7/30/2006

Paliudju Dan Prilaku Pemilih

Tahapan yang paling penting dari pilkada gubernur telah selesai dilaksanakan. Bila mengamati hasil pemilihan tersebut kita dikejutkan oleh kemenangan (sementara) oleh Pasangan H. Bandjela Paliudju-H. Ahmad Yahya. Pasangan yang bernomor dua ini mengalahkan pasangan yang difavoritkan yakni Aminuddin Ponulele-Sahabuddin Mustapa(AS) dan Ruly Lamadjido- Sudarto(RS)

Mengejutkan, karena pasangan tersebut- dibanding dengan pasangan AS maupun RS- dalam kampanyenya tidak memperlihatkan kemeriahan atribut mapun massa. Mereka hanya berkampanye dengan pawai kendaraan yang jumlahnya juga tidak sebanyak dua pasangan tersebut atau hanya melakukan kampanye simpatik dengan mendatangi kantung-kantung pemilih. Ini pun mereka tidak sempat mendatangai seluruh wilayah.
Namun hasilnya sungguh di luar dugaan banyak orang. Pasangan AS ini mampu menguasai basis-basis kedua pasangan tersebut. Tercatat ada enam kabupaten yang menjadi basis pemilihnya yang terbesar, yakni Palu, Donggala, Parimo, Poso, dan Buol. Apa yang menjadi faktor dari kemenangan tersebut?

Tinjau Ulang Metode Kampanye
Salah satu faktor yang harus menjadi perhatian para figure yang akan bertarung pada pilkada ke depan adalah metode kampanye. Pelajaran yang didapat dari Pilkada Gubernur Sulteng membuktikan metode kampanye konvensional sudah harus dievaluasi. Lihatlah misalnya, Pasangan AS maupun Ruly dalam setiap kampanye monologis mengumpulkan massa yang jumlahnya puluhan ribu (minimal sepuluh ribu). Belum lagi dukungan atribut lain, spanduk, posko. Striker, Baliho,famflet yang jumlahnya ribuan serta iklan di media massa cetak dan elektronik.
Bila yang menjadi ukuran kemenangan adalah jumlah massa yang hadir dilapangan dan atribut kampanye maka seharusnya yang meraih suara terbanyak adalah pasangan AS atau RS. Namun tidak demikaian halnya.
Justru yang meraih suara terbanyak( sementara) adalah pasangan yang tidak berkampanye dilapangan dengan puluhan ribu massa yang didukung oleh ribuan stiker dan spanduk. Maka boleh kita mengambil kesimpulan bahwa kampanye konvensional dengan menghadirkan ribuan massa ternyata tidak efektif baik untuk membujuk pemilih maupun sebagai sugesti (show of force).
Sudah umum diketahui bahwa sebagian besar massa yang hadir pada saat kampanye memang bukan untuk mendengarkan orasi politik dari para jurkam. Tetapi mereka hadir hanya untuk sekedar ramai-ramai menyenangkan diri. Apalagi pada setiap kampanye memang disediakan hiburan yang menghadirkan artis-artis.

Mengapa Pasangan BP_AY Unggul?

Tentu kita bertanya metode kampanye bagaimana yang digunakan pasangan BP-AY sehingga dapat meraih suara terbanyak? Saya juga tidak yakin sepenuhnya yang memilih pasangan tersebut karena factor kampanye secara langsung. Namun sudah pasti ada factor-faktor lain yang secara tidak langsung mengungtungkan kandidat tersebut.
Pertama, kondisi keamanan Sulteng khususnya kota Palu dan Poso. Sejak pecahnya konflik Poso tahun 1998 daerah ini tidak pernah aman seperti sebelumnya. Walaupun sudah ada perjanjian Malino tapi tetap saja ada gangguan keamanan yang terjadi.Misalnya terjadi letusan bom di Tentena maupun Poso, Penembakan jaksa dan pendeta di Palu.
Bahkan beberapa minggu menjelang pilkada ekskalasi gangguan keamanan di Sulawesi Tengah meningkat. Pembunuhan dan penembakan siswa di Poso, penembakan dosen Untad di Palu dan yang paling mutakhir adalah peledakan bom di pasar daging babi di Palu. Semua ini dipersepsikan oleh masyarakat sebagai kegagalan pemimpin daerah ini untuk menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.
Tentu konstatasi seperti ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Karena yang yang berwewenang menciptakan rasa aman adalah para polisi dan tentara dan dibantu pemerintah daerah. Juga sering sekali masyarakat melakukan perbandingan antara priode kepemimpinan daerah. Dari hasil perbincangan dengan salah seorang masyarakat, dia mengatakan bahwa priode kepemimpinan yang lalu berlangsung aman-aman saja. Padahal dia tidak ingat bila konflik Poso tersebut jusrtu dimulai pada tahun 1998 dimasa pemerintahan HB.Paliudju.
Dengan persepsi demikian masyarakat kemudian mencari tokoh atau pemimpin yang bisa mengatasi persoalan keamanan tersebut. Masyarakat berkesimpulan figure yang diharapkan mampu untuk itu adalah dari Tentara atau Polisi. Inilah yang terjadi pada pemilihan bupati Poso dimana terpilih pensiunan Polisi dan Pilgub Sulteng dari kalangan tentara.
Kedua, terjadi rivalitas yang sangat keras antara pasangan AS dengan RS. Dengan adanya persaingan tersebut keduanya lengah membentung isu (counter issue) dan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasangan BP-AY. Akibatnya gerakan-gerakan tim sukses BP-AY kemudian tidak terbaca oleh lawan. Hal inilah kemudian mendapat simpati masyarakat pemilih apalagi banyak gerakan dari kedua tim sukses tersebut overacting yang justru counter productive bagi dukungan ke kandidat. Masyarakat lalu berpikir alternative. Kemudian masyarakat memilih figure alternative yang tidak ada lain adalah HB.Paliudju. Memang ada pasangan lain yakni Yusuf Paddong-Muis Taher tapi mereka tidak terlalu dikenal oleh masyarakat pemilih.
Ketiga, Komunikasi politik semua kandidat terkesan sangat dipaksakan. Masyarakat menilai hanya karena “ada maunya” mereka baru rajin berkunjung ke daerah-daerah bahkan sampai di pelosok-pelosok. Semua figur berusaha untuk- meminjam istilah Amir Arham- sociable. Ini juga menimbulkan antipati masyarakat. Karena kebetulan pemerintah daerah saat ini dibawah komando Aminuddin Ponulele dan Rully Lamadjido maka merekalah yang kena “hukuman” dari masyarakat. Sumbangan mereka tetap diterima tapi kemudian masyarakat tidak memilih mereka.
Analisis tersebut sangat sederhana dan hanya bersifat dugaan-dugaan saja karena tidak didasari oleh suatu riset yang memadai. Karena itu menjadi tugas ilmuan politik atau peneliti memperbanyak riset mengenai prilaku pemilih agar bisa menjadi rekomendasi pada kandidat pemimpin politik sebagai bahan starategi kamapanye di kemudian hari. Wallahu A’lam.

Read More..

7/29/2006

Korupsi Dan Revolusi Kesadaran

Praktek korupsi bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari struktur pemerintahan terendah yakni RT sampai pemerintah pusat; semua pernah terjangkiti penyakit korupsi. Bahkan instansi yang kita percayakan sebagai penjaga moral bangsa yakni departemen agama juga terlibat persoalan korupsi. Legislatif pun sama saja, tidak ada yang terbebas dari persoalan korupsi.



raktek korupsi bisa dikatakan sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Mulai dari struktur pemerintahan terendah yakni RT sampai pemerintah pusat; semua pernah terjangkiti penyakit korupsi. Bahkan instansi yang kita percayakan sebagai penjaga moral bangsa yakni departemen agama juga terlibat persoalan korupsi. Legislatif pun sama saja, tidak ada yang terbebas dari persoalan korupsi.

Pemberantasan korupsi telah menjadi agenda prioritas pemerintahan SBY-JK. Bahkan telah dibentuk lembaga khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus korupsi pun diberikan pengadilan khusus yakni pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).

Pelaku korupsi telah banyak yang dihukum namun masih banyak lagi yang belum tersentuh hukum. Menurut Mendagri M. Ma’ruf selama tahun 2004-2006 tercatat sebanyak 1.100 orang yang telah dihukum. Angka ini baru meliputi level gubernur, bupati/walikota dan anggota DPRD saja, belum termasuk pejabat di instansi pemerintah lainnya (detik.com, 23/3/2006).

Bahkan beberapa waktu yang lalu ada sejumlah yang diduga korupsi BLBI di bawah ke Istana. Ini menandakan pelaku korupsi sangat lihai jika berurusan dengan hukum. Ibarat belut, pelaku korupsi sangat susah untuk ditangkap mengingat badannya sangat licin. Setiap kali dijerat hukuman ada saja cara untuk melepaskan diri. Bahkan ada beberapa kasus pelaku korupsi telah dimasukkan dalam penjara tetapi kemudian dapat melarikan diri.

Kemudahan pelaku korupsi lolos dari jeratan hukuman karena disinyalir ada kerjasama antara penegak hukum dengan pelaku. Kasus Abdullah Puteh misalnya, dimana seorang pengacara terlibat dalam praktek penyuapan hakim dan jaksa yang menyidangkan kasus gubernur provinsi Aceh tersebut.

Jika korupsi telah menjadi praktek sosial yang lazim maka sebenarnya masyarakat telah dihegemoni oleh sebuah struktur atau pola yang teratur sejak lama dan selalu terulang. Pada saat kita berurusan dengan birokrasi misalnya, kita telah terbiasa memberikan sebuah tip, suap, amplop dan sejenisnya untuk memperlancar urusan kita. Birokrasi pun telah terbiasa menerima hal-hal demikian. Jadi ada pola yang resiprokal.

Ahli sosiologi kontemporer Anthony Giddens pun mengakui hal ini. Dalam kerangka teori strukturasi yang dia kembangkan, terjadinya praktek sosial adalah merupakan hasil dari suatu “struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip-prinsip praktik-praktik di berbagai tempat dan waktu merupakan hasil perulangan berbagai tindakan kita (B.Hery-Priyono, 2002).

Pada saat kita mengurus STNK, biaya yang semestinya kita bayarkan telah tertera secara jelas di STNK. Pada kenyataannya biaya yang kita bayarkan melebihi apa yang seharusnya. Begitupun apabila mengurus SIM pasti ada biaya lain entah sebagai tip pada polisi atau hal lain untuk mempermudah. Begitupun kalau masuk PNS. Ada kebiasaan untuk berkolusi pada pejabat demi kemudahan kita masuk. Masih banyak contoh lain.

Karena pengalaman memberikan biaya tambahan tersebut memperlancar urusan, kita kemudian menceritakan pengalaman itu pada orang lain untuk kasus yang sama. Jadilah orang itu melakukan hal yang sama. Semakin hari semakin bertambah dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sudah terpola. Pertanyaannya adakah kita tahu dan sadar bahwa hal tersebut termasuk kategori korupsi?

Antony Giddens menjawab bahwa kita tahu; tahu tidak harus diartikan sebagai sadar (Consicious), apalagi sebagai kapasitas untuk menjelaskan semua proses itu secara terinci, sistematis dan gamblang (B. Hery-Priyono, ibid).

Kesadaran menurut Giddens dapat dibedakan menjadi tiga dimensi. Pertama, motivasi tak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical conscious) dan kesadaran diskursif (discursive conscious).

Motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan tapi bukan tindakan itu sendiri. Misalnya menceritakan pengalaman memberikan uang tip pada orang tidaklah dimasudkan untuk menyuruh orang untuk korupsi. Mungkin motivasinya hanya ingin menolong agar diberi kemudahan.

Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita. Misalnya jika orang menyuap itu berarti korupsi yang sangat merugikan negara. Pelakunya dapat dihukum. Dengan penjelasan tersebut maka kita bisa menghindarkan prilaku korupsi.

Kesadaran praktis menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu dapat diurai. Misalnya diam saat kita memasuki rumah ibadah. Menurut B. Herry-Priyono kesadaran inilah kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat laun menjadi struktur dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial kita. Contohnya praktik menyuap yang berulang-ulang sudah menjadi kebiasaan kita. Tetapi anehnya proses reproduksi tindakan itulah yang jarang kita kritisi sekarang.

Pemberantasan korupsi hanya bisa dihentikan secara komprehensif bila kita melakukan revolusi kesadaran, dari kesadaran praktis menjadi kesadaran diskursif.Imperatif kesadaran diskursif yang bersifat internal itu harus mendapat supporting dari eksternal yakni penegakan hukum. Pertanyaannya adalah apakah kita mampu mengingat hal itu sudah menjadi kebiasaan bahkan telah menjadi budaya? Jawaban Giddens adalah kita mampu karena kita punya kemampuan untuk introspeksi dan mawas diri (reflexive monitoring of conduct). Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif sangatlah tipis dan lentur.

Yang kita perlukan adalah bagaimana mengubah perilaku yang rutin itu menjadi sebuah hal yang terlarang. Ringkasnya de-rutinisasi tindakan korupsi. Bangunan kesadaran global yang anti korupsi harus terus-menerus diperjuangkan sehingga mindset kita menemukan pola atau struktur yang baru sesuai dengan konteks zaman yang lebih bermartabat. Korupsi No Way! Wallahu A'lam.

Read More..

"Image Building "Baru Sulawesi Tengah

nda bisa melakukan survey, tanyalah pada orang di daerah lain menyangkut apa yang paling diketahui di Sulawesi Tengah saat ini. Saya yakin jawabannya adalah berkisar pada konflik, teror bom dan kekerasan bersenjata lainnya di daerah ini. Ini pernah saya buktikan melalui jajak pendapat kecil-kecilan melalui sms yang saya kirimkan pada teman di Provinsi lain. Apa artinya itu? Sulawesi tengah tercitrakan sebagai daerah yang tidak aman dan tidak nyaman. Melalu sebuah publikasi yang luas kondisi ini tercitrakan dibenak orang-orang yang tidak mengenal medan Sulawesi Tengah secara langsung.

nda bisa melakukan survey, tanyalah pada orang di daerah lain menyangkut apa yang paling diketahui di Sulawesi Tengah saat ini. Saya yakin jawabannya adalah berkisar pada konflik, teror bom dan kekerasan bersenjata lainnya di daerah ini. Ini pernah saya buktikan melalui jajak pendapat kecil-kecilan melalui sms yang saya kirimkan pada teman di Provinsi lain. Apa artinya itu? Sulawesi tengah tercitrakan sebagai daerah yang tidak aman dan tidak nyaman. Melalu sebuah publikasi yang luas kondisi ini tercitrakan dibenak orang-orang yang tidak mengenal medan Sulawesi Tengah secara langsung.

Citra sebagai daerah konflik tidak bisa dibantah karena faktanya memang demikian. Kerusuhan Poso yang mulai terjadi pada tahun 1998 mendapat liputan pers dalam dan luar negeri secara masif. Belum lagi beberpa gangguan keamanan, kekerasan bersenjata, dan sejumlah teror yang terjadi di Poso dan Palu. Sekedar menyebutkan contoh-contoh, pemenggalan kepala siswi SMU di Poso, terbunuhnya tiga orang polisi oleh kelompok Madi, penembakan dosen Untad, pemeriksaan pejabat dinas sosial dan seterusnya.

Tidak ada yang memungkiri bahwa kondisi demikian menyebabkan daerah menjadi terpuruk secara ekonomi. Masyarakat meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai, petani, pengusaha untuk pergi mengungsi. Infrastruktur perekonomian daerah di Poso banyak hancur akibat kerusuhan. Investorpun enggan datang malah banyak yang hengkang akibat kondisi daerah yang tidak aman. Secara sosial politik juga demikian, masyarakat menjadi sangat fragmented. Akibatnya di masyarakat tercipta social disorder yang sangat tidak mendukung tertib politik. Ini semua membawa citra daerah yang buruk

Lantas, apa diharapkan pada masyarakat yang demikian itu? Tidak ada yang bisa diharapkan kecuali pesimisme. Masyarakat semakin tidak berdaya dan menjadi powerless. Mental mind juga diliputi oleh keterpecahan jiwa, split of personality.

Pemerintah daerah dan pusat harus menancapkan optimisme baru ke dalam masyarkat Sulawesi Tengah. Melalui gubernur hasil pilihan rakyat ini, pemerintah dengan segala kekuatannya harus melahirkan bayi masyarakat Sulawesi Tengah yang sehat, tidak membawa cacat bawaan. Itu hanya mungkin apabila ia lahir dari rahim pemerintah yang sehat pula. Kondisi Sulawesi Tengah yang kurang mengesankan akhir-akhir ini harus segera di akhiri. Let’s gone be by gone.

Citra Damai

Realitas permasalahan daerah ini memang begitu besar. Yang paling gawat adalah masalah Poso. Sayangnya pemerintah pusat tidak memberikan perhatian yang optimal terhadap penyebab utama terhadap teror di daerah ini. Kesan kita terhadap penyelesaian Poso sangat lamban. Untunglah pada saat terakhir pemerintah mengeluarkan sebuah Inpres No 14 tahun 2005. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan membentuk Koopskam.

Citra damai harus merupakan sebuah kebutuhan. Di semua level masyarakat harus terkondisikan dengan suasana yang aman dan damai. Pengkondisian ini hanya bisa dilakukan dengan sebuah kesepahaman bersama. Kesepahaman ini terbentuk melalui sebuah cita-cita bersama membangun Sulawesi Tengah dengan lebih adil dan sejahtera. Pola pikir dan mind set seperti ini harus terus menerus dicitrakan dan diseminasikan oleh semua pihak. Peran pemerintah harus memberikan dukungan secara optimal.

Pencitraan dapat berjalan secara efektif apabila dilakukan secara objektif. Maksudnya fakta-fakta yang dimunculkan menurut apa adanya. Bila ada fakta yang tersembunyi sangat mungkin menjadi rumor baru bagi masyarakat yang kemudian melahirkan konflik baru. Bila pemerintah berani mengungkapkan dalang berbagai kejahatan terorisme maka pemerintah harus berani pula mengungkap casus belli konflik itu sendiri.

Bagi daerah seperti Sulawesi Tengah pencitraan juga akan berjalan efektif apabila kita mau secara bersama menjadi jurubicara perdamaian. Artinya semua warga Sulawesi Tengah perlu membangun suatu komitmen perdamaian abadi. Untuk mencapai itu pemerintah daerah dan pusat harus betul-betul punya komitmen sehingga bisa dipercaya. Hanya dengan kepercayaan itulah masyarakat menjadi patuh pada apa yang dikerjakan oleh pemerintah.

Timbulnya ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah antara lain disebabkan oleh amanat yang diberikan rakyat dilanggar oleh pemerintah sendiri. Sekedar menyebutkan contoh, dana pengungsi Poso diduga dikorupsi oleh orang-orang tertentu dipemerintahan maupun kroninya.

Image Baru

Jadi untuk pencitraan Sulawesi Tengah harus dikerjakan pada dua basis, yakni pada pemerintah termasuk aparat keamanan dan juga masyarakat. Pemerintah harus mencitrakan dirinya sendiri sebagai pemerintah amanah, tidak korupsi, dan punya komitmen yang tergambar pada program pembangunan yang berpihak pada rakyat. Sementara masyarakat harus mencitrakan dirinya sendiri sebagai masyarakat yang beradab (masyarakat madani). Pencitraan ini tidak cukup dilakukan dengan jargon, pidato retorik tapi juga dengan aksi yang nyata.

Melakukan pencitraan juga tidak lengkap jika hanya seperti pemasaran sebuah produk atau iklan. Iklan itu intinya hanya bujuk rayu kalau bukan penuh tipu. Kadangkala barangnya tidak sehebat dengan iklannya. Melakukan Pencitraan harus benar-benar objektif dan autentik. Daerah ini harus dicitrakan dengan program yang mempunyai manfaat besar bagi peningkatan kesejahteraan., bukan dengan program asal-asalan.

Semua warga yang dimotori pemimpinnya perlu image bulding Sulawesi Tengah sebagai daerah yang sudah aman. Ibaratnya Sulawesi Tengah sudah melakukan reinkarnasi. Sulawesi Tengah yang sekarang bukan lagi terkesan chaotic, banyak korupsi, terbelakang, tapi Sulawesi Tengah visioner dan prospektif. Sulawesi Tengah yang dicita-citakan itu saat ini sedang disemaikan bibit-bibitnya mulai hari ini.

Saya berharap content pencitraan seperti itulah yang akan digambarkan oleh Gubernur ketika ia berbicara di depan para pemuda dalam rakernas KNPI dalam waktu dekat ini. Bukan hanya masalah keamanan tapi juga prospek kemajuan dengan visi yang tergambar secara jelas dan terukur. Masyarakat Sulawesi Tengah menanti ide-ide cerdas gubernur dalam pembangunan ke depan. Sebuah Visi yang mampu menghentak kesadaran bagi Provinsi lain di Indonesia. Sebuah uraian yang mendiskripsikan Sulawesi Tengah sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan di kawasan Timur Indonesia. Pencitraan yang dilakukan oleh Gubernur Gorontalo untuk daerahnya selayaknya menjadi contoh yang baik.Wallahu A'lam

Read More..

Objektivikasi Pancasila

Memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 juni, pertanyaaan mendasar yang dikemukan oleh sekompok kecil masyarakat kritis berkenaan dengan, apakah Pancasila sebagai ideologi hari ini masih relevan? Jawaban terhadap pertanyaan ini terbagi ke dalam dua aliran besar. Aliran pertama menyatakan bahwa pancasila tentu saja masih relevan karena ia adalah sebuah ideologi kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nilai yang digali dari kenyataan luhur bangsa. Mengingkari Pancasila sama dengan tidak mengakui keindonesiaan secara subtantif. Hanya saja perlu direaktualisasi kembali karena implementasi pancasila pada masa orde baru yang menyimpang.

Memperingati hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 juni, pertanyaaan mendasar yang dikemukan oleh sekompok kecil masyarakat kritis berkenaan dengan, apakah Pancasila sebagai ideologi hari ini masih relevan? Jawaban terhadap pertanyaan ini terbagi ke dalam dua aliran besar. Aliran pertama menyatakan bahwa pancasila tentu saja masih relevan karena ia adalah sebuah ideologi kebangsaan. Pancasila adalah sebuah kesepakatan atau konsensus nilai yang digali dari kenyataan luhur bangsa. Mengingkari Pancasila sama dengan tidak mengakui keindonesiaan secara subtantif. Hanya saja perlu direaktualisasi kembali karena implementasi pancasila pada masa orde baru yang menyimpang.

Adanya penyimpangan dimulai ketika Pancasila ditafsirkan secara sepihak oleh pihak penguasa pemerintahan. Tidak ada kebenaran selain dari rezim yang berkuasa. Eksesnya berupa adanya Pancasila yang terlanjur terstigma sebagai produk yang tidak sejalan dengan semangat reformasi. Karena itu membicarakan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah keharusan. Namun perlu direvitalisasi dan reaktualisasi sejalan dengan perubahan dalam skala nasional dan global.

Aliran kedua mengatakan tidak relevan karena Pancasila sebagai ideologi telah gagal dalam menjaga keutuhan bangsa. Bangsa semakin terpecah-pecah. Tidah hanya itu Pancasila sebagai doktrin juga mempunyai sisi-sisi yang kontradiktif seperti tercermin dalam debat antara Soekarno dan Sutan Sahrir. Sebagai ideologi Pancasila juga semakin tidak lengkap dalam mengakomodasi semua aspirasi keindonesiaan yang selalu berubah. Tidak pernah ada bukti kongkrit pengamalan pancasila secara benar sebagai hasil indoktrinasi yang menyeluruh. Saat ini pemenangnya adalah ideologi kapitalisme, setidaknya menurut Francis Fukuyama dan Daniel Bell.

Ditingkat berbangsa doktrin Pancasila yang menempatkan Tuhan atau ruh agama sebagai nafas utama dalam kehidupan nyata sebagai bangsa dan individu tidak menjadi kenyataan, malahan menjadi utopis. Ini adalah akhir dari sebuah ideologi, the end of ideology. Karena itu menurut aliran ini bangsa Indonesia perlu mencari konsensus baru yang lebih relevan sebagai common denominator baru bangsa Indonesia.

Dengan membuat garis argumentasi yang sederhana terhadap dua aliran itu saya menyimpulkan bahwa secara subtantif bangsa Indonesia masih memerlukan sebuah Ideologi yang berfungsi sebagai konsensus nilai bangsa. Bangsa memerlukan wahana bagi akomodosi kenyataan pluralisme atau kebhinekaan dimana ujungnya melahirkan nasionalisme. Suatu nasionalisme yang relevan dengan kondisi saat ini serta mampu mengantisipasi masa depan. Dengan kata lain ideologi difungsikan sebagai alat bagi sebuah konsensus.

Tetapi menjadikan tujuan ideologi (Pancasila atau apapun namanya) sebagai alat untuk kesepakatan bersama sesungguhnya merupakan asumsi yang menyesatkan. Pandangan inilah yang menjadi sasaran kritik seperti yang dikemukakan oleh John B. Thompson (2003). Menurutnya sesat berideologi terletak pada asumsi bahwa ideologi bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang mengingat anggota masyarakat secara bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dan kepercayaan tertentu disepakati oleh seluruh (bahkan mayoritas) anggota masyarakat industri moderen.

Sebaliknya, sebagaimana yang lebih mirip dengan masyarakat kita, masyarakat yang memiliki tatatan sosial yang stabil, mereka dikondisikan (stabilized) oleh adanya perbedaan nilai dan kepercayaan serta pembagian kerja yang bersifat individu dan kelompok. Menurut John B. Thompson selanjutnya stabilitas masyarakat bergantung tidak hanya kepada konsensus yang berisi nilai-nilai dan norma-norma tertentu, tapi juga kepada ketidaksempurnaan konsensus dimana sikap-sikap saling bertentangan akan diterjemahkan ke dalam tindakan politik.

Supaya tidak terulang kesalahan kedua kali dalam berpancasila, bukan hanya kita perlu revitalisasi dan reaktualisasi atau mencari konsensus baru. Yang lebih mendasar dari itu adalah kita perlu melakukan objektivikasi Pancasila dengan menempatkan pada suatu setting sosial baru yang bersifat kritis. Biarkan Pancasila "berdialog" dengan tatanan sosial yang ada di sekelilingnya. Kita tidak perlu mendiktekan kemauan kita yang bersifat subjektif dan penuh muatan kepentingan.Wallahu A'lam.


Read More..

Agenda Ke Depan: Memperkuat Daerah

Rasanya memang tepat apabila saat ini kita sebagai warga Sulawesi Tengah urun rembuk memikirkan kemajuan daerah. Apalagi perhelatan politik Pilkada gubernur sudah terlaksana dengan baik. Terlepas siapapun yang nantinya ditetapkan sebagai gubernur semua warga Sulawesi Tengah berhak memberikan dukungan sekaligus kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar jalannya pemerintahan dapat lebih serius menjalankan amanat yang dibebankan oleh rakyat.


Rasanya memang tepat apabila saat ini kita sebagai warga Sulawesi Tengah urun rembuk memikirkan kemajuan daerah. Apalagi perhelatan politik Pilkada gubernur sudah terlaksana dengan baik. Terlepas siapapun yang nantinya ditetapkan sebagai gubernur semua warga Sulawesi Tengah berhak memberikan dukungan sekaligus kontrol yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar jalannya pemerintahan dapat lebih serius menjalankan amanat yang dibebankan oleh rakyat.

Hal yang harus menjadi kesadaran bersama (consience collective) baik pemerintah maupun masyarakat adalah bahwa pemerintahan baru nanti merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Dengan kata lain program-program dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan merupakan kelanjutan wajar dari pemerintahan sebelumnya. Karena itu program-program yang terbukti baik pada masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebaliknya yang jelek pada masa lalu kini harus ditinggalkan dalam laci yang terkunci rapat. Memang pernyataan ini terkesan klise tapi tetap relevan untuk dikemukakan, mengingat sifat dan watak pemerintahan kita sering kali terjebak pada subjektivisme pemerintahannya sendiri.

Karena itu kreativitas pemerintahan baru dalam membuat program harus difahami sebagai proses kontinuitas dari pemerintahan sebelumnya. Ini untuk menghindari terjadinya dendamisme antar generasi pemerintahan. Apalagi kalau pemerintahan baru menerapkan prinsip” the winner take all”. Bila demikian, pemerintahan lama pasti dipandang sebagai institusi yang seolah-olah tidak pernah berjasa karena itu perlu disingkirkan.

Kondisi demikian tidak boleh terjadi karena jelas tidak menguntungkan bagi kemajuan masyarakat dan daerah. Bayangkanlah misalnya kalau dalam pemerintahan sebelumnya terdapat orang punya sumberdaya yang sangat tinggi tapi kemudian tidak terpakai hanya karena pilihan politik yang bersangkutan berbeda. Asumsi lain bila ada sekelompok masyarakat kemudian tidak mendapat perhatian yang semestinya hanya karena desanya adalah pendukung fanatik figur tertentu. Adalah wajar apabila pilihan-pilihan politik setiap orang atau kelompok berbeda satu sama lain disebabkan oleh perbedaan tingkatan kepentingan dalam jangka pendek.

Meskipun demikian pemerintahan baru tetap berhak menetapkan program-programnya sendiri sebagai wujud kreativitasnya. Ini juga tidak bisa diabaikan disebabkan oleh pilihan strategi dan metode yang akan dijalankan. Untuk memperkaya subtansi strategi dan program diperlukan partisipasi dari seluruh masyarakat.

Saat ini banyak sekali masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan daerah tidak terkecuali kita di Sulawesi Tengah. Ada masalah ekonomi dan kesejahteraan, politik, hokum, budaya, keamanan dan sebagainya. Pemerintahan baru nanti pasti tidak terlepas dengan masalah-masalah tersebut. Karena itu pemerintahan baru nanti harus siap dengan pilihan startegi yang tepat agar masalah-masalah tersebut dapat dicarikan solusinya secara efektif.

Berkaitan dengan pilihan strategi tersebut hendaknya disadari bahwa apapun pilihan teorinya pasti tidak bisa menuntaskan semua permasalahan yang ada. Sebagus apapun konsepnya pasti tidak menyelesaikan semuanya. Mengapa? Karena hakekat sebuah teori adalah ia hanya penyederhanaan atau simplifikasi dari kenyataan. Sedangkan kenyataan atau realitas adalah dimensi ada yang mempunyai banyak sekali variabel.Teori atau konsep hanya menjawab variabel-variabel tertentu, tidak bisa menjelaskan seluruh realitas. Jadi wajar kalau sebuah teori selalu dapat ditemukan anti tesanya. Keberhasilan penerapan sebuah teori tergantung pada sejauh mana variabel-variabel indogen dan eksogen dapat dipahami dengan baik sebagai pendukung maupun penghambat.

. Bila ini dikaitkan pada kepemimpinan pemerintahan maka hal utama yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali mata rantai permasalahan-permasalahan dan mencari solusi untuk memutus matai rantai tersebut. Satu hal yang menjadi truisme dalam kefilsafatan bahwa ketidakberdayaan atau kegagalan menemukan solusi hidup disebabkan oleh belum optimalnya manusia menggunakan potensi akal yang dimilikinya. Buktinya yang membedakan manusia jaman primitif dengan modern saat ini hanyalah kemampuan menggunakan fikiran. Semakin kuat penggunaan akal fikiran maka manusia semakin dapat menemukan solusi atas hidupnya.

Dengan demikian tidak ada jalan lain apabila kita ingin memutus mata rantai permasalahan pada masyarakat harus dengan membuat masyarakat itu sendiri menjadi cerdas. Artinya yang harus menjadi solusi jangka panjang atas semua masalah yang terjadi adalah pendidikan. Penggunaan potensi akal fikiran yang optimal hanya diperoleh dari suatu pendidikan secara menyeluruh dalam lingkungan masyarakat. Hal tersebut hanya dimungkinkan apabila tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) sehingga kelak menjadi masyarakat berpengetahuan(knowledge base society).

Dukungan kearah sana harus dimulai pada usaha-usaha memperkuat negara (baca daerah). Suatu negara yang kuat menurut Rizal Mallarangeng, ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika terjadi pelanggaran pada otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan alat-alat pemaksa yang dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta –jika bersifat intervensionis-mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi.

Bagi Francis Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil (penulis: kerusuhan Poso) bukanlah hal ikhwal yang berdiri sendiri. Peristiwa –peristiwa itu merupakan gejala politik di mana negara ( daerah) sebagai intitusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya. Menurutnya, gejala kegagalan semacam itulah yang menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia (Rizal Mallarangeng, 2005).

Hal tersebut disimpulkan oleh Francis Fukuyama setelah melihat fenomena negara yang dianut oleh kaum pro pasar dalam kurun waktu tahun 1980. Pada saat itu kaum liberal menyodorkan strategi deregulasi, debirokratisasi, privatisasi dan semacamnya menjadi alternatif untuk menggerakkan ekonomi. Memang ada hasilnya yakni pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan integrasi pasar.

Namun dalam beberapa hal lain kata Rizal, ia justru membawa problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi juga terkait dengan merosotnya kapasitasnya untuk melakukan fungsinya yang memang perlu.
Bila hal ini ditarik pada pemerintah daerah maka kita perlu memberikan dukungan atas berlangsungnya fungsi-fungsi pemerintahan daerah secara optimal. Di era otonmi daerah seperti saat ini uasha tersebut semakin menemukan momentumnya. Wallahu A’lam.

Read More..

Piala Dunia dan Pembinaan Olahraga Kita

Tidak ada isu yang paling banyak dibicarakan saat ini menyamai kejuaraan sepakbola piala dunia. Isu itu diperbincangkan oleh seluruh stratifikasi sosial, agama, kebudayaan dimanapun letak geografis manusia di dunia ini. Pada upacara pembukaan yang menampilkan team Jerman melawan Kostarika penonton mencapai 1,5 milyar melalui layar televisi, internet maupun telpon genggam. Sepakbola sudah menjadi mainstream globalisasi, bahkan peradaban saat ini mungkin bisa disebut sebagai peradaban bola.


Tidak ada isu yang paling banyak dibicarakan saat ini menyamai kejuaraan sepakbola piala dunia. Isu itu diperbincangkan oleh seluruh stratifikasi sosial, agama, kebudayaan dimanapun letak geografis manusia di dunia ini. Pada upacara pembukaan yang menampilkan team Jerman melawan Kostarika penonton mencapai 1,5 milyar melalui layar televisi, internet maupun telpon genggam. Sepakbola sudah menjadi mainstream globalisasi, bahkan peradaban saat ini mungkin bisa disebut sebagai peradaban bola.

Para penonton sepakbola rela mengesampingkan pekerjaannya demi menonton team favoritnya. Penonton sepakbola di Indonesia bedagang setiap malam sampai subuh untuk menyaksikan pertandingan demi pertandingan. Pada saat kita ke kantor atau di warung kopi, obrolan kita tidak jauh-jauh dari pertandingan yang kita saksikan semalam. Orang yang sebenarnya tidak hobi akhirnya terikut juga karena semua dijangkiti penyakit demam sepakbola, football fever.

Sebuah pertandingan olahraga pasti nilai positif buat kemajuan suatu bangsa karena olahraga itu sendiri adalah positif. Satu hal yang dapat kita ambil dalam setiap pertandingan olahraga adalah semangat kompetisi. Pada Piala Dunia ini tingkat kompetisi sangat tinggi, sehingga kesalahan sekecil apapun pada sebuah team akan bisa mengakibatkan kekalahan bagi team tersebut. Tapi kekalahan itu sendiri tidak perlu ditangisi. Jika sebuah pertandingan tidak ada yang ada kalah justru pertandingan tersebut kurang menarik. Sehinnga dalam sepakbola atau olahraga apapun tidak dibenarkan memberikan kemenangan lawan karena faktor cinta dan kasih sayang.

Dalam penuturan Bertrand Russel demikian,"jika dua team sepakbola pada masa sekarang ini bertanding, lalu memutuskan bekerjasama karena pengaruh cinta kasih, dengan cara memasukkan gol pertama ke salah satu gawang, kemudian satu gol ke gawang satunya, maka tidak ada seorang pun yang bahagia. Tidak ada alasan menagapa semangat kompetisi yang ada dalam diri para atlit harus dibatasi. Usaha untuk saling menang di antar team, posisi dan aturan main, terbukti merupakan faktor motivasi yang sangat berguna namun jika kompetisi tidak berubah dengan keras dan kasar, kegagalan pinalti tidak harus menjadi bencana seperti dalam perang, atau seperti kelaparan dalam ekonomi yang carut-marut. Kegagalan itu hanya mengkibatkan hilangnya kemenangan. Sepakbola tidak akan menjadi olahraga yang diinginkan jika team yang kalah dibiarkan mati atau ditinggalkan agar kelaparan"(Robert E.Egner, 2003).
Pembinaan dan Fenomena "Idle Talk".

Berikut ini saya paparkan beberapa refleksi dari orang yang awam sepakbola tentang sepakbola kita. Mengapa team sepakbola Indonesia tidak pernah berhasil mencapai piala dunia? Atau mungkin Kejuaraan Piala Dunia sangat tinggi, tapi mengapa di Piala Asia pun belum pernah juara? Bahkan pada saat ini mengalahkan team sesama Asia Tenggara saja sangat sulit? Di lihat dari jumlah penduduk sebanyak 200 juta, sebenarnya tidak sulit menemukan bibit pemain yang berkualitas. Kultur sepakbola di Indonesia pun tidak kalah dengan Brazil maupun Italia. Bisa dibuktikan dengan menanyakan apakah mereka semua pernah menendang atau bermain bola pada masa kecil, jawabannya pasti positif. Dilihat dari kefanatikan, masyarakat (penonton) sepakbola di Indonesia sangat tinggi, saking fanatiknya sehingga sering terlibat perang antar supporter. Ini tidak hanya terjadi pada pertandingan besar, pertandingan antar kampung pun demikian. Tapi sekali lagi mengapa pada akhirnya team sepakbola Indonesia belum pernah berprestasi di tingkat dunia pada hal semua faktor dasar maupun pendudukung relatif tersedia?

Para pakar sepakbola Indonesia akan mudah menemukan jawabannya. Orang yang punya wawasan sepakbola pun akan bisa menyediakan argumen yang memadai. Walaupun jawabannya semua terkesan apologetik. Atas refleksi pertanyaan di atas, disini tidak dipaparkan argumen teknis ala sepakbola, tapi saya mencoba menguraikan pengamatan saya secara sederhana yang mencakup pembinaan olahraga pada umumnya.

Pada dasarnya pembinaan olahraga atau sepakbola kita pada umumnya sudah meninggalkan apa yang disebut sebagai “practicing sport”. Sepakbola sebagai “practicing sport” mengharuskan pembinaan difokuskan pada praktek secara komprehensif. Pembinaan olahraga kita lebih banyak pada “talking sport”. Artinya pembina olahraga maupun pelatihnya lebih banyak melakukan obrolan daripada membina atau melatih. Secara simbolis hal ini bisa dilihat pada momen Piala Dunia saat ini dimana para pakar sepakbola maupun masyarakat umum sangat pandai memberikan alasan-alasan teknis mengapa sebuah team bisa menang ataupun kalah.

Melakukan pembinaan tidak hanya paruh waktu seperti yang terjadi selama ini. Seharusnya membina olahraga harus menjadi sebuah pekerjaan yang profesional. Pembina olahraga bukan merupakan orang yang menganggur. Artinya semua pengurus olahraga harus benar-benar menekuni pekerjaan itu dalam membina olahraga. Tidak seperti selama ini dimana para pengurus olahraga dijabat oleh para pejabat yang pasti tidak mempunyai waktu yang banyak, karena itu tidak professional. Apalagi kalau pejabat tersebut tidak punya kompetensi apa-apa pada bidang olahraga tersebut.

Tentang olahraga sebagai “talking sport” ini, analisis dari Heidegger di dalam buku “Being and Time” dibawah judul bab Idle Talk sangat menarik. Kata Heidegger, “ Idle Talk merupakan kemungkinan untuk memahami segala sesuatu tanpa harus terlebih dahulu membuat seseorang memiliki hal tersebut………..Apabila hal ini dilakukan, idle talk akan terbentuk; bersiaga untuk menjaga sesuatu dari bahaya. Idle talk merupakan sesuatu dimana setiap orang dapat melakukannya; ia tidak hanya melepaskan seseorang dari tugas-tugas pemahaman sejati, tapi mengembangkan semacam intenlijibilitas yang tak terdiferensiasi, dimana tidak satupun yang tak lagi tersingkapkan”. Idle Talk tidak memiliki semacam wujud yang secara sadar menukar sesuatu (consciously passing off) dengan lainnya……….Dengan demikian, watak dasarnya , idle talk merupakan sebuah penutup (closing-off) , karena melongok kembali apa yang dibicarakan , semakna dengan memahami perkara yang tak akan ada selesainya”.(Umberto Eco, 1987).

Berdasarkan analisis Hidegger itu boleh jadi pembinaan olahraga kita hanya seperti “idle talk”, pembicaraan menganggur. Olahraga kita hanya banyak dibicarakan dan didiskusikan. Bila olahraga sudah menjadi “idle talk”, maka olahraga sebagai praktek, aktivitas, tidak lagi hadir, namun eksis demi alasan ekonomi; dan yang hadir disana hanyalah obrolan olahraga. Ketika sampai pada “idle talk”, semangat olahraga yang bersifat kompetisi akan bergeser pada tingkatan yang benar-benar politis. Seperti yang dikemukakan Umberto Eco,” obrolan mengenai olahraga memiliki seluruh karakteristik perdebatan politik. Karena yang menjadi tema adalah apa yang harus dilakukan pemimpin, apa yang telah meraka lakukan, apa yang dapat kita lakukan agar seiring dengan mereka, apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi”. Hanya saja objeknya bukan kepemimpinan istana ataupun parlemen tapi olahraga .

Deskripsi inilah yang terjadi juga di Indonesia, dimana perebutan posisi jabatan pada induk organisasi olahraga seringkali bersifat politis sebanding dengan perebutan struktur jabatan di pemerintahan. Tidak mengherankan banyak induk olahraga yang tidak melakukan pembinaan secara optimal karena sudah merasa membina. Jangan-jangan ini adalah fakta dari “idle talk”. Tapi saya berharap mudah-mudahan saya keliru. Wallahu A’lam.

Read More..

Ramai-Ramai Ke Kongres KNPI

Ke kongres KNPI? Siapa yang tidak mau. Apalagi kalau semua fasilitas ditanggung. Seperti diketahui tanggal 19-21 Desember mendatang memang akan dilaksanakan kongres KNPI di Jakarta.


Ke kongres KNPI? Siapa yang tidak mau. Apalagi kalau semua fasilitas ditanggung. Seperti diketahui tanggal 19-21 Desember mendatang memang akan dilaksanakan kongres KNPI di Jakarta.

Seperti priode-priode sebelumnya minat dari para aktivis KNPI untuk mengikutinya sangat tinggi. Tidak heran KNPI setiap daerah akan mengirim delegasinya dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran KNPI Sulteng telah memutuskan akan mengirim peserta lebih dari 70 orang. Ini tidak termasuk yang dikirim oleh pengurus di kabupaten dan kota. Bila ditambah dengan peserta dari kabupaten/kota tersebut pasti jumlahnya ratusan.

Konsekuensinya biaya yang digunakan pasti sangat besar. Cobalah dihitung biayanya. Ongkos transportasi pesawat Palu-Jakarta sekitar 1,2 juta. Dengan asumsi yang berangkat sekitar 70 orang berarti ongkos transportasi sekitar 84 juta, PP sekitar 168 juta. Itu baru ongkos transportasi. Dari mana uang tersebut? Tentu yang paling besar dari sumbangan pemerintah walaupun mungkin ada sejumlah individu yang menyumbang.

Terlepas dari itu, bagi ukuran sejumlah OKP dana sejumlah itu tentu sangat besar. Bila ada OKP yang protes pada pemerintah tentunya sangat beralasan. Betapa tidak, pemerintah dengan mudahnya memberikan sumbangan dana yang begitu besar pada KNPI. Sementara disisi lain OKP dengan segala kegiatannya sangat susah mendapatkan dana sebesar itu. Pada hal antara OKP dan KNPI adalah mitra yang sejajar.

Seharusnya yang lebih diprioritaskan untuk memperoleh dana pembinaan dari pemerintah adalah OKP karena OKPlah yang sebenarnya melakukan perkaderan generasi muda. Klaim KNPI sebagai laboratorium kader adalah tidak berdasar. Memang ada semacam perkaderan seperti studi regional atau lainnya, tapi itu tidak seketat yang dilakukan organisasi kemahasiswaan. Yang dirasakan KNPI lebih banyak melakukan intrik politik.

Sekarang coba kita bandingkan dengan biaya pelaksanaan Latihan Kader 1 (Basic Traning) HMI. Untuk HMI cabang Palu, setiap LK I dibutuhkan dana rata-rata sebesar 1,5 juta untuk 30 orang peserta. Andaikan dana sebanyak 168 juta dikonversi pada LK 1 maka berarti HMI mampu melasanakan perkaderan sebanyak 112 kali yang berarti juga sebanyak 3360 orang kader baru direkrut.

Selanjutnya bandingkan dengan efektivitas kegiatannya. Berdasarkan pengalaman mengikuti perhelatan organisasi semacam kongres, para perserta kebanyakan tidak serius dalam mengikuti setiap sesi acara. Mereka lebih banyak jalan-jalan atau sekedar ngobrol dengan sesama aktivis di luar. Maka tidak heran bila ruangan persidangan menjadi kosong karena sibuk dengan lobi-lobi di restoran-restoran dan hotel-hotel mewah.

Yang menjadi pusat perhatian selama kongres adalah pemilihan ketua umum. Kandidat ketua umum masing-masing berusaha menyediakan fasilitas yang terbaik bagi para peserta. Ini dimaksudkan untuk menarik simpati agar delegasi bersedia memilihnya. Bukan hanya itu sudah lazim apabila setiap kandidat menyediakan sejumlah dana transportasi bagi para peserta. Sekalipun pada esensinya jelas sebagai money politik namun untuk memperhalus penyebutan dana ini tidak disebut sebagai money politik tapi cost politik Bahkan tidak jarang kandidat ketua umum menyediakan preman untuk menekan peserta.

Dari sini dapat dinilai bahwa forum kongres tidak bisa diharapkan menjadi ajang pendidikan politik pemuda yang beradab. Karena tidak jarang para peserta menggunakan cara-cara politik primitif dengan menghalalkan segala macam cara seperti intimidasi, money politik dan sebagainya. Pilihan politik bukan atas dasar visi yang cerdas tapi atas faktor-faktor yang sifatnya primordial dan materi. Dengan sendirinya peserta yang ikut tidak memperoleh nilai tambah. Justru para peserta hanya melampiaskan syahwat politiknya dan syahwat lain yang jauh dari idealisme pemuda.

Hal tersebut berlawanan secara diametral dengan Latihan Kader HMI. Para peserta degembleng selama khusus selama 5 hari. Kepadanya diberikan materi-materi yang bertumpu pada 3 aspek yakni, afektif, kognitif dan psikomotorik. Intinya adalah menanamkam proses ideologisasi terhadap kader.

Sejauh ini HMI sukses melakukan itu. Bahkan bisa dikatakan organisasi sipil yang paling sukses melakukan ideologisasi adalah HMI. Buktinya bisa dilihat dari alumninya. Walaupun spektrum ideologi alumni HMI sangat luas dan beragam, ada radikal, fundamentalis, moderat bahkan pada sisi-sisi tertentu sangat liberal dan sekuler namun semua masih tetap mengaku sebagai alumni HMI.

Sebenarnya ada contoh penggunaan dana yang sangat efektif dari seorang aktivis pada zamannya. Almarhum Nurcholish Madjid pada waktu menjabat ketua umum PB HMI pernah diundang berkunjung ke Amerika Serikat. Dia diundang karena Duta besar Amerika Serikat menjuluki HMI pada saat itu sebagai the most powerfull student organisation in Indonesia. Disamping itu pemerintah Amerika ingin memperlihatkan kepada Nurcholish Madjid apa yang menjadi sasaran kebenciannya selama ini.

Pada kunjungan tersebut segala biaya ditanggung oleh pemerintah Amerika Serikat. Setelah kunjungannya Amerika selesai dia melanjutkan ke negara-negara Timur Tengah. Biaya kunjungannya ini diperoleh dari sisa dari biaya kunjungan ke Amerika Serikat. Di Timur Tengah dia berhasil berdialog dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam.

Fakta-fakta yang dijumpainya di Timur Tengah itulah yang berhasil mempengaruhi pemikiran keislamannya kemudian. Sepulangnya di Indonesia, dia kemudian menuliskannya dalam sebuah paper. Pada saat Kongres Malang, paper ini-setelah disempurnakan-berhasil ditetapkan menjadi dokumen organisasi yang paling penting di HMI. Itulah yang dikenal sebagai Nilai Dasar Perjuangan atau Nilai Identitas Kader (NDP/NIK). NDP kemudian menjadi semacam doktrin ideologi HMI sampai saat ini.

Bila para aktivis KNPI dalam setiap keikutsertannya dalam forum semacam kongres bila berhasil membawa pulang pikiran-pikiran baru, tentu sangat baik. Baik bagi dirinya maupun baik bagi masyarakat secara keseluruhan. Sayang sekali belum ada yang dedikasi demikian. Bahkan sebaliknya kebanyakan peserta hanya meninggalkan cerita kemewahan hotel yang menjadi tempat menginapnya atau cerita restauran tempat makan yang mewah bersama para kandidat.

Tentu membandingkan kongres dengan Basic Traning HMI adalah suatu hal yang tidak memadai. Karena bagaimanapun forum kongres merupakan pusat interaksi politik tertinggi secara nasional ditingkat kepemudaan. Dalam hal ini saya hanya ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ada yang program OKP yang harus menjadi prioritas untuk mendapatkan dana bantuan dari pemerintah. Jelasnya saya ingin mengatakan untuk apa mengirim delegasi peserta sebanyak itu kalau hanya dijadikan sebagai ajang kunjungan wisata ke Jakarta.

Tentu masih banyak program yang sama dari organisasi lain yang serupa sehingga perlu mendapat prioritas bantuan. HMI saya jadikan contoh karena kebetulan saya mengenal betul organisasi ini.
Jangan sampai KNPI dituduh seperti para pejabat pemerintah dan legislatif yang gemar melakukan studi banding yang hanya dipergunakan sebagai ajang kunjungan wisata. Bila demikian halnya, pemuda hasil didikan KNPI tidak bisa diharapkan sebagai creative minority.Wallahu A'lam

Read More..

Mengenang Nurcholish Madjid

Selasa, 30 Agustus 2005, Radar Sulteng

Sampai dengan artikel ini ditulis ada sekitar 15 sms yang mengabarkan kepada saya bahwa cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid wafat. Berita ini tentu saja mengagetkan karena satu hari sebelum wafatnya beliau kondisi kesehatannya dikabarkan membaik (Radar Sulteng Minggu, 28 Agustus 2005). Tapi takdir Allah berkendak lain. Beliau meninggal hari Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.00 di rumah sakit pondok Indah Jakarta.


Sampai dengan artikel ini ditulis ada sekitar 15 sms yang mengabarkan kepada saya bahwa cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid wafat. Berita ini tentu saja mengagetkan karena satu hari sebelum wafatnya beliau kondisi kesehatannya dikabarkan membaik (Radar Sulteng Minggu, 28 Agustus 2005). Tapi takdir Allah berkendak lain. Beliau meninggal hari Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.00 di rumah sakit pondok Indah Jakarta.

Banyak sekali yang dapat dikemukakan tentang kiprah mantan Ketua Umum PB HMI dua priode ini. Namun saya hanya ingin mengenang beliau dalam konteks komitmen kepemimpinan.

Seperti diketahui masih banyak permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Tapi bukan berarti pemerintah kita tinggal diam. Hanya saja masih dipertanyakan kesungguhan komitmen bagi para elit kita dalam menangani setiap permasalahan bangsa.

Inilah yang kemudian membuat cendekiawaan muslim Nurcholish Madjid menggelar suatu acara yang dimaksudkan untuk menagih komitmen dari para pemimpin bangsa tersebut beberapa waktu yang lalu.

Nurcholish Madjid sering mengulang pernyaataan Mantan Presiden Soekarno yang sedikit direvisinya yaitu, Zamen Bundeling Van Alle Krachten Van De Natie, Menyatukan Tekad bersama untuk membangun bangsa. Dengan kata lain diperlukan kesungguhan komitmen dari semua elemen bangsa untuk secara sadar dan ikhlas melaksanakan amanat rakyat.

Memang selama enam puluh tahun merdeka bangsa kita telah melaksanakan proses pembangunan. Bila diklasifikasi pada berbagai sektor mungkin saja pemerintah mengklaim adanya keberhasilan. Tetapi secara umum rakyat yang silent majority akan berpretensi mengatakan gagal.

Khusus bila kita bandingkan dengan negara tetangga yang memulai proses pembangunannya waktunya relatif sama dengan kita, rakyat akan semakin cemburu. Mengapa Malaysia yang belakangan merdeka justru lebih maju. mengapa Jepang yang hancur lebur dijatuhi bom atom tahun empat puluh lima sudah memasuki apa yang disebut Rostow sebagai High Mass Consumption? Jawaban standar atas berbagai kegagalan tersebut disimpulkan sebagai kegagalan penataan sistem dan sebab-sebab kultural. Analisis yang lebih jauh tentang hal ini tidak mungkin di sini karena keterbatasan tempat.

Yang ingin ditegaskan adalah bila kita ingin lebih baik di masa depan kita harus memperbaharui komitmen kebangsaan kita. Komitmen kita untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat pembangunan.

Komitmen itu harus dimulai dari para pemimpin bangsa. Menurut Nurcholish Madjid (1999) ungkapan Jawa yang kini menjadi salah satu adagium politik kita, ing ngarso sung Tulodo (di depan memberi teladan depan) tidak hanya benar sebagai petunjuk apa yang seharusnya dilakukan oleh para pemimpin, tetapi justru lebih benar lagi karena ia menggambarkan kenyataan sosial apa yang menjadi akibat dari peranan kepemimpinan. Yakni, ungkapan itu menunjukkan bahwa para pemimpin, mau atau tidak mau akan berperan sebagi teladan untuk yang dipimpin, baik maupun buruk.

Walupun demikian kita harus tetap mengawal para pemimpin tersebut. Sebab bagaimanapun iklim klimatologis birokrasi Indonesia masih dalam lumpur pragmatisme yang korup, inefisien dst.

Pengalaman seorang birokrat (Anharudin, 96) menunjukkan begitu seorang memasuki dunia atau tatanan birokrasi, maka ia mau tidak mau harus hanyut dan tenggelam dalam logika dan cara berfikir yang pragmatik. Bahkan pragmatisme itu kalau perlu dibarengi dengan pengorbanan nilai-nilai moral dan integritas pribadi.

Dalam konteks itu peran cendekiawaan seperti yang dicontohkan Cak Nur mutlak dilakukan. Kita harus terus menerus mendorong agar semua janji dan komitmen dari pemerintah harus segera dilaksanakan. Tanpa daya dorong yang sangat keras dari seluruh elemen bangsa birokrasi pemerintah tidak mungkin melasanakan tugasnya dengan penuh kesungguhan.

Kini cendikiawan yang menurut DR. Salim Said paling berpengaruh di Indonesia tersebut telah meninggalkan kita semua. Pesan beliau yang terakhir kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar bisa mengurus bangsa ini dengan baik. Kepadanya kita haturkan doa, semoga amal ibadahnya dapat diterima oleh Allah SWT.

Read More..

Model Berfikir Penyelesaian Teror Poso

Berlanjutnya kembali berbagai tindak kekerasan dan teror yang terjadi di Poso membuktikan bahwa metode penanganan yang selama ini diterapkan tidak efektif. Sinyalemen ini diperkuat dengan terjadinya kembali teror bom yang menghancurkan sebuah Pura di Poso pada hari Jumat yang lalu (Kompas, Sabtu 11 Maret 2006). Sebelumnya telah terjadi beberapa peristiwa yang serupa.


Berlanjutnya kembali berbagai tindak kekerasan dan teror yang terjadi di Poso membuktikan bahwa metode penanganan yang selama ini diterapkan tidak efektif. Sinyalemen ini diperkuat dengan terjadinya kembali teror bom yang menghancurkan sebuah Pura di Poso pada hari Jumat yang lalu (Kompas, Sabtu 11 Maret 2006). Sebelumnya telah terjadi beberapa peristiwa yang serupa.

Walaupun telah terbentuk Komando Operasi Keamanan dan satgasus Poso, tindakan teroris tetap saja tidak dapat dicegah. Bila dibandingkan dengan Konflik Ambon yang relatif telah selesai, peristiwa ini menarik untuk kembali ditelaah khususnya tentang paradigma penanganan konflik yang telah bertahun-tahun.

Ada perbedaan yang mencolok antara pelaku pemboman di Timur Tengah misalnya di Irak maupun di Palestina dengan pelaku pemboman yang terjadi di Poso. Pelaku pemboman di negara-negara Palestina atau di Irak senantiasa dapat diketahui dengan cepat. Hal ini karena setiap kali selesai melakukan aksinya pasti ada orang atau kelompok tertentu yang bertanggung jawab. Karena itu motifnya pun dapat segera diketahui.

Para pelaku pemboman di Irak dan Palestina mempunyai motif yang relatif seragam yakni melakukan serangan balasan atas ketidakadilan yang dilakukan oleh Amerika dan Israel di kawasan tersebut. Yang menjadi common enemy-nya adalah Amerika dan Israel.Pelakunya memahami tindakan mereka sebagai jihad yang menurut keyakinan mereka balasannya adalah surga.Jadi motifnya bisa dikatakan sebagai motif religius yang dibungkus politik.

Pelaku pemboman dan aksi teror lainnya di Poso tidaklah demikian. Jangankan mengetahui pelakunya motifnya pun sulit ditebak. Pihak keamanan pada satu kesempatan mengemukakan bahwa pelaku teror di Poso adalah berkaitan dengan jaringan Al-Qaedah, tetapi diwaktu lain menyebut pelakunya terkait dengan PKI dan seterusnya. Tidak mengherankan analisis terhadap motifnya tidak seragam. Ada yang menyebut motif ekonomi, politik, rivalitas agama bahkan motif terbaru adalah kasus korupsi. Oleh karena itu meyelesaikan aksi kekerasan poso diakui tidaklah mudah. Sebab kasus ini melibatkan banyak sekali faktor yang terkait di dalamnya.

Mengapa terjadi terorisme? Pertanyaan inilah yang diajukan oleh Giovanna Borradori(2005) kepada Jurgen Habermas dan Jaques Derrida setelah terjadinya peristiwa 11 September. Analisis Habermas diadasari keyakinannya atas konsep demokrasi yang dapat menyelesaikan seluruh problema yang tidak dapat diatasi. Hal ini karena Habermas tumbuh menjadi Dewasa di Jerman dimana demokrasi bukan hanya merupakan realitas, melainkan realitas yang direngkuh secara bergairah.

Inti demokrasi adalah penekanan pada emansipasi sebagai semacam pengalaman diri, sebab didalamya proses pemahaman- diri terkait dengan suatu peningkatan otonomi (Borradori,ibid). Namun bagi Habermas, pengenalan-diri mesti diorientasikan kepada arah yang paling spesifik untuk mengembangkan otonomi penilaian dan kebebasan tindakan.

Yang paling subtansial ialah pengenalan-diri ini asumsinya kita belajar mengenal siapa diri kita sebagai pelaku-pelaku yang otonom dari relasi-relasi yang dasar dengan orang lain. Agar komunikasi berhasil diperlukan dipihak pembicara maupun pendengar, adanya suatu keikatan untuk mengatakan suatu kebenaran dan untuk memaksudkan secara persis apa yang dikatakannya.

Jika demikian pantas jika konflik dan teror di Poso masih berlarut-larut. Halnya paradigma demokrasi dalam penyelesaian kasus tersebut tidak tercapai. Paradigma penyelesaian teror di Poso masih bersifat partisan. Dengan paradigma ini maka kesetaraan menjadi tidak ada.

Pemerintah memakai modelnya sendiri dengan pendekatan keamanan yang ektensif sementara pelaku teror sebenarnya ingin suatu pola penyelesaian yang menyeluruh. Peledakan bom dan tindakan kekerasan lainnya adalah semestinya dipahamai sebagai simbol yang membahasakan makna-makna tertentu. Dengan pola partisan maka akan mengeliminasi “dialog” yang sebenarnya diperlukan bagi sebuah penyelesaian yang bersifat demokratis

Lain halnya dengan Habermas, Derrida mengimbau adanya suatu refleksi yang ketat tentang konsep pengampunan. Kata Derrida, “Di dalam semua episode penyesalan, pengakuan, pengampunan atau apologi, yang berlipat ganda dipanggung geopolitik sejak perang terakhir, dan didalam suatu gaya yang terakselerasi dalam beberapa tahun terakhir ini, orang melihat bukan hanya individu, melainkan juga keseluruhan komunitas, korporasi professional, wakil hirarki gereja, penguasa, dan kepala Negara minta pengampunan. Mereka melakukan ini di dalam suatu bahasa ke-Abrahaman yang (dalam kasus Jepang dan Korea, misalnya) bukan bahasa agama dominant masyarakat mereka, tetapi telah menjadi idiom universal didalam hukum, politik,ekonomi,atau di dalam diplomasi: pada waktu yang sama pelaku dan gejala internasionalisasi ini”(Borradori,ibid).

Kiranya tidak perlu dielaborasi frasa dari Derrida tersebut karena telah jelas maknanya dimana intinya adalah pengampunan dari seluruh elemen. Akan tetapi yang perlu difahami adalah penyelesaian yang bersifat integratif ini jelas bagi pemerintah mempunyai kesulitan. Pelaku teror menurut pemerintah pastilah orang-orang yang sudah pasti bersalah yang dengannya akan dikenakan hukuman.

Tetapi dengan “membebaskan” mereka juga bukan merupakan tindakan yang arif pada saat ini. Bila itu dilakukan masyarakat akan menuduh sebagai pemerintah yang tidak tegas dan tidak konsekwen dalam pelaksanaan hukuman. Disisi lain dengan melakukan tindakan keras maka pelaku teror juga akan membalas dengan tindakan yang keras pula.

Menurut persepsi pelaku teror kondisi bangsa saat ini juga merupakan “ulah”pemerintah sendiri yang tidak mengindahkan nilai-nilai religius, kultural, dan sosial politik yang dipahami oleh para pelaku teror tersebut.Misalnya Bom Bali. Menurut pelaku pemboman motif melakukan hal tersebut karena ingin membalas kepada negara-negara Barat yang banyak melakukan ketidakadilan terhadap muslim di seluruh dunia. Begitu seterusnya sehingga penyelesainnya berlarut-larut.

Jalannya keluarnya adalah seperti yang disarankan oleh Habermas di atas. Para aktor yang terlibat mesti mengenali diri masing-masing. Pemerintah yang berperan sebagai aktor utama dalam resolusi konflik harus juga mengenal dirinya. Maknanya pemerintah harus berani instropeksi diri manakala adalah kesalahan-kesalahan sistem yang dibuatnya. Begitupun semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan adanya pengenalan diri maka masing-masing pihak akan timbul penilaian masing-masing. Dengan penilaian tersebut akan timbul kesadaran baru melalui proses komunikasi secara integratif.

Diatas semua itu kita juga perlu mempertimbangkan konsep pengampunan dari Derrida. Menurut Borradori, dapat dibedakan dua jenis pengampunan. Yang pertama, ialah,”pengampunan bersyarat” yang syaratnya ialah dapat dikalkulasikannya hukuman. Tipe pengampunan ini serng mengikuti suatu tindakan penyesalan dimana pihak bersalah akan berjanji tidak akan melibatkan diri di dalam apa pun yang memerlukan pengampunan.

Tipe pengampunan kedua diistilahkan “tanpa syarat” karena terdiri atas mengampuni tanpa syarat apa yang tak dapat diampuni.Masalahnya adalah apakah pengampunan jenis ini dapat betul-betul dapat diterapkan mengikat ada subtansi pokok yakni hal yang tak dapat diampuni? Bagi yang mengklaim diri benar pasti susah mengaminiya. Wallahu A'lam

Read More..

Membangun spritualitas birokrasi

Pada esensinya kekuasaan bersifat suci. Ia merupakan salah satu sifat yang melekat pada Tuhan. Tanpa kuasa mustahil ada keteraturan pada alam raya ini. Karena itu alam bersifat kosmos artinya teratur sebagai bagian dari kekuasaan ilahi.Pada esensinya kekuasaan bersifat suci. Ia merupakan salah satu sifat yang melekat pada Tuhan. Tanpa kuasa mustahil ada keteraturan pada alam raya ini. Karena itu alam bersifat kosmos artinya teratur sebagai bagian dari kekuasaan ilahi.

Tetapi jika kekuasaan itu sudah dilekatkan pada diri manusia, kekuasaan itu mengikut pada sifat manusia yang mengendalikannya. Jika ia dipelihara oleh manusia yang baik maka ia pun besifat baik. Sebaliknya jika ia melekat pada manusia yang jahat maka ia pun bersifat jahat. Dengan kata lain pengendalian kekuasaan terletak pada manusia yang ada dibelakangnya, the man behind the gun.

Karena hakikat kekuasaan adalah suci, maka sebenarnya selalu saja ada potensi untuk menjadi baik. Nabi Muhammad SAW, pernah memegang kekuasaan.Pada saat itu beliau menjalankan kekuasaannya tanpa pernah menyeleweng. Beliau memerintah dengan keadilan. Pada saat itu terjadi ketertiban sipil, penegakan hukum yang konsisten. Karenanya tidak ada demostrasi massa yang berakibat pembunuhan seperti di Freeport, juga tidak ada KKN pada birokrasi. Dengan kekuasaan beliau, semua masalah bisa dialogkan dengan penyelesaian yang tuntas.

Ada contoh lain yang berlawanan yakni ketika Fir’aun berkuasa. Ketika itu dengan segala kecanggihan politiknya Fir’aun mampu menjalankan kekuasaannya dengan sifat yang sangat otoriter. Fir’aun tidak mengenal dialog, bahkan segala keputusan dan kebenaran mutlak ada padanya. Dengan sifat pengingkarannya, ia dihukum Tuhan dengan cara menenggelamkannya di laut pada saat ia dan pasukannya mengejar nabi Musa.

Lantas kita pilih yang mana? Tentu mengikuti petunjuk agama, bahwa telah jelas yang benar itu sebagai benar dan yang bathil sebagai bathil. Kebenaran pasti mengalahkan kesesatan.

Semua masyarakat Sulawesi Tengah dengan dilantiknya Gubernur Baru nanti pasti mempunyai ekspektasi yang sama. Mereka akan ingin segera melihat negeri ini mengalami perubahan-perubahan yang signifikan. Kita ingin ada perubahan dalam semua level baik di pemerintahan maupun di masyarakat pada umumnya. Perubahan yang dimaksud, misalnya masyarakat lebih sejahtera, penegakan hukum lebih adil, menuntaskan pelaku-pelaku korupsi, dan sederet keinginan dan harapan yang intinya menuju pada kondisi yang lebih baik dan lebih maju.

Tentu semua ini tidak boleh dibebankan pada pemerintah saja. Semua warga masyarakat, kelompok maupun individu harus berpatisipasi dengan kapasitasnya masing-masing. Pemerintah harus komitmen pada tugasnya sebagai pelayan publik sementara masyarakat madani harus juga menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pembaharuan.

Penanggung jawab semua atas maujudnya harapan masyarakat pastilah para pemimpin baik formal (pemerintahan) maupun informal. Tetapi tanggung jawab pemimpin informal hanyalah tanggungjawab kutural dan moral, sementara tanggungjawab pemimpin formal di pemerintahan adalah tanggung jawab politik. Kira-kira kewajibannya dalam bahasa agama masing-masing disebut fardu kifayah dan fardu ain. Atau bisa juga disetarakan dengan tugas dalam suatu kepanitiaan yakni tugas sebagai panitia pengarah(streering committee) dan tugas panitia pelaksana (orgainizing committee).

Ini rasional sekali. Pertama, pemimpin pemerintah mempunyai mesin birokrasi yang tugasnya mengurusi semua kepentingan masyarakat. Atas dasar ini mereka mendapat imbalan berupa gaji. Kedua, para pemimpin pemerintahan dapat mengelola dana yang tersimpan di kas-kas pemerintah sesuai dengan peruntukannya.

Tetapi ada penyakit bawaan kekuasaan yang sudah banyak menjangkiti oleh orang yang berkuasa. Sebutlah korupsi, kolusi dan nepotisme. Lainnya sombong, otoriter dan tidak mau mendengarkan aspirasi.

Jika penyakit-penyakit ini terjangkit pada para pemimpin maka tujuan kekuasaan mustahil akan tercapai secara optimal. Birokrasi yang menjadi perantara tujuan kekuasaan tidak bisa berfungsi dengan baik. Malahan birokrasi akan mudah mengabdi pada kepentingan pada orang yang berkuasa.

Birokrasi memang amat mudah dikendalikannya oleh pemegang kekuasaan. Apalagi jika kekuasaan masih berada pada system sentralisme seperti pada zaman orde baru. Semua hal ditentukan dari atas (top down) tanpa ada mekanisme partisipasi yang alami. Walaupun sistem negara kita bisa dikatakan telah demokratis, kecenderungan untuk terjadinya sentralisme tetaplah ada walupun tidak sebesar pada era yang lalu. Kecenderungan ini bisa meningkat apabila orang yang memegang kekuasaan mempunyai agenda pribadi (hidden agenda) misalnya ingin memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.

Sasaran pertamanya adalah bagaimana menguasai birokrasi agar semua kepentingannya bisa diakomodir. Untuk mengusai birokrasi sepenuhnya, dicarilah orang yang yang mau diajak “kerjasama” (tanda kutip untuk menunjukkan pengertian yang negative) untuk kemudian didudukkan dalam suatu jabatan. Inilah awal mula kolusi, dan korupsi.

Pada kondisi demikian, birokrasi menjadi tidak profesional. Kerjanya tidak optimal karena proses rekrutmen tidak berdasarkan kreteria profesional atau merit sistem. Hanya berdasarkan pertimbangan politik balas jasa. Pada akhirnya kinerja yang diharapkan tidak tercapai. Pelayanan publik pun menjadi terbengkalai.

Agar semua ini tidak terjadi, maka sejatinya birokrasi harus diarahkan pada kokohnya kesadaran spritualitas(sense of spirituality). Landasan spritualitas itulah yang menaungi tindakan-tindakan birokratis yang bersendikan kebebasan serta kepatuhan pada prinsip yuridis yang sah dan rasional. Nilai spiritualitas harus kokoh kuat sehingga tidak ada kepatuhan yang tidak berdasar pada job description masing-masing.

Fungsi pemegang kekuasaan adalah sebagai sumber kesadaran arah dan tujuan (sense of direction and purpose). Maka pemegang kekuasaan harus memberikan perintah yang mempunyai tujuan yang jelas. Bila ada terjadi kekeliruan atau penyelewengan wewenang harus diberikan sangsi yang proporsional sesuai dengan tingkat kesalahan. Sebaliknya jika berprestasi harus diberikan penghargaan yang pantas.

Disamping terbuka kepada bawahan, maka pemegang kekuasaan pun harus terbiasa terbuka kepada lingkungan sosial. Adanya masyarakat yang menyampaikan kritik dan aspirasi -dengan berbagai metodenya -harus dipahami sebagai pelaksanaan tugas yang belum optimal. Dengan begitu akan timbul usaha yang sungguh-sungguh (jihad) dalam melaksanakan tugas yang menjadi sasaran kritik.

Jika masyarakat mengkritik, maka penguasa harus mawas diri dan introspeksi agar kita tidak menjadi sasaran kritik yang terus-menerus.. Maka kita selalu diperintahkan oleh Tuhan agar selalu berbuat di jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai lagi tersesat.

Read More..

Korupsi , Penyebab Aksi Teror Di Poso dan Palu?

Untuk sebuah produk, publikasi dalam berbagai bentuknya merupakan hal yang paling ensensial dalam pemasaran. Tanpa publikasi niscaya suatu produk tidak akan dikenal di tengah masyarakat. Publikasi secara sederhana diartikan sebagai tindakan untuk mengenalkan sesuatu baik berupa barang atau kebijakan pada publik.

Untuk sebuah produk, publikasi dalam berbagai bentuknya merupakan hal yang paling ensensial dalam pemasaran. Tanpa publikasi niscaya suatu produk tidak akan dikenal di tengah masyarakat. Publikasi secara sederhana diartikan sebagai tindakan untuk mengenalkan sesuatu baik berupa barang atau kebijakan pada publik.

Cara melakukan publikasi bermacam-macam. Tetapi pada dasarnya publikasi ada dilakukan secara langsung dan ada yang tidak langsung. Yang dilakukan secara langsung dapat berupa pengiklanan (advertising), seminar, ataupun dilakukan dari mulut ke mulut. Yang tidak langsung dapat berupa kejadian atau suatu peristiwa yang mendapat liputan luas dari media massa sehingga daerah yang menjadi tempat peristiwa tertentu menjadi terkenal.

Akhir-akhir ini Sulawesi Tengah mendapat publikasi yang sangat luas dari media massa. Bukan karena Sulawesi Tengah mengiklankan daerah secara besar-besaran tetapi karena di Sulawesi Tengah terjadi beberapa peristiwa yang sangat menghebohkan secara nasional.

Sekedar menyebutkan contoh-contoh mutakhir, pemenggalan kepala siswi SMU di Poso, terbunuhnya tiga orang polisi oleh kelompok Madi, penembakan dosen Untad, pemeriksaan pejabat dinas sosial dan seterusnya.

Sayangnya peristiwa-peristiwa tersebut alih-alih mengangkat citra daerah yang positif tetapi justru publikasi media massa atas peristiwa tersebut menurunkan citra daerah ke level yang sangat rendah khususnya dalam bidang keamanan.

Namun dalam hal ini media massa sudah pada posisi on the right track. Dengan begitu media massa telah memberikan kontribusinya untuk mengungkap berbagai kasus yang terjadi di daerah ini.

Realitas permasalahan daerah ini memang begitu besar. Sayangnya pemerintah pusat tidak memberikan perhatian yang optimal terhadap penyebab utama terhadap teror di daerah ini. Kesan kita terhadap penyelesaian Poso sangat lamban.

Dibanding dengan bom Bali, teror yang terjadi di Poso dan Palu sangat lamban penyelesaiannya. Sehingga dalam salah satu artikel yang ditulis oleh anggota DPD dari Sulteng M.Ikhsan Loulembah pernah mengkritik yang bernada keluhan soal ini. Mengapa persoalan Poso tidak menjadi perhatian pemerintah pusat sejak dari dulu?

Masyarakat Sulawesi Tengah memang pantas protes terhadap perlakuan pemerintah pusat maupun daerah. Karena gangguan keamanan seperti ini siapapun pasti tidak nyaman. Sekarang akibat seringnya terjadi penembakan, masyarakat merasa was-was bila keluar rumah di waktu malam.

Apalagi saat ini menjelang perayaan Natal dan Tahun baru yang dinilai rawan terhadap gangguan keamanan.Hal ini disadari mengingat menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru yang lalu ada gangguan berupa penembakan dan pengeboman pada gereja di kota Palu.

Berdasar pada fakta sebelumnya itulah, sepantasnya kita memerlukan sikap hati-hati dan berjaga-jaga sebagai antisipasi terhadap gangguan keamanan tersebut. Apakah pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan masih sesuai dengan kondisi daerah saat ini?

Pihak keamanan dalam menangani konflik selalu mengandalkan kuantitas pasukan dan peralatan. Untuk mengatasi konflik Poso beberapa waktu yang lalu maka penambahan pasukan menjadi kemutlakan.

Tidak heran untuk mengatasi konflik yang eskalasinya seperti yang terjadi di Poso jumlah pasukan pernah mencapai lima ribu personil. Saya tidak tahu ukuran perbandingan jumlah pasukan untuk mengatasi suatu konflik karena itu tidak relevan untuk menilai apakah pasukan sejumlah itu adalah besar ataupun kecil.

Yang mau dikatakan disini adalah fakta dengan jumlah pasukan sebesar itu keamanan belum terjamin. Buktinya masih saja terjadi gangguan keamanan yang sangat mengkhawatirkan. Cakupan wilayah terror juga telah merembes ke Kota Palu.

Korupsi Sebagai Penyebab Aksi Teror?

Maka ketika tim dari Mabes Polri berhasil menetapkan beberapa orang yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi di Poso harus dimaknai sebagai suatu kemajuan.

Rumor politik yang berkembang, sejak adanya proyek bantuan besar-besaran memang telah terjadi korupsi pada proyek-proyek tersebut. Namun pembuktian terhadap hal tersebut tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh.

Banyak pihak telah memberikan analisisnya tentang kondisi yang terakhir. Bila dulu analisisnya berfokus pada konflik politik yang dibungkus agama, kini analisis tersebut berkurang relevansinya.

“Teori” yang sedang menguat disebutkan ada keterkaitan antara pengungkapan kasus korupsi dengan kasus-kasus teror yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut beberapa fakta yang ditemukan oleh sejumlah LSM setiap kali ada upaya pengungkapan kasus maka timbul suatu gangguan keamanan berupa teror.

Artinya ada korelasi yang erat diantara keduanya. Menurut analisis ini hal tersebut terjadi karena orang-orang yang terlibat kasus korupsi di Poso tidak mau kasusnya terungkap.

Apakah dengan demikian korupsi merupakan penyebab aksi teror keamanan di Poso dan kota Palu akhir-akhir ini? Memang terlalu dini untuk menyimpulkan. Kita menyarankan agar pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dan kompentensi seharusnya melakukan pendalaman terhadap teori baru tersebut. Tapi juga bagi pihak-pihak yang diasumsikan terlibat perlu membela diri secara proporsional. Ini agar diperoleh keseimbangan pada pengungkapan fakta-fakta. Dan agar tidak terjadi penghukuman yang tidak objektif. Wallahu A’lam.

Read More..

Pemuda Wiraswastawan dan Civil Society

Pemuda sebagai agen perubahan sosial dituntut perannya dalam mengawal proses transisi Indonesia dari rezim otoriterianisme menuju demokratis. Tugas ini tentu tidak mudah k arena memerlukan durasi waktu yang relatif panjang dan endurance yang tinggi.Fungsi sebagai perubahan sosial akan berjalan optimal manakala pemuda memiliki idealisme sebagai patron dalam perjuangannya. Merawat idealisme di zaman pragmatis ini agar tidak pudar bukan perkara gampang.Kelompok kepentingan (intrest group) akan melakukan berbagai upaya untuk mempengaruhi pemuda bila dirasakan akan mengganggu kepentingannya. Idealisme akan bertahan kokoh apabila pemuda memiliki seperangkat nilai yang diyakini bernilai kebenaran.

Pemuda sebagai agen perubahan sosial dituntut perannya dalam mengawal proses transisi Indonesia dari rezim otoriterianisme menuju demokratis. Tugas ini tentu tidak mudah k arena memerlukan durasi waktu yang relatif panjang dan endurance yang tinggi.Fungsi sebagai perubahan sosial akan berjalan optimal manakala pemuda memiliki idealisme sebagai patron dalam perjuangannya. Merawat idealisme di zaman pragmatis ini agar tidak pudar bukan perkara gampang.Kelompok kepentingan (intrest group) akan melakukan berbagai upaya untuk mempengaruhi pemuda bila dirasakan akan mengganggu kepentingannya. Idealisme akan bertahan kokoh apabila pemuda memiliki seperangkat nilai yang diyakini bernilai kebenaran.

Namun nilai-nilai itu kadang tidak menjadi sumber motivasi apabila kebutuhan-kebutuhan material tidak terpenuhi.Itulah mungkin sebabnya negara kita termasuk yang paling besar korupsinya di dunia waupun kita kenal masyarakat kita adalah masyarakat yang religius. Pemenuhan kebutuhan material tersebut bisa terpenuhi dengan meningkatkan potensi ekonomi masing-masing. Logikanya dengan meningkatnya kesejahteraan akan berdampak pada adanya kemandirian relatif. Selanjutnya hal ini akan mepengaruhi pola sikap dan tindakan minimal tidak lagi terpengaruh oleh reward sebagai bentuk balas jasa yang diberikan oleh pihak lain.

Sikap kemandirian ini penting karena akan berimplikasi pada hasil perjuangannya kelak. Asumsinya adalah bila tingkat independensinya tinggi maka hasilnya akan maksimal karena di dukung oleh adanya ruang kebebasan untuk mengartikulasikan aspirasi masyarakat. Begitupun sebaliknya. Kemandirian tersebut akan nampak bila kebutuhan-kebutuhan dasar telah terpenuhi. Dengan kata lain tidak akan ada kemandirian bila masih tergantung pada seseorang atau pada lembaga pemerintah. Resep yang ditawarkan oleh tulisan ini sebagai prasyarat terciptanya kemandirian adalah pemuda harus memiliki jiwa kewiraswastaan dan sikap profesionalisme.

TINJAUAN TEORITIS KEWIRASWASTAAN

Menurut ahli ekonomi Prancis J.B. Say sebagaimana dikutip oleh Peter F. Drucker (1996) kewiraswastaan adalah, memindahkan sumber daya ekonomi dari kawasan produktivitas rendah ke kawasan produktivitas tinggi dan hasil yang besar.

Sedangkan Joseph Schumpeter (Peter. F. Drucker, 1996) membuat postulat bahwa ketidak seimbangan dinamis yang disebabkan oleh wiraswastawan yang melakukan inovasi, bukan keseimbangan dan optimisasi adalah norma dari suatu ekonomi yang sehat dan merupakan realita sentral bagi teori ekonomi dan praktek ekonomi.

Jadi sebenarnya inti dari kewiraswastaan tersebut adalah kemampuan untuk melakukan inovasi agar terjadi pemindahan sumber daya ekonomi dari kawasan produktivitas rendah kekawasan produktivitas tinggi.Tugas wiraswastawan menurut Schumpeter adalah melakukan perombakan kreatif (Creative destruction ).

Sebagaimana disimpulkan diatas, inovasi merupakan inti dari kewiraswastaan. Dengan kata lain inovasi merupakan alat spesifik kewiraswastaan. Mengikuti Peter F. Drucker setidaknya ada tujuh peluang inovasi. Pertama, Yang tidak diduga (The Unexpected). Situasi yang tidak diduga ini bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Kedua, ketidak selarasan. Antara realita sebagai mana adanya dengan realita yang di asumsikan atau realita yang seharusnya terjadi. Ketiga, Inovasi yang didasarkan pada kebutuhan proses. Keempat, perubahan dalam struktur industri atau struktur pasar yang tidak disadari. Kelima, Demografi (perubahan penduduk). Keenam, Perubahan dalam persepsi, suasana hati dan pengertian. Ketujuh, pengetahuan baru, baik ilmiah maupun non ilmiah.

Sebagaimana diungkapkan oleh Schumpeter yang dikutip Dawam Rahardjo (1993) gagasan inovatif itu tidak hanya bersumber dari penemuan ilmiah. Seseorang bisa misalnya, menemukan suatu cara organisasi atau pemasaran baru terhadap produk lama. Di sini tampak bahwa kewiraswastaan itu tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan aspek - aspek sumberdaya lain, misalnya informasi, tekhnologi, manajemen, dan kelembagaan.

Dalam kaitan ini timbul pertanyaan apakah kewiraswastaan itu semata-mata bakat dan pembawaan, seperti dalam persepsi lama, ataukah ia bisa dibentuk dan dikembangkan?. Penulis berkeyakinan bahwa kewiraswataan bisa dibentuk dan dikembangkan karena ilmu kewiraswastaan bisa dipelajari. Tidak mengherankan banyak manajer dan pemimpin perusahaan yang menggantikan peranan wiraswastwaan yang di bentuk oleh alam.

Sumber daya manusia sudah tentu menyangkut faktor manusia dari segala jenis. Menurut Dawam Rahardjo (1993) dalam teori pembangunan wiraswasta dan kewiraswastaan ditempatkan sebagai subyek, sementara itu, sumberdaya manusia dan faktor manusia lainnya dipandang sebagai obyek dalam proses produksi dan mencari keuntungan. Padahal wiraswasta juga merupakan sumber daya manusia. Dalam pembahasan, yang disebut kewiraswastaan adalah modal Intangible. Tapi dalam praktek, yang dimaksudkan adalah peranan wiraswasta. Termasuk disini faktor banyaknya.

Pengembangan sumber daya manusia, terutama dari kalangan pemuda, memang merupakan tugas yang amat luas ruang lingkupnya. Hal ini akan memakan tempo yang lama. Tapi ini bisa dimulai dengan mempercepat pertumbuhan wiraswasta melalui identifikasi usaha baru. Organisasi non pemerintah dapat mengupayakannya, dengan cara mencari peluang pasar dan menyediakan sumber daya produksi. Kedua hal tersebut merupakan titik lemah dalam strategi pengembangan wiraswasta dewasa ini.

Kegiatan penelitian produksi, yaitu menitikberatkan pada penemuan komoditi baru dari aspek pengolahan bahan, telah banyak dilakukan, terutama diberbagai lembaga pemerintah atau perguruan tinggi dan mungkin telah banyak menghasilkan konsep komoditi. Tapi hal itu umumnya tidak dilanjutkan dengan inovasi, yaitu mentransformasikan penemuan tehnis itu ke proyek usaha produksi. Ini adalah fungsi wiraswasta, dengan perkataan lain ada kesenjangan ( gap ) antara lembaga penelitian dengan unit usaha atau wiraswasta.

Pengembangan pemuda sebagai sumber daya ekonomi akan bersifat strategis apabila difokuskan kepada pengembangan wiraswasta ini. Sebab wiraswasta inilah yang akan menciptakan kesempatan kerja bagi pemuda-pemuda yang lain. Pada umumnya tidak semua atau setiap pemuda mampu menyiapkan lapangan kerja bagi dirinya. Mereka umumnya menunggu untuk diserap oleh unit-unit usaha. Oleh sebab itu, kunci penciptaan lapangan kerja terletak pada peranan wiraswasta yang menciptakan lapangan kerja, tidak saja bagi dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain.

KEWIRASWASTAAN DAN CIVIL SOCIETY

Titik perkembangan konsep civilsociety dimulai sejak jaman Cicero, bahkan Aristoteles. Cicero mengeluarkan istilah Societas Civilis dalam filsafat poltiknya. Dalam tradisi Eropa, hingga abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Jadi, istilah-istilah seperti koinonia pollitike, societas civilis, societe civile, buergerlice gessellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state, dan stato (Muhammad AS. Hikam, 1999).

Sedangkan Jean L. Coen dan Andrew Arato mendefinisikan masyarakat civil sebagai, (asphere of social interaction between economy and state, composed above all of intimate sphere (especially the family), the sphere of associations (especially voluntary associations, social movement, and of public comunication). Maknanya kurang lebih, "arena interaksi sosial antara ekonomi dan pemerintah, menggambarkan semua yang di atas dari lingkungan yang akrab (khususnya keluarga), arena berasosiasi (asosiasi relawan), gerakan sosial, dan bentuk komunikasi publik". (penulis).

Definisi ini serupa dengan yang dikemukakan Alfred Tepan, Yakni, "arena tempat berbagai gerakan sosial (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok keagamaan, dan kelompok intlektual ) serta organisasi sipil dari semua kelas (ahli hukum, wartawan serikat buruh, usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan sehingga mereka dapat mengekspreksikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka (Masykuri Abdillah,2000).

Pada hakekatnya, civil society sebagai sebuah proses sejarah masyarakat Barat merupakan cerminan sebuah tatanan sosial-kemasyarakatan yang antara lain dicirikan oleh tiga hal. Pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya tatkala berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas (free public sphere) sebagai wahana bagi keterlibatan partai poltik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis (AS. Hikam 1999).

Dengan demikian arah penciptaan kewiraswastaan adalah terbentuknya kelas menengah yang tangguh, independen dan mandiri (Civil society). Terwujudnya civil socety diharapkan menjadi alat penyeimbang bagi negara. Sehingga negara tidak semena-mena melakukan intervensi ke dalam wilayah publik. Harapan itu akan terwujud apabila didukung oleh kondisi dan iklim yang memungkinkan tersedianya syarat-syarat terbangunnya civil society. Yaitu perlu ditetapkan suatu strategi sehingga antara civil society dan kewiraswastaan bisa berjalan bersama atau terjalin simbiosis mutualisma diantara keduanya.

Disadari tumbuhnya kewiraswastaan dapat pula berlangsung pada kondisi yang tidak adil. Misalnya wiraswastawan yang tumbuh bukan karena daya inovativnya tetapi karena adanya praktek-praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN ). Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan idealisasi civil society. Bila ini terjadi maka akan terjadi paradoks dimana kewiraswastaan dan civil society saling menjatuhkan.

Penetapan strategi yang bisa mengatasi hal tersebut harus didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan yang memang sudah seharusnya seperti rasa keadilan dan kehidupan yang demokratis. Fakta ini meniscayakan adanya perangkat hukum yang memadai dari sisi substansi maupun sumber daya pelaksana hukum.

Lazimnya setiap perubahan sosial meniscayakan adanya kelas menengah (civil society) yang berperan secara signifikan.Golongan yang paling berpeluang menjadi kelas menengah adalah pemuda yang independen secara ekonomi maupun politik. Peranan pemerintah dan negara yang menonjol selama ini dalam proses pembangunan, memang merupakan faktor penghambat terbentuknya kelas menengah yang independen.

Namun, meningkatnya peranan swasta dalam investasi pemba-ngunan dan di lain pihak, proses deregulasi, debirokratisasi, dan deofisialisasi kegiatan ekonomi, bisa membuka kesempatan bagi tumbuhnya kelas menengah tersebut. Penumbuhan kelas menengah bisa dimulai dengan menambah kuantitas wiraswastawan kita. Selayaknya peluang tersebut dapat ditangkap dengan baik oleh para pemuda kita. Semoga.

Wallahu 'alam Bissawaab.

Read More..

Beberapa Fenomena Pilkada Di Indonesia

Rapimda Partai Golkar akan digelar dalam waktu dekat ini. Agenda Rapimda yang paling ditunggu oleh publik Sulawesi Tengah adalah penetapan pasangan/wakil Aminuddin Ponulele sebagai calon gubernur Sulawesi Tengah priode 2006-2011. Agenda ini memang strategis untuk dibicarakan karena sangat significant mempengaruhi pilihan pemilih pada pasangan yang dimaksud. Untuk sampai pada penetapan pada figur tertentu kita harus memberikan analisis terhadap pilkada yang telah berlangsung di daerah lain di Indonesia.

Rapimda Partai Golkar akan digelar dalam waktu dekat ini. Agenda Rapimda yang paling ditunggu oleh publik Sulawesi Tengah adalah penetapan pasangan/wakil Aminuddin Ponulele sebagai calon gubernur Sulawesi Tengah priode 2006-2011. Agenda ini memang strategis untuk dibicarakan karena sangat significant mempengaruhi pilihan pemilih pada pasangan yang dimaksud. Untuk sampai pada penetapan pada figur tertentu kita harus memberikan analisis terhadap pilkada yang telah berlangsung di daerah lain di Indonesia.

Ada beberapa fenomena yang perlu kita cermati dalam pilkada yang telah dilaksanakan di beberapa daerah. Berdasarkan suatu analisis yang dilakukan oleh Harian Media Indonesia dalam beberapa kali terbitan, fenomena tersebut dirangkum sebagai berikut:

Pertama, terjadinya anomali politik Artinya figur yang menang bukan yang dicalonkan oleh partai politik yang menang pada pemilu legislatif di daerah itu. Fenomena itu terjadi di beberapa daerah, antara lain Provinsi Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Kabupaten Belitung Timur, Ponorogo, dan Karangasem. Di Provinsi Sumatra Barat, pemilihan gubernur dan wakilnya dimenangkan Gamawan Fauzi dan Marlis Rahman. Pasangan ini dicalonkan PDI Perjuangan dan PBB yang pada pemilu legislatif hanya mendapat 3,7% dan 5,8% suara, sangat jauh di bawah perolehan suara Partai Golkar yang meraup suara hingga 28,7%.

Sedangkan di Provinsi Sulawesi Utara, pemilihan gubernur dimenangkan Sinyo Harry Sarundayang yang berpasangan dengan Freddy Harry Saualang. Keduanya dicalonkan PDI Perjuangan yang pada pemilu legislatif berada di tempat kedua dengan perolehan suara 16,2%, jauh di bawah Partai Golkar yang meraih 32,3%.

Pertanyaannya sekarang, mengapa terjadi fenomena tersebut? Bukankah partai pemenang pemilu memiliki pendukung lebih banyak dan mesin partai lebih besar sehingga selayaknya jika calon dari partai unggul itulah yang menang di pilkada? Bagaimana bisa calon dari partai unggul itu dikalahkan calon lain dari partai yang bukan unggulan?

Untuk menjawabnya, kita perlu menengok pada dua pandangan yang sering digunakan dan diperdebatkan dalam menganalisis dan memprediksi perilaku pemilih, yaitu pandangan yang mengutamakan peran partai politik dan aliran yang mengutamakan figur kandidat.

Dalam kondisi politik normal dan stabil, terutama di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, keduanya berjalan sejajar dan dianggap sama pentingnya dalam memengaruhi keputusan pemilih. Akan tetapi, dalam kondisi politik yang masih labil dan relatif baru menerapkan sistem demokrasi, kedua aliran tersebut sering diadu untuk membuktikan kekuatan masing-masing.

Studi-studi awal tentang perilaku memilih menunjukkan partai politik memiliki peran yang sangat signifikan dalam memenangkan seorang kandidat. Alasannya, karena partai yang telah berdiri sejak lama mampu menumbuhkan sikap partisan di tengah masyarakat. Para penganut pandangan ini percaya kandidat yang dicalonkan partai besar akan cenderung lebih banyak dipilih karena 'embel-embel' kepartaiannya

Para penganut pandangan ini juga percaya pengambilan keputusan politik yang dilakukan pemilih dipengaruhi sosialisasi sejak awal kehidupannya yang ditularkan orang tua dan lingkungan mereka. Para penganut pandangan ini juga yakin dalam mengambil keputusan untuk memilih seorang calon, para pemilih cenderung untuk melakukan mekanisme heuristic (baca: sekenanya) sehingga seorang pemilih tidak akan repot-repot mengevaluasi figur dan program kandidat, cukup hanya mengasosiasikannya dengan partai tertentu yang ia dukung.

Sedangkan studi-studi terbaru dalam perilaku memilih menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Partai politik tidak memberi jaminan seorang kandidat akan lebih banyak dipilih masyarakat pemilih. Evaluasi terhadap figur kandidat terbukti lebih berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemilih. Pandangan ini menempatkan pemilih sebagai makhluk rasional.

Sebagai makhluk rasional, pemilih memiliki tujuan dalam tindakannya. Dalam konteks pemilihan, tindakan memilih bertujuan agar tercapai kemakmuran bersama. Agar tercapai kemakmuran bersama, dibutuhkan pemimpin yang telah terbukti memiliki kapabilitas dan kredibilitas tinggi. Oleh karena itu, figur kandidat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan seorang pemilih.

Kenyataan tersebut seakan menyadarkan para politikus partai untuk menghilangkan arogansi mereka. Mesin partai saja ternyata tidak cukup untuk memenangkan seorang calon. Kapasitas intelektual, kepribadian, dan karya nyata sang calonlah yang sekarang menjadi pertimbangan utama para pemilih.Artinya, kualitas dan performa individu berada di urutan pertama dan kedua, di atas afiliasi dengan partai. Ini menandakan partai mulai meninggalkan arogansinya dan mulai memikirkan opini masyarakat.

Hasil pilkada di beberapa daerah hingga bulan Juni pun membuktikan kecenderungan sosok kandidat berpengaruh lebih besar daripada mesin partai di daerah. Ambil contoh ekstrem Provinsi Sumatra Barat seperti yang telah ditulis di atas. Masyarakat Sumatra Barat mengenal Gamawan Fauzi sebagai pejabat yang bersih dan sosok yang tegas dalam memberantas korupsi.

Kecenderungan perilaku pemilih Indonesia yang mulai mempertimbangkan figur kandidat adalah satu tahap maju dalam partisipasi politik. Dalam tahap selanjutnya kelak, pemilih juga akan mempertimbangkan program-program kandidat.

Hal ini menunjukkan perubahan paradigma oleh partai politik sekarang mutlak dilakukan. Partai politik sekarang dipaksa untuk membenahi diri agar tidak ditinggalkan pemilihnya. Perubahan sistem pemilihan menjadi pemilihan langsung menempatkan pemilih sebagai penentu.

Suara seorang pemilih sangat berarti dalam pemilihan langsung, karena itu partai perlu dengan seksama memperhitungkan kecenderungan opini publik sebelum mengajukan calonnya. Tak peduli seberapa baik seorang kandidat di mata partai, jika ia tidak memiliki kualitas dan performa yang diakui masyarakat, ia tidak akan dipilih.

Jika ditarik ke tataran kebijakan dan garis perjuangan partai, sekarang partai politik wajib membumi. Partai dan fungsionarisnya yang duduk di jajaran legislatif dan eksekutif harus mampu membuktikan, mereka memang layak dipilih, baik karena kualitas dan performa orang-orangnya maupun karena program-programnya. Suatu proses pendewasaan yang memerlukan waktu dan kerja keras namun tidak mustahil dilakukan demi tercapainya demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.

Kedua, PiIkada Juni 2005 telah mencairkan sekat-sekat ideologi partai politik. Sayap Islam 'menikah' dengan sayap nasionalis. Hanya saja tidak ada koalisi PDS dengan PKS.

Pilkada putaran pertama Juni 2005 diwarnai berbagai koalisi antarpartai politik. Ada cukup informasi bahwa banyak koalisi antarpartai dalam proses pencalonan pasangan calon kepala daerah selama pilkada Juni 2005 lalu bersifat cair.

Implikasi dari itu, ini yang lebih menarik. Sedikitnya di 51 daerah yang menggelar pilkada, koalisi partai-partai terbentuk dari partai-partai berasal dari latar belakang ideologis yang berbeda, misalnya antara partai berasas Islam dan partai nasionalis sekuler. Untuk mudahnya kita sebut saja sebagai 'koalisi pelangi'.

Bahasan mengenai pola koalisi antarpartai politik menjadi penting dalam konteks mencermati fungsi partai politik sebagai mesin politik untuk memenangkan pemilihan umum. Partai politik selama ini dipahami sebagai sumber daya politik yang dipandang mampu memobilisasi dukungan para pemilih untuk mendukung partai atau figur tertentu.

Secara teoretis dan juga praktis, partai politik diyakini menjadi salah satu faktor yang banyak memengaruhi pilihan politik individu. Semakin kuat ikatan seseorang dengan partai politik tertentu, semakin kuat pula kecenderungannya untuk mendukung setiap keputusan politik yang dibuat partai politik tersebut, termasuk keputusan untuk mencalonkan seseorang sebagai kepala daerah.

Kecenderungan perilaku pemilih terekam dalam survei exit poll LP3ES pada pemilu legislatif yang menyebutkan, ada kecenderungan menguatnya perolehan suara PKS lebih banyak disumbang oleh beralihnya sebagian pemilih PPP dan PAN, dua partai yang berbasis pada pemilih Islam. Dalam survei tersebut juga terlihat indikasi, prestasi perolehan suara yang dicapai Partai Demokrat adalah karena banyak konstituen PDIP yang mengalihkan dukungan kepada partai pendatang baru tersebut.

Pada pilkada putaran pertama Juni 2005 di berbagai daerah, fenomena politik aliran bisa dikatakan semakin luntur. Salah satunya dicirikan oleh pola-pola koalisi yang terbentuk, yang terbangun bukan atas kesamaan ideologis tertentu, namun lebih pada alasan-alasan yang lebih bersifat pragmatis.

Koalisi yang terbentuk akhirnya menjadi lebih bersifat 'cair', tanpa direkat oleh kepentingan ideologis tertentu. Koalisi terbentuk karena kepentingan jangka pendek, yaitu menggalang dukungan partai-partai agar memenuhi target minimal 15 persen suara sehingga dapat menjagokan pasangan kandidatnya tersendiri.

Di berbagai daerah pemilihan, kita akan mudah menemukan koalisi 'pelangi' seperti itu banyak terjadi pada koalisi partai-partai gurem yang bergabung dengan partai-partai lain yang belum mencapai 15 persen suara pada pemilu legislatif. Sedangkan pada partai-partai peraih suara signifikan, seperti Golkar, PDIP, dan juga PKB, PKS dan PPP di daerah tertentu lebih memilih tidak berkoalisi dengan partai lain. Mungkin agar bisa lebih leluasa menentukan pasangan kandidat yang dimajukannya.

Dalam studi perilaku pemilih, ada model sosiologis yang dikembangkan dari asumsi dasar bahwa perilaku memilih ditentukan karakteristik sosial para pemilih, misalnya etnik, daerah, atau orientasi keagamaan tertentu. Seseorang akan memilih partai atau figur tertentu karena ada kesamaan karakteristik sosial tersebut antara si pemilih dan karakteristik sosial partai atau figur tersebut. Karena itu, dalam pilkada partai-partai beraliran politik tertentu yang bergabung dalam koalisi 'pelangi' akan sulit mengusung isu-isu spesifik yang beraroma ideologis untuk 'dijual' kepada publik, karena sifat koalisi yang cenderung plural sementara figur kandidat yang dimajukan tidak mungkin diasosiasikan dengan salah satu partai pendukungnya saja.

Ketiga, incumbent lebih diuntungkan. Satu hal yang menarik dari pilkada adalah fenomena para incumbent yang ikut bersaing memperebutkan suara agar dapat kembali menduduki kursi jabatannya. Buktinya beberapa mereka sudah dipastikan terpilih kembali menduduki jabatan tersebut, seperti Bupati Kutai Kartanegara Syaukani, Wali Kota Medan Abdillah, Bupati Kebumen Rustriningsih dan juga pejabat Bupati Balangan di Kalsel Seffek Effendie. Di Sulawesi Tengah, bupati Tojo Una-Una Damsik Pajalani dan Bupati Toli-Toli Ma’ruf Bantilan juga terpilih kembali.

Menurut pandangan para pesaing baru, mungkin isu 'perubahan' dipandang akan laku dijual ke publik sebagai senjata ampuh bersaing dengan tokoh incumbent yang menjadi 'juara bertahan' ini.

Bagi para incumbent, sebenarnya mesin politik melalui partai-partai politik tidak menjadi perangkat utama pemenangan pemilu. Karena selain melalui jaringan partai politik, kandidat incumbent masih memiliki sederet perangkat lain yang bisa diberdayakan untuk mengampanyekan dirinya. Justru jika terlalu dekat dengan salah satu partai politik atau lekat dengan identitas partai tertentu, akan cenderung merugikan citra mereka. Karena sebelumnya mereka sudah dikenal sebagai pejabat publik yang melayani semua lapisan masyarakat, bukan hanya satu golongan masyarakat tertentu saja, bagi seorang figur incumbent, partai politik bukan menjadi kekuatan utama untuk mengangkat popularitasnya.

Dari sejumlah pilkada yang diikuti para incumbent, sedikitnya ada dua kasus menarik yang terekam dalam survei yang bisa disebutkan yaitu pilkada di Kota Medan, Sumut dan di Kabupaten Balangan, Kalsel. Medan adalah kota metropolitan, sedangkan Balangan adalah kabupaten yang hampir seluruhnya merupakan daerah pedesaan.

Survei yang dilakukan Institut Survei Perilaku Politik (ISPP) di kedua daerah tersebut menjelang masa kampanye pilkada memperlihatkan, pasangan incumbent mendapatkan posisi yang lebih menguntungkan daripada lawan-lawannya. Figur Seffek di Balangan dan Abdillah di Medan sudah jauh lebih unggul popularitasnya sejak sebelum kampanye digelar. Di kalangan pemilih di Kabupaten Balangan, Seffek sudah jauh lebih populer dikenal sebagai pejabat Bupati Balangan, jauh melampaui ketiga figur lainnya yang hanya sebagai kepala dinas di berbagai instansi daerah.

Penjelasannya tidak hanya berhenti di situ saja. Preferensi politik dalam memilih figur seorang kandidat dalam pilkada juga dipengaruhi bagaimana kinerja figur yang bersangkutan. Pemilih mengevaluasi melalui mekanisme reward and punishment. Pemilih akan cenderung memilih figur baru (non-incumbent) jika tidak puas dengan kinerja incumbent selama menjabat. Sebaliknya pemilih lebih suka memilih incumbent jika sudah cukup puas dengan kinerja figur tersebut selama menjabat..

Ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari fenomena di atas. Pertama, pemilih semakin rasional. Kedua, untuk itu partai harus melakukan perubahan paradigma dari berbasis massa menjadi berbasis kader dalam pengertian sebenarnya dan ketiga, figur yang dicalonkan harus akseptebel ditingkat partai maupun ditingkat pemilih.

Pertanyaannya, bagaimana di Sulawesi Tengah? Akankah fenomena tersebut berlaku? Memang masih harus kita tunggu. Tapi setidaknya fenomena politik pilkada di atas dapat menjadi bahan pertimbangan Partai Golkar dalam penetapan pasangan calon maupun rumusan strategi umum dalam memenangkan Pilkada di Sulawesi Tengah dalam waktu dekat ini. Wallahu A’lam.

Read More..

  © Blogger template 'Perhentian' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP