7/17/2009

Menangkap Pesan Pelaku Teror

Pagi ini kembali kita dikejutkan dengan adanya ledakan yang terjadi Hotel Mariot dan Ritz carlton Jakarta. Informasi dari kompas.com, saat ini sudah 6 orang yang tewas. Sejauh ini aparat keamanan belum berani menyimpulkan penyebab ledakan itu.

Kalaulah ledakan ini bersumber dari bom tentu ini pekerjaan dari teroris. Dugaan bahwa yang melakukan ledakan itu adalah teroris telah melekat kuat dibenak publik. Misalnya, posting pertama dari Pepih Nugraha di Kompasiana tehadap ledakan itu.

Dalam Tulisan itu dipertanyakan, apa pesan dari adanya ledakan itu? Bagi dia, pesannya sederhana bahwa teroris masih ada di Indonesia dan kapanpun bisa membuat ledakan serupa.

Kalau demikian, kita patut mempertanyakan kerja aparat keamanan selama ini. Dengan adanya ledakan ini kita menilai masih ada beberapa aspek yang patut diselesaikan oleh pihak keamanan misalnya penangkapan Nurdin M.Top yang dipercaya sebagai otak terorisme di indonesia.

Tetapi supaya lebih berimbang kita harus juga mengakui beberapa keberhasilan yang telah dilakukan. Misalnya penangkapan sejumlah pihak yang dituduh terlibat kegiatan terorisme di Indonesia. Bahkan Dr.Azhari yang dituduh sebagai otak terorisme itu telah menemui ajalanya dalam sebuah penyergapan di Malang november 2005.

Harus diakui pekerjaan memerangi terorisme bukanlah pekerjaan yang gampang. Amerika pun tampaknya sudah kewalahan. Padahal perang terhadap terorisme ini sudah dilakukan minimal sejak runtuhnya world trade center di New York. Bahkan dalam masa kepemimpinan Presiden Bush, perang melawan terorisme menjadi isu yang utama. Hasilnya belum maksimal. Karena itu Pemerintahan Obama melakukan beberapa perubahan dalam pemberantasan terorisme global.

Maka, mungkin perlu strategi baru lagi dalam memerangi terorisme ini. Katakanlah bukan lagi memakai perang dan sejenisnya tetapi dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi terhadap pelaku terorisme. Karena bagaimanapaun pelaku teror itupun adalah manusia juga. Salah satu sebab banyaknya pelaku teror yang “menyerah”di Poso adalah karena pendekatan kemanusian yang berhasil. Begitu juga di Aceh. Dan Pak Jusuf Kalla telah melakukan ini dengan baik.

Bagaimana caranya? Seperti yang dikatakan Pepih Nugraha, bahwa pelakunya pastilah membawa pesan yang ingin disampaikan. Nah, pesan itulah yang harus kita mengerti dulu. Dengan kata lain casus belli-nya dulu yang diselesaikan. Kalaulah pesannya sudah dimengerti niscaya pelaku teror akan mudah dicarikan kesepakatan-kesepakatan yang lebih adil. Wallhu A’lam.

Read More..

7/14/2009

"Untuk Apa Pilpres Bagi Saya?"

Pertanyaan yang seperti di atas sering saya jumpai ketika saya menjalankan peran sebagai politisi maupun sebagai tim sukses salah seorang calon presiden. Pertanyaan itu disertai dengan argumen, Toh, siapa pun yang terpilih tidak akan berdampak sama saya. Calon A,B,C tidak akan merubah hidup saya. Saya tetap begini-begini saja. Paling-paling mereka (calon itu) hanya mengurus diri mereka sendiri.

Rasa pesimisme ini kemudian lebih dalam lagi bila kita menjelaskan tentang demokrasi. Bagi masyarakat seperti ini demokrasi bukanlah sebuah persoalan penting. Demokrasi hanya merupakan jargon. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya secara ekonomi.

Fakta bahwa masih banyak masyarakat kita tidak mengetahui fungsi demokrasi adalah hal nyata. Bahkan, jangankan fungsi, hakekat atau prinsip-prinsip demokrasi, kata demokrasi sendiri pun belum diketahui artinya.

Inilah juga agenda yang mendesak bagi para pemimpin politik saat ini. Yakni bagaimana memberikan pemahaman yang nyata kepada masyarakat bahwa demokrasi itu dapat mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

Sehingga pada urutannya rakyat dengan kesadaran penuh akan berbondong-berbondong memberikan suaranya dalam suatu pemilihan umum.

Bukan hanya itu, hal ini akan mendorong rakyat memberikan suaranya pada calon yang betul-betul sesuai dengan kepentingannya. Bila ini terjadi maka kita tidak perlu takut terhadap politik pencitraan yang berlebihan karena pasti rakyat tidak akan terpengaruh.

Kebutuhan Demokrasi

Rakyat pada hakekatnya membutuhkan demokrasi. Cuma persoalannya rakyat tidak mengetahui untuk apa demokrasi bagi mereka. Untuk apa ada pemilihan umum, pemilihan presiden atau pilkada. Mengapa harus memilih kandidat A, B atau C dan seterusnya.

Peruntukan demokrasi untuk rakyat haruslah sesuai dengan kebutuhannya. Bila masyarakat disuatu tempat terlibat masalah konflik dan kekerasan, maka para politisi harusnya menjelaskan bahwa demokrasi itu akan mendatangkan rasa aman dan damai.

Demokrasi diperlukan karena sistem ini bisa menegakkan stabilitas sosial, menciptakan ketentraman dan membawa rasa aman.

Demokrasi bukan saja membuat masyarakat mampu mempertahankan dirinya terhadap ancaman yang datang dari luar, tapi juga membina hubungan yang damai antar sesama warga. Kemudian calon itu harus bisa menjelaskan programnya dengan bahasa yang dimengerti oleh rakyat.

Lain lagi bila rakyat membutuhkan kehidupan ekonomi yang meningkat. Demokrasi pun diperlukan pada konteks ini. Dapat dijelaskan bahwa demokrasi adalah sistem atau cara yang paling baik untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya karena dalam demokrasi akan berlaku persaingan yang sehat dan adil.

Dalam demokrasi semua orang dilidungi haknya, diberikan porsi yang adil untuk kepentingannya dan yang tertindas akan diberikan pemihakan yang tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain sehingga ada keadilan.

Yang ingin saya katakan pada poin ini adalah para politisi harus mampu menjelaskan apa fungsi demokrasi itu bagi pemilihnya sehingga harus dia yang dipilih dan bukannya calon yang lain.

Demokrasi adalah Tujuan Sekaligus Cara

Demokrasi menurut Ignas Kleden harus dimaknai secara utuh, yakni Demokrasi sebagai nilai-nilai universal, Demokrasi sebagai mekanisme dan prosedur, dan demokrasi sebagai tujuan (kesejahteraan, kebebasan/kebersamaan, keadilan).

Karena demokrasi tidak hanya sebagai alat tetapi juga sebagai tujuan maka negara tidak boleh kembali kepada kepemimpinan otoriter apabila demokrasi tidak bisa menyejahterakan masyarakat. Maka tiga komponen di atas harus diterapkan dalam satu negara yang menerapkan sistem demokrasi.

Dengan kata lain demokrasi mengandung subtansi nilai dan bagaimana nilai itu dimplementasikan pada kehidupan. Disnilah para politisi itu dituntut perannya secara serius dalam menjalankan amanah rakyat yang diberikan tanggungjawab kepada mereka. Sebaliknya rakyat pun harus taat pada kaedah-kaedah dan aturan main yang disepakati dalam bernegara.

Demokrasi memiliki nilai pluralisme, keadilan, kesetaraan, keterbukaan. Sejumlah nilai ini hanya bisa dijalankan secara efektif pelaku-pelaku demokrasi itu juga menghayati nilai-nilai tadi.

Adagium The end justifies the mean, tujuan menghalalkan segala, adalah pelanggaran hakekat demokrasi.

Jadi menjalankan demokrasi haruslah sesuai hakekat (subtansial) dengan proseduralnya (cara). Hanya dengan begitu kehidupan demokrasi akan diyakini rakyat berguna bagi kehidupannya sehari-hari.

Read More..

Golkar sebaiknya bagaimana?

Dua hajatan politik nasional tahun ini, Partai Golkar gagal. Pada Pemilu legislatif, posisi Partai Golkar hanya di peringkat dua dibawah Partai Demokrat dengan beda prosentase kekalahan yang besar (6%). Sementara pada Pilpres, calon yang diusungnya kalah telak, hanya menduduki posisi tiga dengan perolehan suara 11-12% (Hasil Quick Count).

Dengan posisi itu, kini Partai Golkar bingung menentukan sikap, apakah opisisi ataukah berusaha untuk masuk lagi pada pemerintahan? Ketua DPD Partai Golkar Yogyakarta ,Sultan Hamengku Buwono, menyarankan Partai Golkar sebaiknya beroposisi. Kader lain Yuddy Chrisnandy atau Muladi mengatakan Partai Gokar tidak punya tradisi oposisi.

Tarik menarik menarik dua posisi ini akan menarik untuk disimak ke depan. Tampaknya yang menentukan ke depan mau kemana Partai yang telah memiliki Paradigma Baru ini adalah Musyawarah Nasional (Munas) yang di jadwalkan Oktober.

Tapi ada juga pihak yang menyarakankan bahwa Munas sebenarnya harus dipercepat. Pendapat ini disuarakan oleh mantan Ketua Umum Akbar Tandjung dan Fadel Muhammad. Ketua Umum Jusuf Kalla sendiri pernah menyatakan bahwa bila tidak terpilih sebagai Presiden ia setuju akan diadakan Munas dipercepat.

Kandidat kuat yang akan memperebutkan poisisi ketua umum sudah dilansir ke publik. Sampai saat ini dua nama yang mengkristal yaitu Abu Risal Bakrie dan Surya Paloh.

Nah, bagaimana sebaiknya Partai Golkar memposisikan dirinya dalam konstalasi politik nasional saat ini? Apakah beropisisi atau kembali memperkuat pemerintahan terpilih?

Masing-masing kubu punya argumentasi. Bagi yang setuju beroposisi mengatakan bahwa, pilihan opisisilah yang paling realistis. Hal ini sebagai konsekuensi dari kekalahan pada pilpres. Sementara kubu yang senang dengan pemerintah mengatakan bahwa yang paling baik adalah ikut bersama dengan pemerintah karena Partai Golkar tidak punya tradisi oposisi di pemerintahan.

Bagi elit Partai Golkar memang serba susah memposisikan Partai Golkar ditengah konstelasi politik nasional paska pilpres ini. Semua serba dilematis. Bila Golkar oposisi, maka siap-siaplah para elitnya “menderita". Menderita karena beroposisi memang hal baru bagi partai Golkar.

Dalam sejarahnya Partai Golkar selalu ikut pemerintahan termasuk pada masa reformasi ini. Karena itu bagi elit yang tidak terbiasa berpisah dengan "induk semangya" pemerintah tentulah hal ini terasa sulit. Apalagi kalau para elit itu masih punya kepentingan yang besar pada pemerintah.

Dilain pihak, ikut bersama dengan pemerintah pasti menimbulkan resistensi yang kuat bagi rakyat. Rakyat akan menilai bahwa Partai Golkar memang tidak punya komitmen ideologis. Yang dibangun adalah kepentingan pragmatis yang berjangka pendek. Mungkin juga akan dicap sebagai Partai oportunis.

Bagi saya, posisi sebagai oposisi adalah hal yang ideal. Karena dengan beroposisi Partai Golkar akan mendapat pelajaran politik baru. Sebagai Partai yang telah memiliki paradigma baru tidak ada alasan untuk menolak pilihan sebagai oposisi.

Kalau tidak bisa oposisi berarti Partai Golkar belum sepenuhnya menjalankan paradigma barunya yang selalu tergantung atau menggantungkan diri pada pemerintah.

Dalam munas yang akan datang harus ada pembaharuan secara menyeluruh. Paradigma baru harus dibicarakan lagi implementasinya. Begitu juga pola perkaderan, regenerasi, dan langkah-langkah politik harus dibicarakan secara cermat dan mendetail.

Kesungguhan para para kader dari struktur yang paling atas sampai bawah juga sangat menentukan. Hanya dengan begitulah Partai Golkar akan kembali diperhitungkan.

Nah, siapa figur yang ideal menahkodai Partai Golkar ke depan? Para peserta Munaslah yang menentukan. Wallahu A’lam.

Read More..

Politik Setelah Pilpres 2009

Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, jika benar terpilih menjadi presiden RI, dirinya terbuka akan kemitraan dengan capres Megawati Soekarnoputri dan M Jusuf Kalla (Kompas.com)

"Kami ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Megawati Soekarnoputri dan Bapak Prabowo Subianto atas upaya beliau menyampaikan opsi (kebijakan) yang saya kira sangat penting untuk dipertimbangkan bagi rakyat kita, dan kami juga ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Jusuf Kalla dan Bapak Wiranto yang juga menyampaikan pilihan-pilihan kebijakan yang penting untuk jadi pertimbangan kami di waktu-waktu yang akan datang. Ini seandainya kami mendapatkan amanat,"(Kompas.com)

Dua kutipan di atas terasa melegakan setelah kita menyaksikan sengitnya pertarungan politik pada masa kampanye pilpres. Dalam masa kampanye itu saling sindir, ejekan bahkan kampanye hitam dilakukan oleh semua tim kampanye. Kini semua sudah berakhir dan baru saja bangsa Indonesia memberikan suaranya pada pilpres 2009.

Meskipun prediksi pemenang sudah diketahui melalui hitung cepat, masing-masing pasangan tampaknya masih menahan diri untuk menyatakan diri sebagai pemenang maupun pihak yang kalah. Melalui Beberapa lembaga yang melakukan hitung cepat diketahui presentase kemenangan tertinggi diraih oleh pasangan SBY-Boediono.

Sambil menunggu penetapan secara resmi barangkali kita musti urun rembuk dalam memikirkan bagaimana bangsa ini setelah pilpres itu. Kita bisa mengatakan bahwa satu langkah politik telah berhasil kita lewati dengan aman dan damai. Kini kita melangkah ke tahapan selanjutnya yakni bagaimana bekerja untuk memenuhi segala aspirasi rakyat sebagaimana telah dijanjikan selama kampanye.

Pada tahapan ini pasti lebih sulit karena titik beratnya adalah pemecahan masalah. Lain dengan pada masa kampanye yang hanya mengandalkan pencitraan, retorika prestasi dan janji. Karena itu pihak yang kalah pun harus mengambil bagian pada tahapan ini.

Kerangka kerja makro aspirasi rakyat itu sebenarnya telah tercantum dalam visi-misi, flatform dan agenda program. Inilah yang pada masa kampanye dipasarkan ke publik. Meskipun pada dasarnya dokumen ini mengikat namun sejatinya tetap terbuka diajukan sejumlah penyempurnaan. Dalam konteks ini tidak seharusnya dilakukan pembatasan terhadap adanya ide atapun masukan baru terhadap flatform itu apabila ada yang lebih sesuai dengan kepentingan rakyat. Inilah titik kompromi yang melampui kepentingan dan ego masing-masing.

Pemerintahan baru ke depan kita harapkan akan mengarah pada pola take and give tersebut. Dan kita patut lega karena bibit-bibitnya baru muncul dari kutipan pernyataan di atas. Bagi pihak yang dinyatakan menang memang harus selalu terbuka menerima masukan, karena seperti dikatakan Boediono, hal ini akan meningkatkan mutu demokrasi.

Kompromi Program

Dalam menjalankan pemerintahan lima tahun kedepan sejatinya pasangan SBY-Boediono harus mengambil beberapa ide dan program yang dimiliki oleh pasangan JK-Wiranto maupun Mega-Prabowo. Misalnya ide tentang kemandirian ekonomi.

Dalam masa kampanye tekanan isu pada kemandirian ini terlihat minim pada pasangan SBY-boediono. Padahal isu ini penting untuk mengurangi ketergantungan bangsa kita pada negara lain. Saatnya kita meminimalkan pinjaman utang dari luar negeri.

Begitupun beberapa program dari pasangan lain bisa melengkapi program yang sudah dicanangkan oleh pasangan pemenang. Misalnya, pemberdayaan ekonomi pemuda dengan cara menyediakan kredit murah dari JK-Wiranto juga seharusnya menjadi prioritas untuk dilaksanakan.

Program-program pro rakyat kecil yang menjadi tekanan isu pasangan Mega-Pro juga harus menjadi perhatian. Misalnya tekanan Megawati pada pemenuhan sembako murah bagi rakyat.
Ini juga harus harus dapat dilaksanakan oleh pasangan terpilih agar rakyat kecil tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini sekedar menyebutkan beberapa contoh saja. Tentu masih banyak yang lain.

Negarawan

Pada saat akhir dari sebuah pertarungan politik yang sengit biasanya kita menuntut para politisi untuk bersikap sebagai negarawan. Namun definisi tentang negawaran belumlah terlalu jelas maksudnya. Tetapi satu hal yang disepakati adalah bahwa negarawan itu adalah sosok manusia yang memiliki visi yang berorientasi jangka panjang.

Negarawan lebih mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan. Dia juga berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua golongan dan komponen bangsa. Sikap-sikap tersebut mampu dibuktikan melalui komitmen pada perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya.

Apabila pasangan yang kalah tersebut memang bersifat negarawan, dengan adanya kompromi program pasti mengobati kekecewaan. Karena bagi yang bersikap negarawan pastilah rakyat yang utama.

Bagi negarawan boleh saja mereka kalah memperebutkan kekuasaan tetapi ide dan keinginan mereka untuk melaksanakan cita-cita negara berupa adanya keadilan dan kesejahteran jangan sampai terhambat dan tidak dilaksanakan. Dan siapapun yang melaksanakannya adalah tidak penting.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP