5/11/2009

Oposisi : Sebuah Keniscayaan

Menjelang pemilihan presiden 2009 ini wacana oposisi tidak banyak disuarakan dibanding dengan koalisi. Hal ini dapat diduga akibat seluruh partai khususnya yang melewati Parlementary Threshold ingin berkuasa atau setidaknya ingin dekat dengan kekuasaan. Bisa dilihat misalnya kecenderungan Partai politik yang lebih banyak merapat ke Partai Demokrat dibanding dengan ke Partai Golkar atau PDIP. Bahkan Partai Golkar pun pada awalnya ingin berkoalisi dengan Partai Demokrat namun akibat ditolaknya JK oleh SBY terpaksa Golkar membangun kekuatan poltiknya sendiri. PDIP pun akhir-akhir ini mau mendekat ke Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu.

Proses politik kita itu khususnya bila dipandang dalam perspektif demokrasi yang meniscayakan adanya check and balances adalah tidak sehat. Gejalanya bisa dilihat dari kecenderungan lebih banyak Partai yang ingin berkoalisi dengan partai pemenang pemilu dari pada memainkan peran oposisi. Kalaupun ada, hanya dilakukan karena tidak berhasil menduduki jabatan di pemerintahan. Jadi kesannya hanya terpaksa, tidak direncanakan.

Pada hal oposisi yang baik harus direncanakan sehingga langkah-langkah politik yang dijalani menjadi sistematis. Selama ini timbul kesan terhadap partai yang memainkan peran oposisi hanya sekedar beda saja dengan pemerintahan. Sejatinya tidak demikian. Partai oposisi bukanlah lawan secara permanen tetapi ia merupakan mitra kritis bagi pemerintah yang berkuasa. Program yang pasti menguntungkan rakyat seharusnya diberikan dukungan juga atau setidaknya harus ada alternatif yang ditawarkan bila memang tidak sepakat dengan sebuah program. Jadi konsep pembanding harus ada.

Secara filosofis keharusan oposisi itu didasarkan pada kenyataan bahwa alam ini diciptakan Tuhan dalam keadaan seimbang. Tertib dan teraturnya alam ini karena adanya hukum keseimbangan itu. Apa jadinya suhu terus menerus panas atau dingin. Atau tidak ada perputaran planet-planet maka sudah dapat diduga akibatnya. Apabila keseimbangan itu terganggu dengan kecenderungan berat pada posisi tertentu maka alam ini juga pasti hancur karena tidak ada lagi yang mengontrol.

Pada aras politik secara universal diyakini adanya prinsip konstitusionalisme yang berintikan asas keutamaan hak rakyat, namun dalam praktik politik sering ditabrak oleh klaim mandatoris dan mayoritarianisme rezim penguasa yang gemar mengangkangi rakyatnya sendiri. Dalam konteks itu, oposisi hadir berdasar paham falibilismenya, bahwa mandat politik itu tidak identik dengan penyerahan kedaulatan, dan kekuasaan yang menjalankannya mengandung korupsi permanen dalam dirinya (Rocky Gerung, 2001).

Pengalaman kita pada masa orde baru membuktikan konstatasi di atas. Parlemen dan pemerintahan pada saat itu dikuasai oleh seorang aktor maka peran-peran kritis oleh sejumlah elemen masyarakat selalu dibungkam. Yang terjadi kemudian adalah berkembangnya kekuasaan yang otoriter. Akibatnya kekuasaan pada saat itu hanya menguntungkan para penguasa pemerintahan. Hal ini tentu merugikan dari segi partisipasi politik rakyat.

Dengan demikian opisisi itu harus menjadi keharusan. Pertama, segala kebijakan pemerintahan yang berlindung pada klaim legitimasi rakyat musti harus di periksa kembali. Harus ada audit. Semua kebijakan tidak boleh langsung diterima agar terbangun sebuah legitimasi yang kongkrit dari rakyat. Karena itu diperlukan dukungan kelompok masyarakat aktif, menjadi agen kritis, yang akan mengontrol dan memberi alternatif atas segenap langkah pemerintah terpilih.
Kedua, oposisi disini bermakna sebagai oposisi loyal. Artinya oposisi tidak dibentuk secara otomatis terdiri dari blok semua partai yang kalah tetapi sebagai desain politik yang sadar beberapa partai reformis yang berkekuatan cukup.

Ketiga, dalam upaya mengakhiri transisi demokrasi, bahwa seluruh aktivitas politik dan penyelesaian konflik politik diselesaikan dalam mekanisme kelembagaan di parlemen. Tidaklah berarti peran aktor sosial berhenti tetapi malahan harus terus diperkuat sebagai kekuatan masyarakat madani. Tetapi ujung dari setiap ide altenatif terhadap segala kebijakan pemerintah pada akhirnya ada di parlemen dengan oposisi sebagai aktor utamanya. Wallahu A’lam

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP