5/04/2010

Marketing Politik Dalam Pilkada Kota Palu

Tiba-tiba saja seorang bakal calon yang bagi sebagian besar masyarakat Kota Palu mungkin tidak begitu dikenal. Karena beliau bukan pejabat ataupun tokoh publik. Lagi pula selama ini beliau tinggal di daerah lain. Tetapi saat ini mungkin sebagian besar warga kota mengenalnya. Alat peraga kampanyenya berupa baliho, spanduk, iklan di media cetak memenuhi ruang publik kota. Itu adalah salah satu contoh bagaimana cara kerja menjual produk politik-dalam hal ini kandidat walikota- kepada masyarakat pemilih. Ilmu menjual dan mamasarkan produk politik itu lazim disebut marketing politik.

Tentang marketing politik ini, biarkan salah satu ahlinya yaitu DR.Firmanzah, penulis buku Marketing Politik, berbicara langsung kepada anda seperti ini:

Marketing Politik memiliki peran yang ikut menentukan dalam proses demokratisasi. Di engara-negara maju, partai-partai politik mengerahkan kemampuan marketing mereka untuk sebanyak mungkin merebut konstituen. Berbagai tehknik yang sebelumnya hanya dipakai dalam dunia bisnis sekarang telah dicangkokkan ke dalam kehidupan politik. Semakin canggih tekhnik marketing yang diterapkan dalam kehidupan politik. Para anggota tim sukses berusaha” menjual” jago mereka dengan berbagai cara yang sering kali kita rasakan tidak ada bedanya dengan mengiklankan produk di media, mempromosikan outdoor dan indoor. Segala taktik dipakai agar rating jago mereka tinggi dan rakyat memilihnya dibilik-bilik suara. Selain itu, marketing politk dapat memperbaiki kualitas hubungan antara konstestan dan pemilih. Pemilih adalah pihak yang harus dimengerti, dipahami, dan dicarikan jalan pemecahan dari setiap permasalahan yang dihadapi. Marketing politik meletakkan bahwa pemilih adalah subyek, bukan objek manipulasi dan eksploitasi( M. Alfan Alfian, 2009).

Marketing Politik memang sangat dibutuhkan dalam sistem pemilihan langsung seperti sekarang. Sadar akan pentingnya marketing politik itu, maka saat ini kandidat tidak segan-segan mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk menyewa lembaga konsultan professional yang memang mengurusi hal tersebut. Kita kenal beberapa lembaga di Indonesia seperti Lingkaran Survey Indonesia, Fox Indonesia, Polmark Indonesia dan sebagainya.

Prinsip-prinsip marketing bisnis pada umunya juga berlaku pada pada marketing politik. Hanya saja dalam pemasaran politik yang dijual adalah orang dan kebijakan politik. Untuk mendalami hal ini saya sarankan baca saja buku Marketing Politik DR.Firmazah dan sejenisnya.

Menggunakan marketing politk untuk menaikkan citra memang penting tetapi kalau citra yang dibangun tidak objektif, palsu dan tidak tidak autentik justru akan memukul balik kandidat sendiri. Tentang pencitraan yang berlebihan ini, Moh.Subari yang dikenal sebagai seorang budayawan pernah mengkritik demikian : “maka suatu citra dibuat. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi komunikasi bisa membuat seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam pilkada atau pemilu Siunggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan.Tokoh-tokoh yang tidak tahu apa-apa tentang dunia anak dan tokoh yang sectarian,fanatic dan memuja kekerasan,bisa dicitrakan sebagai seorang yang toleran,inklusif dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan (M.Alfan Alfian, 2009).

Nah, dalam pilkada kota palu kita harapkan tidak terjadi pencitraan yang demikian. Kita harapkan setiap kandidat tampil apa adanya. Apa yang ditampilkan dan dikatakan adalah yang sudah kerjakan dan bisa dikerjakan. Karena seperti kata Firmazah, pemilih adalah subyek dan bukan obyek yang dapat di manipulasi dan di ekspolitasi. Hanya dengan begitu produk pemimpin yang dipilih secara langsung itu mempunyai basis legitimasi moral yang benar.
Wallahu A'lam.

Read More..

5/02/2010

Ukuran Moralitas Pemimpin Politik

Dalam artikel terdahulu saya sudah jelaskan sepintas bagaimana kita seharusnya menilai pemimpin. Saya sebutkan dalam artikel itu bahwa kita harus menilai secara kritis terhadap calon. Yang perlu kita garis bawahi adalah bagaimana ambisi dari sang calon. Apakah ambisinya itu benar-benar mau diperuntukkan untuk membangun masayarakat ataukah hanya untuk memperkaya pribadinya saja. Yang kita butuhkan adalah figure seorang negarawan, yakni tokoh dengan integritas tinggi, yang mengabdikan tenaga dan fikirannya untuk kemajuan negaranya. Disini kita berhadapan dengan sebuah penilaian atau judgment. Dalam kerangka itu ada pertanyaan, sejauh mana seperti masalah moral, ambisi, karakter dapat diukur? Bukankankah hal-hal tersebut sangat bersifat subjektif dan kabur?

Berhadapan dengan gugatan dan pertanyaan demikian, saya teringat pada mata pelajaran penelitian yang berkaitan dengan data kualitatif dan kuantitatif. Sejauh yang dijarakan di sekolah, data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata-kata yang mengandung makna. Bisa berupa konsep, gambar atau persepsi. Data yang bersifat kualitatif mempunyai sifat-sifat seperti menyeluruh, dinamis, tidak bisa dipisahkan, terikat dengan konteks dan waktu dan sebagainya. Saat ini dengan metode statistik yang canggih data-data kualitatif itu sudah bisa dikuantifikasikan. Misalnya saja, sejauh mana calon pemimpin itu mempunyai moral tanggungjawab bisa kemudian dikuantitatifkan.

Kita ambil saja sebuah contoh. Taruhlan yang mau kita nilai berkaitan dengan moralitas kepemimpinan. Tentu saja data-yang disajikan bersifat kualitatif. Tentang hal ini, kita tengok sejenak filsafat moral yang di jelaskan oleh Immanuel Kant. Dalam sebuah blog terbaca demikian, “Dalam bukunya Critique of Pure Reason, ide-ide moral Kant terfokus pada sebuah pertanyaan ‘Apa yang harusnya saya lakukan?’ Untuk menjawab hal ini, Kant menggunakan metode pemeriksaan atas status penilaian etis (ethical judgment). Dengan metode tersebut, Kant menyimpulkan bahwa apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan mesti didasarkan pada suatu hukum umum yang dapat diterapkan di semua lapisan masyarakat.

Dengan perkataan lain, apa yang harus kita lakukan, dan dengan itu kita dapat disebut bermoral, harus dipertimbangkan dari ‘apa yang akan terjadi bila setiap orang melakukan apa yang kita lakukan’. Inilah prinsip ‘perintah kategoris’, yakni prinsip dasar moralitas yang akan memampukan manusia (dengan menggunakan akal) untuk menyelesaikan permasalahan moral.

Jika kita aplikasikan pada konteks pemimpin dan kekuasaan, maka salah satu tindakan pemimpin yang dapat disebut bermoral adalah menjalankan kekuasaannya demi kebaikan seluruh masyarakat. Atau, pemimpin tidak bermoral adalah mereka yang menghabiskan dana negara untuk kebutuhan sekunder (seperti mobil, pakaian dinas ataupun alokasi makan-minum pejabat), dibanding untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, apabila pemimpin memerintah untuk kepentingan (kelompok) sendiri, ataupun berbuat sesuatu yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan, maka kita dapat memberi label mereka sebagai pemimpin yang tidak bermoral. Seperti model ‘perintah kategoris’-nya Kant, apa jadinya jika semua pemimpin koruptif, dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri?

Melalui etika Kantian, ukuran integritas moral dan kebaikan seorang pemimpin, ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin tersebut dikaitkan dengan kebaikan intrinsik dan kesesuaian pada ekspektasi rakyat. Model etika Kantian sejatinya dapat digunakan sebagai ukuran integritas moral para pemimpin dan penguasa di negeri kita”. (http://heilraff.blogspot.com/2008/02/integritas-kepemimpinan.html).

Dalam aplikasinya sehari-hari bisa dikongkritkan dengan sikap-sikap seperti empati. Pasti tidak sulit untuk mengaplikasikan sikap empati. Bila masyarakat menghadapi penderitaan, maka pejabat itu akan cepat mengerahkan segala sumberdaya untuk menolong masayarakat . Fungsi pemerintah demokratis adalah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada masayarakat.

Sedikit penjelasan tentang ukuran dan standar moral itu kiranya bisa membawa kita memperluas cakrawala pada hal-hal yang lain. Yang jelas masyarakat juga pasti mempunyai common sense, bagaimana menetapkan penilaian kepada para pemimpinnya.Wallahu A'lam

Read More..

Menilai Calon Pemimpin Daerah

Di pusat kota yang ramai, tepampang baliho bakal calon walikota yang berbunyi “Kota palu harus maju. Di perempatan jalan yang tak kalah ramainya terpasang baliho bakal calon walikota lain yang berbunyi” lebih terang,lebih bersih,lebih cerdas. Di jalan dekat rumah saya baliho yang sama tapi lain orang berbunyi “ harmoni dalam keberagaman”. Ada lagi yang kata-katanya sederhana, ya, Cudi lagi. Masih ada beberapa lagi baliho yang serupa dari kandidat berbeda.

Itulah perkenalan awal bakal calon yang akan maju memperebutkan jabatan walikota palu. Tidak bisa dipungkiri baliho itu menunjukkan nuansa kampanye yang kental. Bila kita mencermati pesan yang disampaikan tentulah berbeda dari setiap kalimatnya. Bila diullas lebih jauh perbedaan kalimat itu tentu juga berbeda pada pesan yang disampaikan. Aksentuasi pesannya masing-masing memiliki makna. Tetapi satu pesan tersembunyi dari baliho itu adalah “sayalah yang lebih unggul dari yang lain”.
Pesan selanjutnya, “maka pilihlah saya”.


Masing-masing kandidat pasti memiliki ambisi yang berbeda-beda. Karena itu maka kita perlu menilai secara kritis apakah itu ambisi pribadi ataukah memang secara serius diikhtiarkan untuk membangun kota yang lebih baik. Jika kita mampu membedakan mana ambisi pribadi dan mana yang ambisi untuk kepentingan masayarakat tentu baik sekali.Inilah yang memandu kita untuk memilih calon dengan benar.
Menilai mana yang berniat baik dan mana yang tidak tentu bukan hal yang gampang. Apalagi dalam tampilan luar para kandidat itu semua mengesankan baik. Banyak metode dan cara untuk meyakinkan seolah-olah kandidat memang bersungguh-sungguh untuk berbuat baik. Melalui metode pencitraan yang canggih masyrakat bisa dimanipulasi dengan citra artificial atau citra yang seolah-olah.

Karena itu kita perlu bersikap secara kritis terhadap semua calon. Kalau perlu kita telanjangi semua rekam jejaknya. Bagi yang tidak bersedia jangan dipilih, karena kita tidak mau lagi tertipu untuk beberapa kalinya. Jangan lagi kita terjeremus pada calon yang seolah-olah baik itu karena itu sangat berbahaya.

Menemukan kandidat mana yang benar-benar serius dan mana yang hanya serius untuk dirinya memang tidak terlepas dari karakternya. Masalahnya adalah karakter, sifat, dan kebiasaan aslinya baru terlihat ketika dia benar-benar memimpin. Jadi apakah dengan demikian calon incumbent saja yang bisa kita nilai mengingat telah pernah memegang kepemimpinan sebelumnya?

Tentu saja tidak demikian. Sekalipun calon yang belum pernah duduk sebagai pemimpin kita bisa menilainya juga. Yaitu dengan mengenali beberap tanda dan indikasi yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk mengenali karakter calon. Misalnya bagaimana tanggungjawabnya, disiplin, sekapnya terhadap orang lain, cara ia berbicara pada orang lain, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang me nyerah,ketulusan, peduli, kewargaan, tekun ,integritas,visioner,adil dan sebagainya.Singkatnya kita mencari calon yang punya karakter sebagai negarawan.

Hal yang paling pertama harus dituntut adalah kesediaan untuk bertanggungjawab. Inilah sikap dasar dari seorang negarawan. Sekalipun definisi negarawan belum terlalu jelas tetapi secara sederhana seperti yang digambarkan oleh filosof Hans Jonas sebagai orang yang memikul tanggungjawab takterbatas, bersedia memikulnya serta tidak lari dari padanya.

Frans Magnis Suseno menjelaskan, pemimpin tidak hanya dinilai dari apa yang pernah dilakukan, melainkan juga apakah dalam kedudukannya dulu pernah melakukan sesuatu. Secara retorik masyarakat harus menanyakan, apakah ia waktu pernah memimpin member cap kepribadian kepada apa yang terjadi? Apakah ia menujukkan kebersamaan moral, artinya berani mengambil keputusan meskipun keputusan itu penuh resiko,berbahaya dan tidak populer?

Kini terserah kita. Para calon itu sebenarnya tidak punya daya tawar terhadap pilihan masyarakat. Kita dapat secara bebas menentukan pilihan siapapun yang kita percaya. Bagaimana dengan misalnya kalau ada tawaran uang atau fasilitas sejenis dari seorang kandidat? Bagi kandidat yang punya ambisi untuk membangun secara serius maka pasti tidak dilakukan. Melainkan hanya kandidat yang punya ambisi pribadilah yang akan melakukannya. Sekali lagi terserah kita, silahkan merenung dan berfikir terhadap masalah ini.

Read More..

5/01/2010

Mengsinergikan Kepentingan Buruh Dan Pengusaha

Memang tidak mudah memadukan kepentingan buruh disatu pihak dan kepentingan pengusaha dipihak lain. Disamping karena perbedaan kelas,borjouis dan proletar juga karena prinsip ekonomi.Pengusaha dengan doktrin ekonomi klasik yang diyakini, ingin menghasilkan keuntungan yang sebesarnya besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Sebaliknya para buruh ingin memperoleh upah yang setinggi-tingginya dengan kerja yg seminim-minimnya. Begitulah paradoks kepentingan yg terjadi pada buruh dengan para pengusaha.

Mungkin agak berlebihan preposisi di atas. Tetapi pada dasarnya itulah sebenarnya yg ingin dicapai. Kalau saya mengatakan sekiranya masing-masing pihak mempertahankan prinsip di atas pastilah tidak akan pernah ketemu. Karena memang dua prinsip itu adalah dua hal yg terlalu ideal yg tidak mungkin bisa dipenuhi.

Tuntutan buruh

Adalah suatu kewajaran apabila para buruh menuntut kesejahteraan yang lebih baik. Realitasnya para buruh memang mempunyai kedudukan yang lemah. Upahnya masih rendah hingga belum memadai untuk kebutuhan hidup di era modren ini. Apalagi secara politik, para buruh sering tidak berdaya berhadapan dengan para pengusaha yang memiliki modal banyak. Jadilah buruh betul-betul hanya menjadi faktor produksi layaknya mesin . Ia bisa diberhentikan dan dipekerjakan kapanpun oleh pengusaha tanpa bisa melawan kedzholiman itu, terutama pada saat dimana banyak memberlakukan sistem kontrak (outsourching).

Sejatinya para pengusaha harus menyadari juga kekeliruan ini. Keliru karena umumnya pengusaha menganggap apabila tuntutan buruh seperti peningkatan upah dan peningkatan keterampilan dipenuhi akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang pada gilirannya akan menurunkan laba perusahaan. Sekali lagi ini salah kaprah. Justru dengan meningkatkan upah dan keterampilan akan semakin meningkatkan pendapatan perusahaan. Asumsinya jika gaji naik buruh akan semakin memiliki dedikasi kerja dan tanggungjawab pada perusahaan. Pada gilirannya akan semakin menambah produktivitas perusahaan. Inilah salah satu alasan mengapa relokasi industri tidak terjadi secara besar-besaran dari negara-negara industri yang upah buruhnya sangat tinggi seperti di Jerman ke negara-negara berkembang yang upah buruhnya rendah.

Sinergi Buruh dan Pengusaha

Menuntut pengusaha agar memberikan upah dan keterampilan yang tinggi tentu juga mempunyai konsekuensi terhadap buruh. Jelas, bila ingin memperoleh fasilitas yang memadai, seharusnya buruh juga harus meningkatkan keahlian dan dedikasinya terhadap perusahaan. Meskipun demikian, buruh dalam tuntutannya harus lebih objektif dan rasional. Artinya kemampuan perusahaan harus juga dilihat. Sekeras apapun tuntutan buruh apabila kemampuan perusahaan tidak dapat memenuhinya maka mustahil dipenuhi.

Disini yang diperlukan adalah transparansi. Perusahaan harus menjelaskan kemampuan perusahaan secara terang benderang pada buruh. Perusahaan harus jujur apa adanya. Tidak ada rahasia berkaitan dengan pendapatan. Perusahaan harus memaparkan keuntungan, biaya dan seterusnya. Sebaliknya para buruh pun merespon dengan hal yang sama. Keharusan dialog inilah yang harus terus menerus dilakukan agar kepentingan dua belah pihak dapat berjalan bersama. Bila ini berjalan maka tentu juga memperbaiki mutu buruh sekaligus meningkatkan pendapatan perusahaan.

Read More..

12/08/2009

Kepemimpinan Golkar Sulteng: Perpaduan Modernisasi dan Karakter Kuat

Pengamat politik DR.Ikrar Nusa Bakti memberikan hipotesisnya bahwa Golkar merupakan satu satunya partai politik yang memiliki kans terbesar dalam mengembangkan demokrasi di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Namun,jika Golkar terjerembab pada pendekatan patron-client relationship antara pengurus pusat dan daerah, serta di dalam jajaran organisasi Golkar di pusat dan daerah, partai ini tidak akan mampu menjadikan para pengurusnya sebagai kekuatan politik yang mandiri, juga menyatu dalam visi dan misi partai ke depa


Bagi saya hipotesis ini sudah jamak diketahui oleh fungsionaris Partai Golkar. Paling tidak isu ini sudah ada sejak Munas luar biasa tahun 1998. Hanya saja berdasarkan pengamatan dari dalam, sampai saat ini partai ini belum melaksanakannya secara maksimal. Hal ini didasari pada fakta masih banyaknya kebijakan partai sangat dipengaruhi oleh kepentingan ketua umum dan para pengurusnya. Sehingga banyak kader ditingkat nasional dan daerah yang mempunyai kompetensi dan track record baik selama di partai tidak dimasukkan sebagai pengurus. Dampaknya terlihat pada fungsi yang tidak berjalan secara optimal. Padahal dalam era multi partai saat ini dibutuhkan kader militan, ideologis dan cakap untuk memenangkan kompetisi politik yang sangat keras.

Faktor inilah yang menjadi salah satu kelemahan mendasar partai ini dalam lima tahun terakhir ini. Karena itu dalam pola kepemimpinan Partai Golkar ke depan harus memberikan warna yang berbasis pada keinginan, kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Bersamaan dengan itu Partai Golkar harus ke depan harus tampak sebagai partai modern, tetapi tetap juga memiliki tokoh-tokoh yang berintegritas dan berkarakter kuat.

Modernisasi Partai

Modernisasi partai diterjemahkan pada perangkat keras dan perangkat lunaknya. Misalnya pada perangkat lunak, dibutuhkan sistem rekrutmen kepengurusan yang tegas dan teratur yang bertujuan mencegah terjadinya bias kepentingan pribadi. Pada level pimpinan puncak di semua jenjang, hal ini akan menghindari ketergantungan yang bersifat patron client sehingga partai dapat berjalan pada mekanisme yang seharusnya. Sedangkan pada perangkat kerasnya, modernisasi partai dimanjakan dengan tersedianya sarana yang memadai dalam menjalankan semua program.

Modernisasi bisa juga ditampilkan melalui kader yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang memadai sehingga dalam menjalankan kepentingan rakyat senantiasa berdasar pada logika pengetahuan dan rasionalitas. Hal ini sangat penting karena seringkali program pembangunan didominasi oleh kepentingan politik semata. Maka keseluruhan performa partai harus ditampakkan pada adanya budaya demokratis dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks Musda dapat terlihat berupa terwujudnya sikap legowo bagi kader yang “kalah”. Demikian juga pihak yang “menang” harus bersedia mengakomodasi pihak yang “kalah” sehingga sinergitas dan kohesivitas partai dapat terjaga dengan baik.

Tokoh Yang Berintegritas Kuat

Modernisasi partai tersebut harus ditopang oleh sejumlah figur yang berpandangan modern. Dalam arti figur tersebut mampu memberikan corak kemoderenan dalam kepemimpinannya. Pada point inilah pencitraan partai maupun pemimpinnya sangat penting untuk menarik simpati rakyat. Karena itu citra harus mampu ditampilkan secara terus-menerus dan berkesinambungan pada rakyat. Tetapi citra yang disiarkan itu merupakan citra yang sebenarnya dan bukan citra artifisial. Mengamati beberapa pilkada maupun pilpres yang lalu, ada kecenderungan citra tokoh bisa dibentuk sesuai dengan keinginan. Partai Golkar harus menghindari pola pencitraan yang demikian. Seluruh komponen Partai Golkar harus mencitrakan diri secara alami, bukan hasil manufactured perusahaan pencitraan semata. Hanya pencitraan yang demikianlah yang akan dipercaya rakyat di masa depan. Ringkasnya partai Golkar harus menampilkan tokoh yang mempunyai karakter kuat. Dalam istilah lain tokoh ini harus bersifat autentik.

Sesuai dengan kebutuhan pencitraan di atas maka Partai Golkar selayaknya memberikan porsi pada tokoh-tokoh yang mempunyai kompentensi dibidangnya masing-masing. Pada pucuk pimpinan, sejatinya Partai Golkar mengandalkan pemimpin yang sudah teruji kapasitas kepemimpinannya. Hal ini bisa ditunjukkan sebagai pemimpin partai atau pemimpin pemerintahan pada level nasional dan daerah. Dengan demikian ia sudah teruji dan sudah terbukti secara politik sehingga diharapkan mampu menyusun kerangka perencanaan yang komprehensif dan visioner yang sesuai dengan kebutuhan rakyat di wilayahnya. Hanya kepemimpinan visioner yang demikianlah yang bisa berjalan secara efektif dan efisien sehingga mampu adaptif terhadap perubahan setting social yang melingkupinya secara tepat dan cepat.

Bagaimana Golkar Sulteng?

Sejak dahulu wilayah Sulawesi Tengah merupakan salah satu basis pemilih tradisional Partai Golkar. Fakta ini harus terus-menerus dipertahankan dan ditingkatkan oleh siapapun yang akan menjadi pemimpin partai di depan. Tentunya diperlukan usaha yang sungguh-sungguh bagi seluruh kader untuk mengerti kemauan dan kebutuhan rakyat di Sulawesi Tengah. Dalam konteks pemilu maupun pilkada, saatnya para kader Partai Golkar Sulawesi Tengah tidak lagi dimanjakan oleh istilah pemilih tradisional tetapi harus mampu menarik sebagian besar rakyat secara rasional untuk dapat memilih figur dan Partai Golkar.

Dalam pengamatan saya, banyak tokoh Partai Golkar di Sulawesi Tengah yang mampu mengemban amanah yang mempunyai kedekatan ciri seperti yang dijelaskan secara ringkas di atas. Dalam hal ini kita percayakan saja pada Musda VIII yang akan berlangsung dari tanggal 5-7 Desember 2009. Tetapi saya mau mengajak semua kader untuk memperluas horizon pandangan dalam menyikapi isu ini untuk kejayaan partai Golkar di masa depan. Wallahu A’lam.

Read More..

12/03/2009

Catatan atas Pelarangan Film Balibo Five

Film Balibo Five dilarang diputar oleh Lembaga Sensor Film pada festival film di jakarta. Alasannya seperti yang dikemukakan oleh pihak departemen luar negeri adalah berpotensi mengganggu hubungan Ilndonesia-Australia. Seperti diketahui film ini menceritakan peristiwa terbunuhnya beberapa orang wartawan internasional ketika meliput proses integrasi di Timor-timur tahun 1975. Sumber masalahnya adalah ketika dikisahkan, penyebab tewasnya wartawan itu karena dibunuh oleh Tentara Indonesia. Padahal menurut versi pemerintah Indonesia penyebab tewasnya para wartawan itu bukan karena sengaja dibunuh tapi karena kecelakaan saja (terjebak) sewaktu mereka sedang meliput.

Segera setelah pelarangan ini beberapa aktivis Ham maupun pembuat film di indonesia memberikan kecamannya. Film adalah salah satu bentuk karya seni sebagaimana juga teater,puisi,seni lukis dan seterusnya. Dalam membuat karya seni pembuatnya pasti mempunyai latarbelakang atau hasil perenungan. Latarbelakang inilah yang biasa bersinggungan dengan kehidupan sosial ataupun sejarah. Tidak jarang hasilnya kemudian dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Berbeda dengan karya seni yang l ain, film ataupun media gambar bergerak yang lain termasuk karya seni yang memang berpotensi besar dalam mempengaruhi persepsi masyarakat.

Hal ini karena bahasa gambar lebih mudah dicerna dan dimengerti. Karena itu wajar apabila film balibo five ini sangat mengkuatirkan pemerintah Indonesia. Disamping karena menyajikan ‘fakta baru’ dari yang selama ini diketahui film ini juga bisa menimbulkan persepsi negatif bagi tentara dan pemerintah indonesia. Maka kemudian perdebatannya masuk pada kebebasan ekspresi seni yang dijamin oleh sistim demokrasi dengan isu politik.

Kembali pada soal pemutaran film itu sejatinya tidak perlu ada usaha untuk melarang. Pemerintah tidak perlu takut apabila fakta yang benar seperti yang selama ini diyakini. bagaimanapun setiap usaha pelarangan yang berkaitan dengan peristiwa politik masa lalu pasti tidak disenangi rakyat. Dialam demokrasi s aat ini telah terbentuk mindset keterbukaan bagi seluruh rakyat. Khusus peristiwa politik masa lalu harusnya semua dibuka secara terang benderang agar ini m enjadi pelajaran sejarah yang baik bagi bangsa. Kalau kemudian masih ada fakta lain yang ditutupi ini artinya masyakat memang diajarkan untuk tidak jujur dan akhirnya menjadi topik yang tidak berkesudahan seperti peristiwa G 30 S PKI.

Read More..

7/17/2009

Menangkap Pesan Pelaku Teror

Pagi ini kembali kita dikejutkan dengan adanya ledakan yang terjadi Hotel Mariot dan Ritz carlton Jakarta. Informasi dari kompas.com, saat ini sudah 6 orang yang tewas. Sejauh ini aparat keamanan belum berani menyimpulkan penyebab ledakan itu.

Kalaulah ledakan ini bersumber dari bom tentu ini pekerjaan dari teroris. Dugaan bahwa yang melakukan ledakan itu adalah teroris telah melekat kuat dibenak publik. Misalnya, posting pertama dari Pepih Nugraha di Kompasiana tehadap ledakan itu.

Dalam Tulisan itu dipertanyakan, apa pesan dari adanya ledakan itu? Bagi dia, pesannya sederhana bahwa teroris masih ada di Indonesia dan kapanpun bisa membuat ledakan serupa.

Kalau demikian, kita patut mempertanyakan kerja aparat keamanan selama ini. Dengan adanya ledakan ini kita menilai masih ada beberapa aspek yang patut diselesaikan oleh pihak keamanan misalnya penangkapan Nurdin M.Top yang dipercaya sebagai otak terorisme di indonesia.

Tetapi supaya lebih berimbang kita harus juga mengakui beberapa keberhasilan yang telah dilakukan. Misalnya penangkapan sejumlah pihak yang dituduh terlibat kegiatan terorisme di Indonesia. Bahkan Dr.Azhari yang dituduh sebagai otak terorisme itu telah menemui ajalanya dalam sebuah penyergapan di Malang november 2005.

Harus diakui pekerjaan memerangi terorisme bukanlah pekerjaan yang gampang. Amerika pun tampaknya sudah kewalahan. Padahal perang terhadap terorisme ini sudah dilakukan minimal sejak runtuhnya world trade center di New York. Bahkan dalam masa kepemimpinan Presiden Bush, perang melawan terorisme menjadi isu yang utama. Hasilnya belum maksimal. Karena itu Pemerintahan Obama melakukan beberapa perubahan dalam pemberantasan terorisme global.

Maka, mungkin perlu strategi baru lagi dalam memerangi terorisme ini. Katakanlah bukan lagi memakai perang dan sejenisnya tetapi dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi terhadap pelaku terorisme. Karena bagaimanapaun pelaku teror itupun adalah manusia juga. Salah satu sebab banyaknya pelaku teror yang “menyerah”di Poso adalah karena pendekatan kemanusian yang berhasil. Begitu juga di Aceh. Dan Pak Jusuf Kalla telah melakukan ini dengan baik.

Bagaimana caranya? Seperti yang dikatakan Pepih Nugraha, bahwa pelakunya pastilah membawa pesan yang ingin disampaikan. Nah, pesan itulah yang harus kita mengerti dulu. Dengan kata lain casus belli-nya dulu yang diselesaikan. Kalaulah pesannya sudah dimengerti niscaya pelaku teror akan mudah dicarikan kesepakatan-kesepakatan yang lebih adil. Wallhu A’lam.

Read More..

7/14/2009

"Untuk Apa Pilpres Bagi Saya?"

Pertanyaan yang seperti di atas sering saya jumpai ketika saya menjalankan peran sebagai politisi maupun sebagai tim sukses salah seorang calon presiden. Pertanyaan itu disertai dengan argumen, Toh, siapa pun yang terpilih tidak akan berdampak sama saya. Calon A,B,C tidak akan merubah hidup saya. Saya tetap begini-begini saja. Paling-paling mereka (calon itu) hanya mengurus diri mereka sendiri.

Rasa pesimisme ini kemudian lebih dalam lagi bila kita menjelaskan tentang demokrasi. Bagi masyarakat seperti ini demokrasi bukanlah sebuah persoalan penting. Demokrasi hanya merupakan jargon. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya secara ekonomi.

Fakta bahwa masih banyak masyarakat kita tidak mengetahui fungsi demokrasi adalah hal nyata. Bahkan, jangankan fungsi, hakekat atau prinsip-prinsip demokrasi, kata demokrasi sendiri pun belum diketahui artinya.

Inilah juga agenda yang mendesak bagi para pemimpin politik saat ini. Yakni bagaimana memberikan pemahaman yang nyata kepada masyarakat bahwa demokrasi itu dapat mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

Sehingga pada urutannya rakyat dengan kesadaran penuh akan berbondong-berbondong memberikan suaranya dalam suatu pemilihan umum.

Bukan hanya itu, hal ini akan mendorong rakyat memberikan suaranya pada calon yang betul-betul sesuai dengan kepentingannya. Bila ini terjadi maka kita tidak perlu takut terhadap politik pencitraan yang berlebihan karena pasti rakyat tidak akan terpengaruh.

Kebutuhan Demokrasi

Rakyat pada hakekatnya membutuhkan demokrasi. Cuma persoalannya rakyat tidak mengetahui untuk apa demokrasi bagi mereka. Untuk apa ada pemilihan umum, pemilihan presiden atau pilkada. Mengapa harus memilih kandidat A, B atau C dan seterusnya.

Peruntukan demokrasi untuk rakyat haruslah sesuai dengan kebutuhannya. Bila masyarakat disuatu tempat terlibat masalah konflik dan kekerasan, maka para politisi harusnya menjelaskan bahwa demokrasi itu akan mendatangkan rasa aman dan damai.

Demokrasi diperlukan karena sistem ini bisa menegakkan stabilitas sosial, menciptakan ketentraman dan membawa rasa aman.

Demokrasi bukan saja membuat masyarakat mampu mempertahankan dirinya terhadap ancaman yang datang dari luar, tapi juga membina hubungan yang damai antar sesama warga. Kemudian calon itu harus bisa menjelaskan programnya dengan bahasa yang dimengerti oleh rakyat.

Lain lagi bila rakyat membutuhkan kehidupan ekonomi yang meningkat. Demokrasi pun diperlukan pada konteks ini. Dapat dijelaskan bahwa demokrasi adalah sistem atau cara yang paling baik untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya karena dalam demokrasi akan berlaku persaingan yang sehat dan adil.

Dalam demokrasi semua orang dilidungi haknya, diberikan porsi yang adil untuk kepentingannya dan yang tertindas akan diberikan pemihakan yang tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain sehingga ada keadilan.

Yang ingin saya katakan pada poin ini adalah para politisi harus mampu menjelaskan apa fungsi demokrasi itu bagi pemilihnya sehingga harus dia yang dipilih dan bukannya calon yang lain.

Demokrasi adalah Tujuan Sekaligus Cara

Demokrasi menurut Ignas Kleden harus dimaknai secara utuh, yakni Demokrasi sebagai nilai-nilai universal, Demokrasi sebagai mekanisme dan prosedur, dan demokrasi sebagai tujuan (kesejahteraan, kebebasan/kebersamaan, keadilan).

Karena demokrasi tidak hanya sebagai alat tetapi juga sebagai tujuan maka negara tidak boleh kembali kepada kepemimpinan otoriter apabila demokrasi tidak bisa menyejahterakan masyarakat. Maka tiga komponen di atas harus diterapkan dalam satu negara yang menerapkan sistem demokrasi.

Dengan kata lain demokrasi mengandung subtansi nilai dan bagaimana nilai itu dimplementasikan pada kehidupan. Disnilah para politisi itu dituntut perannya secara serius dalam menjalankan amanah rakyat yang diberikan tanggungjawab kepada mereka. Sebaliknya rakyat pun harus taat pada kaedah-kaedah dan aturan main yang disepakati dalam bernegara.

Demokrasi memiliki nilai pluralisme, keadilan, kesetaraan, keterbukaan. Sejumlah nilai ini hanya bisa dijalankan secara efektif pelaku-pelaku demokrasi itu juga menghayati nilai-nilai tadi.

Adagium The end justifies the mean, tujuan menghalalkan segala, adalah pelanggaran hakekat demokrasi.

Jadi menjalankan demokrasi haruslah sesuai hakekat (subtansial) dengan proseduralnya (cara). Hanya dengan begitu kehidupan demokrasi akan diyakini rakyat berguna bagi kehidupannya sehari-hari.

Read More..

Golkar sebaiknya bagaimana?

Dua hajatan politik nasional tahun ini, Partai Golkar gagal. Pada Pemilu legislatif, posisi Partai Golkar hanya di peringkat dua dibawah Partai Demokrat dengan beda prosentase kekalahan yang besar (6%). Sementara pada Pilpres, calon yang diusungnya kalah telak, hanya menduduki posisi tiga dengan perolehan suara 11-12% (Hasil Quick Count).

Dengan posisi itu, kini Partai Golkar bingung menentukan sikap, apakah opisisi ataukah berusaha untuk masuk lagi pada pemerintahan? Ketua DPD Partai Golkar Yogyakarta ,Sultan Hamengku Buwono, menyarankan Partai Golkar sebaiknya beroposisi. Kader lain Yuddy Chrisnandy atau Muladi mengatakan Partai Gokar tidak punya tradisi oposisi.

Tarik menarik menarik dua posisi ini akan menarik untuk disimak ke depan. Tampaknya yang menentukan ke depan mau kemana Partai yang telah memiliki Paradigma Baru ini adalah Musyawarah Nasional (Munas) yang di jadwalkan Oktober.

Tapi ada juga pihak yang menyarakankan bahwa Munas sebenarnya harus dipercepat. Pendapat ini disuarakan oleh mantan Ketua Umum Akbar Tandjung dan Fadel Muhammad. Ketua Umum Jusuf Kalla sendiri pernah menyatakan bahwa bila tidak terpilih sebagai Presiden ia setuju akan diadakan Munas dipercepat.

Kandidat kuat yang akan memperebutkan poisisi ketua umum sudah dilansir ke publik. Sampai saat ini dua nama yang mengkristal yaitu Abu Risal Bakrie dan Surya Paloh.

Nah, bagaimana sebaiknya Partai Golkar memposisikan dirinya dalam konstalasi politik nasional saat ini? Apakah beropisisi atau kembali memperkuat pemerintahan terpilih?

Masing-masing kubu punya argumentasi. Bagi yang setuju beroposisi mengatakan bahwa, pilihan opisisilah yang paling realistis. Hal ini sebagai konsekuensi dari kekalahan pada pilpres. Sementara kubu yang senang dengan pemerintah mengatakan bahwa yang paling baik adalah ikut bersama dengan pemerintah karena Partai Golkar tidak punya tradisi oposisi di pemerintahan.

Bagi elit Partai Golkar memang serba susah memposisikan Partai Golkar ditengah konstelasi politik nasional paska pilpres ini. Semua serba dilematis. Bila Golkar oposisi, maka siap-siaplah para elitnya “menderita". Menderita karena beroposisi memang hal baru bagi partai Golkar.

Dalam sejarahnya Partai Golkar selalu ikut pemerintahan termasuk pada masa reformasi ini. Karena itu bagi elit yang tidak terbiasa berpisah dengan "induk semangya" pemerintah tentulah hal ini terasa sulit. Apalagi kalau para elit itu masih punya kepentingan yang besar pada pemerintah.

Dilain pihak, ikut bersama dengan pemerintah pasti menimbulkan resistensi yang kuat bagi rakyat. Rakyat akan menilai bahwa Partai Golkar memang tidak punya komitmen ideologis. Yang dibangun adalah kepentingan pragmatis yang berjangka pendek. Mungkin juga akan dicap sebagai Partai oportunis.

Bagi saya, posisi sebagai oposisi adalah hal yang ideal. Karena dengan beroposisi Partai Golkar akan mendapat pelajaran politik baru. Sebagai Partai yang telah memiliki paradigma baru tidak ada alasan untuk menolak pilihan sebagai oposisi.

Kalau tidak bisa oposisi berarti Partai Golkar belum sepenuhnya menjalankan paradigma barunya yang selalu tergantung atau menggantungkan diri pada pemerintah.

Dalam munas yang akan datang harus ada pembaharuan secara menyeluruh. Paradigma baru harus dibicarakan lagi implementasinya. Begitu juga pola perkaderan, regenerasi, dan langkah-langkah politik harus dibicarakan secara cermat dan mendetail.

Kesungguhan para para kader dari struktur yang paling atas sampai bawah juga sangat menentukan. Hanya dengan begitulah Partai Golkar akan kembali diperhitungkan.

Nah, siapa figur yang ideal menahkodai Partai Golkar ke depan? Para peserta Munaslah yang menentukan. Wallahu A’lam.

Read More..

Politik Setelah Pilpres 2009

Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, jika benar terpilih menjadi presiden RI, dirinya terbuka akan kemitraan dengan capres Megawati Soekarnoputri dan M Jusuf Kalla (Kompas.com)

"Kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Megawati Soekarnoputri dan Bapak Prabowo Subianto atas upaya beliau menyampaikan opsi (kebijakan) yang saya kira sangat penting untuk dipertimbangkan bagi rakyat kita, dan kami juga ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Jusuf Kalla dan Bapak Wiranto yang juga menyampaikan pilihan-pilihan kebijakan yang penting untuk jadi pertimbangan kami di waktu-waktu yang akan datang. Ini seandainya kami mendapatkan amanat,"(Kompas.com)

Dua kutipan di atas terasa melegakan setelah kita menyaksikan sengitnya pertarungan politik pada masa kampanye pilpres. Dalam masa kampanye itu saling sindir, ejekan bahkan kampanye hitam dilakukan oleh semua tim kampanye. Kini semua sudah berakhir dan baru saja bangsa Indonesia memberikan suaranya pada pilpres 2009.

Meskipun prediksi pemenang sudah diketahui melalui hitung cepat, masing-masing pasangan tampaknya masih menahan diri untuk menyatakan diri sebagai pemenang maupun pihak yang kalah. Melalui Beberapa lembaga yang melakukan hitung cepat diketahui presentase kemenangan tertinggi diraih oleh pasangan SBY-Boediono.

Sambil menunggu penetapan secara resmi barangkali kita musti urun rembuk dalam memikirkan bagaimana bangsa ini setelah pilpres itu. Kita bisa mengatakan bahwa satu langkah politik telah berhasil kita lewati dengan aman dan damai. Kini kita melangkah ke tahapan selanjutnya yakni bagaimana bekerja untuk memenuhi segala aspirasi rakyat sebagaimana telah dijanjikan selama kampanye.

Pada tahapan ini pasti lebih sulit karena titik beratnya adalah pemecahan masalah. Lain dengan pada masa kampanye yang hanya mengandalkan pencitraan, retorika prestasi dan janji. Karena itu pihak yang kalah pun harus mengambil bagian pada tahapan ini.

Kerangka kerja makro aspirasi rakyat itu sebenarnya telah tercantum dalam visi-misi, flatform dan agenda program. Inilah yang pada masa kampanye dipasarkan ke publik. Meskipun pada dasarnya dokumen ini mengikat namun sejatinya tetap terbuka diajukan sejumlah penyempurnaan. Dalam konteks ini tidak seharusnya dilakukan pembatasan terhadap adanya ide atapun masukan baru terhadap flatform itu apabila ada yang lebih sesuai dengan kepentingan rakyat. Inilah titik kompromi yang melampui kepentingan dan ego masing-masing.

Pemerintahan baru ke depan kita harapkan akan mengarah pada pola take and give tersebut. Dan kita patut lega karena bibit-bibitnya baru muncul dari kutipan pernyataan di atas. Bagi pihak yang dinyatakan menang memang harus selalu terbuka menerima masukan, karena seperti dikatakan Boediono, hal ini akan meningkatkan mutu demokrasi.

Kompromi Program

Dalam menjalankan pemerintahan lima tahun kedepan sejatinya pasangan SBY-Boediono harus mengambil beberapa ide dan program yang dimiliki oleh pasangan JK-Wiranto maupun Mega-Prabowo. Misalnya ide tentang kemandirian ekonomi.

Dalam masa kampanye tekanan isu pada kemandirian ini terlihat minim pada pasangan SBY-boediono. Padahal isu ini penting untuk mengurangi ketergantungan bangsa kita pada negara lain. Saatnya kita meminimalkan pinjaman utang dari luar negeri.

Begitupun beberapa program dari pasangan lain bisa melengkapi program yang sudah dicanangkan oleh pasangan pemenang. Misalnya, pemberdayaan ekonomi pemuda dengan cara menyediakan kredit murah dari JK-Wiranto juga seharusnya menjadi prioritas untuk dilaksanakan.

Program-program pro rakyat kecil yang menjadi tekanan isu pasangan Mega-Pro juga harus menjadi perhatian. Misalnya tekanan Megawati pada pemenuhan sembako murah bagi rakyat.
Ini juga harus harus dapat dilaksanakan oleh pasangan terpilih agar rakyat kecil tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini sekedar menyebutkan beberapa contoh saja. Tentu masih banyak yang lain.

Negarawan

Pada saat akhir dari sebuah pertarungan politik yang sengit biasanya kita menuntut para politisi untuk bersikap sebagai negarawan. Namun definisi tentang negawaran belumlah terlalu jelas maksudnya. Tetapi satu hal yang disepakati adalah bahwa negarawan itu adalah sosok manusia yang memiliki visi yang berorientasi jangka panjang.

Negarawan lebih mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan. Dia juga berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua golongan dan komponen bangsa. Sikap-sikap tersebut mampu dibuktikan melalui komitmen pada perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya.

Apabila pasangan yang kalah tersebut memang bersifat negarawan, dengan adanya kompromi program pasti mengobati kekecewaan. Karena bagi yang bersikap negarawan pastilah rakyat yang utama.

Bagi negarawan boleh saja mereka kalah memperebutkan kekuasaan tetapi ide dan keinginan mereka untuk melaksanakan cita-cita negara berupa adanya keadilan dan kesejahteran jangan sampai terhambat dan tidak dilaksanakan. Dan siapapun yang melaksanakannya adalah tidak penting.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP