10/16/2006

Perlu Revisi Pola pengamanan Di Sulawesi Tengah

Sebuah penembakan yang menewaskan pendeta Irianto Kongkoli hari ini telah menegaskan bahwa palu, poso dan sekitarnya belumlah aman. Walaupun pemerintah telah menempatkan aparat keamanan dalam jumlah yang tidak sedikit, namun gangguan keamanan ataupun teror masih saja terjadi. Apakah dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa metode pendekatan keamanan yang dijalankan telah gagal?

Sudah menjadi prosedur standar bagi negara, apabila terjadi gangguan keamanan yang berwujud kerusuhan, penembakan, peledakan bom dan seterusnya maka tindakan yang segera dilakukan adalah menambah jumlah aparat keamanan. Tidak mengherankan di setiap daerah yang rawan jumlah aparat yang disiagakann sangat mencolok.

Di daerah seperti Palu dan Poso aparat terlihat memenuhi setiap sudut kota. Mereka menjaga semua tempat yang dianggap strategis seperti rumah ibadah,perkantoran, sentra bisnis maupun kediaman para perjabat. Asumsinya jika aparat kemananan ada yang menjaga maka tindakan untuk mengacaukan situasi kemananan dapat dicegah. Namun ini telah terbantah dengan sendirinya. Faktanya ada atau tidak aparat keamanan tetap saja gangguan kemananan terjadi.

Seperti telah diketahui, menjelang maupun setelah eksekusi Tibo DKK peningkatan jumlah aparat keamanan yang menjaga Sulawesi Tengah terutama di Palu, Poso dan Tentena meningkat jumlahnya. Ini untuk menjaga agar ekses yang mungkin terjadi setelah eksekusi dapat diantisipasi. Bahkan seperti diberitakan, sejumlah petinggi intelijen telah datang ke palu untuk melakukan serangkaian pertemuan. Logika tersebut memang tidak salah. Bila terjadi kerusuhan misalnya,aparat dalam jumlah besar asumsinya dapat mengatasi lebih cepat.

Namun apa yang kita saksikan di Palu maupun Poso, bertambahnya jumlah aparat tidak diiringi dengan menurunnya gangguan keamanan secara signifikan. Sejumlah peristiwa yang sangat mengganggu keamanan daerah ini masih terus berlangsung.

Setelah eksekusi Tibo DKK,dua orang pedagang ikan telah menjadi korban penculikan ketika mereka melintasi daerah sekitar kabupaten Poso yang notabene dijaga ketat aparat kemananan. Mereka akhirnya ditemukan dalam keadaan yang tidak bernyawa telah dikuburkan oleh orang yang mungkin membunuhnya sendiri. Di kabupaten Morowali juga terjadi kerusuhan, bahkan Kapolda sendiri hampir ikut menjadi korban. Terakhir seperti yang disebutkan di atas, bahwa seorang Pendeta tewas ditembak oleh seseorang yang mengendarai motor di Palu yang setiap sudutnya juga dipenuhi Polisi. Fakta lain,hampir tiap malam diberitakan ada bom yang meledak di Poso.

Poin yang ingin disampaikan adalah bahwa sejatinya peningkatan jumlah aparat keamanan harus pula diikuti oleh peningkatan efektivitas pelayanan terhadap publik. Pelayanan publik maksudnya tentu memberikan rasa aman yang memadai bagi setiap warga. Golongan apapun harus merasa terlindungi secara aman.Efektif maksudnya aparat kemananan dapat segera mengantisipasi atau menangkal setiap kejahatan yang dilakukan oleh siapapun.

Memang kita harus juga mengakui bahwa kemampuan aparat juga terbatas. Ada hal-hal tertentu yang mungkin diluar batas kemampuan aparat sendiri. Namun ini tidak boleh menjadi alasan pembenar,apologi, bagi setiap kegagalan menjaga kemananan. Karena bagaimanapun aparat keamanan telah dibekali oleh pendidikan dan pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan mereka telah diberi peralatan secukupnya untuk menangkal maupun menghentikan gangguan keamanan. Bagi masyarakat kegagalan menjaga keamanan harus dipahami sebagai kegagalan menjalankan tugas, karenanya itu layak mendapat hukuman. Sebaliknya bila mereka berhasil masyarakat harus juga memberikan penghargaan yang sesuai. Bila ingin berhasil maka kuncinya adalah aparat semakin dituntut keseriusan dalam bertugas sehingga hasil kerjanya bisa untuk optimal. Wallahu A'lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP