10/19/2006

Perlukah Pawai Takbiran?

Sudah menjadi tradisi, pada malam Idulfitri selalu dilaksanakan pawai takbiran. Bagi masyarakat kita tradisi ini diniatkan untuk menyemarakkan datangnya hari raya. Tradisi ini memang telah berlangsung lama hanya formatnya saja yang mengikuti perkembangan zaman.


Di zaman dahulu, pawai takbiran dilakukan hanya dengan berjalan kaki keliling kampung. Paling banter naik kendaraan yang ditarik hewan,seperti dokar, pedati atau gerobak. Sebenarnya masih ada yang melalakukan dengan pola demikian, namun itu hanya terjadi di pelosok-pelosok yang sangat terpencil.

Di zaman sekarang pawai serupa selalu melibatkan kendaraan seperti mobil dan motor terutama di kota besar. Mereka berkonvoi memenuhi jalan raya. Di kota-kota besar pawai akbar ini selalu mengakibatkan kemacetan karena memang melibatkan peserta yang sangat banyak bahkan mencapai ribuan. Itulah bukti bahwa masyarakat kita sangat menggemari pawai takbiran ini.

Kalangan yang mengikuti pawai ini bermacam-macam, baik tua maupun muda.Mereka tergabung dalam organisasi massa, parpol, pemerintah dan juga kalangan individu.Tetapi peserta yang paling banyak biasanya berasal dari kalangan muda. Mereka bahkan sangat atraktif dalam berpawai. Atraksi motor tidak jarang ditampilkan misalnya mengangkat ban depan atau berdiri sambil motor melaju. Di kampung saya, kendaraan yang dipakai biasanya diservis terlebih dahulu agar larinya bisa kencang. Bahkan mereka mempreteli sebagian peralatan motornya terutama knalpot agar suara motornya lebih nyaring. Jadi pawai takbiran ini tidak ubahnya balapan liar yang sangat mengganggu kekhusu’an dalam bertakbir.

Bagi yang mengendarai mobil, aneka instrumen disertakan. Disamping peralatan standar misalnya alat pengeras suara untuk mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil, biasanya disertakan juga alat-alat musik. Alat musik yang paling dominan adalah perkusi seperti rebana. Beduk masjid yang besar tidak jarang juga diikutkan.
Rute yang dilewati telah disusun dengan cermat. Penyusunan rute ini terutama mempertimbangkan keramaian penduduk. Itulah sebabnya rute takbiran selalu melewati jalan-jalan protokol. Mereka sedapat mungkin berkeliling hingga hampir semua kawasan dapat terlewati. Pokoknya malam takbiran biasanya sangat meriah karena masyarakat yang dilewati konvoi juga menyambut dengan antusiasme yang tinggi.

Itulah gambaran singkat pawai takbiran yang biasanya dilaksanakan saban malam Idulfiri. Masyarakat melakukan semua itu sebenarnya dengan niatan yang tulus, ingin meyemarakkan perayaan hari raya Idulfitri sebagai hari kemenangan. Masyarakat ingin merayakan dirinya telah kembali pada kesucian yang fitri.

Namun apakah niat itu kesampaian atau mencapai tujuannya? Inilah yang perlu kita diskusikan.

Agama memang mengajarkan, segala sesuatu harus dimulai dengan niat. Bahkan berniat saja atau belum sampai pada tahapan implementasi, sebuah perbuatan baik sudah mendapat ganjaran pahala. Apalagi kalau niat itu telah direalisasikan. Namun terkadang walaupun niat baik, terkadang dalam implementasinya tidak sesuai dengan niat itu. Sifat riya’ misalnya. Jika kita memberikan sumbangan Insya Allah sumbangan kita itu pasti berguna bagi orang yang membutuhkan. Tetapi karena kita meyumbang dengan sifat riya’, pamrih, ingin memperoleh balasan, pujian, maka di hadapan Allah pastilah tidak dihitung sebagai pahala.

Karena itu kita harus pandai-pandai memilah mana yang bersifat hanya tradisi dalam agama dan mana yang bernilai subtantif. Dalam malam idulfitri sebelum terbitnya satu syawal, umat Islam memang diserukan untuk mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil ke seluruh penjuru. Dengan mengumandangkan kalimat takbir, kita hanya mengakui kebesaran Allah. Hanya Dialah zat yang memiliki keagungan, ke-Maha Perkasaan dan sederet sifat seperti yang disebutkan dalam Asmaul Husna. Dengan mengucapkan kalimat Tahmid, kita mengucapkan kalimat syukur bahwa kita masih diberikan Rahmat, Taufik dan Hidayah setidaknya sampai saat idulfitri ini. Dan dengan kalimat Tahlil kita tidak menyembah selain Dia. Tidak ada Tuhan Selain Allah. Hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan.

Pangkal dari semua kalimat itu adalah terwujudnya manusia-manusia bertakwa sbagaimana tujuan akhir dari puasa kita. Itulah sebabnya dalam malam Idulfitri itu, atau pada akhir puasa, kita harus menegaskan ketakwaan kita dengan simbolisasi pengucapan kalimat-kalimat tadi. Dengan harapan pada hari raya Idulfitri kita betul-betul telah memperoleh predikat takwa, yang fitri, hanif, sebagaimana kesucian primordial kita. Inilah subtansi ajaran agama ketika kita diserukan untuk mengumandangkan kalimat-kalimat tadi.

Lantas, apakah dengan berpawai takbir yang tidak ubahnya dengan balapan liar itu sesuai dengan tujuan subtantif ajaran agama itu? Dalam hal ini hanya Allah yang Maha mengatahui. Tapi dari beberapa hal kita berargumen yang juga dilandasi ajaran agama, bahwa kegiatan semacam itu pada dasarnya tidak memberikan ketakwaan yang subtantif dalam jiwa kita. Lihatlah, berapa banyak orang kecelakaan sampai meninggal dunia pada malam takbiran. Ekses lainnya kemacetan., gangguan kamtibmas dan seterusnya. Pawai takbiran yang sering kita lakukan itu malahan hanya unsur hura-huranya yang dikedepankan. Kita tidak lagi mendengar suara takbir, tahmid dan tahlil diucapkan, melainkan hanya bunyi kendaraan yang memekakkan telinga. Kalau demikian, bagaimana mungkin efek psikologis dari kalimat-kalimat itu merasuki rongga dada keimanan kita?

Lain halnya jika kita mengumandangkan kalimat-kalimat tersebut dengan penuh kekhusu’an di setiap masjid yang ada di sekitar kita. Pada malam itu kita memenuhi masjid untuk membaca kalimat takbir, tahmid dan tahlil. Dan memang adabnya harus demikian.Kita harus membaca dengan penuh keharuan, kesopanan yang disertai pemaknaan yang dalam di setiap hati kita. Bukankah kalimat-kalimat yang kita baca itu adalah firman-firman Allah yang sangat suci karena itu harus kita perlakukan dengan suci pula?

Jadi melaksanakan sebuah tradisi apalagi sebuah tradisi agama jangan sampai menghilangkan makna subtantifnya. Wallahu A’lam.

Read More..

10/16/2006

Perlu Revisi Pola pengamanan Di Sulawesi Tengah

Sebuah penembakan yang menewaskan pendeta Irianto Kongkoli hari ini telah menegaskan bahwa palu, poso dan sekitarnya belumlah aman. Walaupun pemerintah telah menempatkan aparat keamanan dalam jumlah yang tidak sedikit, namun gangguan keamanan ataupun teror masih saja terjadi. Apakah dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa metode pendekatan keamanan yang dijalankan telah gagal?

Sudah menjadi prosedur standar bagi negara, apabila terjadi gangguan keamanan yang berwujud kerusuhan, penembakan, peledakan bom dan seterusnya maka tindakan yang segera dilakukan adalah menambah jumlah aparat keamanan. Tidak mengherankan di setiap daerah yang rawan jumlah aparat yang disiagakann sangat mencolok.

Di daerah seperti Palu dan Poso aparat terlihat memenuhi setiap sudut kota. Mereka menjaga semua tempat yang dianggap strategis seperti rumah ibadah,perkantoran, sentra bisnis maupun kediaman para perjabat. Asumsinya jika aparat kemananan ada yang menjaga maka tindakan untuk mengacaukan situasi kemananan dapat dicegah. Namun ini telah terbantah dengan sendirinya. Faktanya ada atau tidak aparat keamanan tetap saja gangguan kemananan terjadi.

Seperti telah diketahui, menjelang maupun setelah eksekusi Tibo DKK peningkatan jumlah aparat keamanan yang menjaga Sulawesi Tengah terutama di Palu, Poso dan Tentena meningkat jumlahnya. Ini untuk menjaga agar ekses yang mungkin terjadi setelah eksekusi dapat diantisipasi. Bahkan seperti diberitakan, sejumlah petinggi intelijen telah datang ke palu untuk melakukan serangkaian pertemuan. Logika tersebut memang tidak salah. Bila terjadi kerusuhan misalnya,aparat dalam jumlah besar asumsinya dapat mengatasi lebih cepat.

Namun apa yang kita saksikan di Palu maupun Poso, bertambahnya jumlah aparat tidak diiringi dengan menurunnya gangguan keamanan secara signifikan. Sejumlah peristiwa yang sangat mengganggu keamanan daerah ini masih terus berlangsung.

Setelah eksekusi Tibo DKK,dua orang pedagang ikan telah menjadi korban penculikan ketika mereka melintasi daerah sekitar kabupaten Poso yang notabene dijaga ketat aparat kemananan. Mereka akhirnya ditemukan dalam keadaan yang tidak bernyawa telah dikuburkan oleh orang yang mungkin membunuhnya sendiri. Di kabupaten Morowali juga terjadi kerusuhan, bahkan Kapolda sendiri hampir ikut menjadi korban. Terakhir seperti yang disebutkan di atas, bahwa seorang Pendeta tewas ditembak oleh seseorang yang mengendarai motor di Palu yang setiap sudutnya juga dipenuhi Polisi. Fakta lain,hampir tiap malam diberitakan ada bom yang meledak di Poso.

Poin yang ingin disampaikan adalah bahwa sejatinya peningkatan jumlah aparat keamanan harus pula diikuti oleh peningkatan efektivitas pelayanan terhadap publik. Pelayanan publik maksudnya tentu memberikan rasa aman yang memadai bagi setiap warga. Golongan apapun harus merasa terlindungi secara aman.Efektif maksudnya aparat kemananan dapat segera mengantisipasi atau menangkal setiap kejahatan yang dilakukan oleh siapapun.

Memang kita harus juga mengakui bahwa kemampuan aparat juga terbatas. Ada hal-hal tertentu yang mungkin diluar batas kemampuan aparat sendiri. Namun ini tidak boleh menjadi alasan pembenar,apologi, bagi setiap kegagalan menjaga kemananan. Karena bagaimanapun aparat keamanan telah dibekali oleh pendidikan dan pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan mereka telah diberi peralatan secukupnya untuk menangkal maupun menghentikan gangguan keamanan. Bagi masyarakat kegagalan menjaga keamanan harus dipahami sebagai kegagalan menjalankan tugas, karenanya itu layak mendapat hukuman. Sebaliknya bila mereka berhasil masyarakat harus juga memberikan penghargaan yang sesuai. Bila ingin berhasil maka kuncinya adalah aparat semakin dituntut keseriusan dalam bertugas sehingga hasil kerjanya bisa untuk optimal. Wallahu A'lam.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP