Mengenang Nurcholish Madjid
Selasa, 30 Agustus 2005, Radar Sulteng
Sampai dengan artikel ini ditulis ada sekitar 15 sms yang mengabarkan kepada saya bahwa cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid wafat. Berita ini tentu saja mengagetkan karena satu hari sebelum wafatnya beliau kondisi kesehatannya dikabarkan membaik (Radar Sulteng Minggu, 28 Agustus 2005). Tapi takdir Allah berkendak lain. Beliau meninggal hari Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.00 di rumah sakit pondok Indah Jakarta.
Sampai dengan artikel ini ditulis ada sekitar 15 sms yang mengabarkan kepada saya bahwa cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid wafat. Berita ini tentu saja mengagetkan karena satu hari sebelum wafatnya beliau kondisi kesehatannya dikabarkan membaik (Radar Sulteng Minggu, 28 Agustus 2005). Tapi takdir Allah berkendak lain. Beliau meninggal hari Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.00 di rumah sakit pondok Indah Jakarta.
Banyak sekali yang dapat dikemukakan tentang kiprah mantan Ketua Umum PB HMI dua priode ini. Namun saya hanya ingin mengenang beliau dalam konteks komitmen kepemimpinan.
Seperti diketahui masih banyak permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Tapi bukan berarti pemerintah kita tinggal diam. Hanya saja masih dipertanyakan kesungguhan komitmen bagi para elit kita dalam menangani setiap permasalahan bangsa.
Inilah yang kemudian membuat cendekiawaan muslim Nurcholish Madjid menggelar suatu acara yang dimaksudkan untuk menagih komitmen dari para pemimpin bangsa tersebut beberapa waktu yang lalu.
Nurcholish Madjid sering mengulang pernyaataan Mantan Presiden Soekarno yang sedikit direvisinya yaitu, Zamen Bundeling Van Alle Krachten Van De Natie, Menyatukan Tekad bersama untuk membangun bangsa. Dengan kata lain diperlukan kesungguhan komitmen dari semua elemen bangsa untuk secara sadar dan ikhlas melaksanakan amanat rakyat.
Memang selama enam puluh tahun merdeka bangsa kita telah melaksanakan proses pembangunan. Bila diklasifikasi pada berbagai sektor mungkin saja pemerintah mengklaim adanya keberhasilan. Tetapi secara umum rakyat yang silent majority akan berpretensi mengatakan gagal.
Khusus bila kita bandingkan dengan negara tetangga yang memulai proses pembangunannya waktunya relatif sama dengan kita, rakyat akan semakin cemburu. Mengapa Malaysia yang belakangan merdeka justru lebih maju. mengapa Jepang yang hancur lebur dijatuhi bom atom tahun empat puluh lima sudah memasuki apa yang disebut Rostow sebagai High Mass Consumption? Jawaban standar atas berbagai kegagalan tersebut disimpulkan sebagai kegagalan penataan sistem dan sebab-sebab kultural. Analisis yang lebih jauh tentang hal ini tidak mungkin di sini karena keterbatasan tempat.
Yang ingin ditegaskan adalah bila kita ingin lebih baik di masa depan kita harus memperbaharui komitmen kebangsaan kita. Komitmen kita untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat pembangunan.
Komitmen itu harus dimulai dari para pemimpin bangsa. Menurut Nurcholish Madjid (1999) ungkapan Jawa yang kini menjadi salah satu adagium politik kita, ing ngarso sung Tulodo (di depan memberi teladan depan) tidak hanya benar sebagai petunjuk apa yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin, tetapi justru lebih benar lagi karena ia menggambarkan kenyataan sosial apa yang menjadi akibat dari peranan kepemimpinan. Yakni, ungkapan itu menunjukkan bahwa para pemimpin, mau atau tidak mau akan berperan sebagi teladan untuk yang dipimpin, baik maupun buruk.
Walupun demikian kita harus tetap mengawal para pemimpin tersebut. Sebab bagaimanapun iklim klimatologis birokrasi Indonesia masih dalam lumpur pragmatisme yang korup, inefisien dst.
Pengalaman seorang birokrat (Anharudin, 96) menunjukkan begitu seorang memasuki dunia atau tatanan birokrasi, maka ia mau tidak mau harus hanyut dan tenggelam dalam logika dan cara berfikir yang pragmatik. Bahkan pragmatisme itu kalau perlu dibarengi dengan pengorbanan nilai-nilai moral dan integritas pribadi.
Dalam konteks itu peran cendekiawaan seperti yang dicontohkan Cak Nur mutlak dilakukan. Kita harus terus menerus mendorong agar semua janji dan komitmen dari pemerintah harus segera dilaksanakan. Tanpa daya dorong yang sangat keras dari seluruh elemen bangsa birokrasi pemerintah tidak mungkin melasanakan tugasnya dengan penuh kesungguhan.
Kini cendikiawan yang menurut DR. Salim Said paling berpengaruh di Indonesia tersebut telah meninggalkan kita semua. Pesan beliau yang terakhir kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar bisa mengurus bangsa ini dengan baik. Kepadanya kita haturkan doa, semoga amal ibadahnya dapat diterima oleh Allah SWT.
0 komentar:
Post a Comment