8/26/2006

Nasionalisme Dan Negara Bangsa Menurut Nurcholish Madjid

Tanggal 29 Agustus 2006 Nurcholish Madjid genap setahun berpulang ke Rahmatullah. Bangsa Indonesia merasa sangat kehilangan oleh seorang yang punya pikiran mendalam. Dalam sejarah hidupnya Cak Nur telah mengabdikan diri sebagai salah seorang pemikir yang sangat konsen terhadap masalah bangsa dan negara. Pemikirannya pun banyak dianut sehingga berhasil memberikan corak pemahaman keagamaan tertentu pada sebagian masyarakat Indonesia.


Sedikit Sketsa Pemikiran Cak Nur
Bila dipetakan secara makro, pemikiran Cak Nur dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pemikiran Keislaman dan kedua, pemikiran Keindonesiaan. Pemikiran Keislaman Cak Nur bersumber dari latarbelakang pendidikannya yang sejak awal memang menggeluti disiplin ilmu keislaman. Sedangkan pemikiran Keindonesiaan Caknur lebih banyak diperoleh dari perguatannya dengan literatur maupun hasil perenungannya setelah terlibat dalam aktivitas sosial kemasyarakatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun benang merah kedua jenis pemikirannya terletak pada subtansi nilai yang ingin disampaikan yaitu nafas keislaman. Bisa dikatakan nafas atau subtansi keislaman itulah yang menjadi core pemikirannya. Misalnya bila berbicara demokrasi, disamping merujuk pada sejumlah literatur barat, ia terutama mengambil pesan-pesan dari Al-Qur’an maupun contoh-contoh pelaksanaannya pada prilaku masyarakat Islam klasik yang memang sangat dikaguminya. Dari kedua jenis pemikirannya ini masyarakat kemudian memberi identitas sekaligus sanjungan berupa gelar teolog dan guru bangsa.

Pemikiran Cak Nur sangat mendalam karena disertai oleh bangunan penalaran yang sistematis sehingga uraian argumentasinya terkesan sangat kuat. Namun demikian ada beberapa pemikiran Cak Nur yang menjadi kontoversial dikalangan masyarakat umum maupun dikalangan cendekiawaan. Spektrum kontroversi ini tidak terbatas pada pemikiran Keislamannya, tapi juga pemikirannya Keindonesiaannya. Contoh pemikirannya Keislaman yang kontroversial adalah masalah sekularisasi yang oleh kalangan cendekiawaan lain disebut telah menyimpang dari nilai Islam. Sedangkan contoh pemikiran keindonesiaanya yang banyak diperdebatkan adalah ketika dia mengintrodusir jargon “Islam Yes, Partai Islam No” dan idenya tentang perlunya oposisi bagi pemerintahan.

Terlepas dari dari adanya sisi kontroversial, tersembul hikmah yang ada dibaliknya. Misalnya, ada debat atau dialog diantara kalangan cendekiwaan Islam sendiri. Ada transaksi intelektual sehingga masyarakat menjadi kritis yang pada akhirnya menimbulkan kemajuan, tidak statis. Banyak yang setuju pemikiran Cak Nur tetapi banyak pula yang tidak. Hingga kemudian masyarakat bisa menyimpulkan bahwa begitu banyak warna dan corak pemikiran keislaman, sehingga absolutisme terhadap suatu jenis pemikiran menjadi nisbi belaka. Setiap pemikiran memang perlu dikritisi, dievaluasi dan diperiksa kembali sehingga tidak menjadi dogmatis.

Nasionalisme dan Negara Bangsa
Isu nasionalisme menjadi debat rutin setiap bulan Agustus. Sebuah hipotesis mengatakan, timbulnya berbagai masalah pada bangsa Indonesia, disamping karena komitmen moral yang lemah terhadap ajaran asasi agama, juga disebabkan oleh pemahaman hakekat atau subtansi keindonesiaan yang kurang. Mungkin itulah sebabnya Cak Nur dalam buku terakhirnya berjudul “Indonesia Kita”(2003), menguraikan noktah-noktah subtansi yang dipahaminya terhadap Indonesia. Buku tersebut ditulis dalam rangka memberi penjelasan secukupnya terhadap sepuluh flatform yang ditawarkan untuk membangun kembali Indonesia.

Pertama diuraikan bahasan Nasionalisme klasik di Nusantara. Ditegaskan, nasonalisme klasik di Nusantara mula-mula timbul akibat adanya berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia Tengara ini, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil dalam lingkungan yang terpisah-pisah. Kenyataan ini mendorong timbulnya sifat-sifat maupun ciri-ciri khas kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan. Adanya kenyataan ini dapat dipandang sebagai kekayaan maupun kerawanan. Sebagai kekayaan, tulis Cak Nur, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui silang budaya (cross cultural fertilization). Sebagai kerawanan, lanjutnya, keanekaragaman budaya dapat melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu Asia Tenggara selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Jadi Indonesia memang besifat plural pada awalnya sehingga menginkari sifat tersebut sama dengan mengingkari salah satu subtansi Indonesia. Bangunan pluralisme harus diperkuat melalui silang budaya sehingga jalinan dan ikatan kebangsaan menjadi kokoh dan kuat.
Terdapat kenyataan lain bahwa adanya bibit-bibit nasionalime klasik itu dipermudah oleh sebuah budaya yang berdimesi hemispheric islam yaitu suatu pola budaya umum yang meliputi hampir seluruh belahan bumi timur sejak dari wilayah-wilayah Afrika dan Eropa pada tepi lautan Atantik sampai kepada wilayah Zaitun (sekarang Guangzhou) di dataran Cina pada tepi laut Tengah. Hal inilah menurut CakNur mempermudah agama Islam masuk kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Perkembangan budaya hemispheric ini berlanjut pada Indonesia moderen dimana banyak sekali nomen klatur perpolitikan nasional yang bersumber atau setidaknya dapat dijelaskan berdasarkan ajaran Islam. Misalnya tentang “Negara bangsa” atau “Nation-State”.

Nation- State atau Negara Bangsa sebagaimana penjelasan Cak Nur dalam buku Itersebut, adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Dengan kata lain negara bangsa adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Tujuan Negara bangsa ialah mewujudkan maslahat umum, suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali.

Dalam realitas Indonesia kekinian pelaksanaan konsep atau tepatnya subtansi negara bangsa belum dijalankan dengan komitmen yang sungguh-sungguh. Ada golongan yang sangat kaya tetapi lebih banyak yang miskin. Kesejahteraan belum merata. Keadilan belum ditegakkan secara sungguh-sungguh. Pemerintah, pengusaha maupun politisi belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah menggadaikan asset bangsa kepada Negara asing dan seterusnya.
Diakhir hayatnya ternyata Cak Nur masih memikirkan kepentingan Negara bangsa secara keseluruhan. Dia menutup kalimat terakhir buku itu dengan menulis, “kita harus menemukan cara untuk mengatasi persoalan bangsa dan negara kita, sekali ini dan untuk selama-lamanya (once and for all). Hanya dengan tekad serupa itu kita akan terhindar mengalami krisis lagi yang tanpa berkesudahan. Now or Never!”




0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP