebenarnya telah memilih masuk pada warung salah. Kenapa sate ayam ini yang menjadi menu malamku? Bukankah sepanjang yang jalan yang kulewati tadi berderet rumah makan yang menyediakan menu lain? Ah, saya mungkin lagi sial malam ini. Saya kemudian berdoa, semoga sate ayam ini steril dari virus flu burung,Amin.

Akibat terlalu lapar dan sudah terlanjur pesan, akhirnya saya menyerah sama "takdir". Saya harus ikhlas makan sate ayam ini. Tetapi sebelum mencicipi, akibat ketakutan dan kekuatiran yang berlebihan, saya "introgasi" dulu pemilik warung ini. Layaknya Wianda pusponegoro, penyiar berita Metro TV yang memang saya kagumi itu, saya melakukan wawancara dengan profesional. Dimana ayam ini dibeli? Bagaimana kondisi ayam ini saat dibeli, sehat atau sakit? Siapa yang memotongnya?...

Kalimat pertanyaanku meluncur deras. Belum selesai narasumberku menjawab, datang lagi pertanyaan berikutnya.Karena keingintahuanku yang sangat besar, maka segala jawaban yang diberikan rasanya tidak memuaskan. Akibatnya saya memutuskan untuk tidak menghabiskan menu sate ayamku yang sebebenarnya enak.

Saya sebenarnya mengetahui bahwa ayam yang telah dimasak pada suhu sekitar 80 derajat celcius telah bebas virus ini. Saya juga mengetahui cara-cara penularannya. Saya memang rajin mencari informasi mengenai virus flu burung ini. Bila ingin mngetahui secara detail,bukalah website Departemen Kesehatan RI(www.depkes.go.id). Tapi mengapa saya begitu ketakutan dan mengalami kekuatiran?

Rasa kuatir dan ketakutan itu sebenarnya bersumber dari tingkat kepercayaan saya yang lemah terhadap pemerintah. Kinerja pemerintah dalam menuntaskan berbagai masalah ditengah masyarakat sangat minim. Saya menilai tindakan pemerintah serba ragu-ragu dalam memutuskan suatu tindakan. Pemerintah tidak peka terhadap persoalan dimasyarakat. Pemerintah tidak punya komitmen sehingga data kemiskinan pun berupaya dikelabui.

Biar jelas, saya berikan dua contoh ssja. Kebetulan dua kasus ini masih terkatung-katung penyelesaiannya.Pertama, kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Sejak bulan Mei sampai Agustus ini belum ada titik terang kapan lumpur panas itu bisa dihentikan. Bahwa usaha-usaha penghentian ini terus dilakukan, itu betul. Dan bahwa kasus itu sepenuhnya tanggung jawab PT. Lapindo, itu juga benar. Bahwa segala kerugian baik materil maupun immateril harus sepenuhnya dibebankan pada PT.Lapindo, itu juga tidak salah. Tetapi saya tidak melihat peran pemerintah minimal sebagai fasilitator,kalau bisa menekan, untuk mengakomodasi tuntutan segala kerugian dari masyarakat korban. Pamerintah juga serba ragu dalam menyeret PT.Lapindo ke meja hukum. Padahal sudah jelas, kasus tersebut jelas dikategorikan sebagai corporate crime.

Kedua, kasus Tibo dan kawan-kawannya. Sejumlah pengamat yang saya cermati pernyataannya,semua menginginkan agar pelaksanaan hukuman mati harus segera dilaksanakan.Tidak boleh ada penundaan lagi. Argumentasi hukumnya sangat kuat. Keputusannya hukum sudah jelas, sudah final yakni eksekusi mati. Tapi saat ini pemerintah belum melaksanakan juga eksekusi itu. Padahal, dampaknya sudah terasa ditengah masyarakat. Masyarakat kemudian tebelah lagi menjadi dua kelompok, ada pro dan kontra. Ironisya segregasi masyarakat itu sangat tidak sehat, karena kesannya dipengaruhi agama dan ideologi keyakinan masing-masing. Padahal pelaksanaan hukuman mati tersebut,sebenarnya merupakan penegakan hukum saja.Tidak ada urusannya dengan keyakinan agama dan ideologi apapun. Masalah Tibo merupakan contoh pembelajaran hukum yang paling buruk di Indonesia.

Nah, alasan ketakutan dan kekuatiran mudah-mudahan menjadi jelas. Mengurus hal-hal yang tampak nyata saja pemerintah tidak mampu dan tidak serius. Apalagi mengurus makhluk mikroskopis yang namanya virus flu burung ini. Ah, kita sudah saja. Saya jadi tambah ngeri, lagipula saya masih lapar...maaf! >

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP