Rapimda Partai Golkar akan digelar dalam waktu dekat ini. Agenda Rapimda yang paling ditunggu oleh publik Sulawesi Tengah adalah penetapan pasangan/wakil Aminuddin Ponulele sebagai calon gubernur Sulawesi Tengah priode 2006-2011. Agenda ini memang strategis untuk dibicarakan karena sangat significant mempengaruhi pilihan pemilih pada pasangan yang dimaksud. Untuk sampai pada penetapan pada figur tertentu kita harus memberikan analisis terhadap pilkada yang telah berlangsung di daerah lain di Indonesia.
Rapimda Partai Golkar akan digelar dalam waktu dekat ini. Agenda Rapimda yang paling ditunggu oleh publik Sulawesi Tengah adalah penetapan pasangan/wakil Aminuddin Ponulele sebagai calon gubernur Sulawesi Tengah priode 2006-2011. Agenda ini memang strategis untuk dibicarakan karena sangat significant mempengaruhi pilihan pemilih pada pasangan yang dimaksud. Untuk sampai pada penetapan pada figur tertentu kita harus memberikan analisis terhadap pilkada yang telah berlangsung di daerah lain di Indonesia.
Ada beberapa fenomena yang perlu kita cermati dalam pilkada yang telah dilaksanakan di beberapa daerah. Berdasarkan suatu analisis yang dilakukan oleh Harian Media Indonesia dalam beberapa kali terbitan, fenomena tersebut dirangkum sebagai berikut:
Pertama, terjadinya anomali politik Artinya figur yang menang bukan yang dicalonkan oleh partai politik yang menang pada pemilu legislatif di daerah itu. Fenomena itu terjadi di beberapa daerah, antara lain Provinsi Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Kabupaten Belitung Timur, Ponorogo, dan Karangasem. Di Provinsi Sumatra Barat, pemilihan gubernur dan wakilnya dimenangkan Gamawan Fauzi dan Marlis Rahman. Pasangan ini dicalonkan PDI Perjuangan dan PBB yang pada pemilu legislatif hanya mendapat 3,7% dan 5,8% suara, sangat jauh di bawah perolehan suara Partai Golkar yang meraup suara hingga 28,7%.
Sedangkan di Provinsi Sulawesi Utara, pemilihan gubernur dimenangkan Sinyo Harry Sarundayang yang berpasangan dengan Freddy Harry Saualang. Keduanya dicalonkan PDI Perjuangan yang pada pemilu legislatif berada di tempat kedua dengan perolehan suara 16,2%, jauh di bawah Partai Golkar yang meraih 32,3%.
Pertanyaannya sekarang, mengapa terjadi fenomena tersebut? Bukankah partai pemenang pemilu memiliki pendukung lebih banyak dan mesin partai lebih besar sehingga selayaknya jika calon dari partai unggul itulah yang menang di pilkada? Bagaimana bisa calon dari partai unggul itu dikalahkan calon lain dari partai yang bukan unggulan?
Untuk menjawabnya, kita perlu menengok pada dua pandangan yang sering digunakan dan diperdebatkan dalam menganalisis dan memprediksi perilaku pemilih, yaitu pandangan yang mengutamakan peran partai politik dan aliran yang mengutamakan figur kandidat.
Dalam kondisi politik normal dan stabil, terutama di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, keduanya berjalan sejajar dan dianggap sama pentingnya dalam memengaruhi keputusan pemilih. Akan tetapi, dalam kondisi politik yang masih labil dan relatif baru menerapkan sistem demokrasi, kedua aliran tersebut sering diadu untuk membuktikan kekuatan masing-masing.
Studi-studi awal tentang perilaku memilih menunjukkan partai politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam memenangkan seorang kandidat. Alasannya, karena partai yang telah berdiri sejak lama mampu menumbuhkan sikap partisan di tengah masyarakat. Para penganut pandangan ini percaya kandidat yang dicalonkan partai besar akan cenderung lebih banyak dipilih karena 'embel-embel' kepartaiannya
Para penganut pandangan ini juga percaya pengambilan keputusan politik yang dilakukan pemilih dipengaruhi sosialisasi sejak awal kehidupannya yang ditularkan orang tua dan lingkungan mereka. Para penganut pandangan ini juga yakin dalam mengambil keputusan untuk memilih seorang calon, para pemilih cenderung untuk melakukan mekanisme heuristic (baca: sekenanya) sehingga seorang pemilih tidak akan repot-repot mengevaluasi figur dan program kandidat, cukup hanya mengasosiasikannya dengan partai tertentu yang ia dukung.
Sedangkan studi-studi terbaru dalam perilaku memilih menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Partai politik tidak memberi jaminan seorang kandidat akan lebih banyak dipilih masyarakat pemilih. Evaluasi terhadap figur kandidat terbukti lebih berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemilih. Pandangan ini menempatkan pemilih sebagai makhluk rasional.
Sebagai makhluk rasional, pemilih memiliki tujuan dalam tindakannya. Dalam konteks pemilihan, tindakan memilih bertujuan agar tercapai kemakmuran bersama. Agar tercapai kemakmuran bersama, dibutuhkan pemimpin yang telah terbukti memiliki kapabilitas dan kredibilitas tinggi. Oleh karena itu, figur kandidat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan seorang pemilih.
Kenyataan tersebut seakan menyadarkan para politikus partai untuk menghilangkan arogansi mereka. Mesin partai saja ternyata tidak cukup untuk memenangkan seorang calon. Kapasitas intelektual, kepribadian, dan karya nyata sang calonlah yang sekarang menjadi pertimbangan utama para pemilih.Artinya, kualitas dan performa individu berada di urutan pertama dan kedua, di atas afiliasi dengan partai. Ini menandakan partai mulai meninggalkan arogansinya dan mulai memikirkan opini masyarakat.
Hasil pilkada di beberapa daerah hingga bulan Juni pun membuktikan kecenderungan sosok kandidat berpengaruh lebih besar daripada mesin partai di daerah. Ambil contoh ekstrem Provinsi Sumatra Barat seperti yang telah ditulis di atas. Masyarakat Sumatra Barat mengenal Gamawan Fauzi sebagai pejabat yang bersih dan sosok yang tegas dalam memberantas korupsi.
Kecenderungan perilaku pemilih Indonesia yang mulai mempertimbangkan figur kandidat adalah satu tahap maju dalam partisipasi politik. Dalam tahap selanjutnya kelak, pemilih juga akan mempertimbangkan program-program kandidat.
Hal ini menunjukkan perubahan paradigma oleh partai politik sekarang mutlak dilakukan. Partai politik sekarang dipaksa untuk membenahi diri agar tidak ditinggalkan pemilihnya. Perubahan sistem pemilihan menjadi pemilihan langsung menempatkan pemilih sebagai penentu.
Suara seorang pemilih sangat berarti dalam pemilihan langsung, karena itu partai perlu dengan seksama memperhitungkan kecenderungan opini publik sebelum mengajukan calonnya. Tak peduli seberapa baik seorang kandidat di mata partai, jika ia tidak memiliki kualitas dan performa yang diakui masyarakat, ia tidak akan dipilih.
Jika ditarik ke tataran kebijakan dan garis perjuangan partai, sekarang partai politik wajib membumi. Partai dan fungsionarisnya yang duduk di jajaran legislatif dan eksekutif harus mampu membuktikan, mereka memang layak dipilih, baik karena kualitas dan performa orang-orangnya maupun karena program-programnya. Suatu proses pendewasaan yang memerlukan waktu dan kerja keras namun tidak mustahil dilakukan demi tercapainya demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.
Kedua, PiIkada Juni 2005 telah mencairkan sekat-sekat ideologi partai politik. Sayap Islam 'menikah' dengan sayap nasionalis. Hanya saja tidak ada koalisi PDS dengan PKS.
Pilkada putaran pertama Juni 2005 diwarnai berbagai koalisi antarpartai politik. Ada cukup informasi bahwa banyak koalisi antarpartai dalam proses pencalonan pasangan calon kepala daerah selama pilkada Juni 2005 lalu bersifat cair.
Implikasi dari itu, ini yang lebih menarik. Sedikitnya di 51 daerah yang menggelar pilkada, koalisi partai-partai terbentuk dari partai-partai berasal dari latar belakang ideologis yang berbeda, misalnya antara partai berasas Islam dan partai nasionalis sekuler. Untuk mudahnya kita sebut saja sebagai 'koalisi pelangi'.
Bahasan mengenai pola koalisi antarpartai politik menjadi penting dalam konteks mencermati fungsi partai politik sebagai mesin politik untuk memenangkan pemilihan umum. Partai politik selama ini dipahami sebagai sumber daya politik yang dipandang mampu memobilisasi dukungan para pemilih untuk mendukung partai atau figur tertentu.
Secara teoretis dan juga praktis, partai politik diyakini menjadi salah satu faktor yang banyak memengaruhi pilihan politik individu. Semakin kuat ikatan seseorang dengan partai politik tertentu, semakin kuat pula kecenderungannya untuk mendukung setiap keputusan politik yang dibuat partai politik tersebut, termasuk keputusan untuk mencalonkan seseorang sebagai kepala daerah.
Kecenderungan perilaku pemilih terekam dalam survei exit poll LP3ES pada pemilu legislatif yang menyebutkan, ada kecenderungan menguatnya perolehan suara PKS lebih banyak disumbang oleh beralihnya sebagian pemilih PPP dan PAN, dua partai yang berbasis pada pemilih Islam. Dalam survei tersebut juga terlihat indikasi, prestasi perolehan suara yang dicapai Partai Demokrat adalah karena banyak konstituen PDIP yang mengalihkan dukungan kepada partai pendatang baru tersebut.
Pada pilkada putaran pertama Juni 2005 di berbagai daerah, fenomena politik aliran bisa dikatakan semakin luntur. Salah satunya dicirikan oleh pola-pola koalisi yang terbentuk, yang terbangun bukan atas kesamaan ideologis tertentu, namun lebih pada alasan-alasan yang lebih bersifat pragmatis.
Koalisi yang terbentuk akhirnya menjadi lebih bersifat 'cair', tanpa direkat oleh kepentingan ideologis tertentu. Koalisi terbentuk karena kepentingan jangka pendek, yaitu menggalang dukungan partai-partai agar memenuhi target minimal 15 persen suara sehingga dapat menjagokan pasangan kandidatnya tersendiri.
Di berbagai daerah pemilihan, kita akan mudah menemukan koalisi 'pelangi' seperti itu banyak terjadi pada koalisi partai-partai gurem yang bergabung dengan partai-partai lain yang belum mencapai 15 persen suara pada pemilu legislatif. Sedangkan pada partai-partai peraih suara signifikan, seperti Golkar, PDIP, dan juga PKB, PKS dan PPP di daerah tertentu lebih memilih tidak berkoalisi dengan partai lain. Mungkin agar bisa lebih leluasa menentukan pasangan kandidat yang dimajukannya.
Dalam studi perilaku pemilih, ada model sosiologis yang dikembangkan dari asumsi dasar bahwa perilaku memilih ditentukan karakteristik sosial para pemilih, misalnya etnik, daerah, atau orientasi keagamaan tertentu. Seseorang akan memilih partai atau figur tertentu karena ada kesamaan karakteristik sosial tersebut antara si pemilih dan karakteristik sosial partai atau figur tersebut. Karena itu, dalam pilkada partai-partai beraliran politik tertentu yang bergabung dalam koalisi 'pelangi' akan sulit mengusung isu-isu spesifik yang beraroma ideologis untuk 'dijual' kepada publik, karena sifat koalisi yang cenderung plural sementara figur kandidat yang dimajukan tidak mungkin diasosiasikan dengan salah satu partai pendukungnya saja.
Ketiga, incumbent lebih diuntungkan. Satu hal yang menarik dari pilkada adalah fenomena para incumbent yang ikut bersaing memperebutkan suara agar dapat kembali menduduki kursi jabatannya. Buktinya beberapa mereka sudah dipastikan terpilih kembali menduduki jabatan tersebut, seperti Bupati Kutai Kartanegara Syaukani, Wali Kota Medan Abdillah, Bupati Kebumen Rustriningsih dan juga pejabat Bupati Balangan di Kalsel Seffek Effendie. Di Sulawesi Tengah, bupati Tojo Una-Una Damsik Pajalani dan Bupati Toli-Toli Ma’ruf Bantilan juga terpilih kembali.
Menurut pandangan para pesaing baru, mungkin isu 'perubahan' dipandang akan laku dijual ke publik sebagai senjata ampuh bersaing dengan tokoh incumbent yang menjadi 'juara bertahan' ini.
Bagi para incumbent, sebenarnya mesin politik melalui partai-partai politik tidak menjadi perangkat utama pemenangan pemilu. Karena selain melalui jaringan partai politik, kandidat incumbent masih memiliki sederet perangkat lain yang bisa diberdayakan untuk mengampanyekan dirinya. Justru jika terlalu dekat dengan salah satu partai politik atau lekat dengan identitas partai tertentu, akan cenderung merugikan citra mereka. Karena sebelumnya mereka sudah dikenal sebagai pejabat publik yang melayani semua lapisan masyarakat, bukan hanya satu golongan masyarakat tertentu saja, bagi seorang figur incumbent, partai politik bukan menjadi kekuatan utama untuk mengangkat popularitasnya.
Dari sejumlah pilkada yang diikuti para incumbent, sedikitnya ada dua kasus menarik yang terekam dalam survei yang bisa disebutkan yaitu pilkada di Kota Medan, Sumut dan di Kabupaten Balangan, Kalsel. Medan adalah kota metropolitan, sedangkan Balangan adalah kabupaten yang hampir seluruhnya merupakan daerah pedesaan.
Survei yang dilakukan Institut Survei Perilaku Politik (ISPP) di kedua daerah tersebut menjelang masa kampanye pilkada memperlihatkan, pasangan incumbent mendapatkan posisi yang lebih menguntungkan daripada lawan-lawannya. Figur Seffek di Balangan dan Abdillah di Medan sudah jauh lebih unggul popularitasnya sejak sebelum kampanye digelar. Di kalangan pemilih di Kabupaten Balangan, Seffek sudah jauh lebih populer dikenal sebagai pejabat Bupati Balangan, jauh melampaui ketiga figur lainnya yang hanya sebagai kepala dinas di berbagai instansi daerah.
Penjelasannya tidak hanya berhenti di situ saja. Preferensi politik dalam memilih figur seorang kandidat dalam pilkada juga dipengaruhi bagaimana kinerja figur yang bersangkutan. Pemilih mengevaluasi melalui mekanisme reward and punishment. Pemilih akan cenderung memilih figur baru (non-incumbent) jika tidak puas dengan kinerja incumbent selama menjabat. Sebaliknya pemilih lebih suka memilih incumbent jika sudah cukup puas dengan kinerja figur tersebut selama menjabat..
Ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari fenomena di atas. Pertama, pemilih semakin rasional. Kedua, untuk itu partai harus melakukan perubahan paradigma dari berbasis massa menjadi berbasis kader dalam pengertian sebenarnya dan ketiga, figur yang dicalonkan harus akseptebel ditingkat partai maupun ditingkat pemilih.
Pertanyaannya, bagaimana di Sulawesi Tengah? Akankah fenomena tersebut berlaku? Memang masih harus kita tunggu. Tapi setidaknya fenomena politik pilkada di atas dapat menjadi bahan pertimbangan Partai Golkar dalam penetapan pasangan calon maupun rumusan strategi umum dalam memenangkan Pilkada di Sulawesi Tengah dalam waktu dekat ini. Wallahu A’lam.
Read More..