8/27/2006

Cerita Makan Malam Menu Sate Ayam

Malam itu saya betul-betul lapar. Dalam perjalanan pulang ke rumah dari mengunjungi seorang teman, saya memberhentikan kendaraan di depan sebuah warung sederhana, penjual sate ayam. Saya memesan satu porsi karena memang saya sendirian. Tidak lama kemudian, hidangan sate ayam pesanan saya telah tersaji dengan rapi. Tercium aroma sate yang lezat dan sayur sop yang wangi. Ingin rasanya segera mencicipi hidangan itu.


Namun alangkah terkejutnya, ketika saya mengingat berita-berita yang saya baca di koran tadi pagi. Virus flu burung telah terjangkit di kota Palu. Banyak ayam yang mati mendadak. Pemerintah kota Palu segera bergerak cepat menangani virus mematikan tersebut. Berita itu kemudian dilansir oleh banyak media elektronik nasional sehingga beritanya cepat menyebar dan mempengaruhi selera makan saya.

Saya bergumam dalam hati, bahwa saya sebenarnya telah memilih masuk pada warung salah. Kenapa sate ayam ini yang menjadi menu malamku? Bukankah sepanjang yang jalan yang kulewati tadi berderet rumah makan yang menyediakan menu lain? Ah, saya mungkin lagi sial malam ini. Saya kemudian berdoa, semoga sate ayam ini steril dari virus flu burung,Amin.

Akibat terlalu lapar dan sudah terlanjur pesan, akhirnya saya menyerah sama "takdir". Saya harus ikhlas makan sate ayam ini. Tetapi sebelum mencicipi, akibat ketakutan dan kekuatiran yang berlebihan, saya "introgasi" dulu pemilik warung ini. Layaknya Wianda pusponegoro, penyiar berita Metro TV yang memang saya kagumi itu, saya melakukan wawancara dengan profesional. Dimana ayam ini dibeli? Bagaimana kondisi ayam ini saat dibeli, sehat atau sakit? Siapa yang memotongnya?...

Kalimat pertanyaanku meluncur deras. Belum selesai narasumberku menjawab, datang lagi pertanyaan berikutnya.Karena keingintahuanku yang sangat besar, maka segala jawaban yang diberikan rasanya tidak memuaskan. Akibatnya saya memutuskan untuk tidak menghabiskan menu sate ayamku yang sebebenarnya enak.

Saya sebenarnya mengetahui bahwa ayam yang telah dimasak pada suhu sekitar 80 derajat celcius telah bebas virus ini. Saya juga mengetahui cara-cara penularannya. Saya memang rajin mencari informasi mengenai virus flu burung ini. Bila ingin mngetahui secara detail,bukalah website Departemen Kesehatan RI(www.depkes.go.id). Tapi mengapa saya begitu ketakutan dan mengalami kekuatiran?

Rasa kuatir dan ketakutan itu sebenarnya bersumber dari tingkat kepercayaan saya yang lemah terhadap pemerintah. Kinerja pemerintah dalam menuntaskan berbagai masalah ditengah masyarakat sangat minim. Saya menilai tindakan pemerintah serba ragu-ragu dalam memutuskan suatu tindakan. Pemerintah tidak peka terhadap persoalan dimasyarakat. Pemerintah tidak punya komitmen sehingga data kemiskinan pun berupaya dikelabui.

Biar jelas, saya berikan dua contoh ssja. Kebetulan dua kasus ini masih terkatung-katung penyelesaiannya.Pertama, kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Sejak bulan Mei sampai Agustus ini belum ada titik terang kapan lumpur panas itu bisa dihentikan. Bahwa usaha-usaha penghentian ini terus dilakukan, itu betul. Dan bahwa kasus itu sepenuhnya tanggung jawab PT. Lapindo, itu juga benar. Bahwa segala kerugian baik materil maupun immateril harus sepenuhnya dibebankan pada PT.Lapindo, itu juga tidak salah. Tetapi saya tidak melihat peran pemerintah minimal sebagai fasilitator,kalau bisa menekan, untuk mengakomodasi tuntutan segala kerugian dari masyarakat korban. Pamerintah juga serba ragu dalam menyeret PT.Lapindo ke meja hukum. Padahal sudah jelas, kasus tersebut jelas dikategorikan sebagai corporate crime.

Kedua, kasus Tibo dan kawan-kawannya. Sejumlah pengamat yang saya cermati pernyataannya,semua menginginkan agar pelaksanaan hukuman mati harus segera dilaksanakan.Tidak boleh ada penundaan lagi. Argumentasi hukumnya sangat kuat. Keputusannya hukum sudah jelas, sudah final yakni eksekusi mati. Tapi saat ini pemerintah belum melaksanakan juga eksekusi itu. Padahal, dampaknya sudah terasa ditengah masyarakat. Masyarakat kemudian tebelah lagi menjadi dua kelompok, ada pro dan kontra. Ironisya segregasi masyarakat itu sangat tidak sehat, karena kesannya dipengaruhi agama dan ideologi keyakinan masing-masing. Padahal pelaksanaan hukuman mati tersebut,sebenarnya merupakan penegakan hukum saja.Tidak ada urusannya dengan keyakinan agama dan ideologi apapun. Masalah Tibo merupakan contoh pembelajaran hukum yang paling buruk di Indonesia.

Nah, alasan ketakutan dan kekuatiran mudah-mudahan menjadi jelas. Mengurus hal-hal yang tampak nyata saja pemerintah tidak mampu dan tidak serius. Apalagi mengurus makhluk mikroskopis yang namanya virus flu burung ini. Ah, kita sudah saja. Saya jadi tambah ngeri, lagipula saya masih lapar...maaf! >

Read More..

8/26/2006

Nasionalisme Dan Negara Bangsa Menurut Nurcholish Madjid

Tanggal 29 Agustus 2006 Nurcholish Madjid genap setahun berpulang ke Rahmatullah. Bangsa Indonesia merasa sangat kehilangan oleh seorang yang punya pikiran mendalam. Dalam sejarah hidupnya Cak Nur telah mengabdikan diri sebagai salah seorang pemikir yang sangat konsen terhadap masalah bangsa dan negara. Pemikirannya pun banyak dianut sehingga berhasil memberikan corak pemahaman keagamaan tertentu pada sebagian masyarakat Indonesia.


Sedikit Sketsa Pemikiran Cak Nur
Bila dipetakan secara makro, pemikiran Cak Nur dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pemikiran Keislaman dan kedua, pemikiran Keindonesiaan. Pemikiran Keislaman Cak Nur bersumber dari latarbelakang pendidikannya yang sejak awal memang menggeluti disiplin ilmu keislaman. Sedangkan pemikiran Keindonesiaan Caknur lebih banyak diperoleh dari perguatannya dengan literatur maupun hasil perenungannya setelah terlibat dalam aktivitas sosial kemasyarakatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun benang merah kedua jenis pemikirannya terletak pada subtansi nilai yang ingin disampaikan yaitu nafas keislaman. Bisa dikatakan nafas atau subtansi keislaman itulah yang menjadi core pemikirannya. Misalnya bila berbicara demokrasi, disamping merujuk pada sejumlah literatur barat, ia terutama mengambil pesan-pesan dari Al-Qur’an maupun contoh-contoh pelaksanaannya pada prilaku masyarakat Islam klasik yang memang sangat dikaguminya. Dari kedua jenis pemikirannya ini masyarakat kemudian memberi identitas sekaligus sanjungan berupa gelar teolog dan guru bangsa.

Pemikiran Cak Nur sangat mendalam karena disertai oleh bangunan penalaran yang sistematis sehingga uraian argumentasinya terkesan sangat kuat. Namun demikian ada beberapa pemikiran Cak Nur yang menjadi kontoversial dikalangan masyarakat umum maupun dikalangan cendekiawaan. Spektrum kontroversi ini tidak terbatas pada pemikiran Keislamannya, tapi juga pemikirannya Keindonesiaannya. Contoh pemikirannya Keislaman yang kontroversial adalah masalah sekularisasi yang oleh kalangan cendekiawaan lain disebut telah menyimpang dari nilai Islam. Sedangkan contoh pemikiran keindonesiaanya yang banyak diperdebatkan adalah ketika dia mengintrodusir jargon “Islam Yes, Partai Islam No” dan idenya tentang perlunya oposisi bagi pemerintahan.

Terlepas dari dari adanya sisi kontroversial, tersembul hikmah yang ada dibaliknya. Misalnya, ada debat atau dialog diantara kalangan cendekiwaan Islam sendiri. Ada transaksi intelektual sehingga masyarakat menjadi kritis yang pada akhirnya menimbulkan kemajuan, tidak statis. Banyak yang setuju pemikiran Cak Nur tetapi banyak pula yang tidak. Hingga kemudian masyarakat bisa menyimpulkan bahwa begitu banyak warna dan corak pemikiran keislaman, sehingga absolutisme terhadap suatu jenis pemikiran menjadi nisbi belaka. Setiap pemikiran memang perlu dikritisi, dievaluasi dan diperiksa kembali sehingga tidak menjadi dogmatis.

Nasionalisme dan Negara Bangsa
Isu nasionalisme menjadi debat rutin setiap bulan Agustus. Sebuah hipotesis mengatakan, timbulnya berbagai masalah pada bangsa Indonesia, disamping karena komitmen moral yang lemah terhadap ajaran asasi agama, juga disebabkan oleh pemahaman hakekat atau subtansi keindonesiaan yang kurang. Mungkin itulah sebabnya Cak Nur dalam buku terakhirnya berjudul “Indonesia Kita”(2003), menguraikan noktah-noktah subtansi yang dipahaminya terhadap Indonesia. Buku tersebut ditulis dalam rangka memberi penjelasan secukupnya terhadap sepuluh flatform yang ditawarkan untuk membangun kembali Indonesia.

Pertama diuraikan bahasan Nasionalisme klasik di Nusantara. Ditegaskan, nasonalisme klasik di Nusantara mula-mula timbul akibat adanya berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia Tengara ini, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil dalam lingkungan yang terpisah-pisah. Kenyataan ini mendorong timbulnya sifat-sifat maupun ciri-ciri khas kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan. Adanya kenyataan ini dapat dipandang sebagai kekayaan maupun kerawanan. Sebagai kekayaan, tulis Cak Nur, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman nabati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui silang budaya (cross cultural fertilization). Sebagai kerawanan, lanjutnya, keanekaragaman budaya dapat melemahkan kohesi antar suku dan pulau. Karena itu Asia Tenggara selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Jadi Indonesia memang besifat plural pada awalnya sehingga menginkari sifat tersebut sama dengan mengingkari salah satu subtansi Indonesia. Bangunan pluralisme harus diperkuat melalui silang budaya sehingga jalinan dan ikatan kebangsaan menjadi kokoh dan kuat.
Terdapat kenyataan lain bahwa adanya bibit-bibit nasionalime klasik itu dipermudah oleh sebuah budaya yang berdimesi hemispheric islam yaitu suatu pola budaya umum yang meliputi hampir seluruh belahan bumi timur sejak dari wilayah-wilayah Afrika dan Eropa pada tepi lautan Atantik sampai kepada wilayah Zaitun (sekarang Guangzhou) di dataran Cina pada tepi laut Tengah. Hal inilah menurut CakNur mempermudah agama Islam masuk kemudian menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Perkembangan budaya hemispheric ini berlanjut pada Indonesia moderen dimana banyak sekali nomen klatur perpolitikan nasional yang bersumber atau setidaknya dapat dijelaskan berdasarkan ajaran Islam. Misalnya tentang “Negara bangsa” atau “Nation-State”.

Nation- State atau Negara Bangsa sebagaimana penjelasan Cak Nur dalam buku Itersebut, adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Dengan kata lain negara bangsa adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Tujuan Negara bangsa ialah mewujudkan maslahat umum, suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali.

Dalam realitas Indonesia kekinian pelaksanaan konsep atau tepatnya subtansi negara bangsa belum dijalankan dengan komitmen yang sungguh-sungguh. Ada golongan yang sangat kaya tetapi lebih banyak yang miskin. Kesejahteraan belum merata. Keadilan belum ditegakkan secara sungguh-sungguh. Pemerintah, pengusaha maupun politisi belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah menggadaikan asset bangsa kepada Negara asing dan seterusnya.
Diakhir hayatnya ternyata Cak Nur masih memikirkan kepentingan Negara bangsa secara keseluruhan. Dia menutup kalimat terakhir buku itu dengan menulis, “kita harus menemukan cara untuk mengatasi persoalan bangsa dan negara kita, sekali ini dan untuk selama-lamanya (once and for all). Hanya dengan tekad serupa itu kita akan terhindar mengalami krisis lagi yang tanpa berkesudahan. Now or Never!”




Read More..

8/24/2006

Belajar Dari Fenomena Fadel Muhammad

Pada Pilkada Gubernur yang telah berlangsung di Sulawesi Tengah beberapa bulan yang lalu tercatat ada empat pasangan yang maju bertarung. Sekedar mengingatkan mereka adalah pasangan Aminuddin Ponulele- Sahabuddin Mustapa, Rully Lamadjido-Sudarto, Bandjela Paliudju- Ahmad Yahya dan Muis Taher- Yusuf Paddong. Kempatnya sangat optimis memenangkan pertarungan. Di Sulawesi Utara lebih banyak lagi yaitu lima pasang. Mereka adalah SH. Sarundayang-F. Sualang, Ferry Tinggogoy- Hamdy Paputungan, AJ. Sondakh- Aryanti Baramuli, Wenny Warrow-Marhany Pua dan Hengky Baramuli-Dirk P.Togas. Kelimanya pun sama-sama mempridiksi akan memenangkan pertarungan.Begitupun di banyak daerah lain, pilkada senantiasa penuh dengan rivalitas politik. Segala macam strategi dan taktik digunakan oleh setiap pasangan demi sebuah kemenangan.

Di Provinsi Gorontalo tidak demikian. Rivalitas Pilkada diramalkan tidak akan berlangsung sengit. Karena sampai dengan batas waktu pendaftaran kandidat tanggal 18 Agustus, baru satu pasangan yang mendaftar yakni Fadel Muhammad- Gusnar Ismail. Karena undang-undang tidak membenarkan hanya ada satu pasangan calon , maka waktu pendaftaran kemudian diperpanjang hingga akhir Agustus untuk memberikan kesempatan lagi bagi para kandidat lain.
Kombinasi pasangan Fadel-Gusnar mempunyai posisi politik yang sangat kuat dpandang dari sudut institusi maupun massa. Setidaknya ada tiga factor penyebabnya. Pertama, incumbent factor. Secara alamiah, posisi seorang incumbent sebenarnya lebih menguntungkan ketimbang lawan lainnya dalam persaingan pilkada. Walupun secara resmi penggunaan struktur kekuasaan dilarang namun posisi incumbent jelas sangat strategis. Hubungan yang sudah terjalin dengan berbagai perangkat pemda di berbagai tingkatan termasuk staf kantor kelurahan/desa juga memudahkan para incumbent mendapat dukungan jaringan sosial. Bagi figur incumbent yang berada di wilayah perkotaan, tempat media massa sudah berkembang dengan baik, juga berpotensi menguntungkan melalui liputan pers selama mereka menduduki jabatan publik. Hal ini yang akan mempermudah menjalankan politik sosialisasi. Dengan demikan modal pertama dan yang paling utama bagi para incumbent telah dipegang yakni popularitasnya yang sudah terbangun sejak mereka menduduki jabatan publik tersebut.
Kedua, Golkar factor. Partai Golkar jelas punya massa tradisional yang riil sampai saat ini. Partai golkar juga punya jaringan struktur sampai ditingkat kelurahan dan desa. Apalagi Partai Golkar merupakan partai pemenang di Gorontalo. Semua faktor tersebut dapat memberikan kekuatan massa bagi pasangan ini. Walaupun demikian posisinya sebagai ketua partai juga dapat menjadi salah satu kelemahan. Mereka dapat dicitrakan sebagai milik partai ini saja, sebuah identitas lama pemegang status quo politik.
Ketiga, Fadel factor. Siapapun tahu dibalik bergairahnya pembangunan di Gorontalo, fadel merupakan key factor. Dia mempunyai visi tajam dalam membangun daerahnya. Visinya yang berbasis pada entrepreneur government berjalan menuju kesuksesan. Dengan latarbelakang sebagai seorang pengusaha yang didukung oleh networking nasional, memudahkan dia melakukan branding maupun kemitraan bagi Gorontalo. Hal ini sudah banyak terbukti, misalnya ia berhasil mencitrakan Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi jagung. Dengan menetapkan jagung sebagi komoditi unggulan maka kesejahteraan petani dapat ditingkatkan. Dia juga berhasil menjual potensi teluk Tomini yang sebenarnya paling luas milik sulawesi Tengah dan mendatangkan banyak investor ke Gorontalo. Ini semua membuat masyarakat Gorontalo bersimpati. Meskipun ia bukan orang Gorontalo asli (putra daerah) tapi ia sukses memimpin gorontalo. Sementara Gusnar anak muda energik yang berlatar belakang birokrat. Perpaduan ini merupakan comparative advantage bagi pasangan ini
Keberhasilan Fadel memimpin gorontalo atau bahkan sulawesi dengan konsep agropolitan dan ingin menjadikan sulawesi pulau jagung menjadikan dirinya calon gubenur yang tangguh dan populer di mata rakyatnya. Kekuatan yang dimiliki ini mengakibatkan dirinya sangat perkasa dan sangat percaya diri untuk maju kembali jadi Gubenur periode 2006-2011.
Dengan modal popularitas dan sukses membangun Gorontalo, dia menjadi populer di mata rakyatnya dan bahkan seluruh Indonesia. Dengan popularitas dan full power yang dimiliki oleh fadel menjadikan para broker politik dan team sukses kurang berdaya untuk "memainkan" perannya di masyarakat, termasuk memasukkan berbagai macam program dan proposal atas nama komunitas menjadi tidak laku. Boleh dikata tanpa tim sukses dapat diperkirakan Fadel tetap memenangkan Pilgub Gorontalo, apalagi sampai sekarang baru satu pasangan yang mendaftar. Inilah yang kemudian membuat calon lain minder, tidak terkecuali Rahmat Gobel pengusaha nasional yang pada awalnya digadang-gadang oleh beberapa partai, pada akhirnya ragu dan tidak berani berhadapan dengan dengan Fadel, meskipun yang bersangkutan putra daerah.
Skenario yang disiapkan sekarang oleh Fadel untuk sekedar memenuhi tuntutan undang-undang agar proses Pilgub Gorontalo berjalan tanpa calon tunggal, ia menyiapkan orangnya untuk maju, boleh disebut sebagai boneka. Bagi kita ini sesuatu yang tidak elok, karena hanya akan memboroskan anggaran. Bila ada cela hukum ada baiknya disahkan saja. Dan kedepannya undang-undang tentang pilkada harus diamandemen untuk mengakomodasi peristiwa semacam ini. Alternatif solusi pada kondisi demikian baiknya, jika terjadi calon tunggal tidak perlu dilakukan pemilihan langsung disahkan oleh KPU saja. Bila langkah itu dilakukan dapat menghemat biaya puluhan triliun, biaya dialihkan saja untuk kegiatan pembangunan bagi masyarakat banyak. Ini juga menjadikan proses politik lancar dan tidak membuang-buang anggaran yang banyak. Wallahu A’lam.Tulisan ini di tulis bersama Amir Arham seorang Staf pengajar UNG

Read More..

8/20/2006

Menghapus Trauma Konflik Poso

Bisa saja bangunan-bangunan rumah, tempat ibadah, pasar, terminal yang terbakar pada konflik Poso yang lalu, tidak lagi ditemukan bekas-bekasnya sekarang ini karena sudah direhabilitasi. Namun trauma akibat konflik tersebut pasti masih terbayang ataupun membekas dalam ingatan orang, terutama pelaku ataupun korban yang mengalaminya baik secara langsung maupun tidak langsung. Menghapus trauma memang tidak semudah membangun bangunan yang baru untuk mengganti yang telah rusak. Hal tersebut disebabkan konflik itu melibatkan massa, trauma yang ditimbulkannya adalah trauma kolektif. Efeknya bukan kesadaran historis yang berbasis peristiwa melainkan kesadaran yang berbekas dalam jiwa. Bekas peristiwa itu kemudian yang membentuk pola-pola kesadaran ataupun struktur mental yang negatif yang akan mempengaruhi prilaku aktual.

Tampaknya hal tersebut telah menjadi kesadaran dari berbagai pihak. Misalnya beberapa program yang telah dilakukan oleh pihak Polda Sulteng untuk menghibur para korban. Hal tersebut memang penting tapi tidak cukup. Sifat menghibur adalah menyenangkan tapi hanya sesaat, tidak abadi. Bila sudah bosan akan tidak efektif lagi. Karena itu diperlukan terapi yang menyeluruh terhadap semua yang terlibat, tidak terkecuali pihak kalah ataupun menang, Islam atau Kristen, penduduk Poso atau bukan dan seterusnya.

Lalu, apakah yang disebut trauma? Trauma adalah bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam, tulis Budi F. Hardiman (2005) dalam sebuah bukunya. Sedangkan peristiwa negatif menurutnya adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, dan manusia terseret ke dalam hal yang menakutkan itu tanpa mampu mengendalikan dirinya. Konflik Poso adalah peristiwa negatif karena didalamnya terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan, penindasan dan seterusnya pada manusia. Seterusnya, mengingat peristiwa konflik Poso sama dengan mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa negatif tersebut. Bagi korban yang mengalami atau melihat pembantaian keluarganya misalnya, berarti me-rewind peristiwa tersebut seakan baru saja terjadi di depan matanya. Inilah yang kemudian menimbulkan trauma.
Dampak dari peristiwa ini semakin membesar apabila dalam peristiwa negatif tersebut melekat suatu identitas tertentu misalnya agama. Penderitaan seorang individu menjadi penderitaan kolektif karena orang tersebut menganut agama yang sama dengan dirinya. Maka penderitaan yang dialami harus dibalaskan oleh semua orang yang seagama. Konflik Poso bermula dari sebuah kriminal murni yaitu perkelahian dua orang anak muda yang kebetulan berbeda agama. Terlepas dari adanya penyebab lain, perkelahian itu kemudian mejadi kerusuhan sosial yang berbau Sara yang massif.

Dikarenakan konfliknya bersifat massif maka trauma individu menjadi trauma kolektif atau dialami oleh banyak orang. Trauma itu sendiri, tulis Budi Hardiman, adalah berbasis peristiwa tapi trauma itu sendiri tidaklah berciri peristiwa. Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu, tulis Budi Hardiman, juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya.

Jika orang mengalami trauma maka akan susah menghapusnya.Apa yang dialami pada suatu peristiwa seakan-akan terulang terus-menerus seperti mesin yang digerakkan secara mekanis. Jika korban mengingat peristiwanya maka ia seakan-akan mau membalas peristiwa tersebut seketika. Sebaliknya korban mengingat ulang peristiwanya demi menghindari peristiwa itu kemudian terjadi lagi di masa depan. Karena itu menurut Budi Hardiman, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian dari mekanisme psikis yang tidak pernah dilepaskan. Korban ingin melupakannya, tetapi justru mengingatnya. Ingatannya akan negativitas peristiwa itu menajam justru saat dia ingin melupakannya. Budi Hardiman menyimpulkan, mengingat dan melupakan seolah-olah bergerak dalam sistem-sistem paksaan psikis dalam diri korban.

Dengan demikian prosesi pemaafan menjadi sulit. Si korban bukannya tak mau memaafkan pelaku, melainkan tak mampu keluar dari jerat-jerat prasangka yang menimpanya setiap saat. Bila ia memaafkan pelaku berarti dia merasa diinjak-injak harga dirinya. Gejolak batinnya ditindas oleh pelaku. Dia tak punya harga diri lagi. Terjadilah konflik batin yang menyesakkan dada. Ketika ego lebih besar yang dominan maka tindakan balas dendam menjadi sesuatu yang alamiah dan wajar.

Oleh karena itu diperlukan detraumatisasi.Detraumatisasi menurut Budi Hardiman, harus dimulai dengan semacam askese duniawi yang ditandai oleh tiga latihan, yaitu diam, ketenangan hati, dan merelakan. Penjelasannya sebagai berikut. Diam, bukanlah hilangnya bunyi, juga bukan membisu melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Manusia sebagai elemen massa mendengar prasangka kolektifnya dan bertindak menurutnya. Ada pemaksaan dari prasangka kolektifnya sehingga ia secara terpaksa juga bertindak walaupun tidak sesuai hati nurani. Hati nurani dipenjarakan oleh sebuah prasangka kolektif. Karena itu untuk menepis prasangka orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah diam, sebagai pertanda memuncaknya bahasa, kulminasi komunikasi.

Ketenangan hati lahir dari sikap mendengarkan. Ketenanganan hati dapat dicapai melalui pengumpulan diri. Ketenangan hati diperoleh dari sebuah sikap keterbukaan. Di dalam ketenangan hati korban berkata “ya” sekaligus “tidak” terhadap traumanya. Dia berkata “ya” karena bekas traumatis itu membentuk jati diri individu dan sosialnya. Tetapi dia berkata “tidak”, karena jati diri itu mengarah ke masa depan. Diri yang tercerai berai oleh trauma dapat melupakan trauma dengan lari dari ketenangan hati dan membenamkan diri dalam kegaduhan. Tetapi ketercerai-beraian ini itu hanya dapat dikumpulkan kembali lewat membiarkan yang telah lewat, lewat langkah-langkah panjang dari kesabaran.

Askese untuk diam dan pengumpulan diri berkaitan dengan hal yang dasariah ini: merelakan. Merelakan berarti membiarkan ada. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu upaya memutus rantai kekerasan. Detraumatisasi dimulai dengan merelakan. Artinya, tidak menghantam kata-kata dengan kata-kata-karena selama itupula orang masih berkubang dalam prasangka kolektif- melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Dan, dalam sikap mendengarkan orang menjadi dekat dengan dirinya, mengumpulkan diri dan memasuki ketenangan hati.

Jalan untuk menghapus trauma di Poso mungkin masih jauh. Demonstrasi baik pro maupun kontra terhadap hukuman mati Tibo dan kawan-kawan adalah cerminan sikap yang tidak bisa diam. Juga menggambarkan sebagai orang yang tidak memiliki ketenangan hati. Di atas segalanya demontrasi itu juga sebagai sikap yang tidak merelakan. Seperti kata Budi Hardiman, detraumatisasi adalah tindakan merelakan. Merelakan berarti melampaui mengingat dan melupakan.

Menghapus trauma konflik Poso bukan perkara memberikan kepuasaan material ekonomi atau memenuhi hasrat politik. Apalagi menghapus trauma bukan hanya sekedar menghadirkan artis dangdut untuk menghibur janda-janda korban kerusuhan Poso. Menghapus trauma harus dapat menyentuh kedirian yang terdalam bagi siapa saja yang mengalami. Jalannya berupa pendidikan dan pengasuhan yang harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri.Ini membutuhkan kearifan, hati nurani dan fikiran yang jernih. Bagaimana Pak Kapolda, setuju? Wallahu A’lam

Read More..

8/15/2006

Menjadi Bangsa No 1 di Asia

Pada Tahun 1970, seorang duta besar Amerika Serikat yang pernah bertugas di Indonesia, Howard Palfrey Jones pernah mengungkapkan bahwa ada potensi bangsa Indonesia menjadi No. 1 di Asia dalam perkembangan ekonomi 30 tahun akan datang. Dalam bukunya, Turn around in Indonesia” yang diringkaskan oleh majalah Rider’s Digest Edisi Asia ia mengatakan, “adapun untuk masa depan, berbagai pertanda adalah cemerlang. Indonesia punya potensi untuk menjadi bangsa No. 1 Asia dalam perkembangan ekonomi dalam 30 tahun mendatang, terkecuali Jepang dan barangkali Cina yang menjadi tanda tanya besar itu. Ia memiliki sumberdaya alam, dan mempunyai rakyat bermutu yang berakar dalam tradisi budaya yang vital”.

Seandainya ramalan tersebut terbukti, maka dapat dibayangkan bahwa bangsa kita setara kemajuannya dengan bangsa Jepang saat ini. Sayang sekali setelah 36 tahun kemudian prediksi tersebut ternyata tidak terbukti. Justru Jepang dan Cina yang dikatakannya masih tanda tanya besar yang menjadi No. 1 Asia. Mengapa?Jika pertanyaan ini diajukan pada Kishore Mahbubani, Duta besar Singapura di PBB, maka dengan mantap ia akan menguraikan jawabannya dengan mengaitkannya dengan kemampuan berfikir sebuah bangsa.


Dalam bukunya yang provokatif berjudul “ Bisakah Orang Asia Berfikir?” ia menjawab pertanyaan tersebut dengan tiga kemungkinan jawaban. Pertama, orang Asia tidak bisa berfikir. Menurutnya, indikasi orang Asia tidak bisa berfikir karena kenyataan pada saat seribu tahun yang lalu peradaban Asia yang diwakili oleh peradaban Islam dan Konfusian masih memimpin dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dunia pengobatan dan astronomi.Sebaliknya Bangsa Eropa pada saat itu masih berada dalam masa “kegelapan” yang dimulai ketika Kekaisaran Romawi runtuh pada abad kelima. Gambaran “zaman gelap” Eropa itu dilukiskan oleh Will Durrant dalam The Age Of Faith seperti ini, “Eropa Barat pada abad ke enam mengalami kekacauan penaklukan, perpecahan dan barbarisasi kembali. Banyak kebudayaan klasik bertahan, hampir semuanya dalam kesunyian dan tersembunyi dalam sedikit kuil dan tradisi beberapa keluarga. Tapi fondasi fisik dan psikologis tatanan sosial telah sangat parah sehingga diperlukan beberapa abad untuk merestorasi kembali. Kecintaan pada kebudayaan, perkawinan silang pemikiran yang saling bergesek, runtuh pada zaman perang, resiko yang berbahaya dalam bepergian, kemiskinan ekonomi, kebangkitan bahasa-bahasa lokal, sirnanya bahasa Latin dari Timur dan Sirnanya bahasa Yunani dari Barat”.


Dengan latar belakang ini, tulis Mahbubani, bodoh jika kita memperidiksi pada saat itu bahwa di melineum kedua, peradaban Cina, India dan Islam akan terpuruk ke dalam keterpencilan sejarah, sementara Bangsa Eropa akan muncul menjadi peradaban pertama yang pernah mendominasi dunia. Yang sangat mengejutkan, justru Bangsa Eropalah yang maju ke depan. Jika orang Asia bisa berfikir, kata Mahbubani, mengapa saat ini hanya satu bangsa Asia (Jepang) yang mampu meyetarakan dirinya dengan bangsa Barat?
Kedua, orang Asia bisa berfikir. Hal ini ditandai oleh kemajuan ekonomi Asia Timur saat ini. Ekonom Bank Dunia yang juga peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz melukiskan gambaran kemajuan ekonomi Asia tersebut dalam Asian Wall Street Journal seperti ini, “ Keajaiban Asia Timur adalah fakta nyata. Transformasi ekonomi Asia Timur telah menjadi salah satu prestasi luar biasa dalam sejarah. Gelombang yang dramatis dalam standar hidup yang lebih tinggi unutk ratusan juta orang Asia, mencakup harapan hidup lebih lama, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan jutaan lainnya telah mengentaskan dirinya dari kemiskinan, dan saat ini mengarah pada kehidupan yang penuh harapan. Pencapaian-pencapaian ini betul-betul nyata, dan akan jauh lebih permanen daripada kekacauan yang sering terjadi saat ini”.
Mahbubani juga melihat adanya perubahan penting dalam pola pikir orang Asia saat ini. Misalnya selama berabad-abad orang Asia percaya bahwa satu-satunya cara meningkatkan diri adalah usaha menandingi bangsa Barat. Saat ini orang Asia masih melihat puncak kesenangan yang dihuni sebagian besar masyarakat Barat. Tapi mereka juga melihat , di luar puncak itu, pilihan-pilihan alternatif yang bisa dijadikan model bagi masyarakatnya sendiri.


Ketiga, mungkin orang Asia bisa berfikir. Salah satu pertanyaan terpenting orang Asia kepada diri mereka sendiri, tulis Mahbubani, adalah pertanyaan sederhana, berapa banyak masyarakat Asia, kecuali Jepang (Negara yang diterima oleh kelompok Barat), yang benar-benar percaya kalau masyarakatnya bisa berhasil dan mencapai kemajuan, dalam pengertian yang paling komprehensip, seperti negara maju di Amerika Utara dan Eropa Barat? Jika jawabanya tidak ada, atau mungkin hanya sedikit maka alasan untuk jawaban mungkin menjadi lebih kuat.
Untuk menjawab dan memecahkan permasalahan kontemporer Bangsa Indonesia seperti masalah kemiskinan maka kita harus mampu menjawab “bisa” - tegasnya bangsa Indonesia bisa berfikir - dengan mantap. Menurut Dawam Rahardjo dalam kata Pengantar buku tersebut setidaknya ada tiga cara untuk menunjukkan kemampuan berfikir kita demi meraih kemajuan di masa depan.


Pertama, adalah melalui integrasi dengan perekonomian dunia yang kapitalis dan mengikuti atau memanfaatkan globalisasi. Cara seperti ini telah ditempuh oleh Jepang dan Negara-negara Empat Macan Asia dan hampir diikuti dengan berhasil oleh negara-negara Asia Tenggara.


Kedua, dengan mengambil aspek yang baik dari kapitalisme atau sosialisme dan membuang aspek buruknya. Hal ini dilakukan dengan melakukan kritik dan mengembangkan Oksidentalisme, sebagaimana Barat di masa lalu mengembangkan Orientalismenya. Disini Dunia ketiga bisa mengikuti globalisasi tetapi globalisasi moral dan etika, seperti demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kesetaraan Gender dan keterbukaan masyarakat.


Ketiga, adalah melakukan strategi “delinking” yang pernah diusulkan oleh Ivan Illich atau Tetonio De Santos dan penganjur- penganjur teori Dependensia lainnya. Asumsinya, makin jauh dari kapitalisme dan Imprealisme, suatu bangsa akan lebih mampu melakukan pembangunan secara sehat sebab jauh dari faktor distorsi. Contohnya adalah Iran dan Kuba.


Disamping ketiga cara di atas saya menambahkan aspek kultural maupun mentalitet. Kemajuan Jepang maupun negara lain juga tidak terlepas oleh sebuah kultur dan mentalitet yang mendukung kemajuan negaranya.


Dalam usia 61 tahun kemerdekaan ini, kita perlu merefleksi terhadap gugatan Kishore Mahbubani di atas. Selanjutnya kita memperkuat kemampuan berfikir agar harapan yang pernah dilontarkan oleh Duta Besar Amerika itu dapat menjadi kenyataan dalam waktu tidak lebih dari 50 tahun dari sekarang. Jika itu berhasil maka minimal dalam perayaan usia kemerdekaan yang ke 100 kita bisa merayakan tanda-tanda Indonesia sebagai bangsa nomor satu di Asia. .Wallahu A’lam.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP