8/24/2006

Belajar Dari Fenomena Fadel Muhammad

Pada Pilkada Gubernur yang telah berlangsung di Sulawesi Tengah beberapa bulan yang lalu tercatat ada empat pasangan yang maju bertarung. Sekedar mengingatkan mereka adalah pasangan Aminuddin Ponulele- Sahabuddin Mustapa, Rully Lamadjido-Sudarto, Bandjela Paliudju- Ahmad Yahya dan Muis Taher- Yusuf Paddong. Kempatnya sangat optimis memenangkan pertarungan. Di Sulawesi Utara lebih banyak lagi yaitu lima pasang. Mereka adalah SH. Sarundayang-F. Sualang, Ferry Tinggogoy- Hamdy Paputungan, AJ. Sondakh- Aryanti Baramuli, Wenny Warrow-Marhany Pua dan Hengky Baramuli-Dirk P.Togas. Kelimanya pun sama-sama mempridiksi akan memenangkan pertarungan.Begitupun di banyak daerah lain, pilkada senantiasa penuh dengan rivalitas politik. Segala macam strategi dan taktik digunakan oleh setiap pasangan demi sebuah kemenangan.

Di Provinsi Gorontalo tidak demikian. Rivalitas Pilkada diramalkan tidak akan berlangsung sengit. Karena sampai dengan batas waktu pendaftaran kandidat tanggal 18 Agustus, baru satu pasangan yang mendaftar yakni Fadel Muhammad- Gusnar Ismail. Karena undang-undang tidak membenarkan hanya ada satu pasangan calon , maka waktu pendaftaran kemudian diperpanjang hingga akhir Agustus untuk memberikan kesempatan lagi bagi para kandidat lain.
Kombinasi pasangan Fadel-Gusnar mempunyai posisi politik yang sangat kuat dpandang dari sudut institusi maupun massa. Setidaknya ada tiga factor penyebabnya. Pertama, incumbent factor. Secara alamiah, posisi seorang incumbent sebenarnya lebih menguntungkan ketimbang lawan lainnya dalam persaingan pilkada. Walupun secara resmi penggunaan struktur kekuasaan dilarang namun posisi incumbent jelas sangat strategis. Hubungan yang sudah terjalin dengan berbagai perangkat pemda di berbagai tingkatan termasuk staf kantor kelurahan/desa juga memudahkan para incumbent mendapat dukungan jaringan sosial. Bagi figur incumbent yang berada di wilayah perkotaan, tempat media massa sudah berkembang dengan baik, juga berpotensi menguntungkan melalui liputan pers selama mereka menduduki jabatan publik. Hal ini yang akan mempermudah menjalankan politik sosialisasi. Dengan demikan modal pertama dan yang paling utama bagi para incumbent telah dipegang yakni popularitasnya yang sudah terbangun sejak mereka menduduki jabatan publik tersebut.
Kedua, Golkar factor. Partai Golkar jelas punya massa tradisional yang riil sampai saat ini. Partai golkar juga punya jaringan struktur sampai ditingkat kelurahan dan desa. Apalagi Partai Golkar merupakan partai pemenang di Gorontalo. Semua faktor tersebut dapat memberikan kekuatan massa bagi pasangan ini. Walaupun demikian posisinya sebagai ketua partai juga dapat menjadi salah satu kelemahan. Mereka dapat dicitrakan sebagai milik partai ini saja, sebuah identitas lama pemegang status quo politik.
Ketiga, Fadel factor. Siapapun tahu dibalik bergairahnya pembangunan di Gorontalo, fadel merupakan key factor. Dia mempunyai visi tajam dalam membangun daerahnya. Visinya yang berbasis pada entrepreneur government berjalan menuju kesuksesan. Dengan latarbelakang sebagai seorang pengusaha yang didukung oleh networking nasional, memudahkan dia melakukan branding maupun kemitraan bagi Gorontalo. Hal ini sudah banyak terbukti, misalnya ia berhasil mencitrakan Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi jagung. Dengan menetapkan jagung sebagi komoditi unggulan maka kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. Dia juga berhasil menjual potensi teluk Tomini yang sebenarnya paling luas milik sulawesi Tengah dan mendatangkan banyak investor ke Gorontalo. Ini semua membuat masyarakat Gorontalo bersimpati. Meskipun ia bukan orang Gorontalo asli (putra daerah) tapi ia sukses memimpin gorontalo. Sementara Gusnar anak muda energik yang berlatar belakang birokrat. Perpaduan ini merupakan comparative advantage bagi pasangan ini
Keberhasilan Fadel memimpin gorontalo atau bahkan sulawesi dengan konsep agropolitan dan ingin menjadikan sulawesi pulau jagung menjadikan dirinya calon gubenur yang tangguh dan populer di mata rakyatnya. Kekuatan yang dimiliki ini mengakibatkan dirinya sangat perkasa dan sangat percaya diri untuk maju kembali jadi Gubenur periode 2006-2011.
Dengan modal popularitas dan sukses membangun Gorontalo, dia menjadi populer di mata rakyatnya dan bahkan seluruh Indonesia. Dengan popularitas dan full power yang dimiliki oleh fadel menjadikan para broker politik dan team sukses kurang berdaya untuk "memainkan" perannya di masyarakat, termasuk memasukkan berbagai macam program dan proposal atas nama komunitas menjadi tidak laku. Boleh dikata tanpa tim sukses dapat diperkirakan Fadel tetap memenangkan Pilgub Gorontalo, apalagi sampai sekarang baru satu pasangan yang mendaftar. Inilah yang kemudian membuat calon lain minder, tidak terkecuali Rahmat Gobel pengusaha nasional yang pada awalnya digadang-gadang oleh beberapa partai, pada akhirnya ragu dan tidak berani berhadapan dengan dengan Fadel, meskipun yang bersangkutan putra daerah.
Skenario yang disiapkan sekarang oleh Fadel untuk sekedar memenuhi tuntutan undang-undang agar proses Pilgub Gorontalo berjalan tanpa calon tunggal, ia menyiapkan orangnya untuk maju, boleh disebut sebagai boneka. Bagi kita ini sesuatu yang tidak elok, karena hanya akan memboroskan anggaran. Bila ada cela hukum ada baiknya disahkan saja. Dan kedepannya undang-undang tentang pilkada harus diamandemen untuk mengakomodasi peristiwa semacam ini. Alternatif solusi pada kondisi demikian baiknya, jika terjadi calon tunggal tidak perlu dilakukan pemilihan langsung disahkan oleh KPU saja. Bila langkah itu dilakukan dapat menghemat biaya puluhan triliun, biaya dialihkan saja untuk kegiatan pembangunan bagi masyarakat banyak. Ini juga menjadikan proses politik lancar dan tidak membuang-buang anggaran yang banyak. Wallahu A’lam.Tulisan ini di tulis bersama Amir Arham seorang Staf pengajar UNG

3 komentar:

morsas

patut dicontoh pemimpin daerah lain tuh

Anonymous

Pak Fadel memang TOP. Paling tau cara menjual nama Gorontalo di luar dengan berbagai produk daerah. Sekarang nama Gorontalo sudah dikenal dimana-mana.

Anonymous

Bukan Tebak-tebakan

Dari pengalaman pilkada sebelumnya. Masyarakat hanya memiliki kesempatan minim untuk menimbang kepala daerahnya. Yang terjadi kemudian adalah ketidakpuasan, munculnya konflik, dan berbagai jenis perseteruan yang tidak jelas serta merusak iklim demokratisasi yang sedang dibangun melalui pilkada. Minimnya informasi menjadi awal rusaknya iklim itu. Akhirnya semua turut bertanggung jawab sekaligus menjadi korban.

Secara sederhana, niat awal menyelenggarakan pilkada adalah untuk menghindari ketidakpuasan masyarakat atas calon yang dipilihnya. Tetapi, jika para calon tidak berani menyatakan sikap dan kesediaan, bagaimana masyarakat bisa menilai? Pilkada butuh kepastian, tak perlu malu kalau memang mau dan jangan jadikan pilkada sebagai permainan tebak-tebakan.

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP