7/14/2009

Golkar sebaiknya bagaimana?

Dua hajatan politik nasional tahun ini, Partai Golkar gagal. Pada Pemilu legislatif, posisi Partai Golkar hanya di peringkat dua dibawah Partai Demokrat dengan beda prosentase kekalahan yang besar (6%). Sementara pada Pilpres, calon yang diusungnya kalah telak, hanya menduduki posisi tiga dengan perolehan suara 11-12% (Hasil Quick Count).

Dengan posisi itu, kini Partai Golkar bingung menentukan sikap, apakah opisisi ataukah berusaha untuk masuk lagi pada pemerintahan? Ketua DPD Partai Golkar Yogyakarta ,Sultan Hamengku Buwono, menyarankan Partai Golkar sebaiknya beroposisi. Kader lain Yuddy Chrisnandy atau Muladi mengatakan Partai Gokar tidak punya tradisi oposisi.

Tarik menarik menarik dua posisi ini akan menarik untuk disimak ke depan. Tampaknya yang menentukan ke depan mau kemana Partai yang telah memiliki Paradigma Baru ini adalah Musyawarah Nasional (Munas) yang di jadwalkan Oktober.

Tapi ada juga pihak yang menyarakankan bahwa Munas sebenarnya harus dipercepat. Pendapat ini disuarakan oleh mantan Ketua Umum Akbar Tandjung dan Fadel Muhammad. Ketua Umum Jusuf Kalla sendiri pernah menyatakan bahwa bila tidak terpilih sebagai Presiden ia setuju akan diadakan Munas dipercepat.

Kandidat kuat yang akan memperebutkan poisisi ketua umum sudah dilansir ke publik. Sampai saat ini dua nama yang mengkristal yaitu Abu Risal Bakrie dan Surya Paloh.

Nah, bagaimana sebaiknya Partai Golkar memposisikan dirinya dalam konstalasi politik nasional saat ini? Apakah beropisisi atau kembali memperkuat pemerintahan terpilih?

Masing-masing kubu punya argumentasi. Bagi yang setuju beroposisi mengatakan bahwa, pilihan opisisilah yang paling realistis. Hal ini sebagai konsekuensi dari kekalahan pada pilpres. Sementara kubu yang senang dengan pemerintah mengatakan bahwa yang paling baik adalah ikut bersama dengan pemerintah karena Partai Golkar tidak punya tradisi oposisi di pemerintahan.

Bagi elit Partai Golkar memang serba susah memposisikan Partai Golkar ditengah konstelasi politik nasional paska pilpres ini. Semua serba dilematis. Bila Golkar oposisi, maka siap-siaplah para elitnya “menderita". Menderita karena beroposisi memang hal baru bagi partai Golkar.

Dalam sejarahnya Partai Golkar selalu ikut pemerintahan termasuk pada masa reformasi ini. Karena itu bagi elit yang tidak terbiasa berpisah dengan "induk semangya" pemerintah tentulah hal ini terasa sulit. Apalagi kalau para elit itu masih punya kepentingan yang besar pada pemerintah.

Dilain pihak, ikut bersama dengan pemerintah pasti menimbulkan resistensi yang kuat bagi rakyat. Rakyat akan menilai bahwa Partai Golkar memang tidak punya komitmen ideologis. Yang dibangun adalah kepentingan pragmatis yang berjangka pendek. Mungkin juga akan dicap sebagai Partai oportunis.

Bagi saya, posisi sebagai oposisi adalah hal yang ideal. Karena dengan beroposisi Partai Golkar akan mendapat pelajaran politik baru. Sebagai Partai yang telah memiliki paradigma baru tidak ada alasan untuk menolak pilihan sebagai oposisi.

Kalau tidak bisa oposisi berarti Partai Golkar belum sepenuhnya menjalankan paradigma barunya yang selalu tergantung atau menggantungkan diri pada pemerintah.

Dalam munas yang akan datang harus ada pembaharuan secara menyeluruh. Paradigma baru harus dibicarakan lagi implementasinya. Begitu juga pola perkaderan, regenerasi, dan langkah-langkah politik harus dibicarakan secara cermat dan mendetail.

Kesungguhan para para kader dari struktur yang paling atas sampai bawah juga sangat menentukan. Hanya dengan begitulah Partai Golkar akan kembali diperhitungkan.

Nah, siapa figur yang ideal menahkodai Partai Golkar ke depan? Para peserta Munaslah yang menentukan. Wallahu A’lam.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP