5/04/2010

Marketing Politik Dalam Pilkada Kota Palu

Tiba-tiba saja seorang bakal calon yang bagi sebagian besar masyarakat Kota Palu mungkin tidak begitu dikenal. Karena beliau bukan pejabat ataupun tokoh publik. Lagi pula selama ini beliau tinggal di daerah lain. Tetapi saat ini mungkin sebagian besar warga kota mengenalnya. Alat peraga kampanyenya berupa baliho, spanduk, iklan di media cetak memenuhi ruang publik kota. Itu adalah salah satu contoh bagaimana cara kerja menjual produk politik-dalam hal ini kandidat walikota- kepada masyarakat pemilih. Ilmu menjual dan mamasarkan produk politik itu lazim disebut marketing politik.

Tentang marketing politik ini, biarkan salah satu ahlinya yaitu DR.Firmanzah, penulis buku Marketing Politik, berbicara langsung kepada anda seperti ini:

Marketing Politik memiliki peran yang ikut menentukan dalam proses demokratisasi. Di engara-negara maju, partai-partai politik mengerahkan kemampuan marketing mereka untuk sebanyak mungkin merebut konstituen. Berbagai tehknik yang sebelumnya hanya dipakai dalam dunia bisnis sekarang telah dicangkokkan ke dalam kehidupan politik. Semakin canggih tekhnik marketing yang diterapkan dalam kehidupan politik. Para anggota tim sukses berusaha” menjual” jago mereka dengan berbagai cara yang sering kali kita rasakan tidak ada bedanya dengan mengiklankan produk di media, mempromosikan outdoor dan indoor. Segala taktik dipakai agar rating jago mereka tinggi dan rakyat memilihnya dibilik-bilik suara. Selain itu, marketing politk dapat memperbaiki kualitas hubungan antara konstestan dan pemilih. Pemilih adalah pihak yang harus dimengerti, dipahami, dan dicarikan jalan pemecahan dari setiap permasalahan yang dihadapi. Marketing politik meletakkan bahwa pemilih adalah subyek, bukan objek manipulasi dan eksploitasi( M. Alfan Alfian, 2009).

Marketing Politik memang sangat dibutuhkan dalam sistem pemilihan langsung seperti sekarang. Sadar akan pentingnya marketing politik itu, maka saat ini kandidat tidak segan-segan mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk menyewa lembaga konsultan professional yang memang mengurusi hal tersebut. Kita kenal beberapa lembaga di Indonesia seperti Lingkaran Survey Indonesia, Fox Indonesia, Polmark Indonesia dan sebagainya.

Prinsip-prinsip marketing bisnis pada umunya juga berlaku pada pada marketing politik. Hanya saja dalam pemasaran politik yang dijual adalah orang dan kebijakan politik. Untuk mendalami hal ini saya sarankan baca saja buku Marketing Politik DR.Firmazah dan sejenisnya.

Menggunakan marketing politk untuk menaikkan citra memang penting tetapi kalau citra yang dibangun tidak objektif, palsu dan tidak tidak autentik justru akan memukul balik kandidat sendiri. Tentang pencitraan yang berlebihan ini, Moh.Subari yang dikenal sebagai seorang budayawan pernah mengkritik demikian : “maka suatu citra dibuat. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi komunikasi bisa membuat seseorang tampak lebih unggul dari yang lain. Karena itu, dalam pilkada atau pemilu Siunggul buatan dan palsu inilah yang menang.

Ilmu manipulatif itu bisa membuat seorang tokoh otoriter dan rasis menjadi seolah begitu demokratis dan peduli pada kemanusiaan.Tokoh-tokoh yang tidak tahu apa-apa tentang dunia anak dan tokoh yang sectarian,fanatic dan memuja kekerasan,bisa dicitrakan sebagai seorang yang toleran,inklusif dan akomodatif terhadap pluralitas kebudayaan (M.Alfan Alfian, 2009).

Nah, dalam pilkada kota palu kita harapkan tidak terjadi pencitraan yang demikian. Kita harapkan setiap kandidat tampil apa adanya. Apa yang ditampilkan dan dikatakan adalah yang sudah kerjakan dan bisa dikerjakan. Karena seperti kata Firmazah, pemilih adalah subyek dan bukan obyek yang dapat di manipulasi dan di ekspolitasi. Hanya dengan begitu produk pemimpin yang dipilih secara langsung itu mempunyai basis legitimasi moral yang benar.
Wallahu A'lam.

Read More..

5/02/2010

Ukuran Moralitas Pemimpin Politik

Dalam artikel terdahulu saya sudah jelaskan sepintas bagaimana kita seharusnya menilai pemimpin. Saya sebutkan dalam artikel itu bahwa kita harus menilai secara kritis terhadap calon. Yang perlu kita garis bawahi adalah bagaimana ambisi dari sang calon. Apakah ambisinya itu benar-benar mau diperuntukkan untuk membangun masayarakat ataukah hanya untuk memperkaya pribadinya saja. Yang kita butuhkan adalah figure seorang negarawan, yakni tokoh dengan integritas tinggi, yang mengabdikan tenaga dan fikirannya untuk kemajuan negaranya. Disini kita berhadapan dengan sebuah penilaian atau judgment. Dalam kerangka itu ada pertanyaan, sejauh mana seperti masalah moral, ambisi, karakter dapat diukur? Bukankankah hal-hal tersebut sangat bersifat subjektif dan kabur?

Berhadapan dengan gugatan dan pertanyaan demikian, saya teringat pada mata pelajaran penelitian yang berkaitan dengan data kualitatif dan kuantitatif. Sejauh yang dijarakan di sekolah, data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata-kata yang mengandung makna. Bisa berupa konsep, gambar atau persepsi. Data yang bersifat kualitatif mempunyai sifat-sifat seperti menyeluruh, dinamis, tidak bisa dipisahkan, terikat dengan konteks dan waktu dan sebagainya. Saat ini dengan metode statistik yang canggih data-data kualitatif itu sudah bisa dikuantifikasikan. Misalnya saja, sejauh mana calon pemimpin itu mempunyai moral tanggungjawab bisa kemudian dikuantitatifkan.

Kita ambil saja sebuah contoh. Taruhlan yang mau kita nilai berkaitan dengan moralitas kepemimpinan. Tentu saja data-yang disajikan bersifat kualitatif. Tentang hal ini, kita tengok sejenak filsafat moral yang di jelaskan oleh Immanuel Kant. Dalam sebuah blog terbaca demikian, “Dalam bukunya Critique of Pure Reason, ide-ide moral Kant terfokus pada sebuah pertanyaan ‘Apa yang harusnya saya lakukan?’ Untuk menjawab hal ini, Kant menggunakan metode pemeriksaan atas status penilaian etis (ethical judgment). Dengan metode tersebut, Kant menyimpulkan bahwa apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan mesti didasarkan pada suatu hukum umum yang dapat diterapkan di semua lapisan masyarakat.

Dengan perkataan lain, apa yang harus kita lakukan, dan dengan itu kita dapat disebut bermoral, harus dipertimbangkan dari ‘apa yang akan terjadi bila setiap orang melakukan apa yang kita lakukan’. Inilah prinsip ‘perintah kategoris’, yakni prinsip dasar moralitas yang akan memampukan manusia (dengan menggunakan akal) untuk menyelesaikan permasalahan moral.

Jika kita aplikasikan pada konteks pemimpin dan kekuasaan, maka salah satu tindakan pemimpin yang dapat disebut bermoral adalah menjalankan kekuasaannya demi kebaikan seluruh masyarakat. Atau, pemimpin tidak bermoral adalah mereka yang menghabiskan dana negara untuk kebutuhan sekunder (seperti mobil, pakaian dinas ataupun alokasi makan-minum pejabat), dibanding untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, apabila pemimpin memerintah untuk kepentingan (kelompok) sendiri, ataupun berbuat sesuatu yang ‘seharusnya’ tidak dilakukan, maka kita dapat memberi label mereka sebagai pemimpin yang tidak bermoral. Seperti model ‘perintah kategoris’-nya Kant, apa jadinya jika semua pemimpin koruptif, dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri?

Melalui etika Kantian, ukuran integritas moral dan kebaikan seorang pemimpin, ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin tersebut dikaitkan dengan kebaikan intrinsik dan kesesuaian pada ekspektasi rakyat. Model etika Kantian sejatinya dapat digunakan sebagai ukuran integritas moral para pemimpin dan penguasa di negeri kita”. (http://heilraff.blogspot.com/2008/02/integritas-kepemimpinan.html).

Dalam aplikasinya sehari-hari bisa dikongkritkan dengan sikap-sikap seperti empati. Pasti tidak sulit untuk mengaplikasikan sikap empati. Bila masyarakat menghadapi penderitaan, maka pejabat itu akan cepat mengerahkan segala sumberdaya untuk menolong masayarakat . Fungsi pemerintah demokratis adalah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada masayarakat.

Sedikit penjelasan tentang ukuran dan standar moral itu kiranya bisa membawa kita memperluas cakrawala pada hal-hal yang lain. Yang jelas masyarakat juga pasti mempunyai common sense, bagaimana menetapkan penilaian kepada para pemimpinnya.Wallahu A'lam

Read More..

Menilai Calon Pemimpin Daerah

Di pusat kota yang ramai, tepampang baliho bakal calon walikota yang berbunyi “Kota palu harus maju. Di perempatan jalan yang tak kalah ramainya terpasang baliho bakal calon walikota lain yang berbunyi” lebih terang,lebih bersih,lebih cerdas. Di jalan dekat rumah saya baliho yang sama tapi lain orang berbunyi “ harmoni dalam keberagaman”. Ada lagi yang kata-katanya sederhana, ya, Cudi lagi. Masih ada beberapa lagi baliho yang serupa dari kandidat berbeda.

Itulah perkenalan awal bakal calon yang akan maju memperebutkan jabatan walikota palu. Tidak bisa dipungkiri baliho itu menunjukkan nuansa kampanye yang kental. Bila kita mencermati pesan yang disampaikan tentulah berbeda dari setiap kalimatnya. Bila diullas lebih jauh perbedaan kalimat itu tentu juga berbeda pada pesan yang disampaikan. Aksentuasi pesannya masing-masing memiliki makna. Tetapi satu pesan tersembunyi dari baliho itu adalah “sayalah yang lebih unggul dari yang lain”.
Pesan selanjutnya, “maka pilihlah saya”.


Masing-masing kandidat pasti memiliki ambisi yang berbeda-beda. Karena itu maka kita perlu menilai secara kritis apakah itu ambisi pribadi ataukah memang secara serius diikhtiarkan untuk membangun kota yang lebih baik. Jika kita mampu membedakan mana ambisi pribadi dan mana yang ambisi untuk kepentingan masayarakat tentu baik sekali.Inilah yang memandu kita untuk memilih calon dengan benar.
Menilai mana yang berniat baik dan mana yang tidak tentu bukan hal yang gampang. Apalagi dalam tampilan luar para kandidat itu semua mengesankan baik. Banyak metode dan cara untuk meyakinkan seolah-olah kandidat memang bersungguh-sungguh untuk berbuat baik. Melalui metode pencitraan yang canggih masyrakat bisa dimanipulasi dengan citra artificial atau citra yang seolah-olah.

Karena itu kita perlu bersikap secara kritis terhadap semua calon. Kalau perlu kita telanjangi semua rekam jejaknya. Bagi yang tidak bersedia jangan dipilih, karena kita tidak mau lagi tertipu untuk beberapa kalinya. Jangan lagi kita terjeremus pada calon yang seolah-olah baik itu karena itu sangat berbahaya.

Menemukan kandidat mana yang benar-benar serius dan mana yang hanya serius untuk dirinya memang tidak terlepas dari karakternya. Masalahnya adalah karakter, sifat, dan kebiasaan aslinya baru terlihat ketika dia benar-benar memimpin. Jadi apakah dengan demikian calon incumbent saja yang bisa kita nilai mengingat telah pernah memegang kepemimpinan sebelumnya?

Tentu saja tidak demikian. Sekalipun calon yang belum pernah duduk sebagai pemimpin kita bisa menilainya juga. Yaitu dengan mengenali beberap tanda dan indikasi yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk mengenali karakter calon. Misalnya bagaimana tanggungjawabnya, disiplin, sekapnya terhadap orang lain, cara ia berbicara pada orang lain, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang me nyerah,ketulusan, peduli, kewargaan, tekun ,integritas,visioner,adil dan sebagainya.Singkatnya kita mencari calon yang punya karakter sebagai negarawan.

Hal yang paling pertama harus dituntut adalah kesediaan untuk bertanggungjawab. Inilah sikap dasar dari seorang negarawan. Sekalipun definisi negarawan belum terlalu jelas tetapi secara sederhana seperti yang digambarkan oleh filosof Hans Jonas sebagai orang yang memikul tanggungjawab takterbatas, bersedia memikulnya serta tidak lari dari padanya.

Frans Magnis Suseno menjelaskan, pemimpin tidak hanya dinilai dari apa yang pernah dilakukan, melainkan juga apakah dalam kedudukannya dulu pernah melakukan sesuatu. Secara retorik masyarakat harus menanyakan, apakah ia waktu pernah memimpin member cap kepribadian kepada apa yang terjadi? Apakah ia menujukkan kebersamaan moral, artinya berani mengambil keputusan meskipun keputusan itu penuh resiko,berbahaya dan tidak populer?

Kini terserah kita. Para calon itu sebenarnya tidak punya daya tawar terhadap pilihan masyarakat. Kita dapat secara bebas menentukan pilihan siapapun yang kita percaya. Bagaimana dengan misalnya kalau ada tawaran uang atau fasilitas sejenis dari seorang kandidat? Bagi kandidat yang punya ambisi untuk membangun secara serius maka pasti tidak dilakukan. Melainkan hanya kandidat yang punya ambisi pribadilah yang akan melakukannya. Sekali lagi terserah kita, silahkan merenung dan berfikir terhadap masalah ini.

Read More..

5/01/2010

Mengsinergikan Kepentingan Buruh Dan Pengusaha

Memang tidak mudah memadukan kepentingan buruh disatu pihak dan kepentingan pengusaha dipihak lain. Disamping karena perbedaan kelas,borjouis dan proletar juga karena prinsip ekonomi.Pengusaha dengan doktrin ekonomi klasik yang diyakini, ingin menghasilkan keuntungan yang sebesarnya besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Sebaliknya para buruh ingin memperoleh upah yang setinggi-tingginya dengan kerja yg seminim-minimnya. Begitulah paradoks kepentingan yg terjadi pada buruh dengan para pengusaha.

Mungkin agak berlebihan preposisi di atas. Tetapi pada dasarnya itulah sebenarnya yg ingin dicapai. Kalau saya mengatakan sekiranya masing-masing pihak mempertahankan prinsip di atas pastilah tidak akan pernah ketemu. Karena memang dua prinsip itu adalah dua hal yg terlalu ideal yg tidak mungkin bisa dipenuhi.

Tuntutan buruh

Adalah suatu kewajaran apabila para buruh menuntut kesejahteraan yang lebih baik. Realitasnya para buruh memang mempunyai kedudukan yang lemah. Upahnya masih rendah hingga belum memadai untuk kebutuhan hidup di era modren ini. Apalagi secara politik, para buruh sering tidak berdaya berhadapan dengan para pengusaha yang memiliki modal banyak. Jadilah buruh betul-betul hanya menjadi faktor produksi layaknya mesin . Ia bisa diberhentikan dan dipekerjakan kapanpun oleh pengusaha tanpa bisa melawan kedzholiman itu, terutama pada saat dimana banyak memberlakukan sistem kontrak (outsourching).

Sejatinya para pengusaha harus menyadari juga kekeliruan ini. Keliru karena umumnya pengusaha menganggap apabila tuntutan buruh seperti peningkatan upah dan peningkatan keterampilan dipenuhi akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang pada gilirannya akan menurunkan laba perusahaan. Sekali lagi ini salah kaprah. Justru dengan meningkatkan upah dan keterampilan akan semakin meningkatkan pendapatan perusahaan. Asumsinya jika gaji naik buruh akan semakin memiliki dedikasi kerja dan tanggungjawab pada perusahaan. Pada gilirannya akan semakin menambah produktivitas perusahaan. Inilah salah satu alasan mengapa relokasi industri tidak terjadi secara besar-besaran dari negara-negara industri yang upah buruhnya sangat tinggi seperti di Jerman ke negara-negara berkembang yang upah buruhnya rendah.

Sinergi Buruh dan Pengusaha

Menuntut pengusaha agar memberikan upah dan keterampilan yang tinggi tentu juga mempunyai konsekuensi terhadap buruh. Jelas, bila ingin memperoleh fasilitas yang memadai, seharusnya buruh juga harus meningkatkan keahlian dan dedikasinya terhadap perusahaan. Meskipun demikian, buruh dalam tuntutannya harus lebih objektif dan rasional. Artinya kemampuan perusahaan harus juga dilihat. Sekeras apapun tuntutan buruh apabila kemampuan perusahaan tidak dapat memenuhinya maka mustahil dipenuhi.

Disini yang diperlukan adalah transparansi. Perusahaan harus menjelaskan kemampuan perusahaan secara terang benderang pada buruh. Perusahaan harus jujur apa adanya. Tidak ada rahasia berkaitan dengan pendapatan. Perusahaan harus memaparkan keuntungan, biaya dan seterusnya. Sebaliknya para buruh pun merespon dengan hal yang sama. Keharusan dialog inilah yang harus terus menerus dilakukan agar kepentingan dua belah pihak dapat berjalan bersama. Bila ini berjalan maka tentu juga memperbaiki mutu buruh sekaligus meningkatkan pendapatan perusahaan.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP