11/28/2006

ERANYA PENGUSAHA (POLITISI) MENJADI GUBERNUR?

Menarik untuk disimak perkembangan Pilkada di Indonesia, terutama Pilkada ditingkat provinsi. Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2004 sangat confidence menghadapi Pilkada pada tahun 2005-2006 dengan menarget kemenangan sekitar 60 %, tapi target tersebut meleset jauh. Bahkan sembilan provinsi yang melaksanakan Pilgub pada penghujung tahun 2005 dan awal tahun 2006, hanya satu yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung oleh Partai Golkar, yakni di Kepulauan Riau (Ismeth Abdullah dan Sani), Ismeth yang berlatar belakang pengusaha dan mantan Ketua Otorita Batam. Selebihnya dimenangkan oleh pasangan yang diusung oleh partai-partai gabungan. Dari itu dapat disimpulkan bahwa kemenangan pasangan dalam Pilkada, partai pemenang bukan sebuah jaminan, paling menentukan performance figur yang diusung.

Setelah “babak belur” dan kalah di delapan provinsi pada Pilgub “gelombang pertama”, Pilgub “gelombang kedua” Partai Golkar mulai menuai hasil. Hasil Pilgub di Sulawesi Barat menunjukkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar (Anwar Adnan Saleh-Sanusi) menang, meskipun di beberapa wilayah berdasarkan keputusan MA perhitungan suara diulang. Dari hasil perhitungan suara ulang, Anwar-Sanusi tetap dianggap pemenang. Hal yang sama di Banten dan Gorontalo yang melaksanakan Pilgub hampir bersamaan, di Banten tanggal 26 November dan Gorontalo 27 November 2006. Dari hasil perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) memprediksikan pasangan Rt. Atut Chosyiah-M. Baidlowi yang diusung oleh Koalisi Partai Golkar-PDIP-PKB memenangkan Pilgub Banten, dengan perolehan suara sekitar 39 %. Sementara hasil Pilgub Gorontalo, keperkasaan Fadel Muhammad yang juga Ketua DPD Golkar sangat menonjol yang berpasangan dengan Gusnar Ismail.

Mencermati Figur:
Dari tiga provinsi yang melaksanakan Pilgub tersebut, calon gubernurnya memiliki profesi yang sama-sama pengusaha. Anwar Adnan Saleh calon Gubernur Sulawesi Barat yang terpilih sudah lama malang melintang menggeluti usaha transportasi laut. Ia juga memiliki pengalaman sebagai politisi, pernah menjadi anggota DPR RI pada periode 1999-2004 utusan dari Sulawesi Tenggara (Kolaka). Setelah Sulawesi Barat berdiri, ia kembali kekampung halamannya dengan menjadi Ketua DPD I Golkar Provinsi Sulawesi Barat. Dengan bermodalkan sebagai Ketua Partai Golkar, tentu saja memudahkan dirinya untuk mencalonkan diri berpasangan dengan Ketua KPU Sulbar. Meskipun ia menghadapi rivalitas yang sangat kuat pada saat Pilgub dari Salim Mengga, seorang jenderal aktif yang diusung oleh PKS dan beberapa gabungan partai kecil.
Munculnya Mengga sebagai cagub merupakan tantangan besar pasangan Partai Golkar, sebab Mengga merupakan anak tokoh masyarakat mandar di Polewali Mandar. Orang tuanya, Said Mengga pernah menjadi Bupati Polewali Mamasa. Tentu saja kharisma orang tua dan keluarga besarnya amat berpengaruh. Namun, faktor kemenangan Anwar Adnan Saleh tidak dapat dilepaskan dari kasus yang dihadapi oleh Mengga. Mengga yang pada awalnya telah ditetapkan menjadi Panglima Kodam Pattimura, kemudian dibatalkan oleh Kasad TNI karena “tersandung” dengan kasus penyelewengan dana prajurit TNI, meskipun belakangan bukti keterlibatannya tidak ditemukan. Kasus ini tampaknya mempengaruhi konstelasi politik di Sulbar yang kurang menguntungkan pihak Salim Mengga, sebab isu itu mencuat seiring dengan pelaksanaan Pilgub.
Lalu bagaimana dengan Rt. Atut Chosyiah? Nampaknya politisi dari Serang Banten ini seorang “perempuan perkasa”, jauh sebelum menggeluti dunia politik hingga terpilih jadi Wakil Gubernur Banten, bergelut di dunia usaha. Kami membayangkan ia seperti Benazir Bhutto mantan Perdana Menteri Pakistan. Bedanya, Benazir Bhutto merupakan turunan klan Bhutto, ia mewarisi bakat politik dari orang tuanya yang juga pernah jadi Perdana Menteri Pakistan. Sementara Atut, bukan turunan politisi, yang ia miliki kekuatan kultural, karena orang tuanya Tb. Hasan Shohib merupakan Ketua Paguyuban Pendekar Banten. Organisasi ini sangat berpengaruh terhadap kultur masyarakat Banten, sekaligus ia seorang pengusaha,
Dalam perjalanannya, Gubernur Banten Djoko Munandar dinon-aktifkan, karena terlibat kasus korupsi. Atut kemudian diangkat menjadi penjabat Gubernur Banten, dan juga sebagai tokoh sentral Golkar di Banten. Dan ia satu-satunya wakil gubernur di Indonesia perempuan. Bermodalkan itu, Atut mencoba peruntungan kembali untuk bertarung di Pilgub Banten pada hari minggu lalu. Untuk sementara ia memenangkan Pilgub Banten yang mendapatkan rivalitas dari pasangan Zulkieflimanysah-Marissa Haque yang diusung oleh PKS. Provinsi Banten pada saat pemilu legislatif lalu dimenangkan oleh Partai Golkar, namun dilihat dari soliditas PKS yang memiliki basis-basis massa di perkotaan jelas merupakan ancaman bagi Partai Golkar, sebab Banten merupakan penyanggah ibukota negara. Apalagi jauh-jauh hari, Marissa Haque yang dipecat dari PDIP karena mencalonkan diri menjadi cawagub bukan melalui partainya, sudah mulai melakukan kampanye yang bermuatan mendiskreditkan Atut. Tapi nampaknya kharisma keartisan seorang Marissa belum mampu menjadi daya maknit yang kuat, kharisma Atut yang memadukan kekuatan kultural dan struktural tentu jauh lebih kuat “sedotannya”, apalagi ia didukung oleh partai-partai besar. Kedepan ia perempau satu-satunya gubernur di Indonesia. Bagi pemilih rasional, popularitas artis bukan jaminan untuk memperbaiki kondisi wilayah yang akan dipimpinnya. Ada persepsi yang sama terbangun dimasyarakat banyak, bahwa kemunculan artis di dunia politik, hanya sebagai “pemanis partai”.
Sementara Fadel Muhammad tentu jauh lebih populer. Popularitas Fadel tidak saja dimata rakyatnya, tetapi mungkin ia merupakan gubernur yang paling populer di Indonesia. Ia populer bukan karena memiliki “fisik selebritis”, ganteng, muda. Jauh sebelum jadi Gubernur Gorontalo, berhasil membesarkan PT. Bukaka perusahaan keluarga Kalla yang membidangi pengadaan alat-alat berat seperti garbarata (terowongan menuju pintu pesawat) yang dipasang di Bandara Cengkareng Jakarta dan Juanda Surabaya. Berbekal pengalaman sebagai pengusaha, kemudian setelah terpilih jadi Gubernur Gorontalo ia memperaktekkan manajemen kewirausahaan kedalam lingkungan pemerintahannya. Jika daerah lain masih mempelajari bukunya David Osborne dan Ted Gebler tentang Reinventing Government yang bermuara pada penerapan entrepreneurship government, Fadel sejak awal sudah menarapkannya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Fadel dalam semangat membangun entrepreneurship government, melakukan efisiensi. Dana-dana yang merupakan “hak” gubernur dikembalikan, dihimpun kemudian dialokasikan sebagai tunjangan kinerja daerah (TKD) bagi pegawai provinsi, besarannya berdasarkan eselon. Selain itu, sebagai seorang pengusaha yang berpengalaman. Dalam pandangannya, mengelola pemerintahan layaknya mengelola sebuah korporasi (perusahaan). Sebuah korporasi harus dikelola dengan memiliki core bisnis, sama halnya mengelola pemerintahan daerah. Untuk memajukan daerah maka ia harus memiliki keunggulan-keunggulan komparatif, maka itu sejak awal Fadel mengidentifikasi basis ekonomi masyarakat Gorontalo, dimana sektor pertanian (jagung) dan sektor perikanan dan kelautan dijadikan sebagai sektor basis. Dulunya jagung di Gorontalo boleh dikata tidak ada harganya, setelah Fadel memoles dan menjadikan sebagai sektor unggulan, produksi jagung Gorontalo meningkat dari 70.000 ton tahun 2001 menjadi 430.000 ton 2005.
Meningkatnya harga jagung di Gorontalo karena didukung oleh kebijakan, termasuk pemerintah provinsi men-drive komoditi jagung ke pasaran internasional. Artinya, komiditi jagung dikembangkan di Gorontalo dengan jaminan harga dari pemerintahnya. Kini Fadel tidak lagi mengklaim sebatas Gorontalo sebagai provinsi jagung, akan tetapi sudah merambah keseluruh provinsi di Sulawesi. Kampanye tentang Sulawesi pulau jagung kerap disuarakan setiap momen, demikian halnya sektor perikanan dan kelautan, dengan berbagai macam program yang ditelorkan. Program etalase perikanan di Indonesia yang berpusat di Teluk Tomini tidak dapat dipungkiri merupakan gagasan dari Fadel, meskipun belakangan “ribut-ribut” di Sulawesi Tengah karena secara geografi Teluk Tomini “milik” Sulteng. Fadel mempunyai impian Teluk Tomini menjadi badan otorita, untuk sementara impian itu masih tertunda. Sembari mengembangkan sektor perikanan dan kelautan melalui program taksi mina bahari (TMB), dengan memberikan kapal-kapal kepada kelompok nelayan. Dan satu lagi program disektor kelautan yang sementara dikembangkan, yakni gerakan menanam rumput laut (gemarlaut).
Dari dua komoditi yang dikembangkan tersebut, petani jagung dan nelayan dari segi pendapatan mengalami peningkatan. Oleh sebab itu Fadel yang berpasangan dengan Gusnar Ismail dalam Pilgub, amat populer. Jikapun Fadel-Gusnar mengalami resistensi di Gorontalo hanya terjadi ditingkat elit, hal itu ditunjukkan pada saat kampanye beberapa PNS dan tokoh-tokoh adat dari Kabupaten Gorontalo mendemo Fadel, karena disinggung bupatinya “munafik”. Hal yang sama di Kabupaten Boalemo, bupati terpilih tidak segaris politik dengannya, dan paling anyar berkembang di Bone Bolango, Bupati Ismet Mile ditengarai terang-terangan mendukung pasangan Thamrin-Khaly dengan melakukan “intimidasi” terhadap aparat pemerintahan sampai tingkat desa/dusun untuk mendukung pasangan tersebut. Sekaligus melakukan money politic (Radar Sulteng 28/11/2006). Demikian pun beberapa kelompok-kelompok masyarakat ditingkat elite mencoba melakukan “perlawanan” dengan dibungkus “kritisisme”. Tapi pada intinya, kelompok ini hanya karena kecewa terhadap “sikap” Fadel dan Gusnar yang enggan memberikan harapan-harapan jangka pendek.
Hasil Pilgub tanggal 27 November 2006 kemarin menunjukkan Fadel Muhammad, Ketua DPD Golkar Provinsi Gorontalo yang berpasangan dengan Gusnar Ismail berlatar belakang birokrat, tokoh KAHMI Gorontalo mampu menunjukkan dirinya, bahwa ia memang disukai oleh rakyat Gorontalo. Boleh saja Fadel-Gusnar tidak diterima ditingkat elit, tapi masyarakat menunjukan sikap yang berbeda, mereka tetap memilih Fadel-Gusnar dengan kemenangan yang telak, perolehan suara mencapai sekitar 82 %, Pilkada dengan perolehan suara tertinggi di Indonesia. Mungkin ini yang disebut suara rakyat suara Tuhan (vox populie vox dei). Atau eranya para pengusaha untuk menjadi gubernur?. Wallahu’alam!!.Tulisan ini ditulis bersama M.Amir Arham.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP