3/04/2008

Mengatasi Kemiskinan


Masalah yang terbesar yang belum teratasi saat ini adalah kemiskinan. Sekalipun ada usaha-usaha untuk mengurangi jumlahnya namun tetap saja belum banyak yang berhasil. Angka kemiskinan yang menurut pemerintah menurun dari tahun ke tahun diragukan validitasnya oleh ahli-ahli ekonomi seperti pada kontroversi angka kemiskinan yang dkeluarkan pemerintah pada saat Presiden SBY mengantar APBN tahun 2007.

Bahkan saat ini ada yang sudah meninggal akibat kelaparan seperti yang menimpa seorang ibu yang hamil dan anaknya di makassar bebetapa hari yang lalu. Penyebabnya karena mereka tidak bisa membeli makanan.

Mengapa penanggulangan kemiskinan belum berhasil padahal banyak sekali program kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah? Bagaimana mengatsinya?

Ditilik dari penyebabnya maka setidaknya ada dua model pendekatan. Pertama, pendekatan struktural dan kedua, kultural. Negara yang dominan. Masalahnya manajemen negara saat ini tidak beres alias salah kelola. Makanya kebijakan apapun tidak akan berjalan dengan baik. Negara juga saat ini tidak memiliki blue print bagi pengentasan kemiskinan. Semua program pengentasan kemiskinan adalah proyek yang cari untung. Makanya hampir semua gagal. Jargon pemberdayaan rakyat miskin terlalu politis.

Yang tidak kalah pentingnya adalah memakai pola kultural. Tetapi pola kultural sangat lambat kita lihat hasilnya karena yang disentuh adalah aspek sosial budaya, tradisi, agama dari masyarakat.Namun demikian hal tersebut sangat berpengaruh. Beberapa penelitian ahli menyimpulkan demikian.

Ambillah beberapa contoh. Misalnya, kesimpulan weber yang mengatakan bahwa sumber etos kapitalisme berasal dari protestan adalah bukti menarik bahwa betapa keyakinan atau agama dapat menjadi faktor penting dari usaha ekonomi. Atau juga Jepang yang punya tokugawa religion yang menurut ahli berperan sangat penting bagi kemajuan Jepang saat ini. Juga francis Fukuyama yang menulis buku Trust,berisi tentang pentignya kepercayaan sebagai modal sosial bagi kemajuan ekonomi di negara-negara eropa, amerika dan asia.

Jadi kesimpulan saya, jika negara saat ini tidak bisa diandalkan bagi pengentasan kemiskinan maka seharusnya civil society (masyarakat madani) yang harus banyak berperan. Setidaknya dalam kerangka pendekatan kutural yang lebih subtantif.

Read More..

3/03/2008

Revolusi dan Pilpres 2009

Tidak terlalu penting apakah presiden Indonesia tahun 2009 adalah militer atau bukan. Yang lebih penting adalah kemampuan dia memberikan perubahan-perubahan yang significant pada bangsa. Dia harus mampu membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Itu idealnya.

Masalahnya adalah apakah suprastruktur dan infrastruktur politik kita mendukung bagi terpilihnya orang yang ideal itu? Sepertinya untuk kondisi saat ini belum siap atau dengan sengaja tidak disiapkan.

Masih terlalu banyak hambatan dan tantangan bagi terbentuknya sebuah tatanan yang ideal. Pertama, keputusan-keputusan politik yang dihasilkan oleh DPR masih kentara dengan permainan kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Hal itu tercermin pada undang-undang pemilu yang baru selesai itu. Kedua, secara umum tingkat rasionalitas politik kita masih jauh dari ideal. Rakyat kebanyakan memilih tidak melihat rekam jejak (track record) seseorang.

Rakyat umumnya terjebak pada permainan citra dan politik uang. Ketiga, orang-orang yang terbaik yang pantas untuk menduduki jabatan tertentu biasanya tidak diberi kesempatan atau memang jarang ada yang mau. Misalnya, Nurcholish Madjid ketika besedia ikut dalam konvensi Partai Gokar belum apa-apa sudah dimintai bukan hanya visi tapi yang lebih penting adalah "gizi". Makanya dia mengundurkan diri.
Karena itu memperbaiki bangsa Indonesia ini memang harus butuh kesabaran dan waktu yang relatif panjang. Hal ini karena mentalitas yang sudah terbangun bagi sebagian kalangan politisi kita adalah mentalitas korup. Kalau begitu bagaimana mengakhiri semua ini mengingat ekspektasi rakyat yang sangat besar terhadap perubahan? Apakah perlu sebuah revolusi?

Revolusi memang perlu. Tetapi revolusi bukan dalam artian melakukan tindakan perebutan kekuasaan yang berdarah-darah. Revolusi harus lebih mengarah pada revolusi sistem dan revolusi budaya. Dan kita sudah memilih sistem demokrasi sebagai sebuah pilihan karena diyakini demokrasi sampai saat ini merupakan sistem yang terbaik dari segala sistem yang ada. Namun demokrasi pun pada prakteknya kembali mengecewakan sebagian orang. Maka memperbaiki praktek demokrasi ini harus pula menjadi agenda besar. Programnya adalah bagaimana mendemokrasikan demokrasi (Antony Gidden).

Namun terhadap sistem budaya sepertinya masih dalam pencarian secara terus menerus. Dulu ada polemik kebudayaan antara sutan takdir Alisyahbana dengan Kihajar Dewantoro. Menurut STA Indonesia harus menerima konsep-konsep budaya dari Barat. Sementara Ki hajar Dewantara berprinsip kebudayaan Indonesia harus lahir dari bangsa Indonesia sendiri.

Terhadap hal ini pokok masalahnya berkaitan dengan masalah perkembangan dan kemajuan. Ke-Indonesiaan kita masih terus berproses. Tetapi satu hal yang tidak bisa di tolak adalah modernisme. Tampaknya titik temu semua kepentingan manusia dalam abad ini adalah penerimaan nilai-nilai modernisme tadi. Modernisme adalah cara berfikir baru, dinamis, progseif dan selalu aktual.

Jadi tampaknya menyelesaikan masalah Indonesia tidak cukup dengan mengganti presiden walaupun yang terpilih justru sangat bagus. Problem Indonesia adalah sangat mendasar yang melibatkan banyak sekali faktor.

Namun demikian, bila nanti terpilih presiden yang benevolent strong man (istilah dari Nurcholish Madjid) harus menjadi kesyukuran kita. Artinya dengan hal itu mudah-mudahan dia bisa memimpin Indonesia untuk mencapai cita-cita seluruh masyarakat yang ingin adil makmur yang diridhoi Tuhan Maha Esa.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP