5/25/2009

Rakyat Siap-Siap Untuk Kecewa Kembali

Setelah Pemilu legislatif sudah ditetapkan hasilnya, kini kita menanti pemilu presiden 9 Juli2009. Sperti diketahui, pemilu legislatif meninggalkan beberapa catatan negatif antara lain, DPT yang bermasalah, cara kerja KPU yang tidak profesional sampai pada peserta yang banyak melakukan pelanggaran. Catatan-catatan tersebut ada beberapa diproses secara hukum sebagian lagi kini dilupakan seperti kisruh DPT. Menghadapi Pilpres ini, kita berharap pada penyelenggara maupun para kandidat agar berusaha meningkatkan kualitas agar demokrasi yang dihasilkan juga berkualitas.

Bagi saya kualitas pemilu itu dibuktikan dengan adanya perbaikan dan peningkatan kualitas hidup rakyat seluruhnya. Kualitas tidak hanya tergambar dengan angka-angka tapi juga tergambar secara jelas dan utuh pada masing-masing individu. Harapan-harapan yang sudah diungkapkan rakyat pada berbagai kesempatan baik yang berhasil direkam oleh media maupun hanya tergambar pada sorot mata rakyat harus segera diperjuangkan di lembaga perwakilan rakyat. Para pemenang pemilu harus membuktikan janjinya pada saat kampanye.

Harapan ideal tersebut hanya bisa dipenuhi oleh para pemegang kekuasaan itu apabila mereka semua mau berlaku jujur. Hanya dengan kejujuranlah yang menyebabkan rakyat bisa percaya. Tetapi dalam situasi politik yang pragmatis transaksional seperti ini susah atau kalau tidak mustahil untuk mengharapkan lahirnya kepemimpinan yang jujur.

Melihat proses politik yang sedang berlangsung, peluang untuk terjadinya manipulasi janji pada pemilu kali ini masih sangat besar. Indikasinya dapat kita lihat dari cara-cara kampanye mereka yang memakai jurus-jurus pencitraan yang berlebihan. Dalam pencitraan itu segalanya bisa ditampilkan, yang jelek menjadi sesuatu yang baik. Yang tidak bermoral menjadi bermoral dan yang tidak realistis menjadi realistis. Kini cara-cara yang manipulatif itu disebarkan secara luas ke masyarakat.

Sebenarnya cara-cara pencitraan lazim saja dalam politik. Toh, figur politik memang perlu dipasarkan, karena tidak semua kebaikannya tersampaikan pada publik. Hanya saja dalam pencitraan tersebut diperlukan batas-batas yang proporsional. Batas proposional sudah tergambar dalam rekam jejak sang calon. Artinya hal-hal yang dicitrakan sesuai dengan kenyataan. Apabila ada yang tidak sesuai dengan kenyataan maka ini adalah hal manipulatif atau kebohongan. Bila ini yang terjadi maka rakyat sebagai pemilik sah negara ini, untuk kesekian kalinya akan mengalami kekecewaan.

Secara pribadi saya sudah kecewa dengan beberapa realitas pencitraan ini. Karena hal-hal yang berurusan dengan Tuhan pun sudah dipoles sedemikian rupa. "Boediono adalah muslim yang lurus, jujur, sederhana, konsisten dan teknokrat yang ulung dan cerdas," kata SBY saat memberikan sambutan di Gedung Sabuga, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/5). Bukankah, sejatinya aspek-aspek spritualitas, ketakwaan atau kesalehan sesorang itu hanya Tuhan yang tahu? Ini artinya, dalam suasana politik yang spekulatif ini, Tuhan pun dicoba untuk dimanipulasi. Wallahu A’lam.

Read More..

5/18/2009

Neo-lib VS Kerakyaktan: Hanya Isu Pragmatis

Saya tidak meyakini bahwa pilihan isu antara ekonomi neo-lib dan isu kerakyatan oleh partai-partai pengusung pasangan calon presiden didasari oleh muatan ideologis tertentu. Saya justru menduga isu ini hanyalah pilihan praktis dan pragmatis saja. Dugaan ini berasal dari kenyataan:

Pertama, tidak ada partai yang konsisten dengan ideologinya sendiri. Buktinya partai yang berideologi nasionalis juga meniupkan isu-isu keagamaan. Partai Golkar yang Nasionalis misalnya, tetap saja membentuk organisasi sayap agama (Al-Hidayah) di dalamnya. Begitupun partai yang berasaskan agama seperti PKS juga mengenalkan kepada publik sebagai partai terbuka.

Kedua, pilihan koalisinya tidak konsisten. Baik partai-partai nasionalis maupun islam tidak ada yang membentuk poros koalisi masing-masing. Semua tergabung dan tercampur tanpa batasan ideologi yang mereka yakini. Yang menentukan pilihan koalisi itu semua bersifat pragmatis.

Fakta bahwa adanya pengaruh ideologi tertentu yang dianut oleh sebuah negara mungkin banyak yang terbukti. Misalnya, liberalisme dan kapitalisme di Amerika memberi pengaruh kuat pada seluruh formasi sosialnya. Dengan kata lain ideologi itu memang berpengaruh secara optimal dengan membentuk pandangan hidup masyarakatnya.

Tetapi yang terjadi di negara kita saat ini belum seperti di Amerika. Hal ini karena dominannya kepentingan pribadi atau kelompok pada sebuah kekuasaan. Inilah salah satu faktor yang menghalangi dan menghambat beroperasinya kepentingan ideologis tersebut. Dan inipulah yang menghalangi tercapainya cita-cita kebangsaan kita.

Yang mau saya katakan pada poin di atas adalah tidak usah terlalu kuatir pada isu-isu yang dikemukakan oleh pengamat dan para aktivis partai sendiri. Baik isu ekonomi neolib maupun kerakyatan pada hakekatnya hanyalah untuk kepentingan praktis berupa kekuasaan saja. Ketika kekuasaan sudah dalam genggaman maka berakhirlah semua isu itu. Yang tertinggal adalah bagaimana menggunakan kekuasaan itu “sebaik-baiknya”.

Oleh karena itu, yang kita perlu awasi adalah proses, cara, dan kepada siapa kekuasaan itu akan digunakan. Bila kekuasaan itu diperoleh cara-cara yang tidak adil dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi maka seharusnya diprotes secara keras. Begitupun kalau penggunaanya hanya untuk kepentingan pribadi,kelompok atau lebih-lebih kepada bangsa lain, ini juga harus ditolak.

Tetapi saya setuju bila merebut kekuasaan harus dengan cara praktis saja. Hal ini didasari atas pengalaman bahwa semakin lama proses-proses politik itu berlangsung akan semakin mahal ongkos materi dan sosialnya. Akibatnya terlalu besar energi yang dihabiskan oleh bangsa ini hanya untuk kepentingan politik saja. Padahal dalam era reformasi menuju transformasi bangsa yang lebih modern dan bermartabat ini, banyak hal yang harus kita kejar kemajuannya. Antara lain , kita butuhkan cara-cara berpolitik yang efektif dan efisien. Lambat yang disertai dengan tindakan yang kurang tepat dan efisien justru akan menimbulkan ketertinggalan.

Memang untuk mencapai cara-cara berpolitik yang efektif itu pasti membutuhkan waktu lama. Karena itu, para politisi harus mengajarkan cara berpolitik yang sehat dan rasional dengan cara “mencicil”kepada bangsa ini. Tidak boleh secara instan. Artinya bangsa ini harus dibiasakan melihat bahwa politik itu adalah yang biasa, business as usual. Tidak seperti saat ini dimana partai-partai politik mengurus konstituennnya hanya kalau ada pemilu. Rakyat semua ribut politik bila ada pemilu. Seakan-akan semua aktivitas terhenti bila ada aktivitas pemilu. Dampaknya seperti yang kita saksikan. Segala cara dilakukan agar bisa meraih suara konstiuen, termasuk cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Padahal ada cara lain yang lebih efektif dan efisien. Yakni dengan memberikan pemahaman terhadap berbagai aspek dari politik itu. Partai-partai harus bisa meyakinkan pemilihnya dari awal berupa adanya kesadaaran politik yang rasional. Jadi masyarakat sudah tahu dari awal bahwa Partai ini punya ideologi A, konsekuensinya begini, dampaknya begitu dan seterusnya. Sampai pada pemilu tidak ada lagi persoalan ideologi, figur dan lain sebagainya. Seluruh rakyat sudah tahu rekam jejaknya.

Karena hal-hal tersebut belum maksimalkan dilakukan, maka agenda rakyat seluruhnya adalah mengawasi orang-orang yang diberi kekuasaan itu terus menerus agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Sekaligus rakyat harus menagi janji pada saat kampanye mereka. Wallahu A’lam.

Read More..

5/15/2009

Wahai Presiden, Fokuslah Ke Kawasan Timur Indonesia

Dibanding dengan Kawasan Indonesia Barat, Kawasan Indonesia Timur secara umum lebih ketinggalan pada berbagai aspek pembangunannya. Hal ini bisa dilihat misalnya dari segi ketersediaan sarana dan prasarana wilayah di kawasan ini.

Menurut Menteri Percepatan Daerah Tertinggal Lukman Edy, selama tiga tahun pemerintahan SBY-JK, baru 28 daerah yang bebas dari ketertinggalan dari sekitar 199 daerah tertinggal.Di kawasan Timur Indonesia kondisinya lebih parah. Hanya Jayapura yang berhasil dientaskan dari ketertinggalan. Menteri PDT Lukman Edy mengatakan, secara umum kondisi di Indonesia Timur tidak berubah, atau mengalami stagnasi. Faktor pembangunan infrastruktur yang paling dominan menyebabkan ketertinggalan Kawasan Timur (Fajar, 3 Januari 2008).

Karena itu siapapun yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presdien pada Pilpres ini tidak boleh mengabaikan kenyataan ini. Hal ini tidak berarti bahwa Kawasan Indonesia Barat tidak mempunyai daerah tertinggal sehingga tidak diperhatikan lagi. Yang kita mau aspirasikan adalah adanya fokus perhatian pada Kawasan Indonesia Timur.

Kami yang berada di kawasan ini merasakan betul dampak ketertinggalan ini. Misalnya Jalan yang kami lalui tidak sebagus di daerah Jawa. Komunikasi pun begitu, masih banyak daerah yang tidak terjangkau sarana komunikasi (Blank Spot) yang murah seperti telpon seluler, apalagi koneksi internet. Ketersediaan listrik pun demikian halnya. Kota Palu misalnya, ketersediaan listriknya sangat parah. Hampir tiap malam lampu padam bergiliran. Bahkan kendala utama bagi investor untuk menanamkan modalnya di daerah ini adalah ketersediaan listrik.

Padahal jika kita melihat potensi kawasan ini sungguh luar biasa. Sekedar menyebutkan contoh minyak, batu bara dan sejumlah barang tambang lain melimpah ruah di sejumlah daerah terutama Kalimantan Timur dan Papua. Bahkan sumur minyak di daerah Sulawesi Tengah juga sudah produksi. Bahan dasar pembuatan semen banyak terdapat di kawsan ini misalnya di daerah Sulsel (Tonasa).

Namun ironisnya sumber- sumber kekayaan negara itu semua diolah di kawasan Barat Indonesia yang berpusat di Jawa. Dengan kata lain Indonesia Timur merupakan daerah penyedia barang saja sementara Indonesia Barat berfungsi sebagai produsen sehingga barang tersebut bisa diolah dan dipakai. Tidak heran nilai tambah (value added) didapatkan oleh kawasan Indonesia Barat. Akibatnya uang yang berputar pun paling besar di daerah jawa (Jakarta).

Dengan terbentuknya pemerintahaan baru nanti maka kebijakan yang berkenaan dengan kawasan Timur pun harus di rubah secara total. Kementerian PDT yang ada saat ini belum cukup untuk menangani masalah ini. Selama ini Kementerian tersebut hanya menangani masalah secara umum. Sejatinya harus spesifik tiap bidang atau departemen sehingga kebijakannya bisa fokus.Bila perlu misalnya, Menteri Pertambangan kantor pusatnya di Kalimantan Timur atau di Papua, Menteri kelautan ditempatkan di Manado, Menteri Pariwisata di Bali dan seterunya. Bukan hanya itu, BUMN yang mengurusi pembangunan infrastruktur harus juga dialihkan kantor pusatnya ke kawasan Indonesia Timur.

Bila ini semua mau dilakukan maka dibutuhkan political will yang kuat dari pemerintah. DPR harus mendorong kebijakan ini dengan cara menaikkan APBN yang akan di peruntukkan di kawasan Indonesia Timur. Dukungan sumber daya manusia pun harus diberikan. Caranya anatara lain dengan memanfaatkan orang-orang pintar dari kawasan Indonesia Timur sendiri. Bila sumber daya manusia di Indonesia Timur belum cukup maka perlu ada transmigrasi intelektual dari Kawasan Barat.

Semua ini tentu bertujuan agar pemerataan pembangunan Indonesia menjadi lebih cepat terlaksana. Bila tidak, kawasan ini tetap saja akan ketinggalan dan ini bisa saja menyebabkan disintegrasi bangsa. Wallahu A’lam.

Read More..

5/11/2009

Oposisi : Sebuah Keniscayaan

Menjelang pemilihan presiden 2009 ini wacana oposisi tidak banyak disuarakan dibanding dengan koalisi. Hal ini dapat diduga akibat seluruh partai khususnya yang melewati Parlementary Threshold ingin berkuasa atau setidaknya ingin dekat dengan kekuasaan. Bisa dilihat misalnya kecenderungan Partai politik yang lebih banyak merapat ke Partai Demokrat dibanding dengan ke Partai Golkar atau PDIP. Bahkan Partai Golkar pun pada awalnya ingin berkoalisi dengan Partai Demokrat namun akibat ditolaknya JK oleh SBY terpaksa Golkar membangun kekuatan poltiknya sendiri. PDIP pun akhir-akhir ini mau mendekat ke Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu.

Proses politik kita itu khususnya bila dipandang dalam perspektif demokrasi yang meniscayakan adanya check and balances adalah tidak sehat. Gejalanya bisa dilihat dari kecenderungan lebih banyak Partai yang ingin berkoalisi dengan partai pemenang pemilu dari pada memainkan peran oposisi. Kalaupun ada, hanya dilakukan karena tidak berhasil menduduki jabatan di pemerintahan. Jadi kesannya hanya terpaksa, tidak direncanakan.

Pada hal oposisi yang baik harus direncanakan sehingga langkah-langkah politik yang dijalani menjadi sistematis. Selama ini timbul kesan terhadap partai yang memainkan peran oposisi hanya sekedar beda saja dengan pemerintahan. Sejatinya tidak demikian. Partai oposisi bukanlah lawan secara permanen tetapi ia merupakan mitra kritis bagi pemerintah yang berkuasa. Program yang pasti menguntungkan rakyat seharusnya diberikan dukungan juga atau setidaknya harus ada alternatif yang ditawarkan bila memang tidak sepakat dengan sebuah program. Jadi konsep pembanding harus ada.

Secara filosofis keharusan oposisi itu didasarkan pada kenyataan bahwa alam ini diciptakan Tuhan dalam keadaan seimbang. Tertib dan teraturnya alam ini karena adanya hukum keseimbangan itu. Apa jadinya suhu terus menerus panas atau dingin. Atau tidak ada perputaran planet-planet maka sudah dapat diduga akibatnya. Apabila keseimbangan itu terganggu dengan kecenderungan berat pada posisi tertentu maka alam ini juga pasti hancur karena tidak ada lagi yang mengontrol.

Pada aras politik secara universal diyakini adanya prinsip konstitusionalisme yang berintikan asas keutamaan hak rakyat, namun dalam praktik politik sering ditabrak oleh klaim mandatoris dan mayoritarianisme rezim penguasa yang gemar mengangkangi rakyatnya sendiri. Dalam konteks itu, oposisi hadir berdasar paham falibilismenya, bahwa mandat politik itu tidak identik dengan penyerahan kedaulatan, dan kekuasaan yang menjalankannya mengandung korupsi permanen dalam dirinya (Rocky Gerung, 2001).

Pengalaman kita pada masa orde baru membuktikan konstatasi di atas. Parlemen dan pemerintahan pada saat itu dikuasai oleh seorang aktor maka peran-peran kritis oleh sejumlah elemen masyarakat selalu dibungkam. Yang terjadi kemudian adalah berkembangnya kekuasaan yang otoriter. Akibatnya kekuasaan pada saat itu hanya menguntungkan para penguasa pemerintahan. Hal ini tentu merugikan dari segi partisipasi politik rakyat.

Dengan demikian opisisi itu harus menjadi keharusan. Pertama, segala kebijakan pemerintahan yang berlindung pada klaim legitimasi rakyat musti harus di periksa kembali. Harus ada audit. Semua kebijakan tidak boleh langsung diterima agar terbangun sebuah legitimasi yang kongkrit dari rakyat. Karena itu diperlukan dukungan kelompok masyarakat aktif, menjadi agen kritis, yang akan mengontrol dan memberi alternatif atas segenap langkah pemerintah terpilih.
Kedua, oposisi disini bermakna sebagai oposisi loyal. Artinya oposisi tidak dibentuk secara otomatis terdiri dari blok semua partai yang kalah tetapi sebagai desain politik yang sadar beberapa partai reformis yang berkekuatan cukup.

Ketiga, dalam upaya mengakhiri transisi demokrasi, bahwa seluruh aktivitas politik dan penyelesaian konflik politik diselesaikan dalam mekanisme kelembagaan di parlemen. Tidaklah berarti peran aktor sosial berhenti tetapi malahan harus terus diperkuat sebagai kekuatan masyarakat madani. Tetapi ujung dari setiap ide altenatif terhadap segala kebijakan pemerintah pada akhirnya ada di parlemen dengan oposisi sebagai aktor utamanya. Wallahu A’lam

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP