2/11/2007

Konflik Sebagai Hambatan Demokrasi

Perubahan politik di Indonesia tidak berlari di jalan tol demokrasi yang mulus. Disana-sini terdapat lubang-lubang demokrasi yang setiap saat mobil bangsa Indonesia terperosok ke dalamnya. Salah satu adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah bahwa demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun dinegara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratis. Buktinya di sebagian negara barat, tingkat kepercayaan pada para politisi merosot selama beberapa tahun terakhir.Antony Giddens memberikan contoh Amerika Serikat dimana partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya lebih sedikit.


Tingkat kepercayaan pada para politisi di Indonesia sudah lama dipertanyakan masyarakat. Ekpresi rakyat dalam bentuk berbagai protes, demonstrasi maupun yang bersifat ilmiah tidak-hentinya ditujukan kepada para politisi. Terakhir masalah yang menuai protes yang keras adalah keluarnya PP 37 yang menurut sebagian besar masyarakat mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpantasan. Dan terbukti memang PP tersebut direvisi kembali oleh pemerintah.

Di Indonesia paradoks demokrasi juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi sebagian kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh rakyat. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada. Inilah yang akhirnya yang tidak jarang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat.

Dalam pengamatan David Bloomfield dan Ben Reilly, dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.

Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan agama, ras, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana mialnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.

Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik pastilah timbul ketidaktaturan politik dan sosial. Oleh karena itu mudah kita memahami bahwa demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.

Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh masyarakat kita. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat. Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik. Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi politik merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabitas dan keberlangsungan demokrasi. Pemahaman yang baik mengenai institusi politik juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.

Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat-masyarakat yang terpecah-belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (agama, suku, budaya, keyakinan, ideologi, dll), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan. Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi politik yang melindungi hak-hak individual dan kelompok, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi.

Justru karena itu, barrier Indonesia menuju bangsa demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan baik pada domain struktural maupun struktural. Masalahnya adalah bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan langkah-langkah nyata dalam menangani daerah-daerah yang dilanda konflik. Konflik Aceh praktis telah selesai. Poso, Ambon, Sambas juga praktis telah berhasil menghentikan konflik komunal. Namun model antisipasi konflik yang mungkin terjadi sebagai blue print pembangunan nasional belum ada konsep secara konprehensip dan integratif. Pada hal pencegahan secara dini mutlak diperlukan sebagai cara yang paling efektif untuk tidak berkonflik. Penanganan pasca konflik juga masih dirasakan realisasinya belum optimal. Inilah yang menyebabkan bila terjadi konflik komunal yang bersifat mengakar sulit untuk dihentikan secara cepat.

Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efekftif dalam dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi.

Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan ekonomi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan lingkungan. Bila kita melihat sebab-sebab konflik di Indonesia memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen agama, keyakinan, suku,dan ras.

Read More..

2/01/2007

Menuju Indonesia Yang Bebas Dari Negativitas

Sebuah modal sosial yang harus kita syukuri sebagai bangsa adalah Indonesia dalam tahap pertumbuhan dan perkembangannya saat ini telah sukses menjadi sebuah bangsa yang dapat dikenali secara khas Indonesia. Walaupun demikian, melalui sebuah garis kontinum sejarah, bangsa Indonesia tetap dikatakan sebagai bangsa yang terus berproses dalam penjadian diri ( a nation in making). Karena itu dalam prosesnya kemudian terdapat berbagai konsekuensi sejarah lalu yang jauh, masa kini dan masa depan selalu menyertainya. Sejarah tidak mengikuti garis linier tetapi ia bergerak dalam fluktuasi yang beraturan.


Indonesia yang dijumpai saat ini adalah hasil olahan sejarah dengan segala dinamika perkembangannya sendiri. Bila kita menginginkan Indonesia dalam performa terbaiknya maka kita harus mengenali kekuatan, hambatan, kelemahan dan peluang dalam berbagai dimensi dan aspeknya. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah harus mampu memberikan arahan (sense of direction) dalam mencandra hal-hal yang positif maupun negatif tersebut agar bangsa ini tetap dalam rel perjalanan pertumbuhannya yang positif dan lurus (Ihdinasirathal Mustaqim).
Semua itu diawali dengan pengenalan kemudian dilanjutkan dengan tahapan pencandraan melalui serangkaian kegiatan berfikir. Dalam terminologi Al-Qur’an aktivitas yang demikian itu disebut Iqra’. Output dari berfikir akan lahir sebuah ide dan gagasan. Dengan gagasan itulah kemudian kita memulai tindakan. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu berfikir cerdas tentang masa depannya. Melihat realitas bangsa Asia pada ukuran kemajuannya saat ini, Kishore Mahbubani, mantan duta besar Singapura untuk PBB misalnya, dalam sebuah buku provokatifnya, mempertanyakan kemampuan berfikir bangsa Asia (termasuk Indonesia) sehingga mereka pada umumnya tertinggal dari bangsa Eropa dan Amerika.
Disamping faktor yang disebutkan di atas tentu banyak sekali faktor lain yang turut mempengaruhi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Bagi bangsa kita peristiwa sosial politik dalam lingkup nasional, regional maupun Internasional memiliki kaitan yang erat dengan tahapan perkembangan tersebut. Masa transisi yang kemudian disertai krisis multidemensi masih kita rasakan sampai saat ini.Jika masa-masa ini tidak bisa kita segera carikan obat mujarabnya maka penderitaan kita berupa adanya disharmony sosial masih lama. Tertib sosial yang menjadi implikasi negara demokratis masih berupa cita-cita yang belum terwujud dalam waktu dekat.
Dari pengamatan yang lebih dari sekedar common sense, setidaknya ada empat masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Pertama, banyaknya konflik yang terjadi maupun yang berpotensi terjadi diberbagai daerah. Ini adalah konsekuensi dari sebuah bangsa yang besar dan majemuk. Bila melihat sebab-sebab konflik di semua daerah semuanya berkisar pada masalah ekonomi, sumberdaya alam, agama, politik dan kesukuan. Konflik Aceh misalnya sebabnya adalah pengelolaan sumber daya alam yang dirasakan tidak adil disamping masalah politik. Sedangkan Konflik Poso dan Ambon lebih disebabkan oleh politik yang kemudian merembet ke masalah agama.
Kedua, terorisme. Terorisme di Indonesia telah berhasil memanifestasikan dirinya melalui serangkaian pembunuhan, pengeboman, dan aksi teror. Sebutlah bom Bali, Marriot, Tentena, Palu, dan daerah lain. Jaringannya pun disinyalir oleh pihak keamanan telah terbentuk dengan rapi, terkoneksi dengan jaringan terorisme internasional. Bahkan teroris telah mampu menancapkan ideologinya kepada masyarakat tertentu sehingga ada beberapa orang yang telah bersedia dipakai sebagai martir bom bunuh diri. Bila kesadaran ideologi seperti ini telah tertanam jauh dalam maindset masyarakat luas maka sangat berbahaya sekali.Bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi seperti Irak saat ini dimana hampir setiap hari terjadi bom diri.
Ketiga, korupsi. Masalah korupsi merupakan masalah yang setiap hari kita temukan di lingkungan masyarakat kita. Mental korupsi telah menjadi struktur kesadaran baru di bangsa kita. Tidak heran masalah korupsi ditemukan pada pejabat tinggi sampai pejabat paling rendah, mulai dari strata ekonomi bawah maupun atas, mahasiswa, pemuda, mentri, pengusaha dan berbagai macam profesi. Ini sungguh sebagai sebuah paradoks bagi bangsa yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan beragama.
Ke empat, narkoba. Di semua daerah di Indonesia telah ditemukan narkoba. Peredarannya telah sangat luas yang disebarkan oleh jaringan yang sangat rapi dalam sekala nasional dan internasional. Bahkan pabrik narkoba berupa pabrik pil ekstasi telah ada di Indonesia bahkan termasuk yang paling besar di dunia. Peredaran narkoba telah menjangkiti semua lapisan masyarakat terutama generasi muda. Narkoba merupakan bisnis besar, karena itu pengusaha dan pengedar narkoba tidak jera menjalankan aksinya walaupun beberapa diantaranya telah dihukum mati.
Pada tataran epistimologi kefilsafatan semua yang disebutkan diatas adalah negativitas yang merupakan lawan positivitas. Bila positivitas merupakan modal sosial, negativitas bersifat merusak, dalam hal ini merusak modal berbangsa. Negativitas bukan hanya menyangkut sikap dan prilaku tetapi ia melampaui sikap dan prilaku, yakni sebagai sesuatu yang memungkinkan sikap, prilaku dan pengalaman itu sendiri, tulis F. Budi Hardiman dalam sebuah bukunya. Jadi ia sebuah destruksi, atau sebuah ekspresi fenomenal dari negativitas. Oleh karena itu ia mendifisitkan positivitas.
Kita harus menyelamatkan Indonesia dari destruksi akibat negativitas tersebut. Negara ini harus tetap berdiri kokoh-kuat dalam durasi masa yang panjang. Bagi kita orang muda, harus ditimbulkan kesadaran pertautan hari ini dan masa depan. Saatnya orang muda tampil dalam berbagai perannya yang memberikan efek pengaruh positif dalam kehidupan kenegaraan.
Kita harapkan dari peran yang ada saat ini lahir karya dan gagasan-gagasan baru yang visioner sebagai bentuk solusi implementatif bagi permalsahan bangsa. Supaya Indonesia bisa lepas dari jeratan negativitas yang telah menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.


Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP