3/03/2008

Revolusi dan Pilpres 2009

Tidak terlalu penting apakah presiden Indonesia tahun 2009 adalah militer atau bukan. Yang lebih penting adalah kemampuan dia memberikan perubahan-perubahan yang significant pada bangsa. Dia harus mampu membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Itu idealnya.

Masalahnya adalah apakah suprastruktur dan infrastruktur politik kita mendukung bagi terpilihnya orang yang ideal itu? Sepertinya untuk kondisi saat ini belum siap atau dengan sengaja tidak disiapkan.

Masih terlalu banyak hambatan dan tantangan bagi terbentuknya sebuah tatanan yang ideal. Pertama, keputusan-keputusan politik yang dihasilkan oleh DPR masih kentara dengan permainan kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Hal itu tercermin pada undang-undang pemilu yang baru selesai itu. Kedua, secara umum tingkat rasionalitas politik kita masih jauh dari ideal. Rakyat kebanyakan memilih tidak melihat rekam jejak (track record) seseorang.

Rakyat umumnya terjebak pada permainan citra dan politik uang. Ketiga, orang-orang yang terbaik yang pantas untuk menduduki jabatan tertentu biasanya tidak diberi kesempatan atau memang jarang ada yang mau. Misalnya, Nurcholish Madjid ketika besedia ikut dalam konvensi Partai Gokar belum apa-apa sudah dimintai bukan hanya visi tapi yang lebih penting adalah "gizi". Makanya dia mengundurkan diri.
Karena itu memperbaiki bangsa Indonesia ini memang harus butuh kesabaran dan waktu yang relatif panjang. Hal ini karena mentalitas yang sudah terbangun bagi sebagian kalangan politisi kita adalah mentalitas korup. Kalau begitu bagaimana mengakhiri semua ini mengingat ekspektasi rakyat yang sangat besar terhadap perubahan? Apakah perlu sebuah revolusi?

Revolusi memang perlu. Tetapi revolusi bukan dalam artian melakukan tindakan perebutan kekuasaan yang berdarah-darah. Revolusi harus lebih mengarah pada revolusi sistem dan revolusi budaya. Dan kita sudah memilih sistem demokrasi sebagai sebuah pilihan karena diyakini demokrasi sampai saat ini merupakan sistem yang terbaik dari segala sistem yang ada. Namun demokrasi pun pada prakteknya kembali mengecewakan sebagian orang. Maka memperbaiki praktek demokrasi ini harus pula menjadi agenda besar. Programnya adalah bagaimana mendemokrasikan demokrasi (Antony Gidden).

Namun terhadap sistem budaya sepertinya masih dalam pencarian secara terus menerus. Dulu ada polemik kebudayaan antara sutan takdir Alisyahbana dengan Kihajar Dewantoro. Menurut STA Indonesia harus menerima konsep-konsep budaya dari Barat. Sementara Ki hajar Dewantara berprinsip kebudayaan Indonesia harus lahir dari bangsa Indonesia sendiri.

Terhadap hal ini pokok masalahnya berkaitan dengan masalah perkembangan dan kemajuan. Ke-Indonesiaan kita masih terus berproses. Tetapi satu hal yang tidak bisa di tolak adalah modernisme. Tampaknya titik temu semua kepentingan manusia dalam abad ini adalah penerimaan nilai-nilai modernisme tadi. Modernisme adalah cara berfikir baru, dinamis, progseif dan selalu aktual.

Jadi tampaknya menyelesaikan masalah Indonesia tidak cukup dengan mengganti presiden walaupun yang terpilih justru sangat bagus. Problem Indonesia adalah sangat mendasar yang melibatkan banyak sekali faktor.

Namun demikian, bila nanti terpilih presiden yang benevolent strong man (istilah dari Nurcholish Madjid) harus menjadi kesyukuran kita. Artinya dengan hal itu mudah-mudahan dia bisa memimpin Indonesia untuk mencapai cita-cita seluruh masyarakat yang ingin adil makmur yang diridhoi Tuhan Maha Esa.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP