6/09/2009

Menanti Pilpres Dengan Kecemasan

Sepertinya kita berharap-harap cemas menanti pemilihan presiden 8 juni ini. Kita berharap terpilihnya seorang presiden yang akan memimpin bangsa ini untuk memulai tahapan kemajuan yang lebih baik. Tetapi juga kita cemas, jangan-jangan yang terpilih nanti tidak sesuai dengan pengharapan bangsa kita. Seorang presiden bukan hanya sebagai pemimpin bangsa tetapi juga ia menjadi simbol dari bangsa itu sendiri.

Mari kita mencoba menguraikan beberapa point kecemasan itu. Kecemasan ini tentunya lahir atas beberpa kondisi faktual yang terjadi belakangan ini.

Kecemasan pertama, kita pasti sepakat bahwa pemilihan umum legislatif maupun eksekutif merupakan perayaan pesta demokrasi yang wajib kita laksanakan. Bahkan sukses pelaksanaannya telah menjadi kebanggaan nasional bahwa kita telah menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Demokrasi menjadi kebanggaan karena sistem tersebut telah menjadi anutan umum pemerintahan bagi hampir semua negara. Namun ini membuat kita juga menggigil cemas , karena dalam 11 tahun priode reformasi ini kita belum lihat adanya sebuah peningkatan yang nyata atas beberapa kondisi rakyat. Saat ini rakyat dan bangsa kita masih dalam kondisi terbelakang dibanding dengan dengan tetangga terdekat. Padahal biaya yang dikeluarkan dalam mengongkosi demokrasi itu sudah sangat besar.

Kecemasan kedua, walaupun kampanye pilpres yang sedang berlangsung selalu menyuarakan retorika demokrasi, tetapi pada kenyataannya selalu saja ada kegiatan-kegiatan yang tidak mencemirkan prilaku-prilaku demokratis. Kritik yang selalu timbul bahwa kita masih melaksanakan demokrasi prosuderal belum subtansial adalah benar dan bahkan kedua demokrasi tersebut saat ini telah dilanggar juga. Ambillah sebuah contoh. Silaturahmi salah satu kandidat dengan para pendukungnya yang disiarkan oleh stasiun TV beberapa waktu lalu telah dianggap oleh Bawaslu sebagai pelanggaran. Disebut pelanggaran karena telah memenuhi unsur-unsur kampanye padahal waktu kampanye belum dimulai.

Kecemasan ketiga, pelaksanaan kampanye yang mengandalkan polesan citra bagi figur membuat rakyat semakin tidak tercerahkan. Kampanye dengan model pencitraan yang berlebihan membuat figur yang dipasarkan tidak lagi bersifat autentik. Justru ia asing terhadap dirinya sendiri. Bila sudah begini, alih-alih mengharapkan mengatasi masalah rakyat justru ia adalah masalah tersendiri. Figur yang dicitrakan sedemikian sempurna akan gugup dan gagap dalam menghadapi kenyataan yang sesungguhya. Kita sudah seharusnya meninggalkan politik pergincuan, penuh kamuflase, kita seharusnya kembali kepada kenyataan diri kita sendiri. Kita percaya bila kedirian pemimpin yang ditonjolkan apa adanya akan memperkuat ethos nasionalisme kita.

Kecemasaan keempat, para pemimpin kita bukannya sibuk menyebarkan visi misinya, justru sibuk dengan menangkis isu, rumor yang tidak punya relevansi dengan kepemimpinannya. Sampai saat ini belum pernah kita baca secara lengkap flatform kandidat. Kita sebenarnya ingin setiap kandidat itu membuat sebuah buku yang berisi visi-misi,flatform secara lengkap. Buku itu kemudian disebarkan ke seluruh masyarakat. Saya fikir ada contoh yang bagus itu. Almarhum Nurcholish Madjid ketika berniat dicalonkan sebagai presiden melalui konvensi Partai Golkar 2004 membuat flatform bagi kepemimpinnanya apabila beliau terpilih. Beliau kemudian membuat penjelasan flatform dalam bentuk sebuah buku sebagai risalah singkat visi dan misinya. Saya tidak mengerti, mengapa visi-misi tersebut hanya diserahkan kepada KPU tetapi tidak diuapayakan dibagikan kepada seluruh masyarakat. Dengan kenyataan ini sekali lagi kita akan membeli kucing dalam karung.

“Maka, kata Radar Panca Dahana dalam sebuah kolom, hingga kini, manusia Indonesia pun tetap dalam paradoks klasiknya: intelektual tapi mistis, modern tapi tradisional, teknologis sekaligus klenik. Dan sisi spiritual/psikologis ini begitu keras gemanya hingga hari ini. Lebih berharap, misalnya, “munculnya pemimpin hebat” (bentuk lain dari “ratu adil”) ketimbang merancang atau menyiapkan infrastruktur bagi kemunculan itu.

Lebih senang menonton hiburan yang melenakan ketimbang membahas dan mencari solusi hidup yang kian rumit. Lebih berkhayal tentang “sukses yang gampang” (lotere, undian SMS, atau korupsi, misalnya) ketimbang “kerja yang keras dan susah”. Lebih suka bagi-bagi uang tunai trilyunan dibandingkan dengan menciptakan kesempatan kerja. Lalu, apa jadinya? Pada tingkatan yang kian ekstrem, psikologi penuh ilusi itu berujung lahirnya massa yang neurotis. Pada tahap berikutnya, gejala psikosis itu kian akut hingga ia kehilangan akal, kehilangan diri, frustrasi menghadapi masa kini. Dan pilihannya: bunuh diri.
Tetapi kita tidak berharap ada calon Presiden dan wakil presiden yang kehilangan akal, kehilangan diri, frustrasi apalagi bunuh diri apabila tidak terpilih. Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP