6/14/2009

Jangan Jaga Image Bila Ingin Disenangi Rakyat

Sesuai dengan sifatnya, pemilihan langsung yang kini sedang diberlakukan mensyaratkan adanya kebebasan untuk memilih dan dipilih. Rakyat bisa dengan bebas memilih kandidat siapapun yang disukainya. Sementara itu siapapun boleh mencalonkan dirinya untuk dipilih asal sudah memenuhi syarat yang telah ditetapkan.

Teorinya, rakyatlah yang menentukan. Karena itu sebuah adagium populer mengatakan, “vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan”. Demokrasi pun dikenal dengan asas dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Oleh karena itu model pemilihan secara langsung ini tidak dipakai oleh ordebaru. Alasannya tentu saja tidak sesuai dengan sistem politik yang digunakannya. Seperti diketahui rezim orde baru menggunakan cara-cara pemerintahan yang terkontrol yang berpusat pada Pak Harto. Dengan kata lain Pak Harto mendesain sistem politik dengan sentralisme yang kuat. Jargon demokrasi hanyalah dipakai sebagai penghalusan dari cara-cara pemerintahan yang otoriter.

Karena rakyat sudah tidak tahan dengan pemerintahan yang demikian sentralistis itu, reformasi pun bergulir. Kebetulan jalan untuk itu sudah terbuka lebar akibat borok rezim orde baru sudah kelihatan jelas yang ditandai dengan semakin tidak terkendalinya prilaku korupsi. Hal ini juga dipermudah dengan adanya krisis finasial beberapa negara asia termasuk Indonesia.

Krisis finansial tersebut selanjutnya melahirkan krisis ekonomi yang memperngaruhi seluruh bangunan ekonomi dan keseluruhan sistem kenegaran Indonesia. Faktor inipula yang melahirkan sebuah krisis politik dengan puncaknya pada berhentinya Presdien Soeharto. Inilah kemudian mengawali masa reformasi.

Salah satu agenda reformasi itu adalah amandemen undang-undang dasar 45 yang antara lain membatasi waktu kekuasaan presiden- wakil presiden dan pelaksanaan pemilihan secara langsung.

Bila pada masa orde baru hanya kepala desa yang memakai pemilihan secara langsung, kini cara tersebut seluruhnya telah digunakan untuk memilih eksekutif maupun legislatif. Akibatnya seperti telah disinggung diatas setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih.

Dampaknya telah kita saksikan bersama. Berbondong-bondonglah warga negara mencalonkan diri dalam setiap momentum pergantian kekuasaan seperti pilkada atau pilpres. Akibat banyaknya calon yang mempunyai beragam kepentingan itu, tidak jarang menimbulkan konflik kekerasan.

Karena rakyat yang menentukan “nasib”politik para calon, maka berbagai cara dilakukan agar rakyat mau memilihnya. Setiap calon menggunakan setiap peluang dan potensi yang dimilikinya. Termasuk juga menghitung hambatan dan tantangan yang dihadapi.

Gerilya politik kemudian dilakukan dengan selalu mendekati para pemilih. Permainan citra pun ditampilkan secara sempurna dihadapan konstituen oleh perusahan pencitraan. Jangan heran bila seorang calon yang dulunya tidak peka pada rakyat sekarang tiba-tiba sangat perhatian. Dulunya jarang mengunjungi orang miskin, sekarang sangat rajin. Dulunya tidak pernah menyapa TKI sekarang tiba-tiba menelpon. Dulunya tidak pernah mengunjungi pasar tradisional sekarang hampir tiap minggu.

Kandidat yang masih berkuasa yang mencalonkan diri kembali(incumbent) pada akhir kekuasaannya pasti mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis. BLT, walaupun berasal dari utang kembali diberikan sesaat sebelum pemilihan. Harga minyak juga diturunkan, walaupun penurunan itu lebih karena faktor penurunan harga minyak internasional, tetapi juga diklaim sebagai keberhasilan pemerintahannya.

Memang banyak hal yang bisa menguntungkan kandidat incumbent. Antara lain masih dikuasainya fasilitas negara. Incumbent sangat leluasa memainkan mesin birokrasi misalnya. Dia juga dengan mudah menggunakan intelijen negara. BUMN pun masih bisa dia paksa untuk menyediakan sejumlah dana bagi kepentingan segala ongkos politiknya.

Sosialisasi pun sudah dilakukan jauh hari dengan mudah karena melekatnya sebuah jabatan. Bahkan lembaga-lembaga yang mengurusi pemilu sudah dikuasai terlebih dahulu. Tidak heran apabila segala permasalahan pemilu-kisruh DPT, pelanggaran kampanye- kemudian tidak digubris. Semuanya diselesaikan dibawah meja.

Apakah kemudian, incumbent tidak bisa dikalahkan? Tentu saja bisa. Terbukti di sejumlah daerah banyak incumbent yang tersungkur. Karena itu barangkali kandidat calon presiden yang bukan incumbent ada baiknya belajar pada Gubernur,Bupati bahkan Kepala Desa yang terpilih yang mengalahkan incumbent. Siapa tau ada cara-cara jitu dan efektif yang belum dilaksanakan.

Mendengar arahan, kritik atapun teguran dari bawahan apalagi dari masyarakat kecil adalah tidak mengurangi kehormatan. Justru hal itu boleh jadi nilai plus bagi rakyat. Kecuali bila kandidat terlalu jaga image (jaim) hingga hanya seorang Butet Kertarajasa pun membuat pemimpin kita itu meram padam mukanya. Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP