Efektivitas Tobat Nasional
Bencana yang terjadi secara beruntun menimpa Indonesia menyadarkan para pemimpinnya untuk melakukan tobat bersama. Itulah yang kemudian dilakukan oleh Presiden SBY dan Wapres Yusuf Kalla bersama jajaran mentri beberapa hari yang lalu di Masjid Istiqlal Jakarta.. Bahkan tobat ini diserukan oleh Mentri Agama untuk dilakukan di seluruh Indonesia yang difasilitasi oleh jajaran Departemen Agama.
Apa sebenarnya Tobat itu?Tobat biasanya dilakukan oleh manusia tatkala menyadari prilakunya yang banyak salah dan dosa di masa lalu. Karena itu pada umunya tobat dilukukan setelah sebuah peristiwa terjadi. Namun demikian orientasi tobat haruslah masa depan yang berarti tidak lagi melakukan kesalahan yang sama pada masa yang akan datang.
Menurut Ignas Kleden (Kompas, 13 Maret 2007), apabila seseorang melakukan kesalahan, dan kesalahan itu cukup besar, maka dalam kesadaran orang bersangkutan muncul sekurangnya tiga reaksi kejiwaan terhadap perbuatannya. Pada tingkat pertama, orang itu akan merasa kocar-kacir batinnya, kehilangan keseimbangan, dan menderita disharmoni yang membuat dia merasa hidupnya sia-sia. Pada tahap berikut, disharmoni itu akan membawa orang kepada sesal, yaitu semacam harapan bahwa apa yang sudah terjadi hendaknya tidak terjadi, dan jangan terjadi. Meski demikian, tulis Ignas Kleden, sebagai perilaku, sesal masih berorientasi ke masa lampau, yaitu ke kejahatan atau kesalahan yang telah dilakukan, yang diharapkan jangan terjadi (meski sudah terjadi).
Mungkin karena banyaknya dosa dan kesalahan itulah sehingga Indonesia kian terpuruk saat ini. Sebuah fakta menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang dalam posisi yang kian menderita akibat bencana yang terjadi secara beruntun tersebut. Tak heran seorang novelis bernama Andre Vitchek yang dikutip oleh Azyumardy Azra menulis, Indonesia kini sudah menggantikan Banglades dan India sebagai negara yang paling rentan di dunia dalam hal bencana alam yang memakan begitu banyak korban manusia. Menurut dia, Indonesia kini menjadi "ladang pembantaian massal" karena sejak bencana tsunami di Aceh pada Desember 2004, Indonesia telah kehilangan lebih dari 200.000 warganya dalam berbagai bencana alam; angka ini belum termasuk mereka yang tewas di jalan raya dan konflik komunal, seperti di Poso. Dengan angka sebesar itu, korban bencana di Indonesia dalam waktu tiga tahun terakhir lebih banyak daripada mereka yang tewas selama Perang Irak, atau perang saudara di Sri Lanka, atau di Peru. (Kompas, 13 Maret 2007).
Kita mengerti bahwa bencana ada yang disebabkan oleh alam akibat dari kesalahan amanusia juga dan ada bencana yang disebabkan oleh murni kesalahan manusia. Tsunami Aceh adalah bencana disebabkan alam yang tidak mungkin dicegah, tetapi masyarakat yang menjadi korbannya misalnya belum mendapatkan rumah tempat tinggal adalah bencana yang disebabkan manusia. Begitupun pesawat yang jatuh karena faktor alam juga tidak mungkin dicegah, tetapi pesawat jatuh karena tidak mematuhi aturan-aturan penerbangan adalah bencana yang bisa dicegah , dll. Ringkasnya bencana dapat terjadi karena faktor alam dan faktor kesalahan tekhnis manusia.
Disinilah menariknya. Alih-laih tuntas menyelesaikan menemukan penyebab hingga solusi teknis, rentetan bencana tersebut hendak dicari penyelesaiannya secara ekstalogis dengan melakukan pertobatan. Pertanyaannya adalah seberapa efektifkah cara tersebut untuk mengurangi bahkan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di masa depan terutama bagi para elite pembuat kebijakan publik? Bagi Azyumardi Azra hal itu tidak terlalu efektif karena ritual semacam tobat nasional, Istighosa, Zikir massal, ruwatan hanya dapat mendatangkan ketenangan psikologis sesaat; karena agama tidaklah memberikan solusi instan terhadap berbagai masalah yang secara aktual dihadapi manusia. Menurutnya yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan asa yang tidak ilusif dengan upaya dan ikhtiar yang terencana, dan terpadu, yang dijalankan dalam semangat dan etik disiplin nasional baik oleh pemimpin, masyarakat, maupun individu. Pihak paling bertanggung jawab dalam hal ini tentu saja adalah pemerintah yang berkewajiban melindungi warga negara untuk tidak terus menjadi korban bencana yang semestinya bisa dihindari atau dikurangi, jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Karena itu, sudah saatnya elite pemerintah dan politik meninggalkan retorika politik yang penuh basa-basi, dan sebaliknya mengambil langkah dan kebijakan lebih desisif dan afirmatif.
Justru disitulah masalahnya, elite pemerintah dan politik kurang serius untuk mengambil tindakan-tindakan yang kongkret dalam usaha perbaikan kualitas kinerjanya. Lihatlah misalnya kinerja birokrasi. Bila diadakan pengamatan secara sederhana pun pasti ditemukan setumpuk bukti empiris tentang minimnya pelayanan birokraksi kita. Hal-hal yang seharusnya dapat diselesaikan satu hari menjadi berhari-hari karena kebanyakan birokrasi kita tidak disiplin dalam menjalankan tugas. Dapat dipastikan juga bahwa bagi orang yang pernah berurusan dengan birokrasi pasti pernah mengalami hal-hal yang tidak efisien. Keadaan ini merata disemua pelayanan publik. Pada perusahaan milik negara pun ditemukan hal yang sama. Sekedar menyebutkan beberapa contoh, Bulog tidak mampu menurunkan atau menstabilkan harga beras. Bahkan harga beras semakin melambung walaupun opersi pasar telah gencar dilakukan. Banyak rakyat kemudian kelaparan akibat tidak mampu membeli beras. PLN tidak mampu menyediakan listrik secara memadai karena diduga para pejabatnya banyak korupsi. Perusahaan penerbangan ditemukan berbagai kelemahan yang disebabkan oleh berbagai faktor, sehingga Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sudah memvonis bahwa tidak aman untuk bepergian dengan pesawat udara di Indonesia.
Dengan demikian maka pertobatan secara ekskatologis tersebut harus disertai dengan pertobatan secara politik. Salah satu wujudnya adalah para pejabat yang bertanggung jawab atas berbagai musibah yang disebabkan oleh kesalahan kebijakan hendaknya mengundurkan diri secara sukarela. Jika pertobatan kolektif dapat dimaknai sebagai pengungkapan secara jujur adanya kesalahan maka penguduran diri sebenarnya merupakan keniscayaan. Pengunduran diri adalah bentuk tobat yang paling kongkrit akibat terjadinya kesalahan. Dengan mengundurkan diri dari suatu jabatan maka tidak peluang lagi untuk melakukan kesalahan yang sama dikemudian hari.Dengan kata lain mengundurkan diri adalah cara untuk menghindari kesalahan serupa pada orang sama. Kebijakan pastilah beroientasi pada keselamatan manusia dan alam., yang berarti kesalahan kebijakan adalah dosa kemanusiaan sekaligus juga dosa kosmis. Mengundurkan diri secara gentel dapat dipandang sebagai sarana menghindari dari dosa dan kesalahan yang sama pada publik. Ini semata agar hukuman atau bencana kemanusiaan akibat dari kesalahan kebijakan dapat diminimalkan. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Post a Comment